**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Thursday, February 09, 2006
Islam Komunis, Bolehkah?
Wacana keislaman di tanah air sudah menyaksikan gerakan besar-besaran. Setidaknya, hal itu ditandai dengan munculnya berbagai pemikiran liberal-progresif-transformatif yang dimotori beberapa pemikir Islam. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana sekelompok intelektual muslim muda, seperti yang tergabung dalam Komunitas Islam Utan Kayu, melahirkan Islam baru yang lebih akrab kita sebut "Islam liberal". Kemudian setelah itu, muncullah Islam-Islam lain yang tidak kalah oleh Islam liberal. Sekarang ini, Sudah zamannya Islam diberi embel-embel. Di Indonesia sendiri hampir tidak ada Islam tanpa embel-embel, Islam yang dibelakangnya terdapat segudang adjektif. Islam liberal, Islam fundamental, Islam radikal, Islam tradisional, Islam transformatif, Islam konservatif, Islam progresif, Islam militan, Islam kanan, Islam kiri, Islam emansipatoris, Islam ekstremis, Islam keras, Islam lunak, inilah Islam yang sekarang lagi marak di Tanah Air.

Tenyata gerakan pemikiran Islam tidak berhenti sampai di situ. Baru-baru ini, hadir pula "Islam komunis", yang kemunculannya membuat umat Islam terkejut, 'cemas' dan agak 'ketakutan'. Entah angin segar apa yang membawanya hadir meramaikan pasaran pemikiran. Kalau yang muncul Islam liberal atau Islam emansipatoris, masih bisa dipertimbangkan. Tapi, kalau yang muncul adalah Islam komunis, agaknya umat Islam harus berfikir sejuta kali untuk menerimanya. Sebab yang namanya komunis, dari dulu memang merupakan barang 'haram' yang tidak boleh seenaknya berkeliaran di tengah-tengah umat.

Umat Islam sepertinya memang trauma dengan peristiwa pembunuhan di Madiun terhadap sejumlah tahanan oleh laskar Pesindo yang berafiliasi dengan PKI pada tahun 1948. Peristiwa ini bisa dikatakan sebagai pukulan menyakitkan bagi umat Islam. Betapa tidak? Karena orang-orang yang terbunuh dalam peristiwa tersebut kebanyakan beragama Islam. Sehingga, sampai detik ini, orang Islam masih percaya bahwa peristiwa yang terjadi di Madiun itu merupakan pembantaian terhadap umat Islam. Di tambah lagi dengan "racun" lain berupa cerita tentang penyiksaan dan pembunuhan terhadap para jenderal di Lubang Buaya oleh "orang komunis kafir" yang melahirkan stigma bahwa komunisme identik dengan moral bejat dan atheisme. Akan tetapi cerita ini perlu dipertanyakan kembali akurasinya. Benarkah orang-orang PKI melakukan penyiksaan itu? Kalau iya, kenapa tim dokter yang melakukan autopsi melaporkan bahwa tak seorang jenderal pun yang menjadi korban mengalami siksaan?
Kita sama sekali tidak menafikan —seperti yang dijelaskan Budiawan dalam bukunya yang berjudul: Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto— adanya ketegangan antara kalangan Islam dan komunis yang dimulai sejak 1920-an. Tetapi ketegangan itu tidak pernah berkembang menjadi konflik dengan kekerasan, apalagi pertumpahan darah. Konflik terbuka baru terjadi di masa kemerdekaan, saat kekuatan-kekuatan politik mulai bertarung memperebutkan kepemimpinan republik. Jadi jelas, tidak ada sangkut pautnya dengan agama, hanya masalah politik semata, masalah duniawi. Ini saja sudah menunjukkan bahwa kaum komunis tidak seburuk apa yang selama ini meraja dalam benak kita.

Kalau dilihat dari sejarah, komunisme —menurut Jacques Leclerc— muncul pertama kali di Eropa sebagai akibat dari meluasnya paham "kiri". Kata "kiri" sendiri dalam kamus politik internasional, merupakan konsekuensi dari Revolusi Perancis; kata "kiri" seringkali digunakan dalam perempat abad XIX, yang menunjuk pada ide-ide wakil rakyat yang duduk di sebelah kiri Ketua di ruang Parlemen Perancis. Kata "kiri" juga digunakan, pada masa yang sama, di Inggris, tanpa dihubungkan dengan letak duduk anggota parlemen di ruang sidang. "Kiri" di Prancis mula-mula merupakan tuntutan "kedaulatan bangsa" untuk melawan "kedaulatan raja", mendukung demokrasi, menentang otoriterisme, memperjuangkan pemilihan umum melawan pemilihan censitaire (pemilihan yang mewajibkan para pemilih dan yang dipilih harus membayar pajak tertentu) dan menentang hak pilih yang hanya diberikan kepada orang-orang kaya.Pada saat paham "kiri" ini mulai meluas, munculah "sosialisme" dan "komunisme".
Ketiga paham tersebut saling berkaitan. Sebab ketiga-tiganya memiliki kesamaan ide yang berasal dari Revolusi Perancis, yaitu menjamin konstitusi, pengadaan lembaga-lembaga negara dan kedaulatan rakyat. Rakyat berhak memberontak pemerintahan despotis yang tidak mengakui kedaulatannya. Bila pemerintah ternyata melakukan pelanggaran terhadap hak-hak rakyat, maka pemberontakan adalah bagi rakyat dan merupakan bagian dari rakyat. Kedaulatan merupakan hak rakyat paling suci dan merupakan kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan. Komunisme juga ada kaitannya dengan doktrin politik tentang masyarakat tanpa kelas dan perjuangan yang dicetuskan oleh Karl Marx.Kalau memang demikian, apakah kita bersikeras melarang seorang muslim menganut komunisme? Dari sekian doktrin yang disebutkan tadi, saya kira tidak ada yang bertentangan dengan Islam. Kita tahu siapa itu Hasan Raid dan Achmadi Moestahal, keduanya bisa dikatakan sebagai "Muslim komunis", dibesarkan di lingkungan beragama yang kemudian condong pada komunisme tanpa meninggalkan keimanan pada agama, sebagaimana yang diceritakan oleh Budiawan dalam buku di atas.
Memang tidak mudah mengaitkan Islam dengan komunisme. Kendatipun demikian, tidak sedikit orang berpandangan —termasuk saya sendiri— bahwa Islam sama sekali tidak melarang komunisme. Dalam kaitannya dengan hal ini, sejumlah prinsip Islam harus diuraikan, ditafsirkan, untuk selanjutnya disimpulkan sehinga ruang teologis terbuka bagi komunisme.Kata komunis yang digunakan untuk memperkenalkan salah satu wacana baru dalam intelektualisme Islam memang mudah menuai kecurigaan, setidaknya, dari kalangan Islam sendiri. Dari sejumlah kritik, terutama yang bernada sinis, banyak yang lebih terpaku pada kata "komunis" sebagai adjektif dari kata "Islam". Maka wajar jika Islam komunis begitu mudah diidentikkan dengan "orang komunis" yang tidak beragama dan bermoral bejat, dalam pengertian yang peyoratif. Islam komunis, di kalangan masyarakat Islam, dipahami sebagai pemikiran dan sikap anti agama.

Berbicara mengenai sesuatu yang 'haram', termasuk masalah komunisme, memerlukan kejujuran dan keterbukaan. Kita dituntut melihat permasalahan dengan pikiran jernih, tidak asal main klaim saja. Komunisme jangan hanya direduksi menjadi faham kaum kafir yang menentang agama atau atheisme belaka. Kalau boleh berpendapat, saya katakan bahwa, pada dasarnya, semua paham yang diklaim sebagai ‘barang haram’, mulai dari sosialisme, komunisme dan isme-isme yang lainnya bukan tidak ada dalam Islam. Hanya saja Islam mempunyai sebuah prinsip yang senantiasa dipegang teguh, yaitu “khairu al-umuri ausathuha”, “sebaik-baiknya perkara adalah yang tengah-tengah, yang sedang-sedang saja”. Artinya harus ada balance dalam penerapannya, tidak terlalu condong ke kiri dan tidak pula ke kanan. Sebab umat Islam diciptakan sebagai “ummatan wasatha”. “Ummatan wasatha” ini jangan hanya diartikan sebagai umat penengah antara pemeluk agama Kristen, Yahudi dan pemeluk agama lainnya.

Akan tetapi harus juga pahami, bahwa dalam segala hal, umat Islam tidak boleh berlebih-lebihan, termasuk di antaranya dalam hal komunisme. Di era demokrasi sekarang ini, saya kira sudah waktunya membicarakan kebenaran dan rekonsiliasi untuk peristiwa 1965. Masalahnya sekarang, maukah mayoritas masyarakat Muslim memberi jaminan kultural bagi mereka penganut komunisme untuk dapat bergerak bebas. Dalam hal ini, sebenarnya, tergantung bagaimana kaum Muslimin memahami ajaran Islam apakah doktrin-doktrin teologis dicarikan kesepadanan dengan komunisme atau tidak. Tapi yang lebih signifikan dari itu adalah bagaimana kaum komunis diterima sebagai salah satu komunitas dalam masyarakat Islam. Semasa menjadi Presiden, Gus Dur pernah mengusulkan agar ketetapan MPRS tentang pelarangan PKI dicabut. Tetapi sayang, bukan hanya kecaman yang menimpa, malah menyeretnya turun dari jabatan.

*Kiyai Sepuh Afkar
 
posted by Roland Gunawan at 10:29 PM | Permalink | 0 comments
Tanggpan Untuk Milis IKBAL

Sebelumnya saya ucapkan terima kasih kepada Kak Guntur. Tak lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada sahabat dekat saya saudara Azhar Amrullah Hafidz yang telah meluangkan waktunya yang cukup berharga untuk menanggapi tulisan saya, sebab saya tahu bahwa Azhar Amrullah ini adalah orang super sibuk, sibuk di PMIK, dan saya tidak akan menyebutkan kesibukan apa yang ia lakukan di sana, yang jelas, sebagaimana yang disebutkan oleh Mas Salam Amin beberapa waktu yang lalu, kita sudah banyak orang tahu, sehingga saya tidak perlu menyebutkannya lagi. Di sini, sebagaimana anjuran Kak Guntur, saya akan merespon balik pertanyaan-pertanyaan yang dinyatakan Azhar di milis. Saya minta maaf kalau saya baru sekarang menjawabnya, sebab saya tidak banyak mempunyai kesempatan.

Pertama, saya katakan, dalam tulisan itu, saya tidak pernah mengatakan bahwa Imam Syafi`i menyuruh atau mewajibkan kita untuk mengikutinya (baca yang benar, pakai tasmak Mad!). Tapi justeru di sinilah saya ingin katakan, bahwa Imam Syafi`i tidak pernah menyuruh kita untuk "mematuhi" pendapatnya, bahkan saya sempat mendengar, bahwa beliau pernah menyatakan, yang arti kasarnya begini, "Pendapat orang bisa saja lebih benar dari pendapat saya." Dengan demikian Imam Syafi`i tidak kebal kritik. Kita mungkin masih ingat tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid-nya. Ini saja menunjukkan bahwa dalam bangunan pemikiran beliau pun terdapat pertentangan. Ketika di suatu daerah Imam Syafi`i mengambil pendapat begini, maka di kala berada di tempat lain yang memiliki budaya yang berbeda, mau tidak mau beliau harus menela`ah kembali pendapat sebelumnya. Sayangnya, banyak orang tidak memahami ini, sehingga ketika ada yang berani mengkritisinya, langsung dituduh yang nggak-nggak.

Kedua, sehubungan dengan makna "Hikmah" yang sering disebutkan dalam al-Qur'an di mana Imam Syafi`i memaknainya dengan Sunnah atau Hadis. Dalam kitab al-Risalah Imam Syafi`i berkata, : "Kullu ma sanna Rasulullah mimma laisa fihi kitab, wa fima katabna fi kitabina hadza, min dzikri ma manna Allah bihi `ala al-`ibad min ta`allum al-kitab wa al-hikmah dalil `ala anna al-Hikmah sunnatu Rasulullah." (Untuk lebih lengkapnya, silahkan baca buku al-Risalah, hal 91 - 92). Pernyataan Imam Syafi`i ini menunjukkan bahwa kata "Hikmah" dalam al-Qur'an adalah Sunnah Rasul, dan selain itu bukan Hikmah. Dan tentu saja, penafsiran Imam Syafi`i ini menimbulkan pertanyaan. Apakah dia memiliki bukti (dalil) yang kuat dalam hal ini? Ternyata beliau tidak menyebutkan apa-apa dari al-Qur'an yang menguatkan penafsirannya tersebut. Beliau hanya menyebutkan pendapat para ulama yang sepakat dengannya. Tapi sayang sekali, ulama yang dimaksud Imam Syafi`i itu siapa? Apa saja faktor yang membuat mereka menyatakan pendapat ini? Menurut hukum-hukum logika, kita mungkin saja meragukan pendapat seseorang, akan tetapi kita tidak bisa meragukan sesuatu yang sudah pasti. Dalam hal apa yang telah disebutkan Imam Syafi`i, saya melihat beliau beralih secara tiba-tiba dari sesuatu yang ihtimali (sesuatu yang mungkin) kepada sesuatu ta'kidi (konfirmatif), tanpa memberikan bukti yang sesuai yang meneguhkan pendapat yang bersifat mungkin menjadi pendapat yang berkedudukan pasti. Ini saya kira tidak dapat diterima dalam perdebatan ilmiyah.

Tuhan menyebutkan, bahwa Dia sendirilah yang menafsirkan al-Qur'an, artinya al-Qur'an menafsirkan al-Qur'an. Al-Qur'an menggunakan kata "Hikmah" sebanyak dua puluh kali yang menunjuk pada ajaran-ajaran al-Qur'an (ta`alim) atau Hikmah secara umum di mana para nabi dan rasul menyebutnya demikian. Kata "Hikmah" dalam al-Qur'an menunjukkan tiga belas sifat terpuji (Surat Isra', dari ayat 22 hingga 38) yaitu : Ibadatullah wahdahu la syarikalah (menyembah Allah dan tidak menyekutukannya), tahrim `ibadah al-awtsan (larangan menyembah berhala), ihtiram al-walidain wa al-ihsan lahuma (menghormati dan berbuat baik pada kedua orang tua), al-tashadduq `ala dzi al-qurba wa al-fuqara' wa al-masakin wa ibn al-sabil (bersedekah pada kerabat, fakir miskin, dan para musafir), `adam al-israf wa tahrim qatl al-awlad khasyyah al-faqr (tidak berlebih-lebihan, boros dan larangan membunuh anak karena takut miskin), larangan zina (tahrim al-zina), tahrim qatl al-nafs allati harrama Allah qatlaha illa bi al-haq (larangan membunuh jiwa yang dilarang oleh Allah kecuali dengan kebenaran), tahrim akl mal al-yatim (larangan memakan/menggeredek harta anak yatim), al-amanah fi al-mu`amalat wa tahrim al-akhdz bi ra'y man ja'a bi naba' qabla al-tahaqquq min shihhatihi (kejujuran dalam bermu`amalat dan larangan mengambil pendapat sebelum meneliti kebenarannya), tahrim al-kibr wa kulli ma huwa syarr (larangan berbuat dosa besar dan setiap apa yang buruk). (baca bukunya Qasim Ahmad, I`adah Taqyim al-Hadits, al-`Audah Ila al-Qur'an, atau baca juga bukunya Zakariya Ouzon, Jinayah al-Syafi`i, kalau tidak punya beli saja di Ma`radl, harganya 35 LE setelah discoun)

Demikian juga dalam surat Ali Imran ayat 81, di mana makna kata "Hikmah" menunjukkan kandungan seluruh Kitab Samawi. Juga dalam surat Luqman ayat 12, kata "Hikmah" menunjukkan Hikmah para pengajar spiritualitas (al-ruhaniyyat) secara umum. Jadi kalau merujuk pada al-Qur'an, kita dapat menyimpulkan dua hal. Pertama, bahwa kata "Hikmah" dalam ayat (Rabbana wa ib`ats fihim rasulan minhum yatlu `alaihim ayatuka wa ya`allimuhum al-kitab wa al-hikah wa yuzakkihim) yang disebutkan Imam Syafi`i menunjukkan al-ta`alim al-akhlaqiyyah li al-Qur'an (ajaran-ajaran etis/moral al-Qur'an). Kedua, bahwa "al-hikmah" secara umum merupakan karakter seluruh nabi. Mungkinkah kita menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad mengajarkan Hikmah kepada umatnya di tengah-tengah kepemimpinannya? Jawabannya memang iya. Akan tetapi kepemimpinannya tersebut bersandar pula pada penerapan ajaran-ajaran etis/moral al-Qur'an. Semua ajaran ini (hikmah) terdapat dalam al-Qur'an, meskipun ada beberapa hadis yang bisa disebut "hikmah." Dan kita tahu bahwa antara "hadis" dan "Sunnah" sangat berbeda.

Dalam al-Qur'an, kata "Sunnah" berarti sistem/aturan atau hukum Tuhan atau ajaran-ajaran umat terdahulu yang masih ada. Al-Qur'an tidak menunjukkan bahwa "sunnah" adalah tingkah laku atau gerak-gerik Nabi. (lihat surat al-Fath ayat 23, al-Anfal ayat 38). Sedangkan kata "hadits" dalam al-Qur'an berarti al-akhbar (berita), al-qashash (cerita), al-risalah (ajaran) dan al-syay' (sesuatu). Al-Qur'an menyebutkannya sebanyak 36 kali dalam posisi-posisi lingual yang berbeda-beda, dan tidak satupun yang menunjukkan apa yang kita kenal dengan "hadits Nabi." Bahkan dalam beberapa ayat, kata "hadits" bermakna "al-Qur'an" sendiri, sangat jauh dari pemaknaan bahwa itu adalah "hadits Nabi."

Ketiga, tentang pensejajaran Sunnah, Ijma` dan Qiyas dengan al-Qur'an. Sebagaimana yang saya sebutkan, Imam Syafi`i memaknai "Hikmah" dengan Sunnah Rasul. Jika demikian, maka keta`atan kepada Rasul--yang dalam al-Quran selalu disandingkan dengan keta`tan kepada Allah--berarti mengikuti Sunnah Rasul. Kita tidak mungkin menentang Imam Syafi`i dengan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan keta`atan kepada Rasul hanya berkenaan dengan wahyu Tuhan, sebab beliau telah menjadikan Sunnah sebagai wahyu dari Tuhan, di mana keduanya memiliki otoritas dan kedudukan yang sama. Ketika Imam Syafi`i menafsirkan "Hikmah" dengan Sunnah Rasul, ketika Imam Syafi`i memaknai "al-`Ishmah" (kemaksuman) dengan "tidak adanya kesalahan secara mutlak," sebenarnya di sinilah letak pensejajaran itu. Wahyu berasal dari Tuhan, yang sudah jelas terbebas dari kesalahan, sementara Nabi menurut Imam Syafi`i adalah maksum, apa saja yang beliau ucapkan, apa saja yang beliau lakukan adalah benar, terbebas dari salah. Dengan demikian, apa bedanya al-Qur'an dengan Sunnah Nabi? Tidakkah Imam Syafi`i melihat perkataan Nabi sendiri, "Antum a`lam bi umur dunyakum," "kalian lebih tahu urusan dunia kalian?" (baca bukunya Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, Penerjemah : Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim)

Kemudian mengenai Ijma`, Imam Syafi`i, dalam kitab al-Risalah, memperluas makna Sunnah mencakup Ijma` generasi Muslim pertama, generasi para Shabahat Nabi, di mana karena kedekatannya dengan kehidupan Nabi, maka konsensus mereka adalah benar, tidak salah. Dalam ini Imam Syafi`i nampak hendak mengulangi pernyataan gurunya, yaitu Imam Malik, yang bersandar pada "`Amal Ahl al-Madinah" (aktifitas penduduk Madinah) yang dianggap sebagai sumber hukum (mashdar fiqhi). Imam Syafi`i juga cenderung menganggap Ijma` sebagai sunnah yang wajib dikuti (wajibah al-ittiba`). (jangan lupa baca juga dalam kitab al-Umm, kalau tidak punya beli di Ma`radl, harganya 100 LE, setebal kamus al-Munawwir).

Adapun mengenai Qiyas, Imam Syafi`i menganggapnya sebagai satu-satunya Ijtihad yang harus dilakukan seorang fakih. Dan Qiyas (Ijtihad) hanya dibatasi pada teks-teks belaka, tidak yang lain. Sehingga hasil daripada Qiyas, yang menurutnya hanya pada teks-teks keagamaan (al-Qur'an dan Hadis), harus diikuti. (Baca bukunya Nasr Hamid Abu Zaid dalam bukunya al-Imam al-Syafi`i Wa Ta'sisi al-Idiyulujiyyah al-Wasathiyyah, ketika mengutip pernyataan Abu Zahroh). Kalau tidak, berarti menentang Ijma`, Sunnah dan al-Qur'an.

Keempat, mengenai penyamaan perempuan dengan keledai dan anjing sebagaimana tertera dalam kitab Shahih Bukhari. Memang tidak secara Eksplisit Imam Bukhari menyatakannya, akan tetapi kalau dilihat di bab Nikah, atau di bab Nafaqat, atau bab Thalaq, kita lihat di sana ada beberapa hadits yang hanya menyuruh perempuan untuk tinggal di rumah suaminya, tidak boleh keluar tanpa izinnya, hanya menjadi penunggu dan penjaga. Kalau kita lihat di Muthala`ah kelas satu dulu, di situ kita akan menemukan Muhadatsah tentang al-Kalbu (anjing), "al-Kalbu Hayawan Amin, Yahru al-Manazil wa al-Mazari`." Di sini anjing hanya dijadikan penjaga rumah yang patuh pada majikan. Kalau tidak menjaga rumah dengan baik, maka ia tidak akan dikasih roti, ia juga tidak dibolehkan memasukkan seseorang, teman atau siapa saja, kecuali dengan izin sang majikan. (untuk lebih jelasnya, silahkan baca bukunya Zakariya Ouzon, Jinayah al-Bukhari, kalau nggak punya beli saja di Ma`radl, harganya 35 LE, atau baca juga Jinayah al-Syafi`i, dalam Muqaddimah buku ini juga disinggung).

Dalam Shahih Bukhari disebutkan sebuah hadits yang berbunyi, "Yaqtha` al-Shalata al-mar'atu wa al-himar wa al-kalb, wa yaqi dzalika mitslu mu'khirah al-rahli." (hadits no. 514). Hadits ini diriwayatkan oleh Abi Hurairah yang oleh banyak kalangan banyak bersikap "kurang adil" terhadap perempuan. Hadits ini juga telah ditentang oleh Sayyidah `A'isyah dengan pernyataannya, "Laqad Sawwaitumuna ma`a al-hamir wa al-kilab!!, "Kalian telah menyamakan kami (para perempuan) dengan keledai dan anjing!!" Hadits ini sangat bertentangan dengan perkataan Nabi, "La Yaqtha` al-Shalata sya'i wa idra'u ma istatha`tum fainnama huwa al-syaithan." (lihat sunan Abi Daud 617). Kalau anjing dan keledai memang bisa saja membatalkan shalat, karena ditakutkan ketika sedang sujud, keduanya mengganggu, sebab keduanya termasuk hewan yang hidup dan berbaur dengan manusia dalam kihidupan sehari-hari. Siapa tahu ketika sedang shalat, karena keduanya memang tidak berakal, secara tiba-tiba mendekat dan mengganggu. Apa lagi kita tahu, dalam tradisi masyarakat Islam, anjing itu najis. Akan tetapi perempuan? Saya kira perempuan punyak akal, tahu mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga ketika melihat orang sedang shalat dia tidak mungkin mengganggu. (silahkan baca bukunya Samir Islambuli, Tahrir al-`Aql Min al-Naql)

Ada hadits lain dalam Shahih Bukhari yang perlu dikritisi, yaitu yang berbunyi, "La tunkah al-ayyimu hatta tusta'mar, wala tunkahu al-bikru hatta tusta`dzan, Qalu Ya Rasullallah wa kaifa Idznuha, Qala antaskuta (hadits no. 5136). Dalam hadits ini diceritakan tentang izin perempuan yang hendak dinikahkan dengan seorang laki-laki, di mana izinnya hanya cukup dengan diam. Yang namanya izin harus dengan suara, atau dengan isyarat lain, misalnya dengan mengangguk. Izin juga berarti kerelaan, akan tetapi harus dengan pernyataan. Tidak bisa hanya dengan diam membisu. Katakanlah kita mau masuk rumah orang, kita harus minta izin dulu, izin tentu saja dengan perkataan, misalnya dengan kata-kata "silahkan masuk," atau dengan isyarat, misalnya dengan tangan (bagi yang bisu). Jadi diam tidak bisa dijadikan sebagai "izin."

Maka kita perlu mempertanyakan keabsahan hadits ini, sebab pertanyaan para Shahabat, "kaifa idznuha?," "bagaimana izinnya?" ini adalah pertanyaan yang sangat aneh. Sebab yang namanya izin sudah banyak yang tahu, jadi tidak perlu dipertanyakan lagi. Izin harus dengan kerelaan dan persetujuan dari sang perempuan. Tidak bisa dengan diam. Siapa tahu diamnya perempuan karena takut sama kedua orang tuanya, sebab mungkin orang tuanya sangat keras. Bahkan ada sebuah hadits tentang seorang perempuan yang tidak mau dikawinkan dengan seseorang yang sama sekali tidak dicintainya, tapi oleh ayahnya tetap dipaksa. Kemudian perempuan itu menghadap Rasulullah, dan ternyata Rasulullah membelanya, bahkan mencela ayahnya yang tidak tahu perasaan putrinya.

Terakhir saya pesan untuk Azhar, jangan sering nge-date di PMIK, di sana kan banyak buku, baca dong buku-bukunya, jangan hanya asyik menikmati cewek-cewek.............
Sekian dari saya.................
 
posted by Roland Gunawan at 4:16 PM | Permalink | 1 comments
Monday, February 06, 2006
Islam : Orde Lama, Baru dan Reformasi

Islam: Orde Lama, Baru dan Reformasi

Indonesia sebagai sebuah negara, telah mengarungi sejarah panjang sejak awal proklamasinya. Setidaknya hingga sekarang ada tiga priode yang kita tahu, yaitu priodenya Bung Karno, Suharto, dan priode setelah keduanya. Dan setiap priode itu mempunyai nama dan julukan masing-masing. Kalau pada zaman Bung Karno kita kenal dengan rezim orde lama, pada zaman Suharto kita kenal dengan rezim orde baru, dan pada zaman setelahnya kita kenal dengan orde reformasi.

Pada zaman orde lama di bawah kepemimpinan Bung Karno, saat itu Indonesia baru menunjukkan eksistensinya sebagai negara yang merdeka, negara yang berdaulat, dan negara yang baru saja merasakan nikmatnya sebuah kebebasan. Dengan semangat kemerdekaan itulah Indonesia setapak demi setapak namun pasti menuju ke arah kemajuan.

Setelah presiden Soekarno turun, secara otomatis rezim orde lama juga terhenti. Bersamaan dengan itu, maka lahirlah orde lain sebagai penerus perjuangan. Orde ini tak lain adalah orde baru yang dipimpin oleh presiden Suharto. Orde ini berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama, yaitu kurang lebih 32 tahun. Pada awalnya cukup demokratis, tapi itu hanya berjalan sementara saja. Banyak orang yang bersikap kritis ditangkap kemudian dipenjara. Tak jarang terjadi penculikan-penculikan terhadap sejumlah tokoh pergerakan. Bahkan seluruh gerakan mahasiswa diberangus karena dinilai mengganggu stabilitas negara. Pemberangusan itu ternyata tidak membuat mereka putus asa. Mereka terus berusaha walaupun secara diam-diam. Dan pada akhir 1990-an, ketika Indonesia mulai didera krisis, para generasi muda dari kalangan mahasiswa itu kembali melakukan berbagai gerakan menuntut pertanggung jawaban terhadap rezim orde baru. Namun, gerakan-gerakan yang mereka lakukan tidak serta-merta berhasil, baru pada tahun 1998, mereka berhasil menumbangkan penguasa orde baru yang dikenal sebagai penguasa diktator dan korup.
Walaupun demikian, sebenarnya pada masa orde baru, kalau dilihat dari segi fisik, Indonesia sangat berkembang dan maju. Di berbagai tempat -terutama di kota-kota besar- bangunan-bangunan besar dan mewah didirikan. Tapi kalau ditinjau dari segi politik, semakin menurun. Karena ‘trias politika’ sebagai lembaga-lembaga tertinggi negara, yang berfungsi hanya lembaga eksekutif saja, sementara dua lembaga lainnya, baik itu lembaga legistatif dan yudikatif kurang atau bahkan tidak berfungsi sama sekali. Kedua lembaga ini tunduk di bawah lembaga eksekutif. Keduanya tak lebih hanyalah sebagai ‘robot’ yang gerak-geriknya diatur oleh lembaga eksekutif. Demikian juga dari segi ekonomi, selama orde baru berkuasa, kurang berkembang, bahkan mengalami krisis yang berkepanjangan.
Pada tahun 1999, setelah rezim orde baru jatuh, Indonesia memulai kehidupan barunya dengan melaksanakan pemilu secara jurdil dan demokratis. Masa ini cukup dikenal sebagai "orde reformasi". Sebuah orde di mana saat itu dilakukan reformasi secara total dengan agenda-agenda yang sejak lama direncanakan.

Dalam konteks ini, kalau kita mau mengambil sedikit komparasi, kiranya ada kesamaan dengan perkembangan yang ada pada Islam. Ketika Islam baru muncul di pentas sejarah dengan Rasulullah sebagai pemimpin utamanya, kaum Muslimin ibarat anak-anak yang baru belajar untuk hidup di bawah asuhan orang tua yang bijaksana, yaitu Rasulullah Saw. Karena masih 'anak-anak', tentunya mereka perlu belajar untuk menyongsong masa depan yang cerah.
Ada suatu hal yang menarik untuk diperhatikan, bahwa saat itu, kehidupan masyarakat Muslim masih berjalan sedemikian dinamis, tidak ada belenggu-belenggu yang mengikat, setiap orang boleh untuk bersikap kritis, semua produk pemikiran atas dasar ijtihad begitu dihargai. Nabi sendiri, dengan kapasitasnya sebagai pemimpin tidak pernah merasa benar sendiri. Sebab beliau menyadari bahwa dirinya tak lebih hanyalah manusia biasa yang tidak bisa lepas dari kesalahan.

Para ahli hadis meriwayatkan berbagai peristiwa ketika terjadi perbedaan pendapat antara Nabi dan Umar. Nabi hendak menshalatkan 'Abdullah ibn Ubay, namun Umar tidak menyetujuinya. Dalam kasus ini, wahyu turun membenarkan 'Umar. Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan juga bahwa Nabi saw. pernah menangis dengan terisak-isak menyesali kesalahan pendapatnya, disertai Abu Bakar. Umar bertanya, "Apa yang menyebabkan Anda dan sahabat Anda menangis? Kalau ada sesuatu yang pantas untuk saya tangisi, saya akan menangis. Kalau tidak ada tangisan, saya akan berusaha menangis seperti tangisan Anda. Ditanya demikian, Nabi kemudian menceritakan tentang wahyu yang turun membenarkan Umar. Lebih lanjut, Nabi berkata, "Seandainya azab turun, tidak akan ada yang selamat kecuali Umar ibn Khaththab." ( Pengantar Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Taufik Adnan Amal ‘Islam dan Tantangan Modernitas’ )
Riwayat di atas, merupakan justifikasi bahwa Nabi tidak pernah memonopoli kebenaran, beliau begitu demokratis, pendapat orang lain tetap beliau hormati sebagai sebuah ijtihad, tidak lantas seenaknya sendiri menyalahkan ini dan itu. Kondisi ini terus berlangsung selama kehidupan beliau hingga berakhirnya masa al-Khulafa' al-Rasyidin. Periode ini kita sebut dengan 'orde lama' Islam.
Adapun 'orde baru' Islam itu berlangsung sejak munculnya dinasti Umawiyyah, yang kemudian dilanjutkan oleh dinasti-dinasti lain setelahnya. Pada masa ini -sebagaimana di zaman Suharto- Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik itu di bidang dakwah, ilmu, pemerintahan, kesenian dan bidang-bidang lain. Tapi ada sesuatu yang kurang, yaitu bahwa pada masa itu kemajuan yang sudah sejak lama diraih oleh Islam, terutama dalam hal-hal yang menyangkut agama, pada akhirnya dianggap sudah final.
Hal itu terbukti ketika pada akhir abad pertengahan, mayoritas ulama pada masa itu telah berhasil membangun sebuah kesepakatan bahwa semua problem keagamaan yang esensial telah dibahas secara tuntas, tanpa ada satupun yang tertinggal, sehingga mereka kemudian berpandangan bahwa pelaksanaan segala bentuk ijtihad (inovasi) tidak diperbolehkan lagi. Sebab hal itu ditakutkan akan mengganggu stabilitas ajaran Islam. Namun, implikasi dari hal tersebut, pada kenyataanya, telah mempersempit ruang gerak berbagai usaha untuk memikirkan masa depan Islam kembali. Periode ini kita sebut dengan 'Orde Baru' Islam.

Di akhir masa 'orde baru' ini, Islam dilanda 'krisis'. Dikatakan krisis, karena saat itulah kemunduran Islam semakin tampak. Akan tapi ternyata para pemikir muda Islam tidak begitu berani kalau harus berhadapan dengan status quo. Mereka hanya memanfaatkan waktu luang untuk introspeksi diri, mengembangkan potensi diri dengan mendirikan kelompok-kelompok kecil. Pada akhirnya, di kala krisis sudah sedemikian parah, lahirlah seorang tokoh Muslim terkenal (dari Spanyol), yaitu Ibn Rusydi. Dialah orangnya yang telah mempelopori perjuangan dalam membongkar hegemoni ulama klasik. Dengan kecerdasannya, dia berani 'melawan' orang sekaliber Imam al-Ghazali yang sudah dianggap sebagai Hujjatul al-Islam serta dijadikan inspirasi, kiblat dan referensi pemikiran oleh mayoritas umat Islam hingga dewasa ini. Dengan perjuangannya yang gigih, Ibnu Rusydi telah berhasil membuka kembali 'kran' ijtihad (inovasi) yang sudah 'ditutup'. Bahkan dia juga dikenal dalam sejarah sebagai seorang filosuf Arab terbesar yang mampu membangun Eropa dan menghantarkan dunia Barat ke 'pintu gerbang' Renaissance, karena kemahirannya dalam memberikan komentar dan penjelasan tentang filsafat Aristoteles. Ia juga berusaha menghidupkan kembali filsafat-filsafat para pendahulunya, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajah dan Ibnu Taufail yang telah 'dibabat habis' oleh al-Ghazali.

Meskipun Ibnu Rusydi cukup dikenal, namun ternyata tidak cukup berpengaruh terhadap perkembangan dan kemajuan Islam sendiri. Sebab masyarakat Islam ketika itu masih 'mabuk' dengan pengaruh orang-orang 'orde baru' yang sudah mengkristal. Lihat saja bagaimana pengaruh Imam madzhab yang empat (aimmah al-madzahib al-arba'ah). Belum lagi Imam al-Ghazali yang hidup dipenghujung masa 'orde baru' Islam. Karya monomentalnya, Ihya ulum al-Din (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama) telah dianggap sebagai rujukan ketiga setelah al-Qur'an dan al-Hadits. Bahkan tentang karyanya ini dikatakan bahwa 'jika semua buku Islam dihancurkan, itu tidaklah begitu rugi, kalau kitab Ihya-nya al-Ghazali dapat diselamatkan'. Tidak hanya itu, al-Ghazali juga dianggap sebagai 'Muslim terbesar setelah Nabi Muhammad' yang sampai saat ini belum ada replikanya.

Prestasi besar Ibnu Rusydi hanya dipandang sebelah mata oleh orang-orang 'orde baru'. Dia hanya banyak dikenal di Eropa. Sepanjang abad ke-12 karya-karya banyak filosuf, yang figur sentralnya adalah Ibnu Rusydi, diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa latin. Ini menimbulkan gelombang produktivitas intelektual di Eropa Barat, sehingga mempengaruhi sains, filsafat, dan juga teologi. Itu dapat kita lihat dari beberapa karya para filosuf Eropa, seperti Domica, Albertus Magnus, Thomas Aquinas, Siger, dan lainnya yang kemudian dikenal sebagai Ibnu Rusydi-nya latin. Sebagian besar dari mereka menerima Aristotelianisme dari Ibnu Rusydi. Aquinas, khususnya, menjadikannya sebagai dasar bagi sebuah sistem teologi dan metafisika yang lengkap. ( Akbar S. Ahmed ‘Posmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam’ Penerjemah: M. Sirozi, Mizan: Bandung 1993, cet. Ke-1, hal 95)

Itulah puncak krisis yang mendera Islam. Khazanah kultural dan intelektual yang sejak lama menjadi ciri khas Islam, beralih tangan ke dunia Barat. Bahkan Watt -seorang penulis Barat- pernah menulis bahwa sejak abad ke-9 banyak dari generasi muda Eropa tertarik pada puisi Arab, dan lebih tertarik pada bahasa Arab ketimbang bahasa latin.

Demi melihat kondisi semacam ini, para generasi muda yang mempunyai perhatian besar terhadap Islam, tidak tinggal diam. Mereka berontak dengan melancarkan banyak kritik terhadap orang-orang 'orde baru' Islam. Maka inilah yang disebut dengan 'orde reformasi' Islam. Sebuah orde di mana seabrek tokoh-tokoh muda Islam dilahirkan. Mereka semua hendak melakukan reformasi dalam tubuh Islam, dan hendak melaksanakan 'agenda reformasi' yang pernah dicanangkan oleh Ibnu Rusydi.

Kita masih mengenal siapa itu Rifa'ah Badawi Rufi al-Tahtawi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Qasim Amien, Mohammad Arkoun, Muhammad Abid al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zaid, Hasan Hanafi dan sederet cendekiawan-cendekiawan Muslim lainnya. Mereka adalah kaum reformis Islam yang merasa tidak puas dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang 'orde baru' Islam.

Sekarang timbul pertanyaan, kenapa sampai saat ini umat Islam tidak maju-maju? Jawabannya gampang saja. Karena umat Islam saat ini belum siap untuk melakukan reformasi. Mereka belum memiliki modal berupa potensi yang mumpuni. Sebab ketika masa 'orde baru' Islam, kebebasan mereka dalam melakukan inovasi terlalu dibatasi dan dipersempit, bahkan dikebiri dengan ditutupnya pintu ijtihad. Sehingga mereka tidak bisa berbuat banyak, kecuali hanya ber-taqlid kepada orang-orang 'orde baru'. Maka ketika ‘orde reformasi’ itu muncul, umat Islam tidak bisa berbuat apa-apa, mereka tidak memiliki pondasi yang kuat, mereka bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Karena dalam keadaan bingung, tidak ada jalan lain kecuali diam saja. Kalaupun berbuat, -seperti yang sudah menjadi trend masyarakat Indonesia saat ini- mungkin hanya niru-niru saja.

Dan yang sangat menyedihkan adalah, bahwa saat ini, di tengah zaman 'orde reformasi' Islam, ternyata masih banyak juga orang-orang 'orde baru' yang berkeliaran. Mereka secara terang-terangan menunjukkan eksistensinya sebagai orang-orang yang masih mempunyai otoritas dalam memonopoli kebenaran. Sehingga kalau ada orang yang tidak sepaham dengan mereka, dianggap keluar dari mainstream, yaitu Islam.
 
posted by Roland Gunawan at 10:21 PM | Permalink | 0 comments
Sunday, February 05, 2006
Jinayah al-Syafi'i


Belum lama ini, Nasr Hamid Abu Zaid mengarang sebuah buku berjudul : al-Imam al-Syâfi`î Wa Ta'sîsi al-Îdiyulûjiyyah al-Wasathiyyah. Sebagaimana karyanya yang lain, buku ini juga sangat kontroversial di kalangan umat Islam. Sebelum itu juga ada buku lain berjudul al-`Audah Ilâ al-Qur'ân. Muhammad Arkoun juga pernah mengarang sebuah buku Târîkhiyyah al-Fikr al-`Arabî al-Islâmî. Buku-buku yang saya sebutkan tadi, semuanya mengkritik Imam Syafi`i yang cenderung mensejajarkan antara Sunnah, Ijmâ` dan Qiyâs dengan al-Qur'an. Bahkan baru-baru ini, Zakariya Ouzon mengarang sebuah buku yang tidak kalah kontroversialnya, yaitu Jinâyah al-Syâfi`î (Kriminalitas Imam Syafi`i). Sebelumnya Zakariya Ouzon juga mengarang dua buah buku lain dengan judul Jinâyah Sîbawaih dan Jinâyah al-Bukhârî. Kontan saja buku-buku yang merupakan hasil jerih payahnya ini menuai banyak protes dari umat Islam, khususnya para ulama. Malahan tak jarang tuduhan-tuduhan negatif menyelimuti penulisnya.
Ini adalah sesuatu yang perlu kita renungi, bahwa studi analitis kritis (al-dirâsah al-tahlîliyyah al-naqdiyyah) terhadap pemikiran salah satu Imam dalam rangka membedah wacana keagamaan (al-khithâb al-dînî) akan merangsang berkobarnya emosi-emosi religius kalangan masyarakat umum, tanpa memahami bahwa jalan ini bertentangan dengan gagasan-gagasan politis yang diusung oleh wacana tersebut. Makna kebangkitan agama (al-shahwah al-dîniyyah) mengharuskan pembaharuan dalam bidang pemikiran keagamaan, menjadikannya sesuai dengan tuntutan-tuntutan zaman, menjadikannya mampu memberikan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan besar yang nampak masih menjadi sentral perhatian manusia Muslim dalam kenyataannya di satu sisi, dan dalam hubungan kenyataan ini dengan dunia di sekitarnya dari sisi lain, dunia yang tak lagi merupakan pulau-pulau dan komunitas-komunitas terpisah, akan tetapi kalau dilihat dari perkembangan media-media komunikasi dan transformasi informasi, tak lebih hanya sekedar "kampung kecil." Kita tidak mungkin memperbaharui pemikiran keagamaan dengan tanpa mengkaji "tradisi" pemikiran ini secara analitis dan kritis, melewati batas-batas studi tradisional (al-dirâsah al-taqlîdiyyah) yang hanya cukup mengulang-ulang pemikiran-pemikiran tradisi setelah direduksi dan diringkas sedemikian rupa, sehingga ia kehilangan kedinamisan dan kematangannya, untuk kemudian menjadi epistema yang statis dan membeku. Ini adalah problem umat Islam masa kini.
Sehubungan dengan buku Jinâyah al-Syâfi`î, buku ini ditulis sebagai ekspresi keprihatinan mendalam terhadap realitas umat Islam yang "raganya" hidup di masa kini, akan tetapi jiwa dan pikirannya ternyata masih hidup "di masa lalu." Melihat judulnya, sepintas kita akan dapat mereka-reka kandungan buku tersebut, tentu saja adalah kritikan terhadap Imam Syafi`i dalam hubungannya Kitabullah (al-Qur'an), Sunnah Rasulullah, umat Islam, Ba`dl al-Ahkam al-Fiqhiyyah (beberapa hukum fikih), serta "masa lalu" dan "masa kini." Banyak kalangan yang memprotes terbitnya buku ini, bahkan ada yang melarangnya. Pelarangan dan protes terhadap buku ini muncul, sebagaimana dijelaskan oleh pengarangnya sendiri, yaitu Zakariya Ouzon, dari dua prinsip dasar yang bermuara pada apa yang dianggap sebagai "perlakuan tidak baik" (al-isâ'ah) —dengan kata jinayah (kriminal)— terhadap simbol-simbol umat Islam (rumûz al-ummah al-islâmiyyah) di satu sisi, dan upaya "penghakiman" dan "penghinaan" terhadap orang yang sudah meninggal (al-mautâ) pada sisi yang lain. Berkenaan dengan hal pertama, Zakariya Ouzon mengatakan bahwa sebenarnya ia sangat tidak suka "memeriksa" atau "menggali" kuburan-kuburan dan berbicara mengenai orang-orang yang sudah meninggal yang dihormatinya. Biarlah mereka damai hidup di sana.
Memang tidak bisa dipungkiri, setiap kita akan mati, panjang atau pendek umur kita. Hanya saja problem yang sebenarnya adalah bahwa kita, pada abad kedua puluh satu ini, masih dikuasai oleh berbagai perkataan, pendapat, penilaian, fatwa dan ijtihad manusia-manusia —sekali lagi saya katakan manusia-manusia (unâs), bukan para rasul atau para nabi (al-rusul wa al-anbiyâ')— yang hidup di abad-abad yang lalu. Saat ini kita benar-benar tidak mempunyai pandangan, pemikiran atau gagasan guna menyelesaikan problem-problem kontemporer dan merumuskan masa depan kita tanpa terlepas dari perkataan-perkataan orang-orang masa lalu yang kita jadikan sebagai standar, pertimbangan dan referensi utama. Misalnya saja, bagaimana mungkin perempuan sama dengan keledai dan anjing? Maka akan dijawab, "Seperti inilah yang disebutkan dalam Shahîh al-Bukhârî." Bagaimana "al-Hikmah" dalam al-Qur'an menjadi Sunnah Rasul Saw.? Maka akan dijawab, "Ini adalah pendapat Imam Syafi`i."
Itulah kondisi kita saat ini. Kita sama sekali tidak berani berteriak, "Kita adalah orang-orang hidup, jangan sampai dikontrol dan dikuasai oleh orang-orang yang sudah meninggal." Kalau kita menemukan orang yang berani melakukan kritik terhadap para ulama masa lalu, katakanlah kepada Imam Syafi'i misalnya, secara serta merta kita akan menganggapnya sebagai kafir, berkhianat dan perlakuan tidak baik terhadap agama. Sebab orang-orang seperti Imam Syafi`i, Imam Hambali, Imam Bukhari dan Imam Muslim adalah simbol-simbol agama, yang dalam pandangan kita tak ubahnya seperti "berhala-berhala" dan manusia-manusia agung, di mana kita selalu bersembunyi di balik mereka, dan bersama mereka kita menutup-nutupi kebodohan berikut ketidakmampuan kita dalam melakukan reformasi dan perubahan serta dalam menghadapi kenyataan hidup yang sedemikian kerasnya.
Lebih parah lagi, kita sering mengikat-ngikat pendapat dan perbuatan orang-orang terdahulu dengan kerelaan dan kemurkaan Tuhan. Dengan kata lain, siapa saja yang mengakui kebenarannya, maka baginya adalah pahala berupa surga. Sebaliknya, siapa saja yang tidak sependapat atau mengkritisinya, maka ia telah berbuat dosa, tidak ada ganjaran lain yang lebih setimpal melainkan neraka. Bukankah para khalifah, para Imam atau siapa saja dari ulama-ulama masa lalu adalah manusia yang menunaikan haknya dalam berfikir dan berijtihad, di mana mereka meninggalkan sebuah tradisi dan sudah menjadi hak kita untuk berfikir dan berijtihad di dalamnya, sebagaimana mereka juga berfikir dan berijtihad? Apakah sikap devensif yang diambil oleh kaum Muslimin, khususnya para ulama saat ini yang anti analisa dan kritik terhadap pemikiran Imam Syafi`i, sebenarnya adalah pembelaan terhadap Imam Syafi`i sendiri yang telah berhasil merumuskan proyek pemikirannya pada abad kedua Hijriah, atau hanya sekedar pembelaan terhadap "taqlîd" yang sengaja dilindungi atas nama Imam Syafi`i, dengan segenap apa yang tergambar dalam "nurani keislaman" dari nilai ilmiah dan pemikiran? Pertanyaan ini tidak akan saya jawab dalam tulisan ini, silahkah pembaca mencari sendiri jawabannya dengan melakukan analisa mendalam terhadap sikap-sikap kaum Muslimin, atau para ulama khususnya, terhadap pemikiran dan gagasan para pendahulu (al-salaf al-shâlih).
 
posted by Roland Gunawan at 2:31 PM | Permalink | 0 comments
Catatan Untuk Para Mustasyhid, Teroris dan Muntahir

Beberapa hari yang lalu saya pernah menulis di milis ini tentang mencari makna lain di balik Hari Raya Kurban. Tulisan ini kemudian ditanggapi oleh Kak Guntur. Saya ucapkan terima kasih kepada Kak Guntur Romli atas tanggapannya terhadap tulisan saya yang amat sederhana. Saya ingin menyatakan bahwa tulisan saya yang sederhana itu hanya merupakan refleksi keprihatinan saya melihat aksi-aksi "sia-sia" yang terjadi akhir-akhir ini.
Dalam al-Qur'an ada sebuah ayat yang sering dijadikan sebagai justifikasi terhadap aksi-aksi Teror (irhab) atau istisyhad atau intihar yang belakangan menghantui dunia.Ayat itu berbunyi "Wa a`iddu ma istatha`tum min quwwah wa ribath al-khail turhibuna bihi." Dalam ayat ini ada dua yang bias digunakan untuk irhab (aksi teror), pertama adalah al-quwwah (kekuatan). Kedua adalah ribath al-khail, ribath di sini artinya (penguatan), sedangkan al-khail adalah khuyala' (kesombongan, atau unjuk kekuatan). Lalu mana yang harus kita pilih? Kita tidak perlu pusing memikirkan mana yang harus dipilih. Sebab lanjutan ayat tersebut dengan jelas menyatakan "turhibuna bihi," bukan "biha" atau "bihima". kalau "biha" pasti menunjuk pada "al-quwwah", kalau "bihima" pasti menunjuk pada "al-quwwah dan ribath al-khail", tapi bukan ini rupanya yang dimaksudkan oleh al-Qur'an, tapi "bihi", yang menunjuk hanya pada "ribath al-khail" atau "unjuk kekuatan", bukan "kekuatan" secara langsung yang akibatnya nanti hanya pertumpahan darah, tapi hanya unjuk kekuatan atau "al-khail atau al-khuyala'. Dalam sebuah hadits "al-khuyala'" memang dilarang oleh nabi, tapi itu tergantung pada konteksnya. Pernah dalam salah satu perang, seorang tentara Islam ada yang berlagak atau membusungkan dada karena jumlahnya memang melebihi jumlah musuh, melihat ini Nabi langsung berkata : "Sungguh, kalau tidak dalam keadaan seperti ini (perang), sikap seperti ini tidak boleh (dilarang)."
Dari awal sampai akhir hayatnya, Nabi dan para shahabat selalu berbuat demikian, artinya hanya melakukan teror (menakut-nakuti) dengan unjuk kekuatan, selagi kekuatan yang dimiliki berada di atas kekuatan musuh. Ketika pertama kali berdakwa, Nabi melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Dan para pengikutnya pun, yang kala itu hanya berjumlah sedikit, pada saat melakukan ibadah, mereja juga sembunyi-bunyi, dan Nabi sendiri nampaknya khawatir para pengikutnya akan menerima penindasan dari kaum kafir Quraisy. Tapi ketika Umar masuk Islam, di mana kita tahu bahwa Umar merupakan orang paling ditakuti dan paling berpengaruh di kalangan orang-orang Quraisy, dakwah dilakukan secara terang-terangan. Para pengikut Nabi berjalan mengelilingi Ka'bah di bawah pimpinan Umar dengan pedang terhunus di tangan yang diacungkan tinggi-tinggi ke atas. Umar berteriak :"Ayo siapa yang berani mengganggu kaum Muslimin akan berhadapan dengan saya." Teriakan ini didengar oleh kaum kafir Quraisy, maka mereka, dari para tuan atau majikan hingga budak-budak berbondong-bondong keluar ingin tahu apa yang terjadi di Ka'bah. Ketika melihat Umar mengangkat pedang yang diikuti oleh kaum Muslimin, sekujur tubuh mereka tiba-tiba menjadi gemetar, nyali mereka kendor. Bahkan banyak para budak kemudian masuk Islam, sebenarnya mereka telah lama berniat masuk Islam, tapi karena takut kepada para majikan, terpaksa niat itu ditunda. Yang menarik, Umar sama sekali tidak melalukan penindasan, ia hanya memberi peringatan saja, ia tidak menumpahkan darah, sebab ia tahu hal itu bertentangan dengan Islam sebagai agama kedamaian bagi semua alam. Ketika melihat para musuh takut dan menyerah, masalahnya kemudian menjadi beres, tidak ada pembunuhan. Para musuh dibiarkan saja menjalankan aktifitasnya sehari-hari asalkan tidak mengganggu kaum Muslimin yang ingin beribadah di Ka`bah. Juga dalam berbagai perang, yang pertama kali dilakukan adalah "pamer atau unjuk kekuatan", kalau musuh takut atau menyerah, sesesailah sudah. Tapi kalau melawan, mereka juga melawan, masak mau mati konyol. Kaum Muslimin kalau ditindas, mereka melawan secara jantan, tidak pengecut.
Demikian juga pada waktu "FATHU MAKKAH", Kaum Muslimin hanya mengepung kota Makkah. Ketika itu, dengan sangat cerdas Nabi menyusun siasat, beliau hanya menyuruh tiga kelompok, di mana setiap kelompok terdiri dari sepuluh orang, untuk menyalakan obor, setiap kelompok disuruh menyalakan satu obor. Kemudian mereka disuruh berdiri untuk menampakkan diri secara berjejer dengan mengangkat obor tinggi-tinggi. Hal ini dilihat oleh para tentara kafir, mereka kemudian berfikir "berarti setiap obor terdiri dari sepuluh orang." Dan Nabi tahu apa yang ada di benak para tentara kafir ketika itu. Lalu setelah itu Nabi menyuruh setiap orang selain dari ketiga kelompok tadi untuk menyalakan obor, jadi setiap orang memegang satu obor.Kemudian mereka disuruh berjejer mengelilingi kota Makkah, tidak untuk menampakkan diri, tapi hanya menampakkan obor. Ketika para tentara kafir melihat banyak sekali obor mengelilingi kota Makkah, mereka berfikir lagi "kalau setiap obor terdiri dari sepuluh orang, berarti dengan obor yang hampir ribuan ini, jumlah tentara kaum Muslimin bisa mencapai ratusan ribu." Kontan saja, mereka kemudian takut, keberanian mereka lenyap begitu saja, mereka menyerah. Kemudian diutuslah Abu Sufyan untuk mengadap Nabi guna meminta damai. Apa tanggapan Nabi, beliau menerima dengan tangan terbuka, bahkan beliau berkata : "Barang siapa yang memasuki kota Makkah, maka ia akan selamat." Coba lihat, tidak ada pertumpahan darah, semuanya berjalan seperti tidak terjadi apa-apa. Jadi yang dilakukan adalah menteror (irhab) atau menakut-nakuti dengan hanya "unjuk kekuatan." Pada saat itulah, Tuhan kemudian berfirman : "Hari ini aku sempurnakan bagimu agamamu....". Diawali dengan kedamaian, diakhiri dengan kedamaian.
Kalau melihat hal di atas, kita akan menjadi prihatin menyaksikan oleh kaum Mustasyhid, teroris, atau Muntahir, yang mereka tunjukkan bukanlah sikap jantan, tapi sikap pengecut, beraninya hanya sembunyi-sembunyi. Islam sangat benci sikap pengecut. Apalagi tujuan mereka tidak murni demi agama, akan tetapi, sebagaimana kata Arkoun, ada niatan atau tujuan duniawi, yaitu tujuan menguasai, menghegemoni. Kalau merujuk pada teorinya Ary Ginanjar Agustian, sebenarnya, kehendak ingin menguasai atau menghegemoni, merupakan implementasi dari sifat Tuhan yaitu "al-Muhaimin" yang ada di dalam hati setiap manusia, jadi ini wajar. Tapi ingat, sifat Tuhan bukan hanya "al-Muhaimin" akan tetapi juga "al-Salam", "al-Rahman", al-Rahim", dan masih banyak lagi. Jadi harus "berfikir melingkar", jangan hanya melihat atau mengutamakan satu sifat saja, semua sifat Tuhan perlu dipertimbangkan. Kalau hanya satu aspek saja yang dilihat, maka dunia akan kacau.
Maka sekali lagi saya katakan, para Mustasyhid atau teroris atau Muntahir, cara mereka salah. Kehendak ingin menguasai atau menghegemoni harus didasari dengan banyak pertimbangan. Malah saya ingin bertanya "seandainya saat ini yang menguasai dunia adalah umat Islam, apakah kita bisa menjamin bahwa mereka tidak akan berbuat seperti yang dilakukan Barat saat ini?
Berkaca pada sejarah Nabi yang saya paparkan di atas, "teror" dengan cara "unjuk kekuatan" memerlukan kekuatan umat Islam dalam segala aspek, baik intelektualitas, teknologi dan lain-lain. Untuk itu harus berani bersaing secara sportif, secara jantan, bukan dengan bersikap pengecut. Kalau umat Islam sudah maju dalam segala bidang, mereka tidak perlu lagi melakukan teror, dengan melihat kekuatannya saja, orang lain akan segan. Sebenarnya inilah yang diharapkan oleh al-Qur'an, bangun dulu kekuatan itu, baru tunjukkan, artinya harus kuat dulu, sehingga kita tidak mejadi orang-orang pengecut....
Satu hal yang perlu dicatat, bahwa Nabi diutus bukan untuk orang Islam, tapi untuk orang-orang kafir agar mereka sadar. Makanya Nabi tidak pernah membenci orang-orang kafir. Kalau boleh digambarkan, Nabi ibarat tukang mebel. Tukang mebel biasanya mempunyai dua gudang. Gudang pertama untuk bahan-bahan mentah, gudang kedua untuk barang-barang yang sudah jadi (sudah diukir sedemikian rupa). Adakah tukang mebel membakar gudang yang berisi bahan-bahan mentah? Tidak ada, malah dijaga agar tidak dimakan rayap atau kehujanan. Sama juga, bagi Nabi, orang-orang kafir ibarat bahan-bahan mentah, sedangkan kaum Muslimin adalah barang-barang yang sudah jadi. Makanya Nabi tidak pernah membenci orang-orang kafir, atau ada kehendak untuk memusnahkannya. Sebab orang-orang kafir adalah obyek dakwah beliau. Jadi kalau dimusnahkan, lalu ke mana dakwah beliau akan disampaikan? Perang terhadap orang-orang kafir dilakukan hanya untuk membela diri saja, karena mereka mengganggu, tapi itu dilakukan secara jantan, berhadap-hadapan, tidak pengecut seperti kaum Mustasyhid, teroris atau Muntahir.........
Catatan dari Kiyahi Khos Afkar NU
 
posted by Roland Gunawan at 1:25 PM | Permalink | 0 comments

"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"