**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Thursday, November 23, 2006
Pengantar Untuk Buku "Spirit Modernitas; Paradigma Islam Integral"

MASIH segar dalam ingatan kita seorang pejuang kemanusiaan yang bercita-cita menyatukan antara Timur dan Barat. Muhammad Iqbal, itulah nama pejuang yang sangat populer sebagai representasi modernisasi Islam di India, dan bapak spiritual negara Islam di Pakistan. Iqbal sudah mencurahkan segala upayanya demi satu tujuan: mewujudkan adanya saling pengertian antara Timur dan Barat. Menurutnya, secara penalaran, dunia Barat boleh dibilang lebih maju dari dunia Timur, tetapi kalau ditinjau dari aspek moral transendental sudah berlari begitu jauh hingga hampir memasuki pintu gerbang kehampaan. Sedangkan Timur yang tertimbun dalam jurang spiritualisme, sudah lama pula berdiam diri tanpa dinamika (Syafi`i Ma`arif: Muhammad Iqbal dan Suara Kemanusiaan dari Timur). Upaya yang dilakukan oleh Iqbal kiranya merupakan sebentuk keprihatinan melihat konflik berkepanjangan antara Barat dengan Timur.

Sebenarnya, konflik antara Barat dan Timur, Islam khususnya, telah berlangsung sejak berabad-abad yang silam, sejak Islam melakukan penaklukan besar-besaran, seperti digambarkan dalam prolog buku ini, terhadap Syam, Mesir, Persia, Andalusia, Eropa Timur, Asia kecil serta segenap ekspedisi misioner yang dilakukan ke belahan dunia lain yang meliputi benua India, bahkan hampir sebagian besar benua Asia. Sebagaimana lazimnya watak manusia, yang tidak mudah melupakan kekejaman orang lain terhadap dirinya, penaklukan yang dilakukan Islam secara sengaja dijadikan tumpukan memori yang pada akhirnya bermetamorfosa menjadi “dendam kesumat” oleh orang-orang Eropa. Berbekal “dendam” inilah mereka kemudian belajar dan membenahi diri dengan sungguh-sungguh. Dan pada episode berikutnya, cita-cita untuk menjadi bangsa digdaya benar-benar menjadi kenyataan. Di saat kekuatan-kekuatan Islam melemah, sebaliknya mereka sudah melangkah jauh meninggalkan masa lalunya yang kelam menuju apa yang kita kenal dengan zaman modern. Sebutan “bangsa penakluk” telah berpindah kepada mereka. Eropa dan Barat telah menjadi bangsa-bangsa raksasa yang sulit dikalahkan.

Seperti biasa, yang kuat akan berbuat semena-mena kepada yang lemah. Kita saksikan, paling tidak sejak awal-awal tahun 90-an hingga sekarang, bagaimana Barat dengan kekuatannya, melalui ucapan dan tulisan sebagian ilmuannya, melalui media-media informasi yang dimilikinya, menyebarkan “kebohongan” bahwa Islam —setelah hancurnya Uni Soviet— merupakan musuh terbesar bagi kedamaian dunia, bahaya terbesar yang mengancam apa yang kita kenal dengan “dunia bebas”. Mungkin kita masih ingat bagaimana seorang Huntington secara “cerdas” menggambarkan Islam sebagai musuh utama Barat dalam bukunya, Clash of Civilization. Saya berkeyakinan, bahwa Islam, atau agama apapun, dengan sendirinya, tidak mungkin menanamkan permusuhan. Dari itu, permusuhan terhadap Barat harus dipahami dalam konteks sejarah yang di dalamnya masyarakat dunia ketiga hidup, Islam ataupun non-Islam, serta merasakan keterbelakangannya dari negara-negara industri yang maju dan ketundukannya, sebagaimana masyarakat tersebut, walaupun tertatih-tatih, berusaha untuk lepas dari keterbelakangan dan ketundukan itu. Ini berarti bahwa Islam hakikatnya bukanlah ancaman bagi dunia, justru sebaliknya: mayoritas kaum Muslimin saat ini merasa didhalimi dan diancam. Jika perasaan semacam ini kadang-kadang menyebabkan munculnya hal-hal yang irrasional atau aksi-aksi radikal —terhadap orang asing atau para touris, secara khusus di negara-negara yang mayoritas masyarakatnya adalah Muslim— maka yang paling bertanggung-jawab seharusnya adalah sebagian kekuatan Barat yang terlalu hegemonik terhadap dunia, mengkhianati nilai-nilai ideal yang selama ini digembar-gemborkan (seperti hak penentuan nasib, demokrasi dan hak-hak kemanusiaan dll.) serta menerapkan standar-standar ganda yang malah membahayakan kemaslahatan masyarakat-masyarakat dunia ketiga, khususnya masyarakat Islam. Bukti paling kongkret dari kedhaliman yang terjadi adalah tragedi Bosnia, tragedi Palestina, tragedi Irak dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Andaikata tragedi-tragedi ini dan semacamnya melahirkan reaksi-reaksi keras melalui gerakan-gerakan fundamentalisme, orang-orang Barat tidak bisa dengan serta-merta menganggap Islam sebagai musuh, justru hal ini harus memancing mereka untuk mempelajari faktor-faktor gerakan-gerakan radikal tersebut, mendorong untuk mengkaji ulang standar-standar ganda mereka sendiri, berusaha untuk merubah sikap terhadap kaum Muslimin dan menjelaskan bahwa mereka datang untuk memahami, bukan untuk memerangi.

Kenyataan yang ada di hadapan kita memperlihatkan, betapa umat Islam tidak saja terancam dari luar, dari dalam mereka sendiri malah muncul masalah yang sangat serius, perselisihan antarkelompok yang juga tidak kunjung selesai, sehingga membuat mereka terkapling-kapling, hanya gara-gara persoalan yang sangat sepele.

Saya melihat apa yang dilakukan kawan-kawan SAS (Said Agil Siradj) Center ini —termasuk saya sebagai salah seorang penulis— sebenarnya adalah upaya integralisasi kesadaran antara pelbagai mainstream atau mazhab yang ada dalam Islam (tawhîd al-wa`y al-dînî). Dalam buku ini, kita lihat misalnya urutan makalah yang masing-masing bertemakan teologi, fikih, tasawuf, dan politik. Dari urutan ini terlihat dengan jelas, teologi sengaja didekatkan dengan fikih, sedangkan tasawuf didekatkan dengan politik. Di sini, sebetulnya, titik penyatuannya berada pada teologi dan tasawuf, dan titik perselisihannya terletak pada fikih dan politik. Dengan kata lain bahwa, teologi membahas tentang masalah-masalah ketuhanan, sementara fikih adalah pelbagai pendapat manusia mengenai kaidah-kaidah dan hukum-hukum yang menjelaskan tentang `ibâdât (=hubungan manusia dengan Tuhan) atau mu`âmalât (=hubungan manusia dengan manusia). Saya tetap percaya bahwa Islam merupakan sekumpulan ajaran Tuhan yang diturunkan kepada seluruh makhluk, dan saya yakin seluruh kaum Muslimin sepakat dengan saya. Hanya saja, ajaran-ajaran Tuhan tersebut tidak akan dikenal oleh manusia kecuali melalui penafsiran yang tak lain adalah aktivitas manusia itu sendiri. Karena kualitas akal manusia berbeda-beda, maka hasil penafsirannya pun tidak seragam. Sehingga tidak heran kalau setiap kelompok atau mazhab mempunyai pendapat sendiri-sendiri mengenai tata cara pelaksanaan `ibâdât dan mu`âmalât tadi. Namun demikian, teologi yang dipakai seluruh umat Islam, betapapun terkadang terdapat perbedaan dalam menggambarkan entitas Tuhan, toh mereka tetap mengakui teologi tauhid, yaitu peng-esaan Allah swt.. Ini artinya, betapapun fikih yang dianut berbeda-beda, tetapi Tuhan tetap satu.

Di dalam buku ini juga, seperti saya singgung di atas, tasawuf didekatkan dengan politik. Tasawuf adalah upaya manusia untuk membersihkan atau menyucikan segala noda dan dosa yang menempel serta mengotori jiwa, yang tujuan akhirnya adalah mendekati, berdialog dan menyatu dengan Tuhan. Dan pendekatan yang dilakukan bukan dengan teki-teki rasional sebagaimana para ahli kalam, melainkan dengan cinta yang muncul dari hati yang suci. Adapun politik adalah “alat” yang senantiasa digunakan untuk mendapatkan kekuasaan, baik secara halus maupun dengan kekerasan. Perjalanan sejarah Islam selalu saja diwarnai dengan konflik antarkelompok, terutama Syi`ah dan Ahl al-Sunnah, yang pada akhirnya dimenangkan oleh Ahl al-Sunnah, karena kelompok ini berhasil memegang kendali politik. Kesuksesan secara politik ini lantas mereka campur-aduk dengan kebenaran dogmatik agama, sehingga secara agresif mereka berhasil memonopoli pemahaman Islam yang benar (=ortodoksi), tentu saja demi kepentingan mereka sendiri. Sementara kelompok yang tidak sealiran dilempar begitu saja ke jurang heretodoksi.

Namun, di tengah-tengah percaturan politik yang nampak tidak adil itu, terdapat sejumlah orang yang secara sengaja mengasingkan diri, mencari sepercik kedamaian pada sudut-sudut dunia. Tuhan yang bagi manusia biasa mustahil dicapai, coba mereka hadirkan dalam jiwa, mengiringi setiap deraian nafas, tuk hapuskan segala dahaga, dan mengisi pelbagai macam kehampaan. Mereka adalah para sufi yang secara tulus menyembah Tuhan, menyembah-Nya dengan segenap cinta. Setiap saat mereka berdialog dengan-Nya, menumpahkan kegelisahan-kegelisahan batin, mencurahkan berjuta kerinduan yang menghimpit.

Mereka inilah yang kemudian mengajak manusia untuk instrospeksi diri, melihat siapa dirinya yang sesungguhnya, bertanya apa sebenarnya tujuan hidupnya. Politik bukanlah tujuan hidup, ia tak lebih dari sekedar alat. Pada dasarnya memang tidak salah seseorang berkecimpung dalam dunia politik, hanya saja jika pilihan hidupnya diimbangi dengan sikap kritis, karena bagaimanapun politik adalah buatan manusia yang relatif, serba kekurangan. Relativitas politik sangat berpotensi memunculkan pelbagai konflik berdarah. Di sinilah spirit sufistik sangat diperlukan demi mewujudkan adanya sikap saling mengerti, saling menerima dan saling menghormati satu sama lain, sehingga integralitas umat yang selama ini menjadi harapan nantinya akan benar-benar tercapai.

Tentunya spirit sufistik yang dimaksud bukanlah spirit yang “mandul”, atau spirit yang selama ini diasumsikan sebagai penyebab mundurnya peradaban agama dan manusia, tetapi spirit yang dinamis dan menggerakkan. Bukan spirit yang membuat seseorang berhenti menjalin kontak dengan sesamanya, melainkan spirit yang mempunyai kepekaan sosial yang tinggi.

Kalau ditinjau lebih jauh, dalam buku ini kita akan melihat banyak sekali indikasi yang mengarah pada proses terciptanya ijtihad baru, sebuah aktivitas penalaran yang selama ini ramai dibincangkan oleh para tokoh Islam, sebut saja di antaranya adalah Muhammad Iqbal. Menurutnya “ijtihad” merupakan prinsip gerakan dalam Islam. Gerakan yang dimaksud adalah gerakan ke arah sesuatu yang lebih baik atau yang lebih maju. Sebab ijtihad sendiri artinya berusaha dengan sungguh-sungguh. Dalam istilah fikih kata ini berarti berusaha dengan tujuan melakukan suatu penalaran rasional yang bebas perihal suatu persoalan hukum. Kiranya ini sesuai dengan semangat yang terkandung dalam sebuah ayat al-Qur’an yang berbunyi: “Dan kepada mereka yang berusaha kami tunjukkan jalan kami.” Juga ayat lain yang senada: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali mereka mau merubahnya sendiri.” Ini dipertegas oleh sebuah hadis yang menceritakan tentang pengangkatan Mu`adz sebagai gubernur Yaman oleh Nabi. Diceritakan bahwa Nabi bertanya kepada Mu`adz bagaimana seyogyanya ia mengambil keputusan mengenai persoalan yang dihadapinya. “Saya akan menjalankan hukum berdasarkan al-Qur’an,” kata Mu`adz. “Tapi jika dalam al-Qur’an tidak ada petunjuk bagimu?” “Saya akan jalan dengan berpijak pada Sunnah.” “Tapi kalau dalam Sunnah juga tidak ada?” “Saya akan berusaha menurut penalaran saya sendiri.”

Dua ayat sebelumnya, secara tidak langsung, menyuruh kita untuk senantiasa berusaha tanpa henti. Sebab hanya dengan berusaha Tuhan akan mengulurkan “tangan-Nya” membantu kita. Sementara hadis setelahnya menjelaskan tentang pedoman yang harus dijadikan pijakan dasar dalam mengarungi kehidupan. Hubungan antara kedua ayat dengan hadis tersebut menjadi sangat jelas, bahwa manusia harus berusaha untuk terus berubah, bergerak ke arah yang lebih baik. Dan dalam menjalani hidupnya, manusia memerlukan pedoman yang bisa dijadikan sandaran. Pedoman tersebut bisa berupa teks-teks agama, seperti al-Qur’an dan hadis, tapi ini saja tidak cukup, manusia masih membutuhkan pedoman lain yang tidak kalah pentingnya dari sekedar teks-teks agama, yaitu akal. Nabi tidak akan bertanya lebih lanjut perihal apa yang harus dilakukan jika ternyata al-Qur’an dan hadis sudah mencukupi dalam proses perumusan hukum. Justru pertanyaan terakhir yang beliau ajukan itu menunjukkan bahwa al-Qur’an dan hadis masih memiliki keterbatasan. Pada titik inilah akal mempunyai peran yang sangat signifikan. Untuk mengaktivasi akal, ijtihad yang oleh Iqbal dianggap sebagai “prinsip gerakan” harus diberlakukan, tidak boleh tidak.

Di samping itu, buku ini juga menyajikan semacam dekonstruksi-rekonstruksi; rancang-bangun teologi, fikih, tasawuf dan politik sengaja dikritik dengan menelusuri latar belakang sejarahnya, setelah itu baru kemudian dilakukan “pembangunan kembali” agar sesuai dengan semangat-semangat modernitas. Nah, setidaknya, “Spirit Modernitas; Paradigma Islam Integral” sudah cukup mewakili untuk menjadi judul buku yang sangat sederhana ini.
************


Sebagian orang barangkali ada yang bertanya, kenapa kami harus capek-capek menulis artikel untuk kemudian dikodifikasikan dalam sebuah buku? Kita perlu melihat masa lalu kita dengan kaca mata masa kini, bukan sebaliknya. Sebagian dari kita ada yang senang mewarnai kehidupan kita saat ini dengan hiasan-hiasan masa lalu, ini adalah sikap yang tidak selaras dengan logika sejarah. Perlu diingat, di hadapan kita ada dua peradaban, peradaban “nenek moyang” kita di satu sisi, dan peradaban masa kini di sisi lain, akan tetapi kedua peradaban ini saling bertolak belakang, sehingga kita tidak mungkin bisa menerima keduanya sekaligus. Peradaban pertama, secara mendasar berkutat pada moralitas-moralitas perilaku yang diridhai Tuhan Yang Maha Esa, sementara peradaban kedua berkutat pada saint berikut bidang-bidang pekerjaan yang dihasilkannya. Peradaban pertama adalah peradaban “teks”, sedang yang kedua adalah peradaban “alat”. Peradaban pertama menghasilkan manusia-manusia yang seragam, adapun yang kedua menghasilkan pabrik-pabrik serta roket-roket yang menari-nari di angkasa. Di sini kita dituntut supaya mampu menyelaraskan keduanya. Ini adalah hal yang tidak pernah ditargetkan oleh Barat, sebab ia hanya memiliki satu peradaban; peradaban modern seperti yang kita lihat saat ini. Kita mengambil dari peradaban Barat apa yang bisa kita ambil, bahwa kita kalau ingin berubah dan membentuk peradaban baru, kita harus merubah standar-standar atau pola-pola yang sudah tidak sesuai dengan kehidupan kita saat ini, maka demi terwujudnya perubahan itulah kami menulis.

Perlu disampaikan di sini, bahwa penulis itu bisa dikelompokkan menjadi dua, sebagian ada yang menulis apa yang ingin dibaca oleh banyak orang, sebagian yang lain ada yang menulis apa yang harus diketahui oleh para pembaca. Kelompok pertama menulis dengan tujuan mencari kerelaan dari para pelanggannya, sedang kelompok kedua hanya memberikan arahan dan petunjuk meskipun harus menuai kemarahan dan kebencian dari banyak orang. Kelompok pertama adalah pemegang cermin agar pada permukaannya bisa memantulkan gambaran manusia sebagaimana adanya, adapun kelompok kedua adalah pemegang lampu guna menerangi jalan di hadapan manusia; jalan baru yang sebelumnya kurang atau bahkan tidak terpikirkan sama sekali (=allâ mufakkar fîhi). Dan kami telah memilih —meskipun sulit— untuk menjadi seperti kelompok kedua, sebab kami senantiasa berusaha menuju ke arah tatanan kehidupan yang lebih baru.

Tak soal kami menulis untuk siapa, kami tidak punya hak untuk memilih pembaca, kami hanya menulis bagi siapa saja yang sudi membacanya. Dan kami tidak bisa mengklaim bahwa kami mampu melenyapkan segenap kegelisahan yang ada di masyarakat, bahkan mungkin, dengan apa yang kami tulis ini, justru akan menambah kegelisahan-kegelisahan lain. Kami tidak ingin menjadi penjilat atau mencari muka, jika kami melihat masyarakat —yang kami adalah bagian dari mereka— merasa perlu untuk melakukan perubahan, maka kami persembahkan buku ini dalam rangka menunaikan amanah pemikiran. Perkara nanti apa yang kami tulis salah atau benar, itu adalah soal lain, yang jelas kami telah berusaha menorehkan pemikiran kami dengan penuh ketulusan.

Itulah sekedar pengantar dari saya selaku editor. Mewakili kawan-kawan SAS Center, tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran proses penerbitan buku ini. Kami juga mohon maaf jika dalam buku ini terdapat banyak sekali kekurangan, justru hal itu menunjukkan bahwa kami hanyalah manusia biasa yang tak kebal kesalahan. Akhirnya kritik dan saran konstruktif tetap kami tunggu dari para pembaca, biar untuk ke depan kami bisa berbuat yang lebih baik.
 
posted by Roland Gunawan at 10:41 PM | Permalink | 0 comments
Sunday, November 12, 2006
Tentang Niqab

Sebagai basa-basi saja, saya ingin sedikit bercerita. Pernah suatu saat saya mendapatkan email pribadi dari seorang perempuan, gara-garannya ketika dalam suatu forum debat kandidat presiden PPMI saya sempat melontarkan pendapat bahwa perempuan boleh menjadi presiden. Oleh salah seorang pendebat, yang kebetulan adalah seorang perempuan, saya ditanya; “Bagaimana Anda akan memperlakukan kaum perempuan kalau Anda nanti benar-benar terpilih menjadi Presiden PPMI (Persatuan Pelajar dan Mahasiswa/i Indonesia), sebab selama ini kaum cewek cenderung dianaktirikan oleh PPMI?” Ditanya seperti itu, saya katakan saja, kalau saya benar-benar menjadi presiden PPMI, saya akan membubarkan WIHDAH biar melebur dengan PPMI, sehingga dalam tubuh organisasi induk PPMI, kaum perempuan (para mahasiswi) nantinya dapat menduduki jabatan-jabatan strategis sebagaimana kaum laki-laki (para mahasiswa), dan untuk tahun-tahun selanjutnya kaum perempuan dapat juga menjadi kandidat presiden PPMI. Untuk memperkuat statemen, saya banyak menggunakan dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadis, tak lupa saya juga menyebutkan bukti-bukti sejarah.

Saya yakin, kenapa saya tidak terpilih menjadi presiden PPMI, salah satu faktornya adalah karena gagasan saya tadi; membubarkan WIHDAH dan meleburnya dengan PPMI. Dan itu pulalah yang rupa-rupanya memancing seorang cewek mengirim email pribadi kepada saya. Isinya tidak banyak, dia hanya berkata pada saya begini: “Anda ini siapa, kok berani-beraninya menentang syariat, membolehkan perempuan menjadi presiden? Anda ini siapa, kok berani-beraninya ingin membubarkan WIHDAH dan meleburnya dengan PPMI?”

Saya sudah merasa, kalau saya jawab atau memberi tanggapan, maka yang akan terjadi bukanlah dialog yang sehat, yang akan terjadi adalah “debat kusir”; tidak akan ada sikap saling memahami dan menghargai perbedaan pendapat. Bagaimana tidak, saya sudah dianggap menentang atau melanggar syariat!!! Kalau saya tanggapi, dia akan tetap menganggap saya menentang syariat. Saya cukup sadar, membikin kesal orang itu dosa. Juga, kesal terhadap orang tanpa berusaha untuk memahaminya, itu juga dosa. Makanya, daripada semakin membuatnya kesal pada saya, dalam arti itu akan menambah dosa, lebih baik saya diam.

Dan baru tanggal 9 November kemarin saya mendapat email pribadi dari seorang perempuan sebagai tanggapan terhadap tulisan berjudul “Niqab Bukan Ajaran Islam” karya Dr. Ahmad Shauqie al-Fanjary, seorang peneliti dan pemikir Islam Mesir, yang sebelumnya saya posting di milist IKBAL, Info PMIK dan KMNU. Tulisan tersebut saya terjemahkan dari majalah Rosa El Yossef, Edisi 4088, 14 Oktober 2006 M.

Berbeda dengan sebelumnya, pada email perempuan ini, ada hal baru yang terkandung dalam beberapa hal di antaranya, kualitas kepribadiannya yang saya tahu cukup bagus, signifikansi kultural dan intelektual pendapat yang disampaikannya kepada saya, kemudian pola penyikapannya terhadap perbedaan pendapat; tidak memaksakan pendapat terhadap orang lain. Semua ini memotivasi saya untuk sedikit menyampaikan tanggapan balik. Dalam hal ini saya akan menyampaikan beberapa hal berikut:

Pertama, perlu dipahami bahwa tulisan yang saya posting tempo hari bukanlah tulisan saya pribadi. Kedua, saya sudah membaca pelbagai tanggapan di milis. Dari tanggapan-tanggapan yang ada, hampir semuanya sepakat; seolah-olah sayalah yang menulis itu, atau, dengan memosting tulisan itu, berarti saya sudah setuju 100% terhadap seluruh gagasan yang ada di dalamnya. Ketiga, hingga saat ini saya masih belum memberikan pendapat saya mengenai masalah itu, maksudnya saya belum mengambil sikap; apakah saya setuju terhadap seluruh gagasan dalam tulisan itu atau tidak.

Di milis PMIK, dalam salah satu tanggapan yang ditulis oleh seorang mahasiswi, ada ucapan seperti ini: “Astaghfirullah, Na`udzubillah, kok ada mahasiswa al-Azhar berpendapat seperti itu?” Lalu dalam tulisan perempuan yang masuk ke email pribadi saya ada kata-kata: “Saya ingin menunjukkan kepada antum pendapat berbeda dari saya.”

Saya tidak tahu, apakah mahasiswi tersebut beranggapan bahwa itu adalah tulisan saya, ataukah dia beranggapan bahwa saya menyetujui tulisan itu?! Saya juga tidak tahu, dengan email pribadinya, perempuan tersebut ingin menunjukkan pendapat yang berbeda dengan siapa, dengan saya atau dengan tulisan yang saya posting itu? Tidak jelas. Harus diakui, saya memang salah, sebelum-sebelumnya saya hanya diam, tidak memberikan komentar yang menggambarkan sikap saya terhadap masalah niqab. Dan saya sadari, ternyata sikap diam tidak selamanya menguntungkan, malah menimbulkan “salah sangka”.

Lantas bagaimana saya menyikapi masalah niqab? Saya selalu berusaha untuk bersikap adil. Maaf saya bukan seorang oportunis yang suka memanfaatkan moment; membaca pendapat orang lain yang baik, lalu saya berpendapat yang sama. Yang jelas, saya tetap menghargai pendapat orang lain asalkan itu disertai dengan argumen yang bisa dipertanggungjawabkan; siapapun dia. Saya tidak pernah membenci perempuan berniqab, silahkan siapa saja boleh menggunakannya. Silahkan orang mau jadi apa, mau jadi liberal, mau jadi fundamental, mau jadi kanan, mau jadi kiri. Saya tetap menjunjung kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat, asalkan tentu saja, tidak mengganggu kebebasan orang lain. Hanya saja, saya tidak suka ketika niqab itu dipaksakan kepada orang lain; semua perempuan Muslimah wajib menggunakan niqab, kalau tidak maka dia telah melanggar syariat. Tidak sedikit orang yang berdapat seperti ini, salah satu contohnya adalah orang-orang Wahabi. Peristiwa kematian 37 siswi sekolah karena kebakaran di Arab Saudi disebabkan oleh pemahaman seperti itu.
 
posted by Roland Gunawan at 5:29 AM | Permalink | 0 comments
Thursday, November 09, 2006
Islam, Eropa dan Barat

Judul Buku : al-Islâm, Aurûbâ, al-Gharb
Pengarang : Muhammed Arkoun
Penerbit : Dâr al-Sâqî
Cetakan : 2002


Muhammed Arkoun adalah seorang yang kerap dikenal sebagai historikus-pemikir, bukan sebagai historikus-pemikiran. Tentunya pemberian “label” seperti ini bukan tidak signifikatif. Kalau dilihat, perbedaan keduanya memang sangat kentara. Dengan “label” historikus-pemikiran, Arkoun hanya akan bertugas menggali asal-usul dan perkembangan pemikiran (historikus murni), sementara dengan “label” historikus-pemikir, ia tidak hanya bertugas mengumpulkan data-data obyektif, lebih jauh ia bisa juga mengolah data tersebut dengan memakai analisis filosofis. Dengan kata lain, seorang historikus-pemikir bukan hanya berbicara tentang sejarah pemikiran secara pasif, melainkan juga secara aktif bertutur dalam sejarah. Inilah sebenarnya letak keistimewaan Arkoun dalam pergulatan pemikiran Islam.

Buku "al-Islâm, Aurûbâ, al-Gharb", paling tidak bisa menggambarkan peran Arkoun sebagai seorang historikus-pemikir. Sebenarnya buku ini merupakan hasil dialog antara Islam dan Eropa – Barat melalui “simbol pemikiran progresif dalam pemikiran Islam kontemporer”, yaitu Muhammed Arkoun, dan “simbol partai liberal Belanda”, Frits Bolkestein. Buku ini menggambarkan perdebatan hangat antara pos-pos pemikiran tradisi Islam, dan antara nilai-nilai Eropa – Barat yang lebih modern dan matang: seperti sekularisasi, liberalisme, demokrasi, pluralitas agama dan politik, nalar kritis, hak-hak asazi manusia dll. Tak ayal lagi, dialog ini akan mengundang perhatian kita di masa-masa yang akan datang, atau barang kali akan mengalami perubahan karakter, dari yang asalnya sangat politis dan meliteris, menjadi karakter intelektual dan kompetitif. Sebab, seperti sudah dimaklumi, sekarang kita hidup dalam “tikungan sejarah” yang tengah membuka lembaran baru dalam hal hubungan kita dengan Eropa atau Barat.

Dalam buku ini, Frits Bolkestein sebagai “simbol partai liberal Belanda”, mengajukan banyak pertanyaan, misalnya, mungkinkah memasukkan sekularisasi ke dalam wilayah Islam melalui interaksi internal-aktif dengan pengalaman intelektual-historis agama Islam? Dengan makna lain: mungkinkah “mengislamkan” sekularisasi atau “mensekulerkan” Islam? Bagaimana kita bisa membangun harmonisasi antara nilai-nilai spiritual dan intelektual agama Islam, dan antara nilai-nilai modernitas? Apakah benar, secara mendasar, Islam sangat bertentangan dengan sekularisasi atau liberalisme sebagaimana anggapan orang-orang Eropa – Barat dan kaum Muslimin fundamentalis?

Kalau dicermati, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Frits Bolkestein di atas memiliki keistimewaan ganda: pertama karena pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul dari seorang negarawan dengan intelektualitas dan pengalaman keilmuannya yang cukup menyakinkan. Hal itu tentu saja, secara bersamaan, berbalik dengan berbagai asumsi, penafsiran dan ketidakpengertian opini publik Eropa maupun Barat terhadap “Islam” sebagai topik sangat kontroversial, sebuah topik yang sudah menjadi sesuatu amat sensitif yang sewaktu-waktu dapat merangsang timbulnya emosi.

Paling tidak, pertanyaan-pertanyaan tersebut telah memberikan kesempatan yang cocok bagi Arkoun untuk menyajikan berbagai informasi yang benar kepada masyarakat Eropa – Barat mengenai Islam dan kaum Muslimin, juga sebagai kesempatan untuk menentukan metodologi-metodologi penelitian, serta mematangkan masalah-masalah historis, sosial, antropologis yang berkenaan dengan topik tersebut. Di samping itu, pertanyaan-pertanyaan tersebut juga telah memberikan kesempatan untuk melepaskan tutup teologis dari realita-realita ideologis yang pada umumnya dianut oleh kaum Muslimin kontemporer, dan sekaligus untuk menyingkap historitas realita-realita tersebut, di samping itu juga untuk mengganti posisi pandangan-pandangan statis yang dipaksakan oleh para tokoh “orientalis” terhadap masyarakat Eropa – Barat sejak abad kesembilan belas dengan pandangan-pandangan dinamis.

Selain itu, ada hal lain yang tidak bisa diabaikan, yang mana di sela-sela berbagai jawaban yang dilontarkan Arkoun, kita lihat ada semacam kritik terhadap kaum orientalis yang secara khusus memang menggarap bidang-bidang keislaman, dan kaum Muslimin fundamentalis yang terpenjara di dalam “pagar dogmatik eksklusif”. Kritik ini sengaja dilontarkan mengingat, walaupun secara sepintas nampak berbeda, kedua belah pihak saling mendukung. Katakan misalnya dalam hal liberalisme Islam. Dalam pandangan Arkoun, sedikit sekali kaum orientalis Eropa – Barat yang turun tangan membicarakan eksistensi aliran liberalis dalam Islam kontemporer. Sehingga buku-buku paling laris di Eropa atau Barat dari segi bisnis, bukanlah buku-buku yang membahas tentang liberalisme atau modernisasi dalam Islam, akan tetapi buku-buku yang mengulas tentang radikalisme “Islam”, atau ekstremisme “Islam”. Arkoun melihat kenyataan bahwa aliran liberalis itu ada, walaupun mungkin tidak semarak atau sebesar aliran lain. Sebuah aliran yang menyeru untuk membangun liberalisme integral dalam Islam guna mempersiapkan masa yang telah lama ditunggu-tunggu: yaitu masa yang di dalamnya terjadi lompatan kualitas pemikiran dan kesadaran dalam Islam. Nampak bahwa saat ini ilmu sosial dan politik telah “memaksakan” standar-standarnya kepada seluruh kaum orientalis. Dalam semua keadaan, yang dominan adalah standar representatif, sebuah standar yang menekankan pada komunitas paling banyak, atau paling besar atau paling marak. Jadi, aliran liberalis sebagai komunitas amat kecil dalam masyarakat Islam, tidak ada seorang pun memperhatikan eksistensinya! Bahkan kaum orientalis acapkali mengikuti strategi yang berupaya meniadakan atau menghapus setiap pemikiran, aktualisasi dan institusi-institusi yang mendukung perkembangan aliran liberalis dalam Islam.

Sementara kaum fundamentalis Islam sendiri, malah bersikap anti terhadap liberalisme. Mereka menganggap bahwa liberalisme hanya akan merusak kemurnian ajaran Islam, atau hanya akan membuat Islam menjadi tidak “suci”. Bahkan para pemikir yang menyeru pada liberalisme, seringkali dikucilkan dan dimarjinalkan.

Di sinilah peran Arkoun dalam laju perkembangan pemikiran Islam, sehingga buku ini menjadi sangat penting dibaca guna menumbuhkan kesadaran dalam menampilkan Islam secara lebih progresif dan terbuka.
 
posted by Roland Gunawan at 7:36 AM | Permalink | 0 comments

"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"