**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Monday, March 27, 2006
Karikatur Rasulullah dan Kebebasan

Pendahuluan
Kenapa kita membutuhkan kebebasan? Begitu pentingkah kebebasan buat kita? Tidak dapat dipungkiri bahwa kita — manusia— diciptakan sebagai makhluk yang bebas, bebas dari segala macam ikatan. Manusia ketika lahir sama sekali tidak menggunakan apa-apa, baju, hiasan dan segala bentuk pakaian lainnya. Kebebasan adalah anugerah Tuhan bagi manusia sebagaimana air dan udara, semua manusia sama dalam kebebasan. Kebebasan dibutuhkan karena memungkinkan kita untuk memperoleh apa yang kita inginkan. Kebebasan akan melindungi kita dari pemborosan, perspektif tunggal, penyimpangan dan kesalahan-kesalahan penerapan yang merupakan tempat-tempat bahaya di mana segala macam klaim bisa saja tergelincir selama tidak ada kebebasan yang bisa mengungkap dan memperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut. Kebebasan dapat mengaktifasi akal untuk sampai pada keputusan-keputusan yang benar, tanpa kebebasan segala bentuk khurafat akan semakin meraja lela, para penguasa diktator akan semakin berbuat sewanang-wenang. Mungkin kita masih ingat ketika putra `Amru bin `Ash memukul salah satu dari penduduk Mesir. Peristiwa ini dilaporkan ke khalifah Umar bin Khatthab, kemudian khalifah berkata: "Kenapa kalian memperbudak manusia, sementara kalian tahu bahwa semua manusia dilahirkan dalam keadaan bebas?"

Itulah manusia, manusia selalu bebas dalam bertindak, bebas berpendapat, bebas berfikir, bahkan berfikir dalam hal akidah pun juga boleh, Islam tidak diturunkan untuk memaksa dan mengekang manusia. Ketika mengutus Nabi, Tuhan berkata padanya: "Wahai Muhammad, serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang baik, debatlah mereka dengan cara yang lebih halus." Tuhan tidak mengutus Rasulullah dengan tentara untuk menjaga dakwahnya, atau fanatisme untuk memelihara syari`atnya.

Kalau demikian, lalu bagaimana dengan karikatur Rasulullah seperti yang dimuat dalam Jyllands Posten, salah satu koran Denmark, apakah itu juga termasuk dalam kerangka kebebasan? Adakah agama melarang menggambar Rasulullah? Mari kita bahas sama-sama.

Karikatur Rasulullah
Pada prinsipnya setiap gambar asalnya adalah mubah atau boleh. Menghina atau tidak, itu soal lain. Memang ada sebuah hadis yang melarang untuk menggambar, hadis itu berbunyi: "al-mushawwirun fi al-nar," "Orang-orang yang menggambar tempatnya di neraka." Oleh sebagian orang hadis ini digunakan untuk mengharamkan semua jenis gambar. Sebab, kata "al-shurah" dalam bahasa Arab mempunyai makna yang banyak, bisa lukisan, photo atau bentuk, dalam artian seperti patung atau hasil pahatan lainnya. Akan tetapi siapakah yang dimaksud dengan "al-mushawwirun fi al-nar" itu? Jelas, kalau hadis ini hanya ditelan mentah-mentah, akibatnya akan sangat fatal sekali. Segala jenis gambar atau lukisan yang merupakan hasil kreasi manusia akan menjadi tidak boleh, sebab, dengan bukti hadis tadi, agama telah melarang. Maka, sebelum melangkah lebih jauh membahas gambar Rasulullah, alangkah lebih baiknya kalau kita membahas masalah ini.

Maksud dari "al-mushawwirun fi al-nar" dalam hadis di atas adalah orang-orang yang berkeyakinan bahwa Tuhan mempunyai bentuk atau gambaran (shurah), walaupun dalam hati, lalu mereka menyembahnya. Misalkan orang-orang yang berkeyakinan bahwa Tuhan sama seperti sapi betina (al-baqarah) lalu mereka mensucikannya. Atau orang-orang yang berkeyakinan bahwa Tuhan sama seperti matahari, lalu mereka mengganggap matahari adalah Tuhan. Atau orang-orang yang berkeyakinan bahwa Tuhan sama seperti bintang, bulan, ular atau makhluk-makhluk-Nya yang lain. Membuat gambar atau patung dengan tujuan untuk disembah, dalam kaca mata agama, jelas hukumnya haram. Orang-orang yang melakukan itu akan dimasukkan ke neraka. Mereka lupa bahwa Tuhan adalah "laisa kamitslihi syai'un." Tetapi kalau orang menggambar dimaksudkan untuk tujuan keindahan sebagai kreasi seni, itu tidak apa-apa. Makanya hadis Nabi yang menyatakan bahwa sebuah rumah yang di dalamnya terdapat patung tidak akan dimasuki para Malaikat, jangan dimaknai secara sederhana. Patung atau gambar dalam sebuah rumah yang disembah sebagai Tuhan, rumah inilah yang tidak akan dimasuki para Malaikat. Jadi ketidakbolehan gambar atau patung jika dimaksudkan untuk ibadah. Namun kalau hanya sekedar hiasan agar rumah nampak lebih indah, agama tidak melarangnya, bahkan akan mengundang para Malaikat untuk mengunjungi rumah tersebut. Sebab Tuhan itu indah dan menyukai keindahan. (Baca: "Mata Yakunu al-Mushawwirun fi al-Nar?")

Untuk selanjutnya, mengenai gambar Rasulullah Saw., hingga saat ini kita belum menemukan teks yang secara tegas melarang gambar Nabi. Motif dilarangnya gambar Nabi adalah takut disembah oleh umat Islam, selain itu tidak ada. Maka, sepanjang tidak ada unsur penghinaan, kita boleh menggambar Nabi. Katakanlah seorang pelukis, dengan kecintaannya yang begitu mendalam kepada Nabi Saw., bisa saja dia mengambar Nabi dengan segala macam keindahan. Makanya ada ungkapan dari seorang Sufi: "Seandainya kita menyaksikan keelokan Nabi Yusuf, maka kita akan tahu penderitaan yang dialami oleh Nabi Ya`kub." Ada juga ungkapan lain, "Seandainya Nabi Yusuf hidup pada masa Nabi Muhammad, maka keindahan Yusuf akan redup karena kalah oleh keindahan Nabi Muhammad." Jadi dengan kecintaannya kepada Nabi, seseorang pelukis bisa melakukan imajinasi membayangkan keindahan Nabi untuk kemudian dituangkan dalam bentuk gambar indah, sebab kita lihat banyak hadis yang menggambarkan diri Nabi, rambutnya, wajahnya, tangannya, cara berjalannya, cara memandangnya dan lain sebagainya...

Dan menyangkut gambar-gambar penghinaan terhadap Nabi, di mana gambar-gambar tersebut mula-mula dimuat oleh koran Jyllands-Posten, edisi 30 September 2005, terbitan Denmark, yang kemudian disiarkan kembali oleh sejumlah suratkabar Eropa baru-baru ini, tak ayal hal ini memicu kemarahan masyarakat Islam seluruh dunia. Sebab seperti dimaklumi, tradisi masyarakat Islam memang melarang pembuatan gambar Nabi Muhammad, apalagi kalau sampai menghina.

Siapapun, kalau orang yang dianggap simbol agamanya dihina, pasti akan marah. Kita tidak keberatan dengan gambar apapun, tetapi tentu saja gambar-gambar yang elegan dan layak. Karena gambar adalah bagian dari seni, dan kita bebas dalam berseni, bebas dalam berkreasi, asalkan tidak menyinggung perasaan orang lain. Maka adalah hal wajar jika umat Islam marah ketika Nabi-nya dihina. Marah dalam artian tidak merusak, sepanjang masih dalam taraf kewajaran.

Sebenarnya, kita tidak usah terlalu risau dengan gambar-gambar yang dikatakan menghina Nabi, menghina Islam, biarlah Tuhan yang membelanya, Ka'bah yang terbuat dari batu saja Tuhan mau membela, apalagi Nabi Muhammad yang kita tahu adalah manusia. Lebih tinggi mana derajat batu dengan manusia? Apalagi kita sendiri tidak pernah marah ketika orang Barat menggambar Nabi Isa As., bukankah dia adalah Nabi kita juga? Kita harus bersikap adil, Tuhan saja berfirman: "La nufarriqu baina ahadin min rusulihi...," Tuhan tidak membeda-bedakan para utusan-Nya. Jika kita marah melihat gambar-gambar Nabi Muhammad, kenapa kita tidak marah ketika melihat gambar Nabi Isa yang dibuat oleh orang Barat, sedang kalau dilihat, Nabi Isa patungnya telanjang bulat, sama sekali tidak pakai baju, bahkan —maaf— celana dalam pun tidak pakai, bermata biru, ada juga yang bermata coklat, disalib lagi, padahal al-Qur'an jelas-jelas mengatakan bahwa Nabi Isa tidak pernah disalib. Demi melihat gambar-gambar Nabi Muhammad, apakah patung Nabi Isa yang dipampang di Gereja, di jalan-jalan, atau bahkan film-film yang menafikan kesuciaannya sebagai utusan Tuhan, bukankah ini juga salah satu bentuk penghinaan terhadap Nabi Isa yang kita anggap sebagai Nabi suci dalam Islam, bukankah ini juga menghina Islam?

Kalau kita melihat Rasulullah sendiri, beliau dalam menyikapi orang-orang yang menghinanya, selalu mengedepankan akhlak yang luhur. Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa ada seorang lelaki buta, yang istrinya senantiasa mencela dan menjelek-jelekkan Nabi. Lelaki itu telah berusaha melarang dan memperingatkan istrinya. Sampai pada suatu malam, (seperti biasanya) istrinya itu mulai lagi mencela dan menjelek-jelekkan Nabi. Karena mungkin sudah dianggap keterlaluan, lelaki itu kemudian mengambil kampak dan langsung dia tebaskan ke perut istrinya sehingga membuat istrinya mati. Pada keesokan harinya, turun pemberitahuan dari Allah kepada Rasulullah yang menjelaskan kejadian tersebut. Lantas (hari itu juga) Beliau Saw. mengumpulkan kaum Muslimin dan bersabda: "Dengan menyebut asma Allah, aku minta orang yang melakukannya, yang sesungguhnya tindakannya itu adalah hakku; mohon ia berdiri."Lelaki buta itu kemudian berdiri dan berjalan dengan meraba-raba sampai ia turun di hadapan Rasulullah Saw.

Sebagian riwayat menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan "hakku" dalam hadis di atas, adalah hanya hak Rasulullah yang bisa memberi hukuman pada si pencela itu, bukan haknya tiap Muslim. (Baca: Karikatur Rasulullah)

Bahkan pernah suatu saat Rasulullah datang ke suatu daerah untuk berdakwah, tetapi orang-orang di daerah itu malah menolaknya, bahkan melemparinya dengan batu. Lalu bagaimana sikap Rasul? Ternyata beliau tidak marah, malah berdo'a: "Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku, sesungguhnya mereka tiada mengetahui." Inilah sikap Rasulullah Saw., beliau senantiasa sabar dan penyantun.

Lalu Kita Harus Bagaimana?
Bagaimanapun, kita semua sepakat dengan kebebasan pers, kebebasan berekspresi, kebebasan berfikir, kebebasan berpendapat, kebebasan berkreasi dan berseni. Namun pada saat yang sama kita tidak sepakat dengan penghinaan terhadap agama manapun. Apa yang dilakukan oleh Jyllands Posten, koran Denmark, yang telah menyebarkan karikatur-karikatur yang menghina Rasulullah Saw. sehingga mengobarkan kemarahan kaum Muslimin, jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan. Tetapi, dalam menyikapi hal ini kita harus mengutamakan kebijaksanaan, sehingga nantinya kita tidak salah dalam mengambil tindakan.

Pertama, kita jangan lagi mengulangi stereotipe; mengulangi klise bahwa Barat, dalam hal ini Amerika, selamanya akan memusuhi Islam. Ini saya kira adalah sebuah kesalahan. Padahal yang menyebarkan karikatur itu adalah salah satu koran Denmark, Jyllands Posten, dan beberapa media di Eropa. Antara Barat dan Eropa itu berbeda. Anehnya, banyak orang menganggap hal ini sebagai salah satu bagian dari benturan Barat dan Islam yang tak akan kunjung usai. Membandingkan antara terma "Barat" dan "Islam" juga tidak benar. "Islam" adalah agama, sedangkan "Barat" adalah aliansi ekonomi dan politik tujuh negara yaitu Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Kanada, Prancis, Italia dan Inggris. (baca: Mohammed Arkoun: "Qadlaya fi Naqd al-`Aql al-Dini" atau "al-Islam, Auruba, al-Gharb"). Kita lihat masyarakat Barat itu bermacam-macam, ada Kristen, Yahudi, Islam dan lain-lain. Sedangkan masyarakat Islam juga bermacam-macam, tidak satu. Jadi, kalau kita menyimpulkan masing-masing seolah-olah bertentangan, itu salah. Tidak mungkin misalnya negara Barat seperti Amerika mengusir warga aslinya hanya karena beragama Islam. Sebaliknya, tidak mungkin Islam menolak seseorang yang mau mengikuti ajarannya hanya karena berkewarganegaraan Amerika. Ini perlu dipahami.

Kedua, tidak disangkal lagi bahwa reaksi keras akan berdampak negatif bagi kita sendiri. Banyak orang akan menganggap bahwa kita, umat Islam, adalah bangsa-bangsa yang liar, tidak mengenal peradaban. Reaksi-reaksi emosional seperti menghacurkan gedung-gedung kedutaan Denmark, di samping merupakan hal yang tidak dapat diterima, juga akan mencerminkan bahwa kita adalah umat yang tidak dewasa. Lebih jauh lagi, ini akan semakin memperbesar jurang permusuhan dan membawa konsekuensi buruk terhadap hubungan kita dengan masyarakat dunia. Kita tidak boleh menghukum suatu bangsa atau negara hanya karena kesalahan beberapa orang, kita tahu bahwa yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah Jyllands Posten, salah satu media di Eropa. Kalau kita men-generalisasi kesalahan, maka dengan ini kita hanya akan memperbanyak daftar musuh. Kita harus ingat bahwa kaum Muslimin juga terdapat di negara-negara Eropa dan Amerika, bahkan di Prancis, agama Islam merupakan agama kedua terbesar; lebih besar daripada Protestan. Makanya tidak bijak rasanya kalau kita menimpakan kesalahan pada seluruh masyarakat Eropa dan Barat.

Kita sudah bertindak terlalu jauh, sehingga melampaui batas-batas kewajaran. Dalam salah satu wawancara dengan JIL, Goenawan Mohamad menceritakan tentang restoran milik orang Islam di Singapura atau Filipina yang menulis bahwa “warga Denmark tidak diterima!” Tetapi bagaimana dengan warga Denmark yang Muslim? Bukankah di sana juga banyak yang Muslim? Karena itu, adalah kesalahan besar kalau kita menggebyah-uyah negeri-negeri Barat atau Eropa bertanggungjawab atas karikatur itu. Kalau pemerintah Denmark mendukung publikasi karikatur itu, juga salah, apalagi pemerintah-pemerintah lain. Tapi sebagaimana diberitakan, Menteri Luar Negeri Inggris menghargai pers Inggris yang tidak memuat karikatur itu.

Di samping itu, beberapa koran Eropa juga tak berminat memuat karikatur itu. Kita lihat misalnya The Age di Australia, yang tidak mau memuat, karena karikatur itu tidak layak. Malah, pemerintah Amerika Serikat —yang kita anggap sebagai Barat, musuh bebuyutan Islam— menyusul reaksi luas ummat Islam di seluruh dunia terhadap publikasi gambar yang menghina Nabi, pada akhirnya juga ikut bersuara. Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat secara terpisah mengeluarkan pernyataan kecaman terhadap aksi publikasi yang melukai hati umat Islam itu.

Apalagi, pemerintah Denmark sendiri tidak bertanggung jawab atas terbitnya karikatur itu. Oleh karenanya, mengapa kita harus merusak kedutaan Denmark? Kita juga harus berempati pada kaum Muslimin Denmark. Lebih dari itu, tak semua warga Denmark setuju dengan karikatur itu. Justru, reaksi-reaksi yang berlebihan itu akan menyebabkan kehidupan umat Islam di Eropa menjadi tambah repot.

Ketiga, menyangkut kerukunan antar agama, jika kita menolak orang lain menghina keyakinan kita, maka sudah seharusnya kalau kita juga menghormati keyakinan orang lain. Memusuhi gereja seperti sering terjadi di negara-negara yang mayoritas penduduknya adalah kaum Muslimin, merupakan sesuatu yang tidak relevan pada saat sekarang. Ini jelas-jelas melanggar kesucian agama lain. Apa artinya kita membuat semacam huru-hara memusuhi gereja dengan alasan tidak diizinkan? Apakah hak beribadah membutuhkan izin yang diberikan manusia ke manusia yang lain? Bukankah ini jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap kesucian agama lain? Demikian juga, kalau kita marah pada Jyllands Posten yang telah menyebarkan gambar-gambar penghinaan terhadap Rasulullah, maka apa artinya kita menerbitkan buku-buku yang tidak kalah sengitnya menghina agama lain?

Salah seorang penulis Mesir, Rif`at Fikri Sa`id, menceritakan pengalamannya ketika mengunjungi Pameran Buku Internasional (International Books Fair) di Mesir pada bulan yang lalu. Di beberapa stand Pemeran dia menemukan puluhan bahkan ratusan buku yang berisi penghinaan terhadap agama Kristen yang dipamerkan secara terang-terangan, buku-buku yang secara sengaja ditulis untuk menyerang agama Kristen dengan menuduhnya sebagai agama kesyirikan dan paganisme. Bahkan terdapat CD yang dibagikan secara cuma-cuma yang memuat puluhan buku seperti "Limadza Kassaru al-Shalib?", "al-Ilah Alladzi La Wujuda Lahu", "al-Nashraniyyah Min al-Wahid Ila al-Muta`addid", "Haruni am Dawudi al-Jinsi", "al-Jins fi al-`Ahd al-Yahudî al-Qadim", "al-Kanisah wa al-Inhiraf", "Ummah Bila Shalib", "al-`Aqa`id al-Watsaniyyah fi al-Diyanah al-Nashraniyyah", dan beberapa buku lain.

Namun yang mengherankan, penerbitan buku-buku tersebut disetujui oleh negara. Ini sangat kontras dengan kehidupan di Mesir sehari-hari. Kalau dilihat, Mesir nampak damai, antara kaum Muslimin dan umat Kristiani terjadi toleransi yang sangat tinggi, terjalin solidaritas yang begitu kuat. Kita sering melihat Masjid berhadap-hadapan atau berdampingan dengan gereja. Kita bahkan hampir tidak bisa membedakan mana yang Muslim atau Kristen. Di Mesir banyak kaum Muslimah pakai jilbab, tapi banyak juga yang tidak pakai jilbab. Para perempuan Kristen juga banyak yang pakai jilbab. Jadi dapat disimpulkan bahwa penggunaan jilbab bukan murni semata-mata karena agama, akan tetapi karena jilbab merupakan pakaian tradisional yang dipakai secara turun-temurun. Makanya siapapun boleh menggunakan jilbab, perempuan Muslimah atau Kristen. Tapi kenapa masih ada saja orang yang berusaha memutus tali pengikat yang sudah sejak lama terjalin itu dengan menyebarkan buku-buku yang antipatif terhadap agama-agama lain. Tidak hanya di Mesir, di Indonesia pun kita sering melihat buku-buku yang berisi penghinaan terhadap Kristen dan agama-agama lainnya.

Jika kita menolak orang lain berbuat buruk terhadap agama kita, kenapa kita mesti menghantam keyakinan orang lain yang hidup dengan dan di tengah-tengah kita? Sebelum melemparkan tuduhan terhadap orang lain, kita harus yakin terlebih dahulu bahwa kita terbebas dari tuduhan yang sama. Inilah sebenarnya makna dari hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi: "Berbahagialah bagi orang yang disibukkan oleh aibnya sendiri sehingga ia melupakan aib orang lain." Kalau hadis ini kita tarik kepada konteks yang lebih luas, bukan sebatas hubungan manusia dengan manusia, tapi menyangkut hubungan antar umat beragama, maka hadis itu mestinya akan berbunyi: "Berbahagialah bagi para pengikut suatu agama yang disibukkan dengan aib-aibnya sendiri sehingga mereka melupakan aib-aib para pengikut agama lain." Itulah sebabnya kenapa umat Islam tidak maju-maju, karena selalu saja sibuk mencari-cari kesalahan orang lain, tidak mau mengoreksi diri.

Penutup
Untuk mengakhiri tulisan sederhana ini, saya mengajak semuanya untuk melakukan introspeksi diri. Seperti yang telah saya katakan di atas, sebelum menuding-nuding orang, terlebih dahulu kita harus yakin bahwa kita harus terbebas dari tuduhan yang sama. Tidakkah kita pernah menghina Nabi? Bukankah kita mengatakan bahwa Nabi adalah Ummi, tidak bisa membaca dan menulis? Bukankah ini juga termasuk penghinaan? Bagaimana mungkin seorang Nabi semulia Rasulullah Saw. kita katakan tidak bisa membaca dan menulis, atau buta huruf. Bukankah ini sama halnya dengan menganggap bahwa Rasulullah bodoh. Padahal jelas-jelas Tuhan berfirman: "Wa `allamaka ma lam takun ta`lam," "Dan Dia telah mengajarkan kamu, wahai Muhammad, apa yang tidak kamu ketahui." Kata "ma" di sini berarti "sesuatu", Tuhan tidak menjelaskan "sesuatu" apa yang diajarkan kepada Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian, "sesuatu" dalam ayat tersebut bersifat umum, sesuatu apapun. Kepada Nabi Adam As. Tuhan telah mengajarkan seluruh nama, ini terlihat firman-Nya: "Wa`allama Adam al-asma'a kullaha." Kalau kepada Nabi Adam saja Tuhan mengajarkan seluruh nama, maka sudah sepantasnya kalau Nabi Muhammad Saw., sebagai Nabi terakhir, diajarkan apa-apa yang pernah diajarkan kepada para nabi sebelumnya. Kita tahu antara Nabi Adam dan Nabi Muhammad terdapat nabi-nabi lain. Coba bayangkan, betapa luasnya pengetahuan Nabi Muhammad kalau begitu, apalagi hanya membaca dan menulis.

Banyak orang berdalih bahwa Nabi Muhammad dikatakan tidak membaca dan menulis, untuk menunjukkan kemukjizatan al-Qur'an, bahwa al-Qur'an benar-benar berasal dari Tuhan. Artinya, dengan ketidakbisa-an Nabi membaca dan menulis, al-Qur'an benar-benar terlepas dari campur tangan beliau. Sebab kalau Nabi bisa membaca dan menulis, ada kemungkinan besar beliau membaca atau mempelajari ajaran-ajaran Yahudi atau Kristen, lalu beliau menulis sebuah kitab atau "al-Qur'an" untuk kemudian dikatakan berasal dari Tuhan. Sehingga ada kemungkinan al-Qur'an terpengaruh oleh tradisi agama-agama sebelumnya. Ini saya kira alasan yang dibuat-buat. Untuk meyakinkan bahwa al-Qur'an adalah wahyu dan mukjizat dari Tuhan, hemat saya tidak perlu mengatakan bahwa Rasulullah tidak bisa membaca dan menulis alias buta huruf. Terdapat kaidah klasik yang menyatakan, "al-dlararu la yuzâlu bi al-dlarari," "Bahaya tidak dihilangkan dengan bahaya yang lain." Kalau kita menolak bahaya —sebagaimana anggapan sebagian orientalis— bahwa al-Qur'an dipengaruhi oleh tradisi agama-agama sebelumnya, Kristen dan Yahudi misalnya, kita tidak boleh melawannya dengan bahaya lain, yaitu mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. tidak bisa membaca dan menulis atau buta huruf. Coba lihat, betapa kita sudah menghina Nabi kita sendiri. Ini lebih berbahaya dari anggapan bahwa al-Qur'an dipengaruhi oleh tradisi Kristen dan Yahudi. Makanya jangan marah kalau ada orang menghina Nabi, sebab ternyata kita juga menghina dengan mengatakan Nabi buta huruf alias bodoh. Kita saja sebagai umatnya menghina apalagi orang lain. Adalah wajar kalau kemudian Nabi —yang kita anggap sebagai orang yang buta huruf atau bodoh— dihina orang. Sudah menjadi kaidah umum, bahwa orang bodoh akan dicemooh.

Nampaknya kita memang perlu menafsir ulang kata "ummi". Kata "al-umm" sendiri bisa berarti "al-jam`u" atau kumpulan. Dengan makna seperti ini, maka, Nabi yang Ummi berarti Nabi yang Jâmi` atau sempurna, sempurna karena menguasai ilmu-ilmu dari Tuhan (Wa `allamaka ma lam takun ta`lam) sehingga dia kemudian menjadi mashdar al-din (sumber agama). Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa seorang shahabat bertanya kepada Rasulullah: "Ya Rasulallah, siapakah yang harus saya diutamakan dalam pergaulan? Rasulullah menjawab: "Ummuka." "Kemudian siapa? Lalu dijawab: "Ummuka." Kemudian siapa? Rasulullah menjawab jawab: "Ummuka." Saya kira tidak mungkin Rasulullah menjawab "ummuka" sampai tiga kali dengan makna yang sama. Sekali saja sudah cukup. Kata "ummuka" yang diucapkan sampai tiga kali tentunya mempunyai makna yang berbeda-beda. Yang dimaksud dengan "ummuka" yang pertama adalah Nabi sendiri, sebab beliau adalah sumber agama. Kita mengetahui Islam, selain dari al-Qur'an, juga dari hadis-hadis Nabi. Makanya Rasulullah bersabda: "Tidaklah seorang di antara kalian beriman kecuali menjadikan Aku sebagai orang yang paling dicintai." "Ummuka" kedua yang dimaksud adalah para ulama', sebab mereka adalah pewaris para Nabi (al-`ulama' waratsah al-anbiya'). Nah, baru "ummuka" ketiga itu yang dimaksudkan adalah ibu, karena ibu adalah orang yang telah melahirkan kita.

Namun yang jelas, karikatur yang dimuat pada koran Denmark memang benar-benar penghinaan, karena, apapun alasannya, telah menanamkan bibit-bibit permusuhan. Menurut saya, itu adalah bentuk kebebasan pers yang tak layak pakai, karena telah menyebar kebencian. Bagaimana mungkin seorang Nabi digambarkan seperti sedemikian hina. Jadi, kita boleh dan memang layak marah pada karikatur itu, tapi juga harus bersikap adil kepada orang-orang yang tidak terlibat. Bukankah ini sesuai dengan prinsip al-Qur'an?

Dan karikatur itu, bagaimanapun menghinanya, kiranya tidak akan membahayakan atau menggoyahkan umat Islam di Eropa. Perlu diketahui, saat ini kita tengah menyaksikan pertumbuhan kaum Muslimin yang sedemikian pesatnya. Oleh karena itu kita jangan terlalu khawatir bahwa Islam akan hancur. Kira-kira 25 tahun lagi —seperti dikatakan oleh Goenawan Mohamad— umat Islam paling sedikit akan menjadi 30 persen penduduk dunia, atau bahkan lebih.

Salam Perdamaian.....
 
posted by Roland Gunawan at 5:47 AM | Permalink | 0 comments
Bid`ah dan Kesesatan (?)

Beberapa waktu yang lalu, untuk kesekian kalinya suasana di Kairo memanas lagi, terjadi hal-hal yang tak terduga. Dulu pernah terjadi pemboikotan terhadap beberapa pemikir Indonesia yang datang ke Kairo dengan alasan merusak Syariat. Sekarang ini lain lagi, ada oknum yang capek-capek datang ke Kairo hanya untuk menyesatkan, mengkafirkan kelompok ini dan itu. Kiranya ini merupakan sesuatu yang berlebihan. Sebab sebagai seorang manusia dia telah berani merampas otoritas Tuhan dalam hal penilaian terhadap tingkah laku hamba-hamba-Nya. Apa saja yang tidak sesuai dengan keyakinannya dianggap bid`ah, kafir dan sesat.

Fenomena pengkafiran dan penyesatan adalah hal biasa. Di Mesir bahkan di Indonesia pun serta di negara-negara Islam lainnya sering terjadi. Kalau dibiarkan, dan tidak ada upaya menghentikannya, ini saya kira akan membawa konsekuensi negatif, yaitu raibnya nilai-nilai toleransi, keterbukaan, demokrasi dan kebersamaan. Ketika nilai-nilai ini sudah hilang, kita tidak perlu heran kalau nantinya agama akan jadi menakutkan. Dikit-dikit kafir, dikit-dikit bid`ah, sesat. Kullu bid`ah dlalalah, wa kullu dlalalah fi al-nar.

Kita kadang salah memaknai bid`ah, apa saja yang tidak ada di zaman rasulullah dianggap bid`ah yang menyesatkan. Sebenarnya bid`ah yang dimaksud —meminjam istilah Shahib al-Samahah— adalah "taqyidu ma athlaqahullah wa rasuluhu, wa ithlaq ma qayyadahullah wa rasuluhu", me-muqayyad-kan apa yang di-muthlaq-kan oleh Allah dan rasul-Nya, dan me-muthlaq-kan apa yang di-muqayyad-kan oleh Allah dan rasul-Nya. Contoh sederhananya adalah shalat ashar. Shalat ashar muqayyad dari segi rakaat dan waktunya. Kalau kita tambah atau mengurangi rakaatnya dan mengerjakannya kapan saja semau kita, ini baru bid`ah yang harus dijauhi. Sebaliknya dua kalimat syahadat sebagai pondasi awal agama adalah muthlaq. Artinya tidak terikat oleh zaman dan tempat. Kapan saja kita mau, kita boleh membacanya. Sama halnya dengan dzikir (menyebut nama Tuhan). Di mana saja kita boleh berdzikir, dengan model atau bentuk apapun. Mau sambil jingkrak-jingkrak, joget (goyang inul), pakai musik, berdiri, tidur-tiduran, di bioskop, di cafe, di masjid, di rumah, di kuburan, boleh saja, tidak ada larangan. Tuhan hanya menyuruh kita untuk "udzkuru Allah katsiran".

Dan ingat, bid`ah ada dua, baik (hasanah) dan jelek (sayyi'ah). Bid`ah yang baik contohnya seperti anggur yang dibuat khamr. Perubahan anggur menjadi khamr disebut bid`ah. Dan ternyata banyak orang yang gemar dan meminumnya. Menurut syari`at, khamr kalau diminum hukumnya haram, karenanya disebut bid`ah sayyi'ah. Hingga saat ini masih banyak orang doyan, ini namanya sunnah sayyi'ah. Demikian halnya dengan anggur yang dibuat kismis. Seperti yang pertama, perubahan anggur menjadi kismis juga disebut bid`ah. Menurut banyak orang, kismis enak kalau dibuat camilan. Sedangkan menurut syari`at kismis tidak apa-apa kalau dimakan. Maka jadilah bid`ah hasanah. Sampai sekarang masih banyak orang yang menggemarinya, ini namanya sunnah hasanah. Jadi, jangan seenaknya mengatakan setiap bid`ah adalah sesat, dan setiap kesesatan di neraka.

Lalu bagaimana dengan liberalisme dan pluralisme? Kadang-kadang orang hanya terpaku melihat liberalisme sebagai produk Barat. Tanpa upaya menyelami makna atau memaknainya secara lain, liberalisme hanya dipahami sebagai sebuah paham yang sama sekali jauh dari nilai-nilai agama. Saya lebih suka memahami liberalisme sebagai sebuah paham yang berusaha melepaskan diri dari ikatan-ikatan represif terhadap hak-hak manusia sebagai makhluk yang berakal. Artinya bahwa, ada semacam belenggu yang membuat manusia tidak lagi bisa menfungsikan akalnya secara maksimal. Di sini saya tidak akan mengatakan agama sebagai sebuah belenggu. Saya selalu yakin bahwa Tuhan menurunkan agama yang tidak menyalahi kodrat manusia. Tuhan tahu bahwa manusia adalah makhluk berakal. Jadi wajar jika agama yang diturunkan pun adalah agama rasional. Agama menjadi tidak rasional disebabkan ulah segelintir orang yang sebenarnya tidak mampu menyelami maknanya secara rasional. Kemudian mereka membuat batasan-batasan yang diyakini sebagai kebenaran. Karena yakin akan kebenaran yang dimiliki, mereka hendak mempertahankannya dan menyebarkannya secara luas. Dengan kata lain, semua orang harus sama atau mengikuti. Orang-orang yang tidak sejalan harus disingkirkan. Ada benarnya juga pendapat Mohammed Arkoun bahwa ketika orang sudah yakin akan kebenaran (al-haqiqah) yang ada pada dirinya, kebenaran tersebut kemudian disucikan (al-taqdis). Untuk mempertahankan kesucian kebenaran dan menyebarkannya, kekerasan (al-`unf) adalah jalan yang tepat. Kekerasan tidak harus identik dengan pukulan fisik, bisa saja dengan bentuk lain, misalnya dengan cara takfir (pengkafiran) dan tadhlil (penyesatan). Inilah yang membuat agama tidak rasional. Makanya liberalisme harus dimunculkan sebagai upaya menempatkan agama pada posisinya semula sekaligus upaya menggugah manusia agar sadar akan fungsinya sebagai khalifatullah di muka bumi yang diberikan keistimewaan berupa akal.

Demikian halnya dengan pluralisme. Saya berani mengatakan bahwa semua agama sama-sama benar. Dalam artian bahwa semua agama benar ketika mengajarkan kebajikan. Tidak ada agama yang mengajarkan pemeluknya untuk mencuri, memperkosa. Saya di sini berbicara tentang realitas di dunia, tentang akhirat biarlah menjadi urusan Tuhan. Yang penting sekarang kita beribadah dan beramal sebanyak mungkin dengan ikhlas untuk-Nya. Kita beribadah dan beramal kebajikan bukan karena mengharap surga atau takut pada neraka. Ini bukan tujuan kita, tujuan kita adalah Tuhan. Tak soal, apa yang akan diperbuat Tuhan pada kita di akhirat. Bisa saja orang masuk surga tapi Tuhan tidak merahmatinya. Apalah artinya surga tanpa rahmat dari-Nya. Bisa saja orang masuk neraka tapi mendapat rahmat dari Tuhan. Rumah mewah bukanlah jaminan kebahagian. Lihat Nabi Ibrahim ketika dibakar hidup-hidup. Adakah beliau kepanasan? Justeru di dalam api itulah beliau menemukan kedamaian. Tuhan berkata : Wahai api, jadilah kau dingin, dan jadilah kau kedamaian atas Ibrahim.

Terakhir, nampaknya kita memang perlu memahami kembali posisi kita dalam kehidupan. Apakah kita sebagai Tuhan (Ilah), sekutu Tuhan (syarik) atau hamba (`abd). Banyak orang tidak memahami ini. Kalau posisi kita sebagai Tuhan, kita berhak mengkafirkan dan menyesatkan siapa saja. Sebab yang namanya Tuhan tahu segalanya, tahu segala apa yang bersemayam di hati hamba-hamba-Nya. Dalam al-Qur'an ditegaskan "Wa in tubdu ma fi anfusikum aw tukhfuhu yuhasibkum bihillah", jika kalian tampakkan (laksanakan) apa yang ada dalam diri kalian (atau apa yang terdetik di hati kalian), Allah akan menilainya." Demikian juga kalau posisi kita sebagai sekutu Tuhan. Tapi, ketika berposisi sebagai hamba, kita hanya dituntut untuk patuh atas perintah-Nya. Shalat, puasa, zakat dan haji, ini adalah tugas kita, biarkan Dia yang menilai. Sebab ini menyangkut hubungan Tuhan dengan hamba-Nya. Hubungan Tuhan dengan hamba-Nya adalah hubungan yang mulia dan sangat khusus, yang lain jangan ada yang ikut campur.

Sebagai penutup, saya hanya ingin bertanya pada siapa saja yang doyan menyesatkan dan mengkafirkan: Apakah anda yakin bahwa anda adalah yang paling benar dan akan masuk surga? Kalau anda merasa yakin, apa bukti yang dapat dijadikan standar ke-palingbenaran anda? Adakah Tuhan pernah memberitahu bahwa anda akan masuk surga? Jika anda tidak yakin atau masih ragu-ragu, berarti ada pihak lain yang merasa paling benar seperti anda atau malah melebihi ke-paling benaran anda. Dan anda juga bisa masuk neraka.

Saya berani mengatakan bahwa Tuhan bisa saja memasukkan orang Kristen dan Yahudi ke surga, pelacur saja bisa masuk surga. Apakah anda berani mengatakan Tuhan tidak adil kalau memasukkan orang Kristen, Yahudi dan pelacur ke dalam surga? Bukankah Tuhan Maha Mutlak yang bisa berbuat apa saja tanpa batas menurut kehendak-Nya? Nabi Muhammad memang nabi terakhir, tapi ini tidak berarti menafikan kemampuan Tuhan untuk mengutus nabi lain setelah beliau.

 
posted by Roland Gunawan at 5:41 AM | Permalink | 0 comments
Sunnatullah

Sejak semula manusia diciptakan sebagai makhluk yang merdeka. Hal itu terbukti dengan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh manusia pertama dan pasangannya, yaitu Adam a.s. dan Hawa di Surga.

Pelanggaran yang dilakukan mereka itu karena di surga ada kemerdekaan dan tersedianya pilihan-pilihan yang ditentukan oleh individu masing-masing. Sehingga kedunya bebas melakukan apa saja sesuai dengan kehendak hati. Maka pelanggaran yang dilakukan oleh Adam a.s. dan Hawa merupakan cerminan dari prinsip kemerdekaan.

Seandainya Allah Swt. tidak memberikan kemerdekaan, kiranya Adam a.s. dan Hawa mustahil melanggar larangan Tuhan. Sebab makhluk yang gerakannya ditentukan segalanya itu tak ubahnya seperti robot, dan tidak mungkin akan melahirkan kebaikan. Dari itu, kemerdekaan adalah syarat mutlak adanya kebaikan, sehingga kesalahan Adam a.s. dan Hawa yang dilakukan pertama kali tersebut bukanlah merupakan sebuah dosa, mengapa? Karena dari situ dapat diketahui bahwa adanya kebenaran bermula dari sebuah kesalahan.

Maka kokohlah pepatah yang mengatakan, "Orang yang tidak pernah bersalah, dipastikan ia tidak pernah berbuat". Dalam konteks Adam a.s. dan Hawa, pelajaran yang dapat dipetik dari pelanggaran keduanya ialah prinsip kemerdekaan. Di mana manusia bebas berikhtiar, berbuat menurut kecenderungan dan kehendak setiap individu.

Dalam hukum kausalitas disebutkan bahwa, adanya sebab pasti melahirkan sebuah akibat. Dengan prinsip ini tentunya setiap apa yang dilakukan manusia akan menyebabkan terjadinya sesuatu sebagai konsekwensi dari perbuatannya. Inilah sunnatullah. Sunnatullah yang saya maksud adalah sama dengan hukum kausalitas. Saya sebutkan sebuah contah misalnya, ada seseorang yang terjangkit virus aids karena sering kali melakukan hubungan seksual dengan banyak wanita. Saya katakan ini sunnatullah. Karena penyakit aids yang menimpanya itu adalah akibat dari perbuatannya. Itu terjadi bukan karena Tuhan benci, marah, dan murka. Tuhan tidak mungkin pernah marah, benci, dan murka, kenapa? Karena Dia tidak berjantung, tidak berhati, dan tidak berperasaan. Tuhan terlepas dari segala macam perasaan. Yang ada pada diri Tuhan hanya cinta dan keadilan. Tuhan hanya memberi dan memberi saja pada setiap makhluknya. Tidak peduli apakah makhluknya itu manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Tidak peduli apakah manusia itu jelek, bagus, baik, buruk, pencoleng, pencopet, perampok, semua diberi-Nya. Lantas kenapa terjadi kesengsaraan, penderitaan? Seperti yang saya katakan di atas, itu adalah bagian dari sunnatullah. Segala apa yang terjadi dunia ini dari kebaikan dan keburukan adalah sunnatullah.

Ada banyak masalah yang kalau dikaitkan dengan konsep sunnatullah dalam tulisan ini terkesan membingungkan. Saya sebutkan sebagian saja, misalnya, kenapa dua yang sama-sama giat belajar, itu hasilnya berbeda. Ada yang sukses, ada yang tidak sukses? Kenapa ada orang nampaknya belajar, dengan susah payah tidak mendapatkan hasil yang optimal? Bagaimana pula dengan orang yang nampaknya santai-santai saja tapi sukses? Anda tahu kenapa hal itu bisa terjadi? Mari kita bahas masalah ini satu-satu agar clear.

Masalah yang pertama adalah kenapa dua orang yang sama-sama belajar itu membuahkan hasil yang berbeda, ada yang sukses, ada yang tidak. Kita tahu bahwa setiap orang mempunyai motif yang berbeda-berbeda. Perbedaan motif inilah yang menyebabkan adanya perbedaan hasil. Sama halnya dengan dua orang yang sama-sama mencuri ayam. Yang satu orang kaya, yang lain miskin. Kira-kira hukuman keduanya sama tidak? Yang jelas tidak. Sebab kalau hukumannya disamakan berarti tidak adil. Dan di balik ketidakadilan itu pasti ada sebab lain yang melatarbelakanginya.

Adapun halnya dengan orang yang belajar mati-matian tapi hasilnya tidak memuaskan, itu pasti ada sebabnya. Mungkin sejak kecil dia kurang terawat, baik dari segi makanan dan kesehatan. Atau mungkin juga karena pengaruh lingkungan sekitarnya, atau mungkin saja karena faktor keluarnga, misalnya kedua orang tuanya sering tengkar sehingga menyebabkan goncangan pada jiwanya. Hal-hal inilah yang kiranya dapat mempengaruhi otak dan memperlambat pertumbuhannya.

Sementara itu orang yang belajarnya tampak santai-santai saja, kenapa justru sebaliknya dia yang sukses? Kita mesti melihat faktornya dulu. Mungkin sejak kecil dia memang dirawat betul-betul, makanan, kesehatan dan pendidikannya. Bisa juga karena kasih-sayang kedua orang tuanya semuanya tercurah padanya. Hal itu juga bisa mempercepat pertumbuhan otaknya. Tak salah kiranya pepatah yang mengatakan, "Al-aqlu al-salîm fî al-jismi al-salîm". Maka jangan beralasan karena dia wali, punya indra keenam atau karena punya ilmu ladunni. Di dalam sunnatullah itu tidak dikenal istilah 'Faktor X', yang ada hanyalah faktor yang sesuai dengan rasio.

Adanya kematian juga merupakan sunnatullah. Ada yang mati sejak dilahirkan, ada yang mati pada waktu masih muda, dan ada juga yang mati ketika umur sudah tua. Di balik semua itu pasti ada sebabnya. Yang mati ketika dilahirkan itu bisa saja dikarenakan faktor makanan yang masuk ke dalam perut sang ibu. Mungkin makanan itu tidak bergizi atau mengandung banyak virus yang menular ke bayi tersebut ketika masih dalam rahim.

Atau sangat dimungkinkan 'pintu rahim' sang ibu terlalu sempit. Bayi dalam rahim itu kan masih lemah. Maka, tatkala dia mau keluar, lalu bagian sensitif tubuhnya ada yang terjepit, katakanlah perut misalnya. Bayi itu kan pasti sangat kaget. Karena kekagetan itulah dia langsung mati. Jadi jangan lantas seenaknya saja berapologi karena takdir Tuhan, atau karena memang sudah nasibnya begitu.

Lalu bagaimana dengan konsep surga-neraka, apakah itu juga merupakan sunnatullah? Padahal konsep itu ada dalam al Qur'an. Saya katakan bahwa konsep surga dan neraka yang terdapat dalam al Qur'an tak lebih hanyalah bagian dari simbol sunnatullah tentang adanya akibat baik dan buruk. Bahwa barang siapa yang amalannya baik di dunia, maka sebagai hasilnya adalah surga yang berarti 'kebaikan', dan barang siapa yang amalannya buruk, maka sebagai akibatnya adalah neraka yang mempunyai arti 'keburukan'. Kenapa saya katakan sebagai simbol? Sebab memang ayat-ayat yang termaktub dalam al Qur'an itu adalah simbol-simbol dari firman-Nya. Al Qur'an sendiri menjelaskan bahwa semua firman Tuhan itu terjaga di Lauh al- mahfûdz dan tidak seorangpun dapat atau boleh menyentuhnya. Kanapa harus memakai simbol segala? Agar dapat lebih mudah dipahami oleh manusia. Semua konsep tentang kebaikan dan keburukan yang ada dalam al-Qur'an hanyalah perlambang dari keberadaan yang sesungguhnya.

Makanya membaca kitab suci itu janganlah berhenti pada huruf-hurufnya saja. Sebab di balik huruf-huruf itu terdapat pesan universal. Dan kita sebagai pembaca harus berusaha untuk menangkap dan memahami maksudnya, apa sebenarnya yang dikehendaki Tuhan dengan huruf sederhana itu.

Sunnatullah itu tidak hanya mencakup pada masalah itu saja. Sunnatullah itu berlaku secara universal dan mencakup segala aspek kehidupan manusia. Adanya perbedaan dalam kehidupan dunia ini juga merupakan sunnatullah. Manusia tercipta dengan penuh keragaman. Ada yang beragama Islam, Yahudi dan Kristen.

Kalau kita membaca al Qur'an, kita akan mendapati bahwa Islam itu sudah ada sejak nabi Adam. Tapi bukan sebagai agama. Islam itu dideklarasikan sebagai agama resmi itu sejak adanya nabi Muhammad SAW. Sebelum beliau, Islam hanya merupakan nilai-nilai Universal Tuhan sebagai petunjuk kebenaran. Dan manusia sebagai makhluk, oleh Tuhan telah dikaruniai kelebihan khusus berupa akal. Seperti dalam kaidah sunnatullah bahwa tabiat akal adalah berikhtilaf. Maka Islam sebagai nilai-nilai Tuhan itu ditafsirkan beragam oleh manusia. Orang-orang Israel (keturunan Ya'qub) menafsirkan Islam itu begini, para anggota gereja menafsirkannya begitu, dan orang-orang Muslim juga tidak ketinggalan dalam memberikan penafsiran berbeda. Tidak hanya itu saja, mereka juga memilih nama-nama kesukaan masing-masing terhadap hasil penafsiran mereka terhadap Islam. Keturunan Ya'qub yang sangat fanatik dengan ikatan suku Yehuda memberi nama 'Yudaisme'.

Para pengikut Isa yang tergabung dalam kelompok Messiah yahudi memberinya nama 'Kristiani' yang berasal dari 'Xristos', terjemahan Yunani untuk 'Meshicha' yang merupakan istilah Aramaik yang berarti 'yang diberi ucapan perminyakan suci'. 'Masihi' merupakan sebutan Arab untuk orang-orang Eropa yang disebut 'Xristianos'. Sementara itu nabi Muhammad nampaknya lebih suka dengan nama yang mempunyai makna cukup luas dan berarti. Maka kemudian dia memilih nama 'Islam' yang berarti 'kedamaian'. Nama tersebut diambil dari nama pertamanya sebagai jalan damai menuju ke arah kebenaran.

Adanya hari kiamat juga termasuk sunnatullah, anda tahu kenapa? Sebab bumi ini berputar. Dan perputaran bumi itu semakin lama akan menyebabkan adanya getaran-getaran dalam perutnya yang semakin lama-kelamaan akan semakin dahsyat. Nah, getaran-getaran itu yang nanti akan menyebabkan terjadinya kerapuhan pada bagian-bagian dalam bumi. Kalau sudah demikian, kita tinggal menunggu saat di mana bumi akan hancur-lebur. Saat itulah kiamat tiba. Dan di saat itu pula sunnatullah yang lain akan berlaku.
 
posted by Roland Gunawan at 5:39 AM | Permalink | 0 comments
Masa Depan Liberalisme


Sekarang ini, di tanah air kita, lagi marak-maraknya gerakan anti liberalisme. Hal ini ditandai dengan masuknya pemikiran-pemikiran Hizbu al-Tahrir di dunia pesantren. Nama-nama seperti Ulil Abshar Abdalla, Luthfi As-Syaukani, Mun`im A. Sirry, Zuhairi Misrawi, Guntur Romli dan beberapa tokoh pengusung liberalisme Islam di Indonesia adalah nama-nama yang sudah masuk “daftar hitam”, nama-nama yang bisa dikatakan harus diwaspadai. Ini merupakan fenomena menarik yang perlu mendapatkan perhatian serius. Dari sini nampak sekali betapa akan sangat mudahnya kita memotret masa depan liberalisme di Indonesia yang kita tahu sebagai negara besar dengan pluralitas masyarakatnya, atau bahkan di dunia Islam secara umum. Jelas bahwa masa depan liberalisme akan suram.

Bagaimanapun trend pemikiran liberal tidak akan menemukan sinar terang yang sebenarnya dalam suatu masyarakat atau pada suatu konteks kultural tertentu kecuali jika ia diakui oleh aliran politik yang banyak dan keterbukaan ekonomi yang gemilang. Kita tahu bahwa faktor-faktor ini pada masyarakat-masyarakat tertentu setelah kemerdekaan masih belum ada. Oleh sebab, banyak dari kaum intelektual liberal Muslim masih terpinggirkan dan sama sekali tidak membuahkan pengaruh terhadap masyarakat-masyarakatnya. Maka berbagai pemikiran, sikap dan mentalitas yang mereka miliki dan yang sedang dipublikasikan, dari segi psikologi masih mustahil, dari segi budaya masih nampak asing, dan dari segi politik masih bersifat soltisial (berubah-ubah). Saya mengakatakan bersifat soltisial khususnya ketika dikaitkan dengan generasi-generasi baru yang tumbuh dan berkembang di bawah naungan sistem-sistem satu partai setelah tahun lima puluhan atau emam puluhan (atau katakan sistem-sistem “negara – bangsa – partai”).

Sebenarnya sangat dimungkinkan bagi Barat untuk berperan sebagai mediator pembantu kalau tidak karena ejekannya terhadap urusan-urusan keislaman, ketidakpeduliannya akan nasib bangsa-bangsa ini dan penganutannya terhadap strategi-strategi yang hegemonik terhadap bangsa-bangsa lain. Saat ini kita semua menyaksikan betapa pemikiran liberal tengah menghadapi (bahkan di Eropa Barat dan Amerika Utara sebagai tempat kelahiran dan penyebarannya) banyak protes dan penentangan. Sebagaimana ia juga mengalami berbagai kekurangan dan berpalingnya banyak orang darinya, karena para pemikir dan penulis masih belum mendapatkan cara yang benar-benar jitu untuk menghilangkan kekurangan-kekurangan ini dan cara untuk melawan banyak penentangan terhadapnya. Dan sesuatu yang aneh dan paradoks adalah, pada saat liberalisme berhasil mendepak komunisme serta menguasai dunia tanpa ada yang memperselisihkannya serta menjadi arah setiap aktifitas sejarah manusia berikut setiap efektifitas dan efesiensi ekonomi, saya katakan pada saat itu juga, kita melihat terjadinya krisis dalam nalar politik liberal dan kebingungannya di hadapan “The End Of Hostory” atau The End dari macam sejarah tertentu. Sebagaimana kita menyaksikan ketidakmampuan Barat liberal untuk memecahkan problem-problem yang terpendam atau yang sempat ditangguhkan dalam waktu yang cukup lama, kemudian sekarang muncul kembali dengan sangat kuatnya. Sebenarnya, problem-problem ini sudah berhasil diredam oleh sistem-sistem totaliter – diktator, akan tetapi sekarang muncul kembali setelah liberalisme menduduki singgasana kepemimpinan dunia. (lihat misalnya masalah Yogoslavia, Armenia atau sebagian negara Uni Soviet yang sedang sekarat).

Efek-efek samping dari hal itu hingga sekarang masih ada. Dan Tidak mungkin bagi liberalisme Islam untuk terbebas dari efek-efek iklim baru yang dipenuhi ketidakjelasan dan dan kesekonyong-konyongan tersebut, suatu iklim yang dipenuhi kekacauan dan krisis hukum dan nilai-nilai dalam skala internasional. Bagaimana mungkin kita turut campur melakukan kritik nilai dan referensi-referensi legitimasi Islam pada saat di mana instrumen-instrumen kritik pemikiran kehilangan efektifitas praktisnya? Bagaimana mungkin kita melakukan itu pada saat di mana persoalan moral mempunyai signifikansi pasti, pada saat di mana kaum Muslimin berpijak di atas kebergantungan terhadap Islam yang tertutup dan dogmatis? Mereka melakukan itu supaya tidak tenggelam dalam lumpur kekacauan universal yang lebih berbahaya bagi masyarakat daripada kondisi yang merupakan warisan politik satu partai! (yaitu politik yang ada pada fase setelah kemerdekaan kira-kira selama tiga puluh tahun. Bagaimanapun, rakyat membutuhkan ketenangan dan keamanan, sebagaimana mereka butuh sebuah identitas sebagai sandaran yang bisa menjaga dan mempertahankannya.

Dikatakan demikian, kalau kita memperhatikan ritual-ritual keagamaan sistem republik Prancis misalnya, atau prilaku asosiasi-asosiasi buruh serta partai-partai politik atau birokrasi, tentunya ini semua akan memudahkan terjadinya ekspansi sosial – kultural positifitas baru bagi nalar. Semua revolusi, termasuk di dalamnya apa yang dilakukan oleh para pendiri agama-agama wahyu menggunakan simbol perubahan mendasar ini, akan tetapi tidak sampai berakibat pada terjadinya keterputusan absolut dengan masa lalu. Kembalinya masa lalu atau sebagian darinya merupakan sesuatu yang mungkin terjadi, hatta setelah terjadinya revolusi atau perubahan besar (lihat terjadinya revolusi Prancis yang merupakan revolusi paling radikal dalam sejarah. Selama abad kesembilan belas telah terjadi vitalisasi sistem kerajaan konservatif lebih dari satu kali. Padahal diharapkan atau diasumsikan sudah berakhir untuk selamanya. Lihat juga terjadinya revolusi sosialisme Arab pada masa Abdul Nashir. Diyakini hal itu sudah menjadi sekuler dan memutus hubungan dengan masa lalu, akan tetapi dengan tanpa disadari malah menghadirkan revolusi fundamentalisme Islam...)
 
posted by Roland Gunawan at 5:36 AM | Permalink | 0 comments
Syetan Besar itu Bernama Barat

Sebagai wilayah besar, Barat melakukan ekspansi dalam berbagai bidang. Ini dimaksudkan untuk menyebar-luaskan kehendak hegemoninya bersamaan dengan terbentuknya perkumpulan tujuh negara besar yang akan mengatur ekonomi dunia berikut nasibnya. Tujuh negara yang dimaksud adalah Amerika serikat, Jepang, Jerman, Kanada, Prancis, Italia dan Inggris. Dari segi geografi – politik (selain Jepang), negara-negara ini memang nampak konkordan, namun dari segi ekonomi terlibat persaingan dalam menguasai pasar dunia. Sebenarnya pemasukan Jepang ke Barat bermakna perluasan pengertian Barat, yaitu perluasan ideologis bukan geografis, sebab, seperti kita tahu, Jepang terletak di ujung Timur. Jadi sekarang, dari segi politik dan peradaban, Jepang bisa dianggap Barat. Oleh sebab itu, pengertian Barat nampak lebih ideologis, bukan geografis.

Dimasukkannya Jepang ke Barat karena faktor kekuatan teknologi, ekonomi dan perbankannya. Di sini, pada tataran formasi komando dunia, kita lihat, prioritas mutlak diberikan kepada strategi-strategi hegemoni dan kekuatan, ini tentunya didasarkan pada makna serta taruhan-taruhannya. Bahkan mereka hampir tidak peduli untuk menutupi dan menyembunyikannya atau bahkan memberikan kedok sebagai kamuflase. Sampai-sampai “aktifitas kemanusian” tak lain hanya merupakan lapisan tipis yang di baliknya tersembunyi penjualan senjata, seolah-olah merupakan hadiah yang diberikan kepada pembelinya secara langsung setelah penjualan!! Di sini kita melihat bagaimana aktifitas kemanusian hanya difungsikan sebagai strategi-strategi hegemoni dan eksploitasi. Demikian juga halnya dengan penggunaan “hak-hak manusia” oleh negara-negara besar penguasa dunia. Negara-negara ini tidak bisa menyembunyikan slogan lama yang digunakan selama terjadinya ofensi imperialisme yang menyatakan adanya misi peradaban Barat dalam mempersiapkan bangsa-bangsa biadab (liar) pada saat negara-negara besar tersebut menyerukan penghormatan terhadap demokrasi, kita lihat dari sisi lain, mendukung sistem-sistem yang justeru represif terhadap berbagai hak dan kebebasan demokrasi, bahkan yang paling sederhana sekalipun! Ini merupakan fenomena memprihatinkan di mana negara-negara besar bersekutu berikut sistem-sistem dan menejemen-menejemen birokrasinya yang aktif berdasar media-media informasi mutakhir juga sistem-sistem keuangan dan perbankannya. Semua itu pada akhirnya tunduk pada otoritas politiknya.

Setelah saya curahkan apa yang bersemayam di benak saya mengenai gambaran yang barangkali tidak fair terhadap Barat, saya merasa dituntut sedikit memperbaikinya. Sebab jika tidak, sajian saya tadi akan dipahami sebagai perkataan yang lahir dari kekolotan seorang fundamentalis! Saya tidak mengingkari adanya peradaban, perkembangan dan kemajuan. Saya bukan termasuk orang-orang yang gemar menjelek-jelekkan Barat dalam suatu kesempatan tanpa kesempatan yang lain. Tetapi saya tidak bisa menyangkal bahwa buah-buah peradaban ini tidaklah terbagi secara merata. Sebagaimana saya menolak diskursus reduktif dan antagonis media-media informasi Barat terhadap Islam dan kaum Muslimin, saya juga menolak diskursus-diskursus kaum fundamentalis Islam tentang Barat serta peradabannya. Peradaban Barat tidaklah sejelek yang mereka gambarkan, bahkan jika dicermati, akan kita dapatkan di dalamnya banyak sisi-sisi positif yang akan bermanfaat bagi laju perkembangan peradaban-peradaban manusia di muka bumi. Dari itu saya katakan, kritik-kritik yang saya lontarkan tidak bermaksud memberikan advokasi kepada kaum fundamentalis Islam, benar atau tidak, dan mengingkari setiap kapasitas positif kaum orientalis Barat.

Sebenarnya banyak negara Islam yang ingin melepaskan diri dari jeratan hegemoni Barat, meskipun pada akhirnya jarang ada yang berhasil. Salah satu contoh yang mungkin dapat dianggap cukup berhasil adalah Iran, yang kita tahu sebagai sebuah negara kecil dengan mayoritas masyarakat Syi`ah-nya. Berbagai upaya dilakukan guna terealisasinya hal itu dan mencapai puncaknya pada bulan-bulan terakhir tahun 1978 Masehi dan bulan-bulan pertama tahun 1989 Masehi, di mana dunia Syi`ah menyaksikan sebuah peristiwa yang menjadi sentral perhatian dunia. Peristiwa itu adalah revolusi yang dipimpin para ahli fikih Syi`ah dengan tokoh utama seorang al-fakih al-mujtahid, yaitu Ayatullah, Ruhullah al-Khumaini atau yang lebih kita kenal dengan al-Imam al-Khumaini. Menariknya, revolusi ini merupakan revolusi Syi`ah paling signifikatif sejak revolusi Imam Husen, yang berakhir dengan tragedi Karbala (tahun 675 M), kemudian revolusi kaum al-Tawwabin di bawah pimpinan Sulaiman bin Shard yang akhirnya juga ditimpa kekalahan (tahun 674 M). Kita tahu bahwa Syi`ah, khususnya sejak Imam Ja`far al-Shadiq (tahun 699 – 765 M) juga merasakan pahit dan pedihnya kegagalan, sehingga kemudian berubah menjadi kelompok sosial – keagamaan, bukan sebagai kelompok revolusioner.

Dan ketika al-Khumaini memimpin, Iran bangkit kembali mengganti kegagalan yang selama ini menyelimutinya dengan kesuksesan yang membuatnya mampu mempertahankan identitas sebagai negara merdeka dan mandiri. Sebenarnya revolusi Iran bukanlah revolusi politik semata. Tidak dapat disangkal bahwa sistem pemerintahan Syah sangat sewenang-wenang dan membawa ekonomi Iran ke arah jalan buntu, dua faktor ini termasuk permasalahan penting. Artinya, tanpa keduanya, revolusi ini tidak akan terjadi. Banyak rakyat Iran yang mengikuti para ulama (ahli fikih) hanya karena ingin terbebas dari Syah yang tunduk di bawah pengaruh Barat. Di samping itu, revolusi Iran juga dimaksudkan untuk menentang logika sekuler yang menjauhkan agama, sehingga orang-orang Iran merasa bahwa logika tersebut hadir tanpa mereka kehendaki. Berpijak pada ini, mereka kemudian menganggap Amerika Serikat sebagai syetan terbesar yang harus diperangi. Menurut mereka, kalau tidak karena dukungan Amerika Serikat, Syah tidak mungkin bertindak seenaknya. Di sini nampak bahwa Amerika merupakan faktor pertama dalam problem-problem spiritual, ekonomi dan politik di Iran. Tulisan-tulisan dinding dengan jelas menggambarkan Khumaini sebagai Musa dan Syah sebagai Fir`aun, sedangkan Amerika digambarkan sebagai berhala yang disembah oleh Fir`aun (Syah). Bagi rakyat Iran, Amerikalah yang merusak Syah, dan bahwa Khumaini merupakan pengganti alternatif dari kediktatoran Syah yang sama sekali tidak suci.

Bagi rakyat Iran, tampilnya Khumaini adalah suatu mu`jizat, bahkan di antara mereka ada yang menganggapnya sebagai al-Imam al-Gha’ib yang selama ini ditunggu-tunggu. Kontan saja penyebutan “al-Imam” kepada Khumaini membuat para Mujtahidin yang merasa mempunyai kedudukan tinggi menjadi marah, kemudian secara resmi mereka menegaskan bahwa Khumaini bukanlah al-Imam al-Gha’ib. Namun bagi jutaan rakyat Iran, Khumaini tetaplah seorang Imam hingga akhir hayatnya. Mereka percaya akan lahirnya suasana baru dengan kepemimpinan Khumaini. Upaya Khumaini memang cukup berhasil. Dengan kecerdasannya, ia tidak hanya mampu membuat rakyat Iran mempercayainya, tapi juga mampu merubah sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan yang digunakannya adalah Wilayat al-Faqih, di mana puncak kekuasaan berada di tangan ahli fikih tertinggi yang tak lain adalah Khumaini sendiri. Namun jaminan kenyamanan sistem pemerintahan Khumaini ini tidak dapat dirasakan secara merata. Kita tahu bahwa Iran adalah negara Islam, tapi apakah Islam yang benar di sana? Di manapun, yang namanya kelompok mayoritas pasti lebih berkuasa, lebih berhak mendapatkan kenyamanan. Di Iran yang menjadi kelompok mayoritas adalah Syi`ah. Jadi merekalah yang paling banyak mendapatkan fasilitas. Sedangkan kelompok minoritas, Ahl Sunnah misalnya, merasa terpinggirkan, seakan-akan berada di luar jalur Islam yang benar.

Bagaimanapun, upaya Iran dalam membebaskan diri dari cengkraman hegemoni Barat, dengan tanpa melihat hal hal-hal negatifnya, perlu kita apresiasi. Paling tidak ruh perjuangannya dapat menjadi stimulan bagi negara-negara lain, khususnya negara-negara yang di dalamnya terdapat mayoritas Muslim, agar mereka mau bangun dari tidur panjangnya untuk kemudian bangkit bersaing dengan negara-negara besar penguasa dunia. Kita melihat sendiri betapa akhir-akhir ini Iran mengalami banyak perubahan, di mana ia hidup berpijak di atas standar upaya politik dan pemikiran yang menjamin masa depan Islam dari segi praktek dan teorinya. Dan sesuatu yang sangat signifikan yang tengah terjadi sekarang adalah perbaikan pemahaman konsep atau ide kewarganegaraan dalam sebuah masyarakat dengan corak politik Islam sebagai komunitas yang memiliki serta merasakan hak-hak politik secara independen di bawah naungan sebuah sistem yang tidak menafikan keberadaan Tuhan.

 
posted by Roland Gunawan at 5:32 AM | Permalink | 0 comments
Salafiyah


………Pengalaman sejarah bangsa Arab, pengalamannya bersama peradaban kontemporer saat ini, tidak cukup hanya mencontoh model al-salaf al-shalih saja. Model ini sudah cukup bagi kita manakala sejarah itu adalah sejarah kita, manakala dunia, secara keseluruhan, berada di bagian dalam dunia kita...........(Abid Al-Jabiri)

al-Muqaddimah
Masa nabi Muhammad seringkali dijadikan sebagai patokan sejarah. Sebab, di masa itulah Islam sebagai sebuah agama muncul untuk mendobrak kemapanan berfikir masyarakat waktu itu. Kalau kita melihat masa sebelumnya, masa nabi bisa dikatakan sebagai masa khalaf (baru). Tapi, jika dibanding dengan masa setelahnya, masa nabi adalah masa salaf (yang sudah lewat).

Sebenarnya, kata salaf sendiri artinya, seperti yang banyak beredar, adalah tiga abad pertama (al-qurun al-tsalatsah al-ula) sejak lahirnya Islam, agama yang dibawa nabi Muhammad. Sumbernya bisa kita lacak melalui salah satu hadis nabi yang diriwayatkan al-syaikhani dari riwayatnya Abdullah bin Mas`ud: "Sebaik-baiknya manusia (khair al-nas) adalah di masaku (qarni), kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya……"

Dari hadis di atas, ada beberapa pertanyaan yang muncul. Apakah yang dimaksud al-qurun al-tsalatsah (tiga abad) yang oleh Rasulullah disifati dengan al-khairiyyah (terbaik), sebagaimana yang telah disebutkan secara berturut? Apakah al-khairiyyah diperuntukkan bagi seluruh kaum Muslimin (majmu` al-muslimin) yang hidup pada masa itu? Atau, apakah al-khairiyyah itu diperuntukkan bagi perorangan (al-afrad) dari kaum Muslimin?

Sebagian besar ulama' memandang bahwa, al-khairiyyah diperuntukkan bagi perorangan (al-afrad) dari kaum Muslimin, walaupun terdapat perbedaan derajat di antara mereka. Sedangkan Ibn Abdulbir (363-463 H) berpendapat bahwa, al-khairiyyah hanya diperuntukkan bagi seluruh kaum Muslimin (majmu` al-muslimin). Menurutnya, al-khairiyyah tidak untuk perorangan. Kalau untuk perorangan digunakan kata afdlal (lebih utama), yang mana di antara mereka ada yang lebih utama dari yang lain.

Barangkali, Rasulullah menyebut orang-orang yang hidup pada tiga masa itu sebagai umat terbaik (al-khairiyyah), dikarenakan masa kehidupan mereka yang sangat dekat dengan masa lahirnya kenabian dan risalah Islam. Pertama adalah masa para sahabat yang memang mendapat bimbingan secara langsung dari nabi Muhammad. Kedua adalah masa para tabi`in (pengikut para sahabat Rasul), di mana mereka memperoleh cahaya kenabian melalui para sahabat. Kemudian yang terakhir adalah masa tabi`i al-tabi`in. Di masa inilah aliran-aliran Islam lahir sebagai reaksi terhadap kenyataan sosial yang 'kurang memuaskan'.

Lamhah Tarikhiyyah li Zhuhur al-Salafiyyah
Menurut sejarah, Salafiyah muncul pertama kali di Mesir pada masa penjajahan Inggris, yaitu bertepatan dengan munculnya gerakan reformasi keagamaan (harakah al-ishlah al-dini) yang dipimpin oleh orang-orang sekaliber Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Faktor kemunculan Salafiyah sendiri sangat terkait dengan kondisi Mesir pada masa itu. Meskipun terdapat al-Azhar dengan seluruh ulamanya, gerakan keilmuan di sekitar lingkungannya, terlebih lagi di Mesir di segala penjurunya, akan tetapi, pada saat itu, juga dimarakkan dengan membludaknya berbagai macam bid`ah dan khurafat yang nampak sudah mulai berkembang dengan sangat pesat, bahkan di lingkungan al-Azhar sekalipun, yang sebagian timbul dari tasawuf. Di lingkungan al-Azhar sendiri, berbagai aktifitas keilmuan, berubah menjadi formalitas-formalitas stagnan, yang ada hanya percekcokan-percekcokan verbalistik (mumahakat lisaniyyah) dan ucapan-ucapan, yang sama sekali, tidak ada hubungannya dengan realita masyarakat. Al-Azhar bukan hanya tidak peduli dengan masyarakat, bahkan juga tidak merasa bahwa di pundaknya terdapat tanggung jawab yang besar, yaitu reformasi (al-ishlah) dan perubahan (taghyir).

Di tengah kondisi semacam ini, ada dua kelompok yang berkembang. Kelompok pertama, berkeinginan melebur dengan peradaban Barat, serta melepaskan diri dari semua ikatan, bahkan pemikiran-pemikiran keislaman. Kelompok kedua, berkeinginan untuk mereformasi kaum Muslimin, dengan mengembalikan mereka kepada Islam yang benar, yaitu Islam yang terbebas dari segala macam bid`ah dan khurafat, melepaskan Islam dari otoritas ulama al-Azhar yang lebih banyak memilih menyepi dari pada melebur bersama masyarakat, untuk kemudian diikat dengan roda kehidupan modern guna dicarikan alternatif harmonisasi simbiosis dengan peradaban pendatang (al-hadlarah al-wafidah). Kelompok kedua inilah yang dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Abdurrahman al-Kawakibi dan lain-lain. Mereka menyerukan agar dilakukan reformasi secara sungguh dan penuh kejujuran.

Mengingat bahwa setiap gerakan reformasi harus memiliki sebuah syi`ar tertentu, sehingga membuat orang tertarik untuk mengikutinya, maka syi`ar yang diangkat kemudian adalah al-salafiyyah (salafisme), yang berarti ajakan untuk menghapus berbagai noda yang telah mengotori kesucian Islam, seperti bid`ah, khurafat, mengisolasi diri dengan melakukan`uzlah dan menjauh dari kehidupan dunia. Sehingga nantinya, Islam dapat kembali kepada fitrahnya yang semula, sebagaimana yang dianut oleh al-salaf al-shalih. Jadi, tujuan dari diangkat syi`ar Salafiyah bukan untuk apa-apa, melainkan hanya untuk bisa keluar dari kungkungan bid`ah, khurafat dan khayalan-khayalan yang sudah banyak merasuk ke dalam jiwa masyarakat Islam. Lebih dari itu, agar Islam menjadi agama yang senantiasa menganjurkan untuk bekerja keras, berusaha dan berjihad, bukan hanya duduk di atas sajadah, berdo`a, kemudian tidur dengan niat bermimpi melihat cahaya kasih ilahi.

Akan tetapi, Salafiyah pada masa itu, semata-mata hanya digunakan sebagai syi`ar saja, tidak dijadikan sebagai salah satu madzhab Islam yang harus diikuti dan dianggap sebagai madzhab yang diyakini paling benar, sebagaimana yang terjadi pada masa sekarang. Jadi, sebenarnya, walaupun gerakan reformasi tersebut menggunakan Salafiyah sebagai syi`ar, itu hanya merupakan sebuah upaya untuk mendekati al-salaf al-shalih pada satu sudut padang tertentu, yaitu yang berkenaan dengan penjauhan dari segala macam bid`ah dan khurafat.

Gerakan reformasi keagamaan itulah yang agaknya telah membawa pengaruh besar bagi regulasi kata Salafiyah di tengah-tengah kultur dan sosial secara umum. Kita lihat, bagaimana kata Salafiyah sudah keluar dari batasan-batasan ilmiahnya. Bahkan, jika dicermati, sudah berkeliaran secara liar, dijadikan nama berbagai perpustakaan dan lembaga keagamaan. Di Indonesia, ada pondok pesantren yang diberi nama 'Salafiyah Syafi`iyyah'. Bahkan ada semacam pembedaan, yang satu namanya pondok salaf, sedangkan yang lain namanya pondok modern. Seolah-olah hanya pondok salaflah yang paling banyak berpijak pada manhaj al-salaf al-shalih, sementara yang pondok modern, mengikuti metode Barat.

Berbeda dengan keadaannya yang sekarang, Salafiyah pada masa lalu, pada awal kemunculannya, kerap dipandang banyak kalangan gerakan melawan penjajahan, memerangi tukang sihir, berupaya menghilangkan berbagai kebiasaan dan tradisi yang dalam kamus sosial kemasyarakatan kita kenal dengan istilah "folklore", di samping sebagai ajakan kepada ketakwaan dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ritual-ritual keagamaan. Singkatnya, Salafiyah di tengah-tengah kultur sosial pada masa lalu adalah gerakan pembaharuan, gerakan anti status quo (al-wadl`u al-qa'im).

Tidak ada sebutan paling indah, kecuali 'al-salafi', bahkan melebihi sebutan 'patriotis' (al-wathani), karena patriotisme dianggap sebagi bagian dari Salafiyah. Dengan kata lain, seorang salafi adalah seorang patriotis, bahkan lebih dari itu. Salafiyah berarti juga :kelurusan akhlak, pembaharuan dalam bidang agama, berbuat demi kelangsungan masa depan melalui ajakan untuk merujuk pada ajaran al-salaf al-shalih. Dengan makna seperti ini, Salafiyah, sebenarnya tidak hanya terlahir di abad kesembilan belas, akan tetapi, seluruh gerakan reformatif (al-harakah al-ishlahiyyah) dalam Islam yang orang-orangnya menganut aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah adalah Salafiyah.

Karena, seluruh gerakan yang mendapat inspirasi dari suatu masa tertentu dalam sejarah Islam, secara umum adalah masa al-salaf al-shalih, yang terdiri dari masa para sahabat dan al-tabi`in, secara khusus adalah masa al-Khulafa' al-Rasyidin, atau siapa saja yang mengikuti mereka, seperti Umar bin Abdul Aziz, atau para fuqaha' dan ulama agama yang mengikuti metode para sahabat. Dengan denmikian, keberpijakan pada ajaran al-salaf al-shalih merupakan sebuah makna yang diberikan bagi Salafiyah oleh siapa saja yang menjadikannya sebagai simbol norma, pemikiran atau aktifitas reformatif.

al-Salafiyyah wa al-Wahabiyyah
Ada kesamaan antara Salafiyah sebagai sebuah gerakan reformasi keagamaan dengan Wahabiyah sebagai sebuah madzhab yang oleh penganutnya dinisbatkan pada Muhammad bin Abdul Wahab. Kesamaan yang dimaksud terletak pada pemberantasan terhadap bid`ah dan khurafat, terutama sekali adalah bid`ah-bid`ah tasawuf. Melalui jembatan penghubung itulah, lambat laun, terma Salafiyah banyak beredar di kalangan para pemuka madzhab Wahabi, mengalir demikian derasnya pada jiwa mereka, pada saat mereka mulai merasa bosan dengan terma Wahabiyah yang dianggap hanya bersumber —dengan segenap keistimewaan dan kelebihannya— dari Muhammad bin Abdul Wahab. Karena itulah, mereka kemudian mengganti kata Wahabiyah dengan Salafiyah. Dengan nama baru yang diberikan pada madzhab lama mereka, diharapkan bahwa pemikiran mereka tidak hanya berhenti pada Muhammad bin Abdul Wahab saja, akan tetapi terus menjalar hingga sampai pada al-salaf al-shalih di zaman nabi. Mereka berkeyakinan bahwa segala pemikiran, metode mereka dalam memahami Islam dan penerapannya paling sesuai dengan akidahnya al-salaf al-shalih.

Demikianlah yang terjadi, bagaimana sebuah syi`ar gerakan reformasi bermetamorfosa menjadi sebuah madzhab atau aliran, yang oleh penganutnya dianggap sebagai madzhab paling benar, bahwa merekalah yang betul-tetul menerapkan Islam, sesuai dengan metode al-salaf al-shalih.

Saya kira seluruh aliran Islam yang ada saat ini, pada awalnya merupakan hanya merupakan sebuah gerakan yang mengekspresikan ketidakpuasan pada kenyataan yang ada. Akan tetapi kemudian, oleh para pengikut setelahnya, dimaknai secara sempit dan peyoratif, walaupun tidak jarang juga terjadi sebaiknya. Maksudnya, ada sebuah aliran yang semula sangat kaku dan tertutup, tapi setelah pindah tangan, aliran itu mengalami banyak mengalami pengembangan dan keterbukaan. Contohnya adalah madzhab Zhahiriyah, di mana ketika berada di tangan al-Ashfahani yang memang sebagai pendirinya, madzhab ini sangat tertutup. Namun mana kala dipegang oleh Ibn Hazm, madzhab ini kemudian dikembangkan oleh Ibn Hazm dengan melakukan ijtihad-ijtihad baru. Di mana ia memadukan antara fikih al-Zhahiri dengan sejarah.

al-Salafiyyah wa Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah
Dalam buku al-Manhaj al-Islami li Dirasah al-Tarikh wa Tafsiruh, Dr. Muhammad Rosyad Khalil, ketika menjelaskan mengenai hubungan antara Salafiyah, akal dan filsafat, menegaskan bahwa sebenarnya Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah adalah Salafiyah itu sendiri.(16) Kontras dengan itu, Dr. Muhammad Sa`id Ramadlan al-Buti mengatakan sebaliknya. Ia tidak setuju jika antara Salafiyyah di samakan dengan Ahl al-Sunna al-Jama`ah. Sebab menurutnya, bermadzhab Salafiyah adalah bid`ah. Jadi, ketika seorang Muslim mengaku bahwa ia termasuk dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah, maka ia tidak dikatakan berbuat bid`ah, sebab ia menganut sebuah kelompok yang mana Rasulullah telah menyuruh untuk bergabung di dalamnya. Hal ini diperkuat dengan hadis nabi sendiri. Sedangkan jika seorang Muslim mengaku menganut madzhab apa yang dikenal sekarang ini dengan Salafiyah, maka ia telah berbuat bid`ah. Sebab terjemahan kata al-salafiyyah, walaupun agak sama dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah, akan tetapi madzhab ini bukanlah sebuah madzhab yang telah disepakati oleh al-salaf al-shalih.

Sementara Abid al-Jabiri melihat indikasi adanya hubungan erat antara Salafiyah dan Islam sunni. Pada kenyataannya, kalau kita menengok seluruh gerakan Salafiyah yang sudah dikenal dalam sejarah Islam, melalui kaca mata peradaban yang hanya terbatas Arab Islam saja sebagai peradaban di masanya, kita akan menemukan bahwa Salafiyah merupakan ekspresi dari aktifitas pengembalian keseimbangan diri bagi rute sejarah Arab sejak munculnya Islam. Artinya, Salafiyah adalah bagian dari pengalaman sejarah Islam sunni yang ingin mengembalikan apa yang akan membuatnya bereksistensi dan berkesinambungan pada saat perkembangan internalnya mampu menghindarkannya dari kehancuran. Jadi, Salafiyah bisa dikatakan sebagai penolakan diri dari berbagai penyakit internal yang timbul dari dalam diri, di mana efektifitasnya akan sangat berfungsi ketika peradaban Arab Islam merupakan peradaban dunia di masanya, artinya tidak berdesak-desakan dan tidak terancam oleh peradaban lain.

Aswaja di Indonesia, pada sebenarnya merupakan 'jebolan' dari aliran Wahabiyah yang ada di Saudi Arabia. Sebab para tokoh yang menjadi pioner dari Aswaja, rata-rata pernah nyantri di Tanah Makkah al-Mukarramah, seperti KH. Hasyim Asy`ari. Jadi masih ada hubungan erat. Hanya saja, Aswaja yang ada di Indonesia, sudah banyak mengalami perbaikan-perbaikan yang tentunya sudah jauh berbeda dengan aliran Wahabiyah, walaupun di satu sisi memang ada kesamaan.

Ma'ziq al-Salafiyyah
Kalau kita melihat peradaban Islam saat ini, kita akan menemukan akar-akar yang banyak dan melimpah ruah. Namun sayang seribu sayang, akar-akar itu kering karena tidak ada seorangpun yang peduli untuk menyiramnya. Saat ini, kita hanya menjadi konsumen barang dan pemikiran yang lahap, sampai-sampai pemikiran turats pun habis kita konsumsi. Dalam posisi seperti ini, kita perlu membedakan antara al-ashalah (orisinilitas) dan al-salafiyyah, yang selama ini bercampur aduk sehingga mencapai titik kekaburan. Al-ashalah mempunyai konotasi positif dinamis. Al-ashalah, menurut Dr. Muhammad Syahrur, memiliki dua unsur yang dapat dipahami sesuai dengan tema yang dibahas. Kalau kita mengatakan: "bahasa Arab adalah bahasa yang orisinil (ashil)", berarti bahwa bahasa Arab mempunyai akar-akar yang terhujam dalam. Ini adalah unsur yang pertama. Kemudian, kita katakan: "bahasa Arab masih terus berkembang sampai sekarang", ini adalah unsur kedua. Kalau kita ambil perbandingan, ibarat sebuah pohon yang mempunyai akar-akar dan ranting-ranting. Akar dan ranting adalah dua unsur yang saling melengkapi. Akar pohon tertanam kuat di bumi, sedangkan rantingnya mengeluarkan buah. Dalam hal ini kita bisa mengambil sebuah contoh, misalnya, seorang ilmuan melakukan riset orisinil (bahts ashil) dalam bidang kimia, kemudian menciptakan diagram unsur-unsur dalam fisika. Kita katakan riset orisinil, artinya bahwa ilmuan tersebut telah melakukan semacam kreasi dan inovasi yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Akan tetapi, riset yang ia lakukan, tidak berangkat dari ruang hampa. Namun berdasarkan penemuan-penemuan sebelumnya dalam bidang kimia (akar-akar). Ini yang berkenaan dengan al-ashalah (orisinilitas).

Sedangkan al-salafiyyah, sebagaimana yang dipahami banyak orang saat ini, adalah ajakan untuk mengikuti jejak al-salaf (orang-orang terdahulu, tanpa peduli terhadap zaman dan tempat. Artinya bahwa, pada masa lalu, terdapat fase historis cemerlang, di mana orang-orang pada masa itu mampu menyelesaikan segala problem sosial, ekonomi dan politik, sehingga mereka bisa membangun sebuah negara yang kokoh dan diperhitungkan, bahkan mampu menerapkan keadilan. Jadi, yang dijadikan contoh patokan adalah al-salaf yang dianggap telah menjaga nalar dari berbagai kesalahan berfikir, merekalah yang telah membuka kran-kran pengetahuan kemanusiaan dengan hidayah dari Tuhan yang belum dikenal dalam sejarah manusia sebelumnya. Maka dari itu, kita harus mengikuti jejaknya, menirunya serta tidak boleh keluar dari garis-garis yang telah ditetapkan. Jika demikian, maka seorang salafi sama artinya dengan seorang muqallid (pentaklid), sebab ia tidak peduli zaman, tempat, bahkan mengabaikan sejarah dan memandulkan nalar. Seorang salafi hidup di zaman sekarang, tetapi meniru pola-pola kehidupan masa lalu. Bagaimanapun, taqlid adalah mustahil, sebab kondisi itu berbeda dengan kondisi abad dua satu. Meskipun kita berusaha untuk merujuk pada masa lalu, apa yang kita pahami tidak mungkin sama persis dengan pemahaman orang-orang di masa itu, karena yang kita lihat hanya teks sejarah saja. Makanya, seorang salafi sudah terperosok dalam faragh fikri (kehampaan pemikiran). Dengan sengaja ia berusaha meninggalkan kehidupan saat ini di tengah ketidakmampuannya untuk hidup di masa lalu, sebagaimana orang-orang di masa itu hidup. Ia tak ubahnya seperti burung gagak yang ingin meniru suara burung bulbul namun tidak mampu, kemudian ingin balik seperti sedia kala (ingin jadi burung gagak lagi), tapi malah lupa. Tinggallah ia —meminjam bahasanya Dr. Muhammad Syahrur —dalam ketidakjelasan, fala hua ghurab wala hua bulbula (bukan gagak, juga bukan bulbul). Beginilah keadaan kaum salafiyyin. Salafiyah —saat ini— sebenarnya merupakan sikap melarikan diri karena tidak mampu menghadapi tantangan abad modern. Mereka mencari sesuatu di dunia yang kosong, bukan di dunia nyata.

Untuk saat ini, di zaman yang sudah seringkali kita melihat benturan-benturan, Salafiyah tidaklah efektif untuk dijadikan sandaran alternatif. Salafiyah hanya akan cukup efektif ketika kita sedang sendirian dalam sebuah dunia, yaitu dunia kita sendiri. Akan tetapi, manakala kita sudah menjadi salah satu bagian dari semua, maka jalan satu-satunya untuk menjaga eksistensi dan kepribadian kita adalah menjalin hubungan dengan semuanya. Dalam hal ini, tentunya kita memerlukan sebuah logika, logika yang dapat memberikan pengaruh, yaitu logika kebersamaan. Akan tetapi kita harus berangkat dari posisi kita sendiri, bukan dari posisi orang lain. Logika kebersamaan yang dimaksud adalah logika peradaban kontemporer (al-hadlarah al-mu`ashirah), yang memiliki dua prinsip: rasionalisme (al-`aqlaniyyah) dan pandangan kritis (al-nazhrah al-naqdiyyah). Rasionalisme dalam bidang ekonomi, politik dan hubungan-hubungan sosial. Demikian juga berpandangan kritis terhadap kehidupan, alam, sejarah, masyarakat, pemikiran, budaya dan ideologi. Logika semacam ini tidak dapat disamakan dengan logika yang dipakai al-salaf al-shalih yang mendeskripsikan 'kota utama' (al-madinah al-fadlilah). Logika yang dipakai pada masa al-salaf al-shalih adalah: dunia hanya sekedar jembatan menuju akhirat. Inilah yang oleh al-Jabiri disebut dengan 'logika iman' (manthiq al-iman). Logika seperti ini bukan tidak berimplikasi, di mana suatu zaman hanya dipandang sebagai zaman keimanan saja, bukan zaman ilmu dan teknologi.

Memang, 'logika iman' masih relevan untuk setiap zaman dan tempat. Akan tetapi di zaman sekarang 'logika iman' itu relevan sebagai etika, pengarah norma kemanusiaan dalam berhubungan dengan Tuhannya, dengan harapan supaya mendapat keutamaan di akhirat kelak. Jadi, ajaran al-salaf al-shalih harus dipandang sebagai sebuah etika, sumber keutamaan dan ketakwaan. Adapun selain etika, kita harus mencari logika lain, melalui sistem-sistem perkembangan kehidupan, orientasi perjalanannya dan berbagai kekuatan yang ada di dalamnya.

Pengalaman sejarah di masa nabi harus dikontekstualisasikan agar nampak lebih dinamis pada saat ini, dengan menciptakan babak baru yang dapat beradaptasi dengan zaman modern sekarang ini, zaman yang selalu menuntut segala apa yang ada di dalamnya untuk bertekad bahwa, setiap hari, setiap jam, zaman adalah zamannya al-khalaf, bukan zamannya al-salaf.

al-Ikhtitam
Di akhir makalah yang sangat ringkas ini, saya hanya ingin mengatakan bahwa, ketika saya menyebutkan pandangan-pandangan kritis terhadap Salafiyah, bukan berarti saya ini menolak atau tidak suka. Hanya saja, saya ingin mengingatkan bahwa aliran yang dianut oleh seseorang tidak harus dianggap paling benar dan harus diikuti.

Ada pengalaman menarik yang pernah dialami oleh Dr. Muhammad Sa`id Ramadlan al-Buti. Pada suatu malam, ia melaksanakan shalat insya' di salah satu negara Arab dengan berjama`ah. Setelah shalat, seperti biasa sang Imam mengangkat tangan untuk berdo'a, yang kemudian diikuti oleh yang lain. Tiba-tiba salah seorang jama`ah —kebetulan adalah seorang penganut aliran Salafiyah— berdiri memisahkan diri dari jama`ah lain yang dianggapnya telah sesat. Kemudian al-Buti bertanya pada orang itu "Apa sih bahayanya berbuat demikian (berdo'a setelah shalat)?". Orang itu menjawab "Tidak ada ceritanya Rasulullah menyuruh kita berdo`a setelah shalat, akan tetapi menyuruh kita untuk berdo'a di sela-selanya.

Masalahnya bukan terletak pada kecondongan orang tersebut untuk lebih memilih salah satu pendapat yang mengatakan bahwa berdo'a disunnahkan di sela-sela shalat, bukan setelahnya. Banyak para ulama yang berpendapat demikian, ketika mereka menafsirkan hadis Sa`ad bin Abi Waqqash yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, di mana Rasulullah berdo'a pada dubr al-shalah. Perbedaan ulama terletak pada kata dubr al-shalah. Sebagian ada yang mengatakan bahwa maksud dari dubr al-shalah itu adalah pada penutupan shalat, sebelum salam. Sedangkan sebagian yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dubr al-shalah itu adalah setelah shalat (`aqib al-shalah).

Sebagaimana yang dikatakan tadi bahwa, masalahnya bukan terletak pada orang itu yang memilih salah satu dari dua penafsiran yang ada. Akan masalahnya, orang itu memilih satu di antara dua penafsiran, kemudian menjadikan pilihan tersebut sebagai yang paling benar. Sementara pilihan orang lain yang tidak sama dengan dianggap sesat dan menyesatkan. Ulama al-salaf al-shalih mana yang mengajarkannya demikian.

Daftar Pustaka

- Muhammad Abid Al-Jabiri, al-Din wa al-Daulah wa Tathbiq al-Syari`ah, Markaz Dirasat al-Wihdah al-Qaumiyyah, Beirut, cet. Ke II, 2004.
- Dr. Muhammad Sa`id Ramadilan al-Buti, al-Salafiyyah Marhalah Zamaniyyah Mubarakah, la Madzhab Islami, Dar al-Fikr, Beirut, cet. Ke II, 2001.
- Dr. Mahmud Isma`il, Isykaliyyah al-Manhaj fi Dirasah al-Turats, Ru'yah, Kairo, cet. Ke I, 2004, hal. Dr. Muhammad Rosyad Khalil, al-Manhaj al-Islami li Dirasah al-Tarikh wa Tafsiruh, Dar al-Manar, Kairo, cet. Ke I, 1984.
-Konseptualisasi Yang Hidup, Tim Penyusun SAS Center.
-Dr. Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur'an.
 
posted by Roland Gunawan at 5:20 AM | Permalink | 0 comments
Fikih Imamiyyah
Pendahuluan
Setelah Rasulullah Saw. menghadap keharibaan Tuhan, kaum Muslimin membai`at Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah setelah Rasul. Dan sebelum Abu Bakar wafat, beberapa sahabat melakukan musyawarah guna menentukan figur yang tepat untuk menggantikan posisi khalifah setelah Abu Bakar. Setelah melalui perdebatan yang cukup sengit, akhirnya mereka bersepakat menunjuk Umar bin Khatthab. Maka, tatkala Abu Bakar meninggal dunia, kaum Muslimin dengan serta-merta langsung membai`at Umar, tidak ada seorang pun yang menentang pembai`atan ini selain Sa`ad bin `Ibadah. Di akhir-akhir masa jabatannya, Umar memberi kepercayaan kepada enam orang sahabat yang dikenal dengan ahl al-hill wa al-`aqdi untuk menentukan khalifah setelahnya, mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Zubair bin al-Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Sa`ad bin Abi Waqqash dan Abdurrahman bin Auf. Pada akhirnya, mereka sepakat dengan menunjuk Utsman bin Affan.

Ketika terjadi petaka dengan terbunuhnya Utsman bin Affan, pandangan kaum Muslimin secara keseluruhan terpusat pada dua tokoh sahabat, yaitu Ali bin Thalib dan Mu`awiyah bin Abi Sufyan. Maka jalan yang ditempuh kemudian adalah al-tahkim (arbitrasi). Akan tetapi, nampaknya, hasil dari arbitrasi dinilai kurang memuaskan, sehingga kaum Muslimin terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama memihak kepada Ali bin Abi Thalib (Syi`ah), kelompok kedua memihak kepada Mu`awiyah bin Sufyan, dan kelompok ketiga memilih tidak memihak pada keduanya (Khawarij).

Kelompok Khawarij mempunyai pendapat tersendiri dalam masalah imamah, mereka mengatakan bahwa seorang imam harus dipilih secara bebas oleh kaum Muslimin, dan kalau sudah terpilih, sepanjang masih benar-benar menerapkan keadilan, maka ia tidak boleh ditentang, jika seandainya ada yang menentangnya, harus diperangi, demikian juga jika imam itu sudah bertindak di luar batas keadilan. Sebagian dari kelompok ini ada yang berpendapat tidak wajibnya imamah, bahkan ada sebagian lainnya yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin (imam), selama perempuan itu memang memiliki kemampuan selayaknya.

Sementara itu, kelompok Syi`ah juga tidak ketinggalan, di mana mereka berpendapat bahwa imamah adalah wajib adanya. Namun pendapat mereka dalam hal imamah ini berlainan dengan pendapat umum kaum Muslimin. Sebagian dari mereka ada yang berpendapat bahwa imamah tidak dibolehkan kecuali dari keturunan Fathimah. Sebagian yang lain, yaitu Syi`ah Imamiyyah, berpendapat bahwa imamah merupakan ketentuan Tuhan bagi yang berhak berdasarkan pengetahuan-Nya, di mana Tuhan menyuruh kepada Nabi dan umat-Nya untuk menunjuk tokoh yang pantas. Mereka juga mengatakan bahwa Tuhan sudah menyuruh Nabi Muhammad untuk menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin bagi kaum Muslimin setelahnya, akan tetapi rupanya kaum Muslimin tidak mematuhi perintah tersebut. Dalam pandangan mereka, imamah merupakan salah satu rukun agama. Sebagaimana mereka juga melihat bahwa imamah dimulai dari Ali, setelah itu Hasan, Husen, Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, kemudain Ja`far al-Shadiq. Di sini, Syi`ah Imamiyyah kemudian terbagi menjadi dua:

Al-Isma`iliyyah : Kelompok ini berpendapat bahwa yang paling berhak mendapatkan posisi imam setelah Imam Jakfar Shadiq adalah putra tertuanya, yaitu Isma`il yang sebelumnya memang sudah mendapat wasiat, hanya disayangkan, Isma`il keburu meninggal sebelum Ayahnya. Sehingga posisi keimamannya harus berpindah ke tangan Muhammad al-Maktum (putra Isma`il). Sebagian mereka ada yang mengatakan bahwa bumi tidak akan pernah kosong dari seorang imam, baik secara zhahir maksyuf (nampak) atau bathin mastur (tersembunyi).
Al-Ja`fariyyah al-Itsna `Asyariyyah : Kelompok ini berpendapat bahwa yang paling berhak menjadi imam setelah Jakfar al-Shadiq adalah Putranya, yaitu Musa al-Kazhim, kemudian Ali al-Ridla, Muhammad al-Jawwad, Ali a-Hadi, Hasan al-Askari, Muhammad al-Mahdi yang merupakan salah satu imam dari al-Itsna `Asyariyyah yang meninggal tahun 260 H. Dalam keyakinan mereka, Muhammad al-Mahdi ini suatu saat akan lahir kembali dan mengisi dunia dengan keadilan setelah sebelumnya penuh maksiat. Dan hingga saat ini pun, mereka masih menunggu-nunggu kedatangan sang imam idaman dan pujaan mereka walaupun hingga kiamat nanti.

Sekilas Tentang Fikih Imamiyyah
Itulah sebagai kilasan sejarah lahirnya Syi`ah sebagai sebuah aliran yang ikut meramaikan dan menyemarakkan dunia Islam. Sejarah ini saya sebutkan kembali, bukan untuk apa-apa, hanya biar kita semua ingat bahwa setiap aliran mempunyai sejarahnya masing-masing. Sesungguhnya, contoh sejarah Syi`ah tak ubahnya seperti tempat kecil yang sempit, atau kosmos kecil yang di dalamnya berlangsung peristiwa-peristiwa yang padat sekali. Setiap sesuatu di dalamnya terlibat dalam pergulatan, secara khusus dikarenakan timbulnya ketegangan-ketegangan yang begitu tajam di dalamnya.

Namun, dalam makalah singkat ini tidak akan dihahas secara keseluruhan dan terperinci tentang Siy`ah dan berbagai kelompok yang ada dibawah naungannya, akan tetapi akan di fokuskan pada Syi`ah Imamiyyah sebagai salah satu madzhab penting yang lahir dari rahim aliran Syi`ah, terutama yang berkaitan dengan fikih sebagai aspek yang tidak boleh diabaikan dalam melakukan studi terhadap sebuah madzhab yang ada dalam Islam.

Adalah Imam Abu Abdillah Ja`far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin al-Husain al-Sabth (80-148 H = 699-765) sebagai pendiri Madzhab Syi`ah Imamiyyah. Dan Abu Ja`far, Muhammad bin al-Hasan bin Farrukh al-Shifar al-`Araj al-Qummi, sebagai penyebar madzhab Syi`ah Imamiyyah dalam hal yang berkaitan dengan masalah-masalah fikih.

Sebagaimana yang telah dikatakan di atas, aliran ini mempunyai keyakinan adanya dua belas Imam yang ma`shum (terjaga dari kesalahan). Dari sekian banyak Imam yang ada, yang pertama adalah Imam Ali al-Murtadla, kemudian yang terakhir adalah Muhammad al-Mahdi al-Hujjah, yang dianggap sebagai Imam yang mastur (tersebunyi) sekaligus sebagai Imam yang hingga saat ini masih ada (al-Imam al-Qa'im).

Dan Abu Ja`far Muhammad bin al-Hasan al-Farrukh adalah orang yang telah mengembangkan fikih Syi`ah Imamiyyah di Persia. Hal itu bisa kita lihat dalam kitabnya Basya'ir al-Darajat Fi `Ulum Ali Muhammad, Wa ma Khashshahum Allah Bihi (1285 H). Sebelum kitab ini, sebenarnya ada kitab lain yang merupakan kitab pertama dalam madzhab Syi`ah Imamiyyah. Kitab tersebut tak lain adalah Risalah Fi al-Halal Wa al-Haram karangan Ibrahim bin Muhammad Abi Yahya al-Madani al-Aslami, di mana isi dalam kita ini diriwayatkan dari Imam Ja`far Shadiq. Kemudian kitab-kitab lain yang merupakan karangan Imam Ali Ridla (1274 H). Baru setelah Abu Ja`far Muhammad bin al-Hasan al-Farrukh dilanjutkan oleh kitab ulama lainnya pada abad keempat, yaitu al-Kafi Fi `Ulum al-Din karangan Muhammad bin Ya`qub bin Ishaq al-Kulaini al-Razi, salah seorang masyayikh Syi`ah, dalam kitab ini terdapat enam belas ribu sembilan puluh sembilan hadis Alu al-Bait, jumlah ini melebihi jumlah hadis yang terdapat pada kitab-kitab hadis al-Shahhah al-Sittah (Bukhari, Muslim dan lain-lain).

Kelompok Syi`ah Imamiyyah, sebagaimana al-Zaidiyyah, dalam masalah-masalah Fikih, tidak banyak berpijak pada apapun setelah al-Qur'an, kecuali hanya kepada hadis-hadis yang memang diriwayatkan oleh para Imam dari Alu al-Bait. Mereka, disamping setuju dengan dibukanya pintu ijtihad, juga menolak ijma' jika di dalamnya tidak diikutsertakan salah satu dari imam mereka. Rujukan utama mereka dalam masalah-masalah hukum syari`at adalah para imam, tidak yang lainnya.

Jika dibandingkan dengan fikih Ahl Sunnah, Fikih Imamiyyah tidak banyak terdapat perbedaan kecuali sekitar tujuh belas permasalahan, di antaranya adalah dibolehkannya nikah mut`ah. Perbedaan mereka dalam masalah-masalah fikih, tidak menambah banyaknya perbedaan jika dibandingkan dengan perbedaan madzhab-madzhab fikih lainnya, misalnya al-Hanafiyyah dengan al-Syafi`iyyah. Madzhab ini banyak menyebar di Iran dan Irak. Jika ditinjau lebih jauh, pada dasarnya, perbedaan aliran Imamiyyah dengan Ahl Sunnah tidak terletak pada Akidah dan Fikih, akan tetapi lebih kepada aspek al-Hukumah (pemerintahan) dan al-Imamah (kepemimpinan). Mungkin hal lebih penting untuk diperhatikan adalah revolusi yang dilakukan al-Khumaini di Iran pada tahun 1979 M, di mana al-Kumaini ingin menghapus perbedaan dan perselisihan dengan Ahl Sunnah, dan menganggap kaum Muslimin, secara keseluruhan, adalah umat yang satu, seperti yang saat ini banyak kita harapkan.

Prinsip-prinsip Fikih Imamiyyah
Setiap aliran atau madzhab pasti mempunyai prinsip-prinsip yang diyakini sebagai patokan hidup dalam menjalan agama. Ada beberapa prinsip dalam madzhab Imamiyyah, yaitu :

- Thaharah: Mereka menganjurkan al-ghusl (mandi) dalam beberapa hal, yaitu ketika berziarah ke makam para Imam, pada pertengahan bulan Sya`ban, pada tanggal 19-20 Ramadlan, pada tanggal 18 Dzul Hijjah dan pada hari raya Niruz dengan dalih bahwa hal itu merupakan persetujuan terhadap proklamasi Rasulullah bagi kekhalifahan Imam Ali bin Abi Thalib Ra. Dalam pandangan mereka, seorang yang meninggal dan bukan dari golongan Ja`fari, tidak wajib dimandikan. Demikian juga seorang yang mati Syahid yang tidak wajib dimandikan disyaratkan harus ber-istisyhad dengan salah seorang Imam.

- Azan: Mereka menambahkan ungkapan "hayya `ala khair al-`amal" (marilah berbuat sebaik-baiknya amal). Sebagian ada yang menambahkan "wa asyhadu anna `aliyyan waliyullah," sebagian lainnya ada yang menambahkan "asyhadu anna `aliyyan amir al-mu'minin wa awladuhu al-ma`shumin hujjatullah." Padahal menurut Muhsin al-Hakim, ungkapan-ungkapan itu bukan termasuk dari Azan, akan tetapi bukanlah merupakan hal buruk jika ditambahkan dalam Azan.

- Shalat: Mereka berkeyakinan bahwa shalat di masjid Kufah lebih afdlal dari pada shalat di masjid al-Aqsha, sebab Imam Ali bin Abi Thalib melakukan shalat di dalamnya. Dalam pandangan mereka, seorang yang mengimami shalat disyaratkan harus dari Mukmin Ja`fari. Bagi mereka, shalat janazah atas orang Muslim yang bukan Ja`fari, hukumnya tidak wajib. Sebagaimana mereka juga melihat bahwa shalat qashar boleh dilakukan kecuali pada empat masjid: Masjid al-Haram, masjid Rasulullah, masjid Kufah dan masjid al-Jabiri di Karbala.

- Puasa: Menurut mereka, syarat sahnya puasa adalah Iman dan Islam. Mereka sudah bersepakat, seperti yang dikatakan al-Hakim, bahwa puasa orang yang bukan Ja`fari tidak sah. Demikian juga, puasa pada hari al-Ghadir (18 Dzul Hijjah), pada hari al-Mubahalah dan pada hari `Asyura sebagai tanda kesedihan atas peristiwa pembantaian keturunan Imam Ali bin Abi Thalib, hukumnya adalah mandub.

- Zakat: Mereka mewajibkan zakat bagi kaum kafir, sebab sudah menjadi hak Imam untuk memungutnya secara paksa, akan tetapi karena kaum kafir tidak beriman, maka zakat yang mereka berikan tidak sah (tidak mendapat pahala apa-apa). Dan zakat itu sendiri tidak boleh dibagikan pada orang yang bukan Ja`fari, dan jika itu dilakukan, maka hal itu sudah menjadi bagian dari ta'lif al-qulub, seperti kepada kaum fasiq dan para pelaku dosa besar dikarenakan mereka masih merupakan orang-orang yang beriman. Mereka juga men-istihbab-kan pemberian zakat kepada Imam, jika hal itu dikehendakinya.

- al-Khums (seperlima atau 1/5): Mereka menjadikan al-Khums dalam sisa bahan makanan (perbekalan) setahun dari hasil industri, perdagangan dan pertanian fa`alaiha 20%. Menurut mereka, al-Khums dibagi-bagi menjadi menjadi enam: sahm untuk Allah, sahm untuk Nabi dan sahm untuk Imam al-Ja`fari, ketiga bagian tersebut menjadi hak imam mereka yang sudah tiada (imamuhum al-gha'ib), sedangkan sisanya diperuntukkan bagi para yatim piatu, orang-orang miskin dan abna' al-sabil (para musafir) dari kaum Ja`fariyyin. Mereka berpendapat bahwa hak Imam mereka yang tiada diberikan wakilnya, yaitu seorang fakih al-Mujtahid yang sudah memenuhi syarat, atau diberikan kepada orang-orang yang berhak (al-mustahiqqin), akan tetapi harus dengan izin fakih al-Mujtahid yang sudah menjadi wakil Imam.

Haji: al-Hakim berkata: "Tidak diragukan bahwa syarat sahnya ibadah adalah iman, dari itu, ibadah al-mukhalif (bukan dari Ja`fariyyah) adalah batil…….". Bagi kelompok ini, seorang Ja`fari tidak diperbolehkan berhaji sebagai perwakilan dari al-Mukhalif —Muslim Sunni— kecuali jika itu adalah ayahnya. Seandainya ada seorang Ja`fari mengucapkan nadzar ingin berhaji sebelum ia mampu melaksanakannya, ia harus menziarahi makam al-Husain di Arafah, sehingga ketika ia sudah mampu, maka ia tidak lagi wajib melakukan haji untuk memenuhi nadzar yang telah diucapkannya.

- Jihad: Dalam hal ini, bagi mereka, disyaratkan harus ada izin dari Imam atau perintah darinya
- Amar Ma`ruf Nahi Mungkar: Dibutuhkan izin dari Imam, demikian juga al-Hudud harus dilakukan oleh Imam sendiri, atau orang yang sudah mendapat mandat darinya sebagai perwakilan.

- Nikah Mut`ah: Sebagian besar dari mereka menyakini dibolehkannya nikah mut`ah. Akan tetapi ada sebagian lainnya yang mengingkarinya, bahkan melarangnya secara keras, alasannya karena: Haramnya nikah mut`ah sudah menjadi kesepakatan dua Imam besar, yaitu Abu Ja`far Muhammad bin al-Baqir dan Abu Abdillah Ja`far Shadiq. Diriwayatkan bahwa Imam Ja`far Shadiq mengatakan: Nikah mut`ah adalah zina merupakan hubungan yang dilarang oleh Allah dalam banyak ayat al-Qur'an (wa al-muhshanat ghair musafihat wa la muttakhidzat akhdzan).
 
posted by Roland Gunawan at 5:05 AM | Permalink | 0 comments
Dari al-Azhar al-Syarif Menuju al-Azhar al-Hadits


Dalam tarekat kita mengenal istilah tawassul. Tawassul mempunyai signifikasi penggunaan wasilah untuk mencapai tujuan tertentu. Seperti misalnya penggunaan mata untuk melihat, hidung untuk mencium, tangan untuk memegang dan telinga untuk mendengar. Dengan makna seperti ini tawassul bisa dikatakan sebagai `amal mathiqi (aktifitas yang logis).

Kita datang ke Mesir tujuannya untuk belajar. Wasilah yang kita gunakan adalah al-Azhar sebagai sebuah institusi pendidikan. Dalam hal ini yang perlu diingat, bahwa untuk mencapai tujuan ideal harus menggunakan wasilah atau sarana yang sepadan. Artinya, tujuan yang ingin kita capai harus seimbang dengan sarana yang kita gunakan. Orang yang masih muda (asal tidak minus) ketika melihat sesuatu, ia boleh berbangga karena matanya normal, sehingga apa yang dilihat nampak jelas. Sedangkan orang tua yang sudah mencapai titik pikun jangan berharap banyak, karena matanya rabun.

Al-Azhar yang menjadi tempat kita belajar, saat ini tengah mengalami penurunan kualitas. Dulu al-Azhar mampu mencetak orang-orang sekaliber Muhammad Abduh, Ali Abdurraziq, Yusuf Qardlawi, Quraisy Shihab dan tokoh-tokoh lainnya. Tapi sekarang, rasanya sangat sulit. Sistem dan instrumen pendidikan yang ada sudah tidak layak pakai alias kadaluarsa, al-Azhar sudah tua. Ketuan itulah yang membuatnya tidak mampu bergerak cepat, sehingga kualitas alumninya pun perlu dipertanyakan. Di Indonesia kita banyak melihat doktor lulusan al-Azhar hanya menjadi dosen thok, kalaupun ada yang lebih dari itu, malah memiliki pemikiran yang sama sekali bertolak belakang dengan apa yang dipelajari di al-Azhar.

Sekarang ada pertanyaan, kenapa al-Azhar di Mesir seakan-akan lebih hegemonik ketimbang institusi-institusi pendidikan lain? Hal ini tentunya tidak lepas dari kata adjektif yang disandangnya, yaitu al-Syarif yang berarti mulia atau terhormat. Saya kira al-Azhar sekarang sudah tidak lagi mulia atau terhormat seperti dulu, tetapi merasa mulia dan terhormat. Perasaan inilah yang membuatnya berbuat seenaknya, berfatwa sana-sini tanpa memperdulikan kebutuhan masyarakat disekelilingnya, seolah-olah kebutuhan masyarakat saat ini sama dengan kebutuhan masyarakat di masa lalu. Lebih parah lagi, semua orang harus mengikuti. Dan ini saya kira wajar. Al-Azhar sebagai universitas tertua sudah selayaknya merasa mulia dan terhormat. Lihat saja sikap orang-orang tua, karena sudah mengenyam pahit getirnya kehidupan atau karena telah banyak berjasa kepada anak-anaknya, kebanyakan dari mereka mau menang sendiri, maunya ngatur saja, semuanya harus sesuai dengan kehendaknya. Atau lihat saja orang tua yang pikun. Biasanya orang tua seperti ini gampang naik darah. Jangan sampai ada anak muda yang menentang pendapatnya, ia akan sangat marah sekali.

Oleh karenanya al-Azhar al-Syarif harus diganti dengan al-Azhar al-Hadits (modern). Al-Azhar al-Syarif adalah masa lalu yang sudah usang, cenderung menutup diri dengan al-Muhafazhah `ala al-Qadim al-Shalih. Sedangkan al-Azhar al-Hadits adalah sebuah cita-cita yang harus segera dimulai. Dalam artian bahwa semuanya harus dirubah, mulai dari sistem hingga instrumen pendidikannya. Al-Azhar al-Hadits adalah institusi yang toleran, terbuka, bersolidaritas tinggi, akomudatif dan apresiatif terhadap al-Akhdz bi al-Jadid al-Ashlah.

 
posted by Roland Gunawan at 5:04 AM | Permalink | 0 comments

"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"