**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Sunday, October 29, 2006
Menyegarkan Kembali Pemahaman terhadap Islam*
Dr. Ahmad Syauqie al-Fanjary **

Sebagai kitab suci al-Qur’an al-Karim telah dijaga oleh Tuhan dari segala bentuk penyimpangan (tahrîf) atau campur tangan manusia (tadakhkhul min al-basyar). Hal itu dibuktikan dengan janji Tuhan sendiri dalam surat al-Hajar: “Kami telah menurunkan al-dzikr (al-Qur’an), dan kami [akan senantiasa] menjaganya.” Pada fase pertama wahyu ditulis dan dicatat [berdasarkan apa yang didengar] dari Rasulullah secara langsung. Untuk menghindari terjadinya kesalahan atau kelupaan, Jibril As. bersama Rasulullah Saw. melakukan pemeriksaan terhadap apa yang sudah ditulis itu. Hal ini tentu saja berbeda dengan hadis.



Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Tuhan, di setiap seratus tahun, mengutus untuk umat ini seseorang yang memperbaharui agamanya.” [HR. Bukhari – Muslim]. Ini merupakan hikmah besar yang tidak dimiliki agama lain selain Islam, yaitu keterbukaannya bagi pembaharuan (qâbilyyah li al-tajdîd). Pembaharuan di sini mempunyai makna ijtihad dalam melakukan perubahan (taghyîr), harmonisasi (al-tawfîq) dan modernisasi (al-tahdîts) guna menyelaraskan pemahaman-pemahaman keagamaan dengan pergeseran waktu, serta kebutuhan manusia yang berbeda-beda dari zaman ke ke zaman, dari masa ke masa, dari masyarakat ke masyarakat yang lain.

Jika agama-agama mengalami penjumudan dan tidak bisa mengikuti laju perkembangan zaman, maka manusia akan meninggalkannya seperti yang terjadi pada Kristen yang hanya menjadi agama gereja, bukan agama yang dianut dalam kehidupan secara umum. Eropa tidak bisa bangkit, tidak mampu keluar dari kegelapan abad-abad pertengahan dan cengkraman ‘kuku-kuku tajam’ para pendeta serta surat-surat pengampunan (shukûk al-ghufrân) kecuali ketika mendeklarasikan ajaran berupa pemisahan agama dari negara dan kehidupan (fashl al-dîn `an al-dawlah wa `an al-hayâh). Kemudian setelah itu Eropa mampu bergerak dengan leluasa ke arah peradaban dan ilmu pengetahuan yang bebas, tanpa batasan, tanpa ikatan.

Lalu, bagaimana dengan Islam?! Seorang Muslim berakal, paham dan tahu yang menghendaki kebaikan bagi agama ini tidak akan bisa mengingkari bahwa sekarang Islam sedang berada dalam fase kemunduran dan keterbelakangan yang parah, disebabkan oleh pemahaman-pemahaman salah serta keyakinan-keyakinan menyimpang yang secara sengaja dimasukkan untuk kemudian berakumulasi, saling timpah tindih hingga mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Mamalik. Lalu berlanjut pada pemerintahan Utsmaniyah, kemudian imperialisme asing. Sehingga dengan demikian, dalam pandangan dunia secara keseluruhan dan para pengikut agama-agama lainnya, seorang muslim merupakan cerminan dari manusia tolol dan bodoh yang mempercayai khurafat-khurafat dan menjalankannya. Keras, teroris dan haus darah merupakan sifat-sifat yang disematkan kepadanya.

Di dunia Islam, kaum buta huruf dari kaum laki-laki sudah mencapai 75%, dan dari kaum perempuan mencapai 80%. Pemuda Muslim yang taat melihat agama sebagai jenggot, jilbab, kerudung. Sedangkan pemudinya melihat agama sebagai niqab, kerudung dan hijab. Padahal para pemuda dunia dan agama-agama lain hidup dengan teknologi modern, mereka berlomba-lomba dalam berkreasi dan berinovasi, tak henti-hentinya melakukan riset penemuan-penemuan ilmiah dalam segala bidang, baik kedokteran maupun teknik, serta mengembangkan ilmu-ilmu luar angkasa dan planet-planet lainnya.

Sementara dalam Islam, pada saat kita hidup di abad ke-21, telah muncul kelas pemuka agama (rijâl al-dîn) yang tak ada bedanya dengan para dukun pada abad-abad pertengahan di Eropa, di mana pengetahuan mereka hanya cukup membaca kitab suci dan menulis. Kemudian mereka mengeluarkan fatwa-fatwa keterbelakangan dan kebodohan yang menyesatkan kaum Muslimin dari jalur perputaran roda peradaban dan kehidupan modern. Konsekuensi yang muncul cukup mengerikan, membuat wajah Islam menjadi buruk dan pelbagai kekalahan melanda kaum Muslimin, bahkan tanah-tanah mereka dijajah oleh para musuh.

Pemikiran-pemikiran dan fatwa-fatwa keterbelakangan (al-afkâr wa al-fatâwâ al-mutakhallifah) itu mencakup segala sesuatu di dalam kehidupan kaum Muslimin, mulai dari sistem pemerintahan, menejemen negara hingga prilaku individu dan bangunan rumah tangga. Mereka, para pemuka agama itu, mengharamkan demokrasi dan oposisi. Mereka mengklaim bank-bank adalah haram, semua kekayaannya adalah riba...pariwisata haram, darah para touris halal, dan segala bentuk kesenian haram. Gambar haram, patung-patung indah haram. Sinema haram, teater haram, sekalipun itu demi kepentingan Islam, bahkan mereka mengharamkan film Rasulullah Saw., yang mengisahkan tentang kehidupan Nabi dengan penuh amanah dan kejujuran. Mereka berlomba-lomba mengeluarkan fatwa dengan maksud memaksa perempuan dan merampas hak-haknya yang telah Islam berikan. Perempuan tidak boleh keluar melainkan hanya ke kuburan. Mereka membatasi peran perempuan dalam kehidupan hanya untuk melayani suami dan mengurus anak-anak...malah mengemudi mobil pun haram.

Dalam pandangan pemuda Muslim, yang sejatinya merupakan harapan masa depan, makna jihâd fî sabîlillah (berjuang di jalan Tuhan) adalah dengan mengabaikan ilmu pengetahuan, berhenti belajar di universitas, memanjangkan jenggot, duduk di masjid sepanjang hari bersama sahabat-sahabatnya yang juga berjenggot seperti dirinya, mendengarkan hadis-hadis yang mendorong pada ekstremisme, kebencian terhadap dunia serta kemurkaan pada masyarakat [yang menurutnya telah menyimpang dari jalan Tuhan]. Dia bersama teman-temannya melakukan itu dengan penuh semangat dan antusiasme yang tinggi, mereka memulai pelajaran dengan membuat bahan peledak dan mesiu, serta bagaimana cara meletakkan bom-bom di dada dan di perutnya. Apa tujuan ‘luhur’ mereka melakukan itu? Tujuannya adalah membunuh para touris sebanyak-banyaknya, juga para warga yang bekerja di bidang pariwisata, karena sang Syaikh berfatwa bahwa pariwisata haram, dan darah para touris halal.

Itulah makna jihâd fî sabîlillah. Satu contoh yang bisa dijadikan bahan renungan adalah ketika seorang pemuda meledakkan dirinya di tengah-tengah segerombolan touris di daerah al-Azhar, sehingga enam orang dari mereka dan sejumlah pedagang serta beberapa orang yang kebetulan lewat di tempat itu terbunuh. Setelah beberapa jam kemudian terjadilah peristiwa lain yang tidak kalah mengejutkan, beberapa perempuan berniqab melemparkan bom-bom dari atas jembatan al-Azhar ke arah para touris dan kerumunan manusia. Dan ketika polisi tiba di tempat itu, setiap orang dari perempuan-perempuan berniqab itu mengeluarkan pistol lalu menembakkannya tepat di kepala temannya, sehingga matilah mereka. Kenapa mereka melakukan itu kepada teman sendiri, kenapa tidak bunuh diri saja: karena menurut pemahaman mereka tindakan bunuh diri adalah haram, sedangkan membunuh adalah halal di jalan Tuhan.

Ketika diteliti, ternyata anak muda [yang melakukan bom bunuh diri] tersebut adalah mahasiswa di fakultas teknik yang berprestasi dalam studinya sebelum dia menjadi ekstrem dalam beragama. Diketahui bahwa dia gemar membaca buku-buku karya orang-orang Wahabi seperti Ibn Baz, Ibn Atsimin, Syaikh Umar ibn Abdirrahman, Syaikh Kasyk dan lain-lain. Diketahui juga, setelah membaca buku-buku tersebut, anak muda itu kemudian melarang perempuan-perempuan untuk melihat dari jendela, melarang mereka untuk berbaur dengan kaum laki-laki ketika belajar (ikhthilâht fî al-ta`lîm), melarang mereka menghidupkan televisi kecuali untuk mendengarkan khatbah Jum`at, mereka tidak boleh keluar dari rumah kecuali dengan muhrim.

Kenyataan seperti itu tidak jarang dalam masyarakat Islam kontemporer, juga bukan hal yang langka di tengah-tengah para pemuda Muslim yang sejatinya diharapkan menjadi generasi masa depan. Peristiwa-peristiwa pembunuhan terhadap para touris terjadi berulang-ulang setiap tahun sejak seperempat abad yang lalu, sejak munculnya fatwa-fatwa tentang pengharaman pariwisata. Ini menunjukkan betapa pemikiran menyimpang sudah menguasai generasi muda Muslim.

Kita katakan kembali, saat ini Islam sangat perlu untuk diselamatkan dan dipembaharui. Kita perlu melakukan ijtihad seluas-luasnya tanpa merasa terikat untuk menghilangkan hadis-hadis palsu (al-ahâdîts al-mawdhû`ah) yang membawa pemikiran-pemikiran yang salah dan jumud, serta pemahaman-pemahaman menyimpang yang secara sengaja dimasukkan kepadanya.

Kalau upaya tersebut tidak dilakukan secepatnya, maka agama ini akan pergi meninggalkan kita, dan jadilah kita umat yang tidak memiliki identitas, masa kini dan masa depan.


Siapa yang Menutup Pintu Ijtihad?

Seperti diketahui, pintu ijtihad dalam Islam sudah ditutup sejak seribu tahun yang lalu atau lebih. Sebetulnya, selama masa yang panjang ini, tidak ada undang-undang, dektrit atau titah dari para penguasa yang melarang ijtihad dalam agama. Tertutupnya pintu ijtihad sebenarnya lebih disebabkan oleh tidak adanya ulama yang mumpuni untuk mengisi kekosongan ini. Bersamaan dengan melemahnya dinasti Abbasiyah, muncullah pemerintahan Mamalik, kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Utsmaniyah, setelah itu imperialisme asing menguasai. Mereka semua tidak punya perhatian terhadap pendidikan, bahkan mereka berusaha menutup sekolah-sekolah yang ada. Al-Azhar dibekukan, dan pendidikan di dunia Islam, secara keseluruhan, hanya dibatasi pada menulis dan menghafal al-Qur’an.

Demikianlah kegelapan menguasai dunia Islam, kebodohan mendominasi, tidak ada seorang ulama pun yang nampak, yang ilmunya menyamai para ahli fikih (syariat) dan para Imam mazhab di masa klasik. Dalam hal ini Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan menariknya dari hati manusia, Dia mencabut ilmu dengan menarik para ulama. Ketika tidak ada seorang alim pun [yang muncul], manusia kemudian menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin, mereka bertanya kepadanya dan mempercayainya, sehingga mereka [benar-benar] tersesat dan tersesat. (HR. Bukhari). Inilah rupanya yang membuat kaum Muslimin menutup pintu ijtihad karena takut kepada pemimpin-pemimpin bodoh yang seringkali muncul tapi tak berilmu.

Makna hadis dan tujuan-tujuannya:
Pertama, melakukan penafsiran baru terhadap al-Qur’an. Sudah kita sebutkan beberapa penafsiran menyesatkan dan salah yang datang dari musuh-musuh Islam berikut Isrâ‘iliyyât. Banyak sudah penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang bodoh dari kaum muslimin, seperti telah kita sebutkan contohnya, dan yang paling berbahaya adalah ketika mereka membuat hadis-hadis bohong (al-ahâdîts al-makdzûbah) yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an sesuka hatinya untuk kemudian berusaha meyakinkan manusia bahwa itu adalah penafsiran Rasulullah.

Kedua, membuang hadis-hadis palsu (al-ahâdîts al-mawdhû`ah) dari seluruh referensi-referensi, sekalipun itu dalam kitab Bukhari dan Muslim. Telah kita lihat, berdasarkan pendapat para tokoh ulama Islam yang mengetahui bahaya hadis-hadis palsu tersebut, juga para tokoh yang memiliki cukup keberanian serta ilmu yang mumpuni agar mengumpulkan kitab-kitab hadis lama yang dipenuhi hadis-hadis palsu untuk dimusnahkan atau dibakar. Kemudian menyusun kitab-kitab lain yang kosong dari segala bentuk kepalsuan dan penyimpangan.

Ketiga, membuang fikih lama yang berdasar pada mazhab yang lima, dari Ahl Sunnah dan Syi`ah, kemudian merumuskan fikih baru yang terbebas dari hadis-hadis palsu dan pandangan-pandangan menyimpang. Kita inginkan yang menjadi tim perumusnya tidak hanya dari para pakar fikih, tapi juga dari para ilmuan yang pakar ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu kontemporer, dan diharapkan pandangan yang muncul nantinya tidak bersifat pribadi, tapi bersifat kolektif.


Upaya-upaya Pembaharuan

Saat ini, di dunia Islam telah muncul kesadaran baru untuk melakukan pembaharuan dan modernisasi dalam Islam. Hal ini terlihat dengan dilaksanakannya kongres-kongres yang menghadirkan para ulama dan pemikir yang mempunyai semangat melakukan upaya-upaya yang mengarah pada aufklarung Islam. Kongres pertama dilaksanakan di Islamabad – Pakistan pada tahun 1976, kemudian dilanjutkan dengan kongres di Istambul – Turki pada tahun 1977, kongres di Qatar pada tahun 1979, dan kongres di Cairo 1985 di bawah bimbingan al-Azhar. Salah satu keputusan paling penting yang telah disepakati bersama adalah membentuk sebuah tim terdiri dari para tokoh ulama di dunia Islam di bawah pengawasan al-Azhar yang bertugas merumuskan ensiklopedi baru hadis Nabi (Mawsû`ah Hadîtsah li al-Hadîts al-Nabawî) yang hanya memuat hadis-hadis shahih, tidak memasukkan hadis-hadis palsu dan lemah (al-ahâdîts al-mawdhû`ah wa al-dha`îfah). Keputusan ini diambil mengingat bahaya yang ditimbulkan hadis-hadis palsu, serta keharusan menyelamatkan Islam dari cengkramannya sebagai langkah awal menuju aufklarung dan pembaharuan.

Akan tetapi orang-orang Wahabi, seperti memang sudah biasa mereka lakukan, dengan keras menentang keputusan ini dan menuduhnya sebagai upaya merubah al-Qur’an dan al-Sunnah, sehingga Syaikh al-Azhar, Dr. Sayyid Tanthawi pada kongres yang baru-baru dilaksanakan di Cairo memberikan penjelasan: “Pembaharuan yang kita maksudkan tidak berarti ‘mengobrak-abrik’ ketetapan-ketetapan syariat (al-tsawâbit al-syar`iyyah), dan Islam adalah agama modern (dîn mutajaddid) yang mampu mengakomudasi hal-hal baru dalam masyarakat kontemporer! Dan seperti biasa orang-orang Wahabi memanfaatkan wibawa mereka di dunia Islam dengan kekayaan-kekayaan minyak, sehingga membuat upaya-upaya perbaharuan kemudian terhenti, padahal sekarang kita hidup di tahun 2006 M, yaitu setelah tiga puluh tahun dari awal upaya pembaharuan. Orang-orang Wahabi menginginkan masyarakat Islam ‘yang buta huruf’ tetap seperti ini!!”

Maka jangan heran kalau keterbelakangan menimpa kaum Muslimin. Makanya kita memohon kepada Tuhan untuk menyelamatkan kita semua...


* Diterjemahkan dari Majalah Rosa El Yossef, Edisi 4088, 14 Oktober 2006
** Peneliti dan Pemikir Islam Mesir

 
posted by Roland Gunawan at 8:33 PM | Permalink | 0 comments
Niqab Bukan Ajaran Islam*
Dr. Ahmad Syauqie al-Fanjary**


Di Saat badai politik baru seputar Islam dan kaum Muslimin menderu, Mr. Jack Streo, menteri urusan parlemen Inggris, yang sebelumnya adalah menteri luar negeri, kembali membahas masalah kaum perempuan berniqab di Inggris. Dia menunjukkan adanya sejumlah besar dari kaum Muslimin di daerah pemilihannya, mayoritas mereka berasal dari Saudi Arabia dan beberapa negara Teluk yang kaya dengan minyak, yang secara mengejutkan membeli kewarganegaraan Inggris.



Pada waktu diadakan pertemuan pemilihan umum, dia dikejutkan oleh hadirnya perempuan-perempuan berniqab. Setiap orang dari mereka bersikeras untuk tidak menampakkan wajahnya ketika petugas kepolisian memintanya untuk mengetahui kewarganegaraan dan identitasnya.

Ketika menteri mengetahui hal itu, kehadiran mereka ditolaknya. Sang menteri memberi mereka dua pilihan, melepaskan niqab atau keluar dari gedung pertemuan. Peristiwa ini terjadi di saat persaingan politik sedang memanas antara partai-partai Inggris yang sebagian besar adalah para buruh dan kaum konservatif yang lebih memperhatikan perolehan suara dari para pemilih tanpa melihat agama dan bajunya. Tentu saja masalah ini memancing munculnya statemen-statemen kontradiktif serta dialog terbuka di media-media informasi, pers, dan televisi tentang fenomena niqab dan Islam. Inggris adalah negara yang demokratis, bebas dan berpendidikan, sehingga masalah apapun yang secara langsung menyentuh masa kini dan masa depan negara, tidak akan lewat begitu saja tanpa didiskusikan secara bebas dan dipelajari dimensi-dimensi berikut akibat-akibatnya. Sebagai hasil pertamanya, Dewan Kementerian Inggris memutuskan memecat pengajar Muslimah Inggris, Aisyah Azmi, yang bersikeras menggunakan niqab ketika menyampaikan pelajaran kepada para siswa.

Semua orang Eropa menyaksikan dan melihat dengan mata kepala sendiri berita yang dipublikasikan oleh media-media informasi dunia seputar beberapa siswi sekolah di kota Riyadh ketika terjadi kebakaran di ruang ganti pakaian sekolah. Kebetulan di ruangan tersebut terdapat beberapa siswi. Karuan saja para siswi itu terkejut, mereka berusaha lari keluar untuk menyelamatkan diri dari ganasnya api, dan mereka lupa menggunakan niqabnya kembali. Ketika melihat mereka keluar tanpa menggunakan niqab, beberapa orang Wahabi memukuli mereka dan memaksa mereka untuk masuk kembali ke dalam ruangan, padahal api sudah semakin ganas mengamuk. Begitu mereka masuk, orang-orang Wahabi itu kemudian menutup dan mengunci pintunya. Berteriaklah mereka meminta pertolongan, tapi sayang, tidak ada yang memperdulikan, tidak ada yang tersentuh hatinya untuk menolong. Maka api yang kian ganas itu pun melahap, merekapun terpanggang, menggelepar menghadapi maut yang tak terlawan. Akhirnya 37 siswi meninggal dengan cara yang mengenaskan; mati penasaran. Menurut pandangan orang-orang Wahabi lebih baik para siswi itu mati terbakar api daripada keluar menampakkan wajahnya!! Para pemadam kebakaran dan petugas kepolisian tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali setelah siswi-siswi itu menjadi arang.

Tentu saja dialog di antara partai-partai Inggris terpusat pada Islam, ketika orang-orang Wahabi mengklaim bahwa Islam memerintahkan menggunakan niqab dan menganggapnya sebagai kewajiban bagi setiap perempuan Muslimah. Menurut mereka, perempuan yang melepaskan niqab atau berkeliaran di jalan-jalan tanpa niqab dan hijab adalah pezina, tidak ada hukuman yang lebih pantas kecuali neraka. Perempuan, kendati hanya bersalaman dengan laki-laki dianggap telah berbuat zina, demikian juga perempuan yang menggunakan Farfum. Suatu ketika saya pernah diundang oleh sekelompok perempuan Muslimah di New York untuk berbicara tentang Islam, ketika itu saya ditemani oleh dua orang kawan yang menjadi dokter di Amerika. Dua orang kawan saya ini juga mempunyai antusiasme dalam mempelajari Islam. Ketika salah satu dari kawan saya ini menjulurkan tangan untuk bersalaman, dengan gerakan histeris perempuan-perempuan menyembunyikan tangan mereka di balik punggung. Kemudian salah seorang dari mereka berkata: “Agama Islam melarang perempuan bersalaman atau bersentuhan tangan dengan laki-laki.” Ini adalah permulaan yang hanya akan membuat Islam semakin buruk, baik di antara mereka sendiri, ataupun di antara para tamu yang hadir ketika itu. Terpaksa saya katakan kepada mereka: “Ini adalah pemikiran-pemikiran yang salah. Orang-orang Wahabi sengaja menyebarkannya untuk memperburuk Islam. Tidak ada perintah atau teks dalam al-Qur’an dan hadis shahih tentang masalah seperti ini.”

Kembali pada masalah niqab dan bagaimana Islam menyikapinya. Dalam Islam tidak ada satupun perintah menggunakan niqab, baik dalam al-Qur’an dan hadis. Orang-orang Wahabi dengan kebodohannya telah berusaha menafsirkan firman Tuhan dalam surat al-Nur: “Hendaklah mereka [kaum perempuan] menutupkan kain kudung ke dadanya.” Ayat ini mereka artikan “menutupkan kurung ke wajah.” Jelas ini adalah penafsiran yang menyimpang dan menyesatkan. Dalam buku “al-Sunnah Bayn al-Fuqaha' wa al-Ushuliyyin”, Syaikh Muhammad al-Ghazali menanggapi penafsiran mereka dengan berpendapat, kalau memang maksudnya seperti yang mereka klaim, maka ayat tersebut akan berbunyi: “Hendaknya mereka [kaum perempuan] ke wajahnya.” Sedangkan kata “`alâ juyûbihinna”, di sini makna “jayb” adalah permukaan dada di antara dua gundukan (=dua payudara). Kalau ini, menurut kesepakatan ulama, adalah aurat yang harus ditutupi demi mencegah timbulnya rangsangan seksual (al-ighrâ’ al-jinsî), bisa ditutupi dengan pakaian modern tanpa harus menggunakan niqab.

Sunnah Nabi telah menegaskan hal ini. Rasulullah Saw. menerima istri-istri para sahabat sedang wajah-wajah mereka terbuka (kâsyifât al-wujûh). Nabi berbicara kepada mereka tentang masalah agama, masalah-masalah kehidupan secara umum dan masalah-masalah yang bersifat khusus. Mereka hadir shalat jama`ah langsung di belakang beliau di Masjid, dan beliau sama sekali tidak mencegah mereka melakukan itu karena wajah mereka terbuka. Rasulullah berkata: “Lâ tanqib al-muhrimah, walâ talbas al-qafâzîn,” “janganlah perempuan yang [sedang] melakukan ihram berniqab, dan jangan pula menggunakan kaos tangan.” Demikianlah, di tempat paling suci, yaitu Masjid Haram, niqab diharamkan, barang siapa yang sengaja menggunakannya, maka hajinya menjadi batal, dan barang siapa menggunakan karena lupa atau tidak tahu, maka dia diharuskan membayar kaffârah dan fidyah (denda). Inilah sikap Islam sebagai agama terhadap niqab, sama sekali tidak memerintahkannya, bahkan memakruhkan dan mengharamkannya.

Kalau kita lihat dari peradaban manusia, niqab adalah bukti keterbelakangan, kebodohan dan tidak manusiawi. Menyembunyikan wajah manusia, manusia apapun, perempuan atau laki-laki, lebih buruk daripada dipenjarakan seumur hidup, tak jauh beda dengan membunuhnya tanpa dosa. Kalau niqab hanya dikhususkan bagi perempuan saja tanpa laki-laki, maka ini merupakan sebentuk diskriminasi rasial dan anti persamaan. Jelas, ini adalah kedhaliman.

Perempuan berniqab hidup terasing dari peradaban, ilmu pengetahuan dan kehidupan. Dapatkan kita bayangkan seorang perempuan berniqab belajar di Universitas kemudian menjadi dokter atau arsitektur atau pengacara. Adakah manusia berakal dan terpelajar mau pergi ke dokter perempuan berniqab untuk berobat atau mengobati istrinya sementara dia tidak melihat wajahnya atau tidak mengetahui identitasnya. Adakah manusia berakal datang ke arsitektur perempuan yang berniqab untuk memintanya membuat rancangan bangunan. Atau adakah manusia berakal yang meminta pengacara perempuan berniqab untuk membelanya di pengadilan. Niqab adalah bid`ah Wahabiyah yang dipaksakan oleh orang-orang bodoh. Tidak ada perintah menggunakan niqab kecuali di Saudi Arabia, tidak pada dunia Islam secara keseluruhan. Tujuannya jelas, agar perempuan tetap dalam kebodohan; tidak dapat mengalahkan laki-laki.

Dalam sejarah terdapat kisah terkenal tentang niqab. Di masa Rasulullah Saw., kaum perempuan ikut berperan bersama kaum laki-laki dalam masalah-masalah kehidupan dan masyarakat. Di antara mereka ada yang jadi dokter seperti Rafidah, ada ahli perang seperti Ummu Haram yang kemudian mati syahid dalam perang Qabrash. Mereka hadir di Majlis Rasulullah Saw. dengan wajah terbuka (sâfirah al-wajh), mereka [dibolehkan] menyampaikan pendapat dalam masalah politik, peperangan dan perdamaian, contohnya seperti Ummu Salamah. Pernah suatu ketika Rasulullah memujinya dengan berkata: “Alangkah bagusnya pendapatmu, hai, Ummu Salamah, denganmu Allah telah menyelamatkan kaum Muslimin dari azab yang besar.”

Di masa-masa keemasan Islam, baik pada masa dinasti Umawiyah atau Abbasiyah, perempuan mempunyai peranan penting dalam masalah-masalah kehidupan, khususnya dalam masalah agama, fikih dan dakwah. Siti Aisyah bahkan menjadi guru agama bagi para tokoh agamawan dan ulama.

Namun, di masa dinasti Mamalik berkuasa, Islam dilanda krisis; Islam menjadi terbelakang. Para pasukan yang seharusnya menjaga rakyat, ketika melihat perempuan cantik di jalan, mereka langsung menculiknya dan memperkosanya. Ini banyak terjadi di jalan-jalan Baghdad, Cairo dan Damaskus. Hal ini tentu saja membuat para perempuan kuatir dan ketakutan, sehingga terpaksa mereka menutupi wajah dengan niqab. Niqab menjadi ‘tempat’ pelarian dan persembunyian, bukan sebagai perintah atau kewajiban agama. Kondisi seperti ini terus berlangsung hingga masa dinasti Utsmaniyah dan imperialisme Inggris dan Prancis. Tetapi fenomena kemudian meredup bersamaan dengan munculnya para tokoh reformer dan pejuang di Mesir, termasuk di antara pelopornya adalah Qasim Amien, Huda Sya`rawi, dan para agamawan tercerahkan seperti Muhammad Abduh dan Syaikh Muhammad al-Ghazali. Sehingga pemerintahan Mesir dan partai nasional dituntut untuk membentuk undang-undang yang melarang niqab, dimulai dari sekolah-sekolah serta pelayanan-pelayanan umum.

Munculnya niqab di London, Paris juga Amerika disebabkan oleh Wahabisme yang merupakan aliran ekstrem dan menyimpang dari ajaran Islam. Para tokoh agamanya adalah orang-orang bodoh. Kurangnya orang-orang terpelajar telah membuat mereka tidak bisa melampaui fase al-Kitab (artinya mereka masih terjebak pada penafsiran terhadap al-Qur’an secara literal). Akan tetapi nasib buruk nampaknya menjadi takdir bagi Islam, orang-orang Wahabi memiliki kekayaan yang tak terhitung, terutama kekayaan minyak. Alih-alih menggunakan harta itu untuk kebaikan dan proyek-proyek yang bermanfaat, mereka malah menggunakannya sebagai ‘propaganda’, mereka membagi-bagikan hartanya hanya kepada orang yang mau mengikuti aliran mereka; menjadi Wahabi!!

Propaganda ini tidak hanya terbatas di dunia Arab – Islam, bahkan sudah sampai pada para imigram Muslim di Eropa dan Amerika yang jumlahnya mencapai 37 juta jiwa. Untuk memenuhi hak aliran ini, saya telah memberikan penjelasan cukup gamblang yang tak butuh penjelasan lain dalam buku, “Mafâhîm Khâthi’ah Tu’akhkhir al-Muslimîn” terbitan Madbouli.

Serangan terhadap Islam di Eropa tak lain hanyalah konsekuesi logis dari apa yang selama ini mereka lihat sebagai tindakan-tindakan dan prilaku-prilaku sebagian kaum Muslimin yang tereprentasikan dalam Wahabisme.

Serangan terhadap Islam diawali dengan dimuatnya karikatur yang merupakan penghinaan terhadap Rasulullah Saw. di salah satu koran Denmark. Dan baru-baru ini Paus Patikan mengatakan bahwa Islam adalah agama pedang, teroris. Setelah itu beberapa partai kanan di Eropa membuat film lucu (komedi) tentang Rasulullah. Dalam film tersebut Rasulullah digambarkan sebagai laki-laki yang memakai sorban besar dengan pedang di pinggang, di dadanya terdapat bom-bom, sementara di belakangnya berjalan empat orang istrinya yang berniqab.

Kita berharap setelah peristiwa niqab, tidak akan terjadi lagi serangan terhadap Islam di Inggris. Kalau itupun terjadi, maka sebab sebenarnya ada dalam diri kita, dan kita tidak bisa menyalahkan atau mencela kecuali diri kita sendiri selama orang-orang Wahabi yang ekstrem itu berbicara atas nama kita; Islam.

Belakangan ini Islam telah menjadi agama yang paling cepat menyebar dan dihormati di seluruh dunia. Sesuatu yang perlu dicermati, bahwa orang-orang yang memeluk Islam adalah para ilmuan, peneliti dan sejarahwan yang telah melakukan studi dan penelian selama bertahun-tahun untuk menggapai kebenaran.

Kalau saat ini banyak orang yang terlihat anti terhadap Islam, itu disebabkan oleh apa yang mereka lihat dari tindakan dan prilaku orang-orang Wahabi. Pemanfaatan kekayaan minyak serta pemahaman-pemahaman bodoh mereka telah membuat Islam tak ubahnya seperti tempat yang gelap dan menyeramkan. Makanya reformasi Islam tidak harus dilakukan dengan memutus hubungan dengan Barat, demonstrasi-demonstrasi dan membakar gedung-gedung kedutaan. Reformasi harus dilakukan dari dalam dengan melarang Wahabisme dan menghapusnya.

Saya berharap Mesir menjadi pelopor dalam pembaharuan dan kemajuan di dunia Islam seluruhnya, menjadi teladan dan contoh ideal dalam merumuskan undang-undang pelarangan niqab, sehingga tidak hanya Islam yang terselamatkan, kaum perempuan Muslimah juga akan terselamatkan. Langkah pertama yang perlu segera dilakukan adalah melarang niqab di sekolah-sekolah dan pelayanan-pelayanan umum.

Dan yang lebih penting lagi, al-Azhar harus mempunyai keberanian untuk mengeluarkan penjelasan yang tegas bahwa Islam tidak pernah, dan tidak akan pernah memerintahkan niqab, bahkan melarangnya dalam haji dan umrah. Perempuan berniqab hajinya tidak diterima Tuhan, bahkan dianggap batal.


* Diterjemahkan dari Majalah Rosa El Yossef, Edisi 4088, 14 Oktober 2006
** Peneliti dan Pemikir Islam Mesir
 
posted by Roland Gunawan at 8:27 PM | Permalink | 0 comments
Di Malam Nuzul al-Qur’an Itu

Pada suatu malam, saya shalat tarawih di sebuah Masjid. Kebetulan ketika itu adalah malam kedua tujuh belas Ramadhan, yang diyakini sebagai malam Nuzul al-Qur’an. Seperti biasa —barangkali memang menjadi tradisi di Arab—, sesudah rakaat keempat, ada seorang penceramah yang menyampaikan taushiyah atau nasehat. Pada saat ia menyampaikan orasinya, ada pernyataan menarik yang bagi saya cukup menggelikan, dengan berapi-api dia mengatakan: “ Sekarang ini banyak orang yang melakukan studi ilmiah terhadap al-Qur’an dengan menggunakan metode sejarah, mereka mengkritisi proses kodifikasi al-Qur’an, padahal mereka tahu al-Qur’an berasal dari Allah Swt., ia berada di atas sejarah. Ini berarti mereka telah merendahkan al-Qur’an, mereka meragukan eksistensi al-Qur’an sebagai kitab suci, mereka berusaha merobohkan keimanan kita terhadapnya.”

Sumpah, saya langsung ‘sumpek’ mendengarnya. Bagaimana tidak, pada zaman di mana dunia telah banyak berubah dengan segala perkembangan yang dialaminya, kok masih ada orang yang bicara seperti itu.

Andaikan pada saat itu dibuka forum dialog, saya akan acungkan tangan untuk angkat bicara. Saya ingin sekali mengatakan bahwa studi ilmiah bukan untuk menurunkan derajat al-Qur’an, justru itu merupakan upaya menyingkap kandungan-kandungan penting di dalamnya, dengan cara mengaitkannya dengan pribadi Nabi dan dinamika dakwahnya. Hal ini menuntut pengkajian teks al-Qur’an dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar kondisi-kondisi historis di mana ia diturunkan dan diriwayatkan. Studi ilmiah berangkat dari apa yang mampu dipahami oleh akal manusia. Pemahaman merupakan ‘pencernaan’ kognitif terhadap apa yang diupayakan untuk dipahami. Sesuatu yang tak terpahami, tidak bisa pula dicerna dengan instrumen-instrumen rasional. Dan ini adalah obyek keimanan. Sama halnya dengan wahyu sebagai ajaran-ajaran yang dibawa oleh manusia-manusia pilihan, yang dianggap melampaui batas kemampuan manusia, juga obyek keimanan. Sedangkan ilmu hanya melaksanakan apa yang bisa ditangkapnya dengan pemahaman. Demikian ketika ia berusaha menafsirkan fenomena kenabian dengan suatu metode, kadang tidak sesuai dengan fakta-fakta keimanan.

Di masa klasik, sebagai sebuah contoh, para filsuf Islam berupaya memahami fenomena kenabian melalui humanismenya, mereka menjelaskan munculnya kenabian dengan menggunakan konsep-konsep neo-aristotelianisme dan neo-platonisme. Demikian juga yang dilakukan para pakar, mereka mengkaji al-Qur’an melalui perspektif ilmiah dengan meletakkannya sebagai teks, dibaca dan ditulis, dan Nabi Muhammad telah menyampaikannya kepada para pengikutnya. Firman Tuhan menggunakan huruf-huruf bahasa manusia, diungkapkan dengan kata-kata manusia, jadi ia mencakup dua dimensi, dan inilah yang dikehendaki ilmu yang tidak melakukan kecuali apa yang mungkin dikuasai oleh akal, sebagaimana dijelaskan tadi. Sedangkan al-Qur’an sebagai sebuah kitab yang diturunkan secara literal kepada Nabi Muhammad adalah obyek keimanan. Dan setiap upaya ilmiah adalah benar di dalam upaya itu sendiri, meskipun barangkali hasilnya salah. Dalam salah satu karyanya, “Fashl al-Maqâl”, Ibnu Rushd mengatakan bahwa seorang alim (berpengetahuan) yang melakukan ijtihad, kalau benar ia akan mendapatkan dua pahala —satu untuk kebenaran yang ia capai, dua untuk ijtihadnya—, kalau salah ia akan mendapatkan satu pahala, karena ia berusaha.

Dalam pandangan kaum Muslimin, al-Qur’an adalah kitab samawi (turun dari langit). Namun satu hal yang boleh dilupakan, sejak awal al-Qur’an terikat dengan realita: kehidupan Nabi berikut fase-fase dahwahnya, dengan penyampaiannya [oleh Nabi] kepada kerabat dekat atau jauh, kepada kaum Musyrik dan Ahl al-Kitab, sebagai kabar gembira atau peringatan, atau juga sebagai reaksi terhadap agresi, itu semua seiring dengan kondisi-kondisi yang ada serta peristiwa-peristiwa yang menyertainya. Kaitan erat al-Qur’an dengan realitas menegaskan juga adanya peran besar al-Sunnah. Al-Sunnah merupakan ajaran-ajaran Islam, sebagaimana dijalani Rasulullah Saw. dan diterapkannya, menurut apa yang telah terekam oleh para sahabat dan tabi`in. Di mana pengkodifikasiannya berlangsung sebelum akhir abad kedua Hijriyah. Bisa dikatakan bahwa al-Sunnah adalah kesaksian hidup terhadap al-Qur’an yang ada dalam memori kolektif kaum Muslimin yang hidup di masa Nabi. Kesaksian hidup yang terjaga dalam memori kolektif ini merupakan salah satu upaya dari Nabi yang dapat mendekatkan kita pada makna-makna al-Qur’an dan menafsirkan hal-hal yang samar. Bukankah ini merupakan bukti dimensi dinamis historis firman Tuhan yang disampaikan Nabi?

Al-Qur’an disampaikan, sebagaimana diriwayatkan, dalam proses kontinyu selama kira-kira duapuluh tahun. Ketika wahyu diturunkan pertama kali telah terjadi dialog antara Nabi Muhammad dan Jibril di Gua Hira. Dialog itu tidak bisa dianggap sederhana, terputus, tetapi merupakan dialog ‘intim’ dan sehat antara manusia dan malaikat, antara bumi dan langit. Dialog tersebut memiliki dimensi-dimensi yang pengaruhnya luas; menjadi karakter seluruh ajaran Islam. Ketika diperintah malaikat Jibril untuk membaca, Nabi Muhammad tidak menjawab dengan penolakan, jawaban beliau adalah “Mâ anâ bi qâri’”. Menurut Prof. Dr. George Tamer, jawaban ini, kalau kita anggap sebagai pemberitahuan, maka itu menunjukkan sikap nyata dari suatu wujud; kalau dianggap sebagai pertanyaan, maka itu merupakan ‘tanya jawab’ sesungguhnya, yang menggambarkan ‘kebingungan’ akan wahyu yang baginya, untuk pertama kali, nampak aneh dan mengherankan. Pada dua kondisi ini kita melihat sisi ‘kemanusiaan’ yang menerima firman yang turun dari atas. Dimensi kemanusiaan, dimensi realitas historis yang menerima wahyu Tuhan, tidak ‘mati’, baik dalam dialog tersebut, juga dalam masa-masa setelahnya. Pengulangan perintah dan jawaban menunjukkan bahwa wahyu tidak datang secara otomatis (sekaligus), akan tetapi dalam proses berkelanjutan, dan dalam proses ini Nabi ikut serta dengan segenap jiwa raganya. Di kala wahyu tidak turun, Nabi gelisah dan cemas. Bahkan tak jarang beliau ingin mengakhiri hidupnya. Tidak ada yang melarangnya melainkan malaikat datang memperingatkan. Hal ini perlu direnungkan secara cermat untuk menyingkap beragam makna. Tidak cukup dengan melihat konteks sekarang bahwa sikap Nabi tersebut adalah sikap seseorang yang penuh hasrat dan rindu akan firman Tuhan yang belum diturunkan, lalu muncullah dalam jiwanya yang penuh kerinduan itu rasa sakit yang mendalam, dan dalam keadaan seperti itu tidak ada jalan lain untuk menggapai firman Tuhan kecuali kematian. Dimensi kemanusiaan, dalam posisi ini, berbicara dengan sangat kuatnya; menampakkan dirinya secara tajam dan jujur.

Unsur kemanusiaan begitu jelas terpampang dalam dialog dengan Tuhan selama turunnya wahyu. Tuhan tidak hanya berbicara dengan Nabi, Dia juga berbicara dengan kaum Mukmin, bahkan dengan para Ahl al-Kitab dan orang-orang kafir. Mereka semua adalah ‘lawan bicara’ Tuhan, mereka juga berbicara antara satu sama lain, sebagaimana yang terjadi antara para nabi dan kaumnya. Jadi bukan hanya Tuhan satu-satunya yang berbicara secara langsung dalam al-Qur’an. Di sana terdapat orang lain yang berbicara, sebagian berbicara dengan firman Tuhan, dan sebagian yang lain tidak. Ini tidak berarti bahwa al-Qur’an bukan wahyu dari Tuhan. Akan tetapi wahyu Tuhan yang memuat pembicaraan manusia.

Jadi, struktur al-Qur’an sangat dialogis, dinamis dan diskursif. Struktur ini sesuai dengan kondisi-kondisi di mana ia muncul, ketika nantinya ia merupakan wahyu yang diterima, dipindah dan dipindah-pindahkan. Studi ilmiah terhadap al-Qur’an merupakan upaya untuk menyentuh realitas historis ini, upaya mengingatnya kembali melalui studi terhadap surat-surat dan ayat-ayat, tidak terlepas dari ruang dan waktu ketika pertama kali ia diwahyukan. Studi ilmiah adalah upaya untuk kembali ke asal (al-ushûl), ke masa yang di dalamnya wahyu merupakan realitas dinamis, huruf-huruf yang berdenyut, kalimat-kalimat yang dibaca, ketika orang yang mendengarkannya pertama kali menjadi terheran-heran dengan keindahan dan keanehan isinya. Upaya untuk mencari jejak asalnya, menyingkap realitas historis yang di dalamnya al-Qur’an dikodifikasi, sekaligus juga muncul riwayat dan pembacaan yang variatif.

Upaya-upaya kritik terhadap kodifikasi al-Qur’an tidak berarti meragukan eksistensinya sebagai kitab suci. Orang-orang seperti Mohammed Arkoun, Abied al-Jabiry, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd dan beberapa pemikir Muslim lainnya, tak satupun dari mereka yang tidak percaya bahwa al-Qur’an berasal dari Tuhan. Yang saya rasakan ketika membaca karya-karya mereka, justru keimanan saya terhadap al-Qur’an menjadi semakin bertambah, dengan keimanan itu saya menjadi lebih terbuka untuk berdialog dengan orang lain.

Kritik terhadap kodifikasi al-Qur’an sebenarnya hendak menunjukkan bahwa al-Qur’an tidak lepas dari campur tangan manusia. Artinya, antara al-Qur’an dan manusia selalu terjadi dialektika; pergulatan yang terus-menerus, tidak turun dari Tuhan langsung berupa sebuah kitab seperti yang ada di tangan kita saat ini. Dari sini dapat dipahami bahwa sebenarnya Tuhan berkehendak agar manusia juga ikut berperan —walaupun hanya dalam proses kodifikasi; di samping itu tentu saja dalam penafsirannya—, sebab al-Qur’an diturunkan bukan untuk kepentingan Tuhan, tapi demi kepentingan manusia.

Kritik terhadap kodifikasi al-Qur’an tidak dimaksudkan untuk merobohkan keimanan kita terhadapnya. Hal itu dilakukan untuk menentukan metode penafsiran yang cocok. Saya sepakat, untuk saat ini, biarlah al-Qur’an kita apa adanya; sudah menjadi sebuah kitab. Yang kita butuhkan adalah metode penafsiran, agar al-Qur’an tidak hanya menjadi sekumpulan teks yang mati, akan tetapi ia tetap hidup dan dinamis serta mampu berdialektika dengan zaman.

Itulah yang ingin saya katakan. Saya ingin semua orang yang hadir ketika itu tahu, apa yang dikatakan si penceramah itu tidak benar; bahwa studi ilmiah hanya akan merendahkan al-Qur’an. Semestinya setiap kali memperingati malam Nuzul al-Qur’an, dalam diri kita harus senantiasa muncul kesadaran bahwa Tuhan menurunkan makna-makna baru al-Qur’an. Untuk mencari makna-makna baru itu tidak cukup hanya dengan mengandalkan model penafsiran ulama klasik, di samping itu diperlukan model-model lain yang tentu saja lebih cocok untuk konteks sekarang (=al-muhâfzhah `alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdz bi al-jadîd al-ashlah).

Banyak sekali cara yang bisa dipakai untuk menggali makna-makna baru dalam al-Qur’an. Misalnya dengan cara mengkritisinya dengan membaca ulang sejarah kodifikasinya. Saya menangkap bahwa apa yang selama ini digembar-gemborkan tentang kritik terhadap al-Qur’an, bukan pada teks al-Qur’an itu sendiri, tetapi lebih kepada hasil penafsiran para ulama terdahulu, itu saja. Sebagai kumpulan teks, al-Qur’an memiliki kekurangan. Kesempurnaan al-Qur’an justru, menurut saya, terletak pada “keterbukaannya” untuk ditafsirkan. Harus ada ijtihad baru sebagai upaya interpretatif terhadap teks-teks al-Qur’an. Ini sesuai dengan perkataan Imam Ali Ra., bahwa al-Qur’an tidak bisa bicara, ia hanya bicara melalui manusia dalam menjawab tantangan zamannya. Para ulama terdahulu, bahkan sejak zaman Nabi, selalu melakukan ijtihad penafsiran. Di setiap fase selalu ada ijtihad baru dalam menafsirkan al-Qur’an. Inipun sesuai dengan isyarat dari Nabi Saw. bahwa di setiap seratus tahun akan ada seorang pembaharu.

Herakleitos, seorang penyair dan filsuf Yunani sebelum Socrates, mengatakan bahwa matahari selalu baru setiap harinya, artinya ia selalu menunjukkan makna dan kesan yang berbeda; selalu berubah. Nah, kalau matahari saja bisa berubah, apalagi al-Qur’an yang kita yakini sebagai pedoman hidup.
 
posted by Roland Gunawan at 8:00 PM | Permalink | 0 comments
Ada Apa Dengan Fahmi Huwaidy?

Bertepatan dengan malam lebaran, saya dengan dua orang kawan berniat ingin ke Nil, sekedar ingin menikmati malam. Rencananya kami ingin naik Bis yang langsung ke Tahrir, namun setelah kurang lebih setengah jam menunggu, ternyata tidak ada. Akhirnya kami naik mobil angkutan ke Hayy Sabi`. Kami turun di Hayy Sabi`, saya lihat ada Baqqalah (toko kecil, begitulah kira-kira) yang buka, yang kebetulan menjual buku-buku, majalah-majalah, koran-koran, dll. Sambil nunggu Bis berangkat, saya mampir dulu ke toko itu. Secara tak sengaja pandangan saya tertuju pada majalah Rosa El Yossef, saya ambil saja, saya amati. Dan sungguh, saya terperanjat! Betapa tidak, di cover depan majalah itu secara jelas tertulis bahwa Fahmi Huwaidy, salah satu tokoh pemikir Islam Mesir, yang dulu dikabarkan pernah mengkafirkan Nasr Hamid Abu Zayd, telah sengaja melakukan plagiasi.

Awalnya saya kurang percaya. Tapi ketika saya buka majalah itu dan saya baca makalah yang ditulis oleh Aiman al-Hakim dengan cermat dan melihat sendiri buktinya, saya baru ‘agak’ percaya —saya katakan ‘agak’ karena dalam hati saya masih ada sedikit keraguan, apakah benar Fahmi Huwaidy melakukannya secara sengaja. Dalam makalah itu Fahmi Huwaidy dituduh melakukan plagiasi secara sempurna terhadap sebuah teks yang ada dalam buku Yusuf al-Qardhawi, al-Islâm wa al-Fann, yang kemudian dia publikasikan di internet dengan judul, Nazhrah fî Jamâliyyât al-Qur’ân al-Karîm. Dengan perbuatannya ini, di internet, Fahmi Huwaidy diletakkan dalam daftar “Lushûsh al-Kalimah” (plagiator).

Bagi kebanyakan orang Mesir, Fahmi Huwaidy adalah seorang pemikir Islam yang terkenal dengan kemampuannya menyampaikan gagasan-gagasan dengan argumen-argumen dan alasan-alasan yang valid, bahkan bisa dianggap sebagai “shâhib kalimah sâhirah” (orang yang kata-katanya cukup menyihir), tidak kalah tenarnya dengan Muhammad Imarah dan sederet pemikir Islam lainnya. Banyak sudah buku yang ditulisnya. Dan penggemarnya pun banyak, bukan hanya di Mesir, tapi di dunia Arab secara keseluruhan. Sebab, seperti diketahui, dia sering diundang untuk mengisi seminar mengenai masalah-masalah kaum Muslimin di pelbagai negara Arab.

Kebiasaan yang ada saat ini, para tokoh penulis banyak yang berefer kepada turâts atau tradisi yang lama, mengambil darinya, yang kadang-kadang, secara ‘lancang’, dengan alasan bahwa turâts adalah milik bersama, bukan milik per-seorangan, kendati di dalam kitab turâts itu tertera sebuah nama yang cukup terkenal, sebab waktu telah menghapusnya; kadaluarsa, segala sesuatu pada akhirnya akan ditinggalkan oleh zaman.

Akan tetapi ‘nasib jelek’ yang menimpa Fahmi Huwaidy adalah karena dia merefer kepada sebuah buku yang masih ‘baru’, ditulis oleh Yusuf al-Qardhawi, seorang dai yang cukup terkenal di dunia Islam dengan pengikut berjumlah puluhan ribu, sekarang dia masih hidup, dan seperti dirinya yang juga sama-sama memikirkan nasib umat Islam. Hampir bisa dipastikan, para pengikut Yusuf al-Qardhawi itu, rata-rata dari mereka pernah membaca buku-bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa. Di Indonesia kita tahu, hampir semua buku karya al-Qardhawi sudah diterjemahkan, malah tak sedikit yang jadi bestseller.

Sebagaimana ditulis oleh Aiman al-Hakim, hanya ada dua solusi bagi Fahmi Huwaidy. Pertama, melakukan klarifikasi dengan membuat pernyataan resmi yang dihadiri Mabâhits al-Ma`lûmât wa al-Hisâbât, suatu badan baru yang belum lama ini dibentuk oleh Departemen Dalam Negeri Mesir yang secara khusus mengawasi perkembangan kejahatan, sekaligus memburu para ‘pelaku kejahatan’ di internet; lapangan baru bagi kejahatan-kejahatan informasi. Fahmi Huwaidy harus dengan tegas mengatakan bahwa dirinya terbebas dari tuduhan itu, menunjukkan bukti-bukti bahwa dia tidak pantas untuk diletakkan dalam daftar “Lushûsh al-Kalimah” (plagiator), sekaligus meminta kepada pelaku untuk segera menghapus namanya dari daftar itu. Kedua, kalau tuduhan itu benar, maka Fahmi Huwaidy harus segera meminta maaf kepada para pembacanya, serta menjustifikasi ‘kejahatannya’ melakukan plagiasi dengan alasan-alasan yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan.

Sebenarnya ada solusi ketiga, yaitu dengan “diam”, hanya saja harga yang harus dibayar sangat mahal. Fahmi Huwaidy akan kehilangan kepercayaan, ini lebih menakutkan dan lebih berbahaya dari yang pertama dan kedua, khususnya bagi penulis yang membangun popularitasnya di atas kepercayaan. Apa jadinya kalau sudah kehilangan itu?

Kita amati peristiwa-peristiwa yang terjadi secara beruntun di dunia Islam selama sebulan terakhir sudah tidak mampu lagi dicerna oleh akal, sesuatu yang membuat kita tercengang dan terheran-heran, menimbulkan perasaan takut terhadap masa kini dan pesimis menghadapi masa depan. Sekarang umat Islam tengah menghadapi banyak masalah, penyelesaiannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kita lihat upaya-upaya untuk menyelesaikannya sudah mulai dilakukan, walaupun barangkali agak lamban. Tokoh sekaliber Fahmi Huwaidy tidak seharusnya memperlihatkan contoh kurang baik bagi umat. Ini saya kira merupakan salah bentuk pembodohan terhadap umat.
 
posted by Roland Gunawan at 7:39 PM | Permalink | 0 comments
Monday, October 23, 2006
Jilbab Bukan Kewajiban Agama
Saya cukup sepakat dengan pendapat Nong Darol Mahmada dalam tulisannya yang dimuat di Website JIL. Pendapatnya sama persis dengan pendapat Muhammad Said al-Asymawi, salah seorang pemikir Mesir, dalam bukunya, “Ma`âlim al-Islâm”, bahwa di masa lalu, katakanlah di masa para Khalifah, jilbab berfungsi untuk membedakan perempuan merdeka dan budak. Ini terbukti ketika Khalifah Umar memarahi seorang perempuan merdeka yang tidak memakai jilbab dengan berkata: “Apakah kamu ingin seperti budak?.” Saya lihat, nampaknya riwayat yang seperti ini kurang begitu diperhatikan oleh banyak ulama, mereka lupa bahwa “al-hukm-u yadûru ma`a al-`illah,” “hukum itu tergantung —meminjam bahasa Nong Darol Mahmada— alasan rasionalnya.” Untuk saat ini perbudakan sudah tidak ada lagi dalam Islam, sehingga hukum pamakaian jilbab terhapus dengan sendirinya.

Apalagi ada indikasi bahwa jilbab adalah tradisi turun-temurun masyarakat Arab. Saya cukup lama tinggal di Mesir, terus terang saja saya tidak bisa membedakan mana perempuan Muslimah dan mana perempuan Kristen. Banyak kaum Muslimah di Mesir yang memakai jilbab (tapi banyak juga yang tidak pakai jilbab, dan perempuan Kristen juga banyak yang pakai jilbab. Jadi dapat disimpulkan bahwa penggunaan jilbab bukan murni semata-mata karena agama, akan tetapi karena jilbab merupakan pakaian tradisional yang dipakai secara turun-temurun. Dan saya mengalami sendiri, Di Mesir itu tidak ada hujan, kalau ada hanya dua kali setahun, itupun hanya rintik-rintik saja. Di Mesir tidak ada rumah yang dicat warna-warni, sebab kalau dicat akan kotor lagi, pasalnya hampir tiap hari ada hujan debu. Makanya siapapun boleh menggunakan jilbab, perempuan Muslimah atau Kristen. Nah, dalam kondisi seperti ini, kalau kita ingin membedakan antara perempuan Muslimah dan perempuan Kristen, apakah kita akan melarang perempuan Kristen menggunakan jilbab?

Demikian juga, perintah agar perempuan menggunakan jilbab dengan alasan untuk menjaga diri supaya tidak terganggu, adalah alasan yang dibuat-buat. Menurut hemat saya, itu tergantung perempuannya. Kalau perempuannya memang agak “nakal”, memakai jilbab pun tidak akan ada artinya, hanya akan menjebaknya pada kemunafikan, jilbab hanya akan jadi topeng untuk menutup-nutupi sifat buruknya. Sebaliknya, perempuan terhormat, baik dan punya prinsip, meski tidak memakai jilbab, dia akan mampu menjaga dirinya.

Akhir-akhir ini beredar VCD Porno. Dalam VCD ini yang melakukan hubungan seksual bukan siapa-siapa, melainkan seorang siswi berjilbab. Coba, apa gunanya jilbab kalau sudah seperti ini?
 
posted by Roland Gunawan at 4:45 AM | Permalink | 0 comments
Monday, October 02, 2006
Puasa dan Keadilan Tuhan

Suatu ketika saya naik bus bersama seorang kawan. Di atas sebuah kursi yang nampak kumuh, dia berkata kepada saya: “Land, tanpa disadari waktu berjalan begitu cepat.” Saya bilang: “Memang, lalu kenapa?” Dia menjawab: “Ya, nggak, hanya saja aku belum merasa siap, bukankah bulan puasa makin dekat?” “Siapa bilang makin jauh.” “Kira-kira bisa nggak ya ditunda?” “Ya, nggak bisalah, coba ajach kamu minta sama Tuhan, kali ajach dikabulkan.”

Ya, puasa tudah tiba. Macam-macam orang menyambutnya. Ada yang siap, ada pula yang tidak siap seperti teman saya tadi. Ada yang bahagia; karena di bulan ini dia bisa meraup banyak pahala. Ada juga yang sedih; karena di bulan ini dia harus meninggalkan kesukaan yang biasa dia lakukan di siang hari.

Saya sih tidak terlalu peduli bagaimana orang menyambut datangnya bulan Ramadhan. Bagi saya, puasa adalah ibadah yang diwajibkan; mau tidak mau harus dilaksanakan. Toh yang namanya ibadah pasti ada signifikasinya, ada hikmah di baliknya. Tuhan tidak akan menyuruh manusia untuk mencelakai dirinya. Justru dalam ibadah itu sendiri, sekiranya kita tidak mampu melaksanakannya secara sempurna, Tuhan memberikan banyak kemudahan. Semisal shalat, kalau kita tidak bisa melakukannya dengan berdiri karena suatu halangan, bisa dengan duduk. Tidak mampu dengan duduk, bisa dengan berbaring. Tidak mampu juga, bisa dengan isyarat dalam hati.

Sama halnya dengan puasa. Bila sudah tidak mampu berpuasa di bulan Ramadhan, kita dibolehkan menggantinya di bulan-bulan yang lain, ini anjuran Tuhan. Fanatik terhadap apa yang disembah harus didahulukan sebelum fanatik terhadap ibadah itu sendiri. Tuhan berfirman: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, tidak menghendaki kesukaran bagimu.” Ayat ini mengisyaratkan makna bahwa Tuhan memaafkan orang yang tidak berpuasa karena sakit dan bepergian jauh. Tuhan menghendaki kemudahan, tidak akan menyusahkan hamba-Nya. Lihatlah juga firman-Nya: “…maka [wajib mengganti] sebanyak hari [yang dia tidak puasa itu] pada hari-hari yang lain.” Allah telah mensyariatkan ini, jangan sekali-kali menyusahkan diri.

Hikmah puasa banyak sekali, salah satunya adalah isyarat bahwa Tuhan itu Maha Adil. Kemahaadilan-Nya diperuntukkan bagi siapa saja; kaya atau miskin. Bagi orang kaya, puasa bisa menjadi peringatan betapa tidak enaknya kalau lagi lapar dan haus. Dia akan sadar bahwa di sekelilingnya banyak sekali orang yang kelaparan; merasakan penderitaan orang-orang miskin. Selama satu bulan penuh dia dituntut menahan lapar dan haus agar nantinya terbentuk suatu kesadaran berupa kepedulian terhadap sesama. Begitu kesadaran itu terbentuk, di hari akhir bulan puasa dia diwajibkan membayar zakat. Sebenarnya pewajiban zakat tidak begitu penting bila kesadaran itu sudah tertancap dalam hati manusia, mengisi setiap sudut jiwanya; tanpa diwajibkanpun dia akan melakukannya.

Sebaliknya bagi orang miskin, puasa dapat meringankan beban yang menghimpit hatinya. Bayangkan, di luar bulan Ramadhan, di siang hari, dia melihat banyak orang makan dan minum di rumah-rumah makan atau di jalan-jalan. Dan ini, setidaknya akan menimbulkan penyakit hati, yaitu perasaan iri, dengki dan penyakit hati lainnya. Atau bahkan mungkin akan melahirkan benih-benih sû’ al-zhann terhadap Tuhan; dia akan mengatakan dalam dirinya: “Tuhan tidak adil!”

Penyakit-penyakit hati bisa menimpa siapa saja. Orang kaya, penyakit hati yang biasa menggerogotinya adalah kesombongan (takabbur). Orang miskin, penyakit hati yang biasa merasukinya adalah perasaan iri atau dengki. Seperti biasa, orang kuat akan sombong dengan kekuatannya, sebaliknya orang lemah akan merasa iri karena kelemahannya. Tuhan tahu hal ini. Karena itulah Dia menyediakan satu bulan khusus yang di dalamnya manusia disuruh berlatih dan berlatih, paling tidak untuk meminimalisir segala bentuk penyakit hati tersebut; atau bahkan menghilangkannya sama sekali.

Contoh lain dari keadilan Tuhan di bulan Ramadhan adalah berkaitan dengan kontak seksual suami-istri di siang hari. Kita tahu, puasa akan batal bila ada sesuatu yang masuk ke perut melalui beberapa “lubang” di tubuh kita. Dalam kontak seksual kita lihat —maaf agak porno, tapi saya harus katakan ini: “Qul al-haqq walau kâna murr-an,” “katakanlah yang benar, walaupun pahit terasa (baca: agak ngeres).” Toh, banyak ulama fikih klasik yang bicara agak ngeres ketika membahas suatu hukum berkenaan dengan puasa dll. Tapi terserah ajach sih, setiap kita punya pikiran yang berbeda—, “sperma” suami tidak akan lari ke mana-mana, sudah pasti ke dalam “itunya” si istri. Tapi kenapa yang batal kok kedua-duanya, kok bukan si istri saja? Bukankah ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak adil? Coba perhatikan, si suami kehilangan cairan dari tubuhnya, bahkan tenaganya banyak yang terkuras, sehingga ketika “permainan” itu sudah selesai, rasa cape’ dan pegal-pegal datang menggerogoti. Sedang si istri “kandungannya” menjadi “bertambah”. Bagaimana ini?

Kita tahu puasa adalah salah satu pilar agama. Dalam agama dijelaskan, laki-laki dan perempuan diciptakan dari satu jiwa (min nafs-in wâhidah). Nabi saw. bersabda yang maknanya begini: “Barang siapa yang ingin menyempurnakan separuh dari agamanya, hendaknya ia kawin.” Hadis ini mengisyaratkan, bahwa manusia, sebelum menyatu dengan pasangannya, agamanya dianggap belum sempurna; masih ada sesuatu yang kurang. Ini berarti, suami-istri, walaupun nampak berbeda, hakikatnya adalah satu, ikatan pernikahan telah membuat keduanya menyatu dalam kesempurnaan; bersatu lahir dan batin. Ketika yang satu sakit, yang lain juga ikut sakit, ketika si istri bahagia, si suami juga ikut bahagia.

Di bulan Ramadhan, keduanya punya kewajiban yang sama; berpuasa. Ketika keduanya melakukan kontak seksual, ya, sama-sama batal. Seperti yang saya sebutkan tadi, keduanya adalah satu, ibarat satu badan. Jika yang satu adalah mulut, maka yang lain adalah tangan; tangan menuangkan air ke mulut. Karena sudah seperti satu badan, masa’ sih cuma mulutnya ajach yang batal? Ya, nggaklah, semuanya ikutan batal.

Itulah keadilan Tuhan. Kalau Tuhan tidak adil, yang batal tentu hanya si istri. Sebab “sperma” si suami masuk ke “anunya”. Tapi nyatanya yang batal malah kedua-duanya. Ini menandakan juga bahwa Tuhan tidak diskriminatif, tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan; di hadapan-Nya semua sama, tidak ada yang lebih utama dari yang lain.

Itulah keadilan Tuhan. Kalau Tuhan tidak adil, tentu si kaya saja yang disuruh puasa, biar terus berlatih agar tidak sombong; merasakan kelemahannya sebagai manusia. Kalau Tuhan tidak adil, tentu si miskin saja yang disuruh berpuasa, soalnya sudah biasa kelaparan.

Itulah keadilan Tuhan. Kalau Tuhan tidak adil, tentu orang tua saja yang disuruh puasa, biar lebih banyak beribadah, hitung-hitung persiapan menghadapi kematian. Kalau Tuhan tidak adil, tentu orang muda saja yang disuruh puasa, karena lebih kuat; staminanya masih gres. Kalau ada orang tua rajin ibadah itu biasa, ajalnya semakin dekat. Kalau ada pemuda rajin ibadah itu baru luar biasa, sebab, di saat jiwanya melonjak ingin bersenang-senang menikmati masa mudanya, ternyata itu tidak membuatnya lalai akan kewajiban-kewajibannya, malah semakin tekun. Kalau sudah tua, apa lagi yang mau dinikmati, tidak ada; hanya menunggu malaikat maut mencabut rohnya. Tapi, toh yang namanya maut tidak diketahui kapan datangnya, bisa saja yang muda lebih dulu out dari dunia. Justru inilah keadilan Tuhan, biar setiap manusia menjadi waspada.

Keadilan Tuhan juga tampak ketika memberikan pahala yang melimpah-ruah bagi orang yang berbuat baik di bulan Ramadhan. Sekecil apapun kebaikan yang kita perbuat, pahalanya akan dilipatgandakan. Bahkan tidurpun dianggap ibadah. Jadi, rasa cape’ kita tidak sia-sia. Semakin sulit, semakin banyak pula pahala yang bisa didapat. Ibarat orang kerja lembur, masa’ gaji nggak ditambah? Ya, puasa di bulan Ramadhan itu seperti orang kerja lembur; siang disuruh nggak makan dan minum, di samping harus mengerjakan ibadah lain, sedang di malam hari disuruh shalat tarawih. Tapi, sekali lagi, kita tidak perlu terlalu memaksakan diri, kalau sudah tidak mampu, karena suatu halangan, puasa boleh diganti di hari-hari yang lain. Di sinilah lagi-lagi, Tuhan Maha Adil, sehingga tidak mau menyusahkan hamba-Nya.

 
posted by Roland Gunawan at 8:23 AM | Permalink | 0 comments

"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"