**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Saturday, August 21, 2010
LAILATUL QADAR
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur`an) pada malam kemuliaan (qadr). Dan tahukah kamu apa malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu para malaikat dan Ruh (Jibril) turun dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar,” [QS. al-Qadr: 1 – 5]


BULAN Ramadhan adalah bulan penuh berkah karena banyak pahala yang dibagi-bagikan secara mudah. Banyak momen penting yang terjadi di bulan ini. Di antaranya adalah malam Lailatul Qadar yang diyakini oleh seluruh umat Muslim kualitasnya lebih baik dari seribu bulan.

Sejak malam pertama Ramadhan, ribuan umat Muslim memadati masjid-masjid untuk melaksanakan ibadah qiyâm. Seperti biasa, jumlah mereka yang melaksanakan qiyâm al-layl meningkat hingga lima kali lipat. Di bulan-bulan lain, jumlah mereka tidak sebanyak itu. Hal ini lebih dimotivasi karena malam Ramadhan mempunyai banyak keistimewaan, terutama sekali malam Lailatul Qadar. Tak ayal, hati mereka tergerak untuk lebih tekun beribadah di malam hari selama bulan Ramadhan. Alangkah ruginya orang selama bulan suci ini tidak memaksimalkan dirinya untuk berpuasa dan beribadah. Di akhirat kelak dia akan menyesal melihat umat yang wajahnya bersinar cerah karena mendapatkan curahan berkah Lailatul Qadar. Dia akan meratapi dirinya sendiri seraya bertanya-tanya, kenapa ketika masih di dunia tidak tekun beribadah sebagaimana umat Muslim pada umumnya selama bulan Ramadhan? Dia ingin sekali mendapatkan berkah Lailatul Qadar, tetapi sayang waktu telah membawanya ke akhirat, tanda bahwa segalanya sudah terlambat. Berkah Lailatul Qadar hanya akan diberikan kepada mereka yang selama bulan Ramadhan rajin berdzikir melaksanakan shalat malam guna mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Sebagaimana dijelaskan dalam kitab “Murâh Labîd li Kasyf Ma’nâ Qur`ân Majîd” karya Imam Nawawi al-Jawi, bahwa Lailatul Qadar adalah malam yang di dalamnya Allah SWT menurunkan al-Qur`an dari lawh al-mahfûzh berdasar tulisan para malaikat langit dunia ke bayt al-‘izzah. Makna “al-qadr” sendiri sebetulnya adalah “al-taqdîr” (penentuan). Artinya, ia dinamakan Lailatul Qadar karena di dalamnya Allah menentukan segala urusan hingga tahun mendatang, seperti kematian, ajal, rizki, dll. untuk kemudian memasrahkannya kepada empat malaikat pengatur (mudabbirât al-umûr), yaitu Israfil, Mika`il, Izra`il, dan Jibril as.

Kendatipun para ulama sepakat bahwa Lailatul Qadar hanya ada di bulan Ramadhan, hanya saja mereka berbeda pendapat mengenai penentuan kapan malam mulia itu berlangsung. Mayoritas dari mereka mengatakan bahwa malam Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-27 Ramadhan. Hal ini didasarkan pada pernyataan Ibn Abbas, “Bilangan yang paling disukai Allah adalah bilangan ganjil (al-witr), dan bilangan ganjil yang paling disukai-Nya adalah angka tujuh.” Kemudian Ibn Abbas menyebutkan tujuh lapisan langit, tujuh lapisan bumi, tujuh hari dalam seminggu, tujuh tingkatan neraka, jumlah tawaf, jumlah sa’i, dan tujuh anggota badan. Semua bilangan ini, menurutnya, menunjukkan bahwa Lailatul Qadar berlangsung pada malam ke-27 Ramadhan.

Tidak hanya itu, lagi-lagi menurut Ibn Abbas, bahwa Lailatul Qadar—dalam bahasa Arabnya—terdiri dari sembilan huruf, dan disebutkan dalam surat al-Qadr sebanyak tiga kali. Sehingga kalau dijumlah menjadi 27.

Riwayat lain menyebutkan, bahwa Utsman bin Abi al-Ash mempunyai seorang budak. Budak itu berkata kepadanya, “Tuan, air laut akan menjadi tawar pada suatu malam dari bulan ini (Ramadhan).” Utsman bin Abi al-Ash berkata kepadanya, “Kalau malam yang kau maksud itu tiba, segera beri tahu aku.” Dan ternyata itu adalah malam ke-27.

Tentu saja, sebagai malam yang amat sangat diistimewakan, Lailatul Qadar mempunyai banyak keutamaan. Secara garis besar, seperti disebutkan dalam surat al-Qadr yang penulis kutip di atas, ada tiga keutamaan Lailatul Qadar, yaitu: pertama, Lailatul Qadar lebih baik dari seribu bulan, yaitu 83 tahun 4 bulan. Artinya, ibadah yang dilakukan di malam itu lebih baik daripada ibadah yang dilakukan selama seribu tahun yang di dalamnya tidak ada Lailatul Qadar. Diceritakan oleh Imam Mujahid bahwa seorang laki-laki dari Bani Isra’il rajin bangun malam melakukan shalat hingga pagi. Setelah itu dia bekerja hingga sore hari. Hal itu dia lakukan selama seribu bulan sampai ia meninggal. Rasulullah saw. sendiri merasa takjub mendengar ceritanya. Hingga kemudian Allah menggariskan untuk umat Nabi Muhammad saw. satu malam di bulan Ramadhan yang nilainya lebih baik dari seribu bulan orang Isra’il itu. Dalam artian, siapapun dari umat beliau yang berhasil meraih malam mulia tersebut, maka keberkahan dan pahala yang didapatnya lebih baik dari keberkahan dan pahala yang didapat oleh orang Isra’il tersebut.

Kita tahu bahwa ketaatan yang dilakukan selama seribu bulan lebih berat ketimbang ketaatan yang dikerjakan satu malam. Akan tetapi, satu pekerjaan terkadang berbeda kondisinya terkait kebaikan dan keburukannya dikarenakan perbedaan tujuan. Misalnya shalat berjama’ah yang dalam agama dianggap lebih utama daripada shalat yang dikerjakan sendirian. Padahal shalat berjama’ah terkadang terlihat ‘kurang sempurna’ ketika seseorang datang terlambat dan menjadi masbûq sehingga ia ketinggalan satu rakaat.

Contoh lain, misalnya, kalau kita mengatakan kepada seseorang yang dirajam karena perbuatan zina, “orang ini adalah pezina,” maka ini tidak menjadi persoalan alias tidak apa-apa. Tetapi kalau itu kita katakan kepada orang Nasrani, maka itu adalah fitnah yang wajib dikenakan ta’zîr (hukuman). Demikian juga, kalau kita mengatakannya kepada orang yang sudah beristri, jelas itu merupakan fitnah keji sehingga wajib dikenakan hadd (hukuman). Dan kalau itu kita katakan bagi A’isyah—yang dalam sejarah Islam awal disebutkan pernah diantar pulang oleh Abu Sufyan—, maka itu merupakan sebentuk kekafiran, mengingat A’isyah adalah salah satu dari ummahât al-mu`minîn yang harus dihormati. Dengan demikian, dalam hal ini, kata-kata “orang ini adalah pezina” yang oleh sebagian orang dianggap ‘ringan’ pada hakikatnya lebih berat daripada gunung. Di sini menjadi jelas, bahwa setiap pekerjaan mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terkait pahala dan hukumannya tersebab perbedaan tujuan masing-masing. Sehingga tidak mustahil ketaatan yang sedikit menjadi sama pahalanya dengan ketaatan yang banyak.

Kedua, keutamaan lain Lailatul Qadar adalah bahwa pada malam itu para malaikat—mereka adalah para penghuni Sidratul Muntaha—turun ke bumi bersama Jibril as. yang membawa empat panji. Panji pertama ia letakkan di atas kuburan Nabi saw., panji kedua di atas Baitul Muqaddas, panji ketiga di atas Masjidil Haram, dan panji terakhir di atas bukit Sinai. Dan di malam itu juga, tidak ada satu rumah pun yang di dalamnya terdapat laki-laki atau perempuan beriman kecuali Jibril as. akan memasukinya sembari mengucapkan salam, “Wahai laki-laki atau perempuan yang beriman, Yang Mahadamai menyampaikan salam kepadamu, kecuali kepada para pencandu khamr, pemutus tali silaturrahmi, dan pemakan daging babi.”

Turunnya mereka ke bumi terkait dengan urusan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT untuk tahun itu dan tahun mendatang. Masing-masing turun untuk urusan yang berbeda. Nabi saw. mensinyalir bahwa Allah memutuskan ketetapan-ketetapan di malam al-Bara`ah, yaitu malam nisfu Sya’ban. Kemudian pada malam Lailatul Qadar Dia memasrahkannya kepada para malaikat pengatur (mudabbirât al-umûr) untuk disematkan kepada setiap manusia. Para malaikat itu melihat bermacam-macam ketaatan di bumi yang tidak pernah mereka lihat di alam langit.

Ketiga, termasuk keutamaan Lailatul Qadar adalah bahwa malam itu terbebas dari hembusan angin (riyâh), menyebarnya penyakit (adzâ), hentakan petir (shawâ’iq), dan ancaman setiap marabahaya (ãfah) seperti dikatakan oleh Abu Muslim dan Ibn Abbas. Satu riwayat mengatakan bahwa malam itu terbebas sama sekali dari segala sesuatu yang menakutkan (amr mukhawwif) dan segala kejahatan (syurûr). Sebagaimana riwayat lain juga mengatakan bahwa malam itu terbebas dari perbedaan/ketidaksamaan (tafâwut) dan kekurangan/cacat (nuqshân). Kedamaian, ketenangan, dan keseimbangan benar-benar menjadi penghias bagi malam mulia nan agung itu. Para malaikat turun dengan berbondong-bondong ke muka bumi dari permulaan malam sampai terbitnya fajar. Mereka mengucapkan salam kepada para ahli puasa dan ahli shalat dari umat Nabi Muhammad saw. Pendek kata, mereka mengucapkan salam kepada setiap hamba yang benar-benar taat terhadap Allah SWT.

Atas dasar itu, jelaslah bahwa malam Lailatul Qadar tidak sama dengan malam-malam yang lain. Makanya, di malam itu, setiap muslim dianjurkan untuk mengerjakan ibadah fardhu di sepertiga pertama, ibadah sunnah di pertengahan, dan doa di waktu menjelang terbitnya fajar. Orang yang terjaga di malam itu dengan melakukan shalat wajib dan sunnah serta bermunajat secara khusyuk kepada Allah SWT berdasar keimanannya yang teguh dan semata-mata hanya mengharapkan ridha dari-Nya, maka dosa-dosanya akan diampuni, kesalahan-kesalahannya dihapus, kekeliruan-kekeliruannya dimaafkan, dan doa-doanya dikabulkan. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang terjaga [melakukan shalat] pada malam al-Qadar dengan keimanan dan hanya mengharap balasan dari Allah semata, maka diampuni segala dosanya,” [HR. al-Bukhari]

Sebenarnya, ada keutamaan lain dari Lailatul Qadar, dan ini adalah keutamaannya yang keempat, atau bahkan bisa jadi yang pertama. Keutamaan yang penulis maksud adalah bahwa pada malam itu—seperti telah disinggung di atas—Allah SWT menurunkan al-Qur`an dari lawh al-mahfûzh berdasar tulisan para malaikat langit dunia ke bayt al-‘izzah. Dan kita tahu bahwa al-Qur`an merupakan petunjuk bagi manusia sekaligus pembeda antara yang hak dan yang batil. Di samping itu, kita juga tahu, selaras dengan namanya, Lailatul Qadar adalah malam penentuan atau “al-taqdîr”. Hal ini menyiratkan makna, bahwa pada malam itu, selain menentukan urusan kematian, ajal, rizki, dll., Allah SWT juga menentukan siapa saja dari hamba-hamba-Nya yang termasuk golongan al-‘Â`idîn wa al-Fâ`izîn (orang-orang yang kembali suci karena keberhasilan mereka meraih kemenangan setelah berjuang melawan gempuran hawa nafsu selama bulan Ramadhan), yaitu mereka yang senantiasa berjuang menegakkan kebenaran dan memerangi segala bentuk kebatilan dengan berpedoman kepada al-Qur`an sebagai petunjuk. Merekalah yang berhak mendapatkan limpahan kasih-sayang (rahmah) dari Allah. Merekalah yang berhak mendapat curahan ampunan (maghfirah) dari-Nya. Dan karena itu, merekalah yang dipastikan terbebas dari siksaan api neraka (‘itq min al-nâr). Maka, tiada balasan yang paling layak bagi mereka kecuali surga Firdaus kelak di kemudian hari.

Sebagai bentuk penghormatan kepada hamba-hamba pilihan-Nya itu, Allah memerintahkan para malaikat untuk turun ke bumi guna menyampaikan salam dari-Nya kepada mereka. Damailah mereka dengan kasih-sayang-Nya. Tenanglah mereka dengan ampunan dari-Nya. Gembiralah mereka dengan keterbebasan dari ancaman siksa neraka sebagai jaminan dari-Nya. Dan tersenyumlah mereka dengan kedudukan mereka yang tinggi dan mulia di sisi-Nya; surga dan segala kenikmatannya telah disediakan untuk mereka.
 
posted by Roland Gunawan at 6:42 PM | Permalink | 0 comments
MARHABAN YA RAMADHAN
Wahai segenap manusia, telah datang kepada kalian bulan agung yang penuh berkah, bulan yang di dalamnya terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Allah menjadikan puasa di siang harinya sebagai kewajiban, dan qiyam di malam harinya sebagai sunnah. Barangsiapa yang menunaikan ibadah yang difardhukan, maka pekerjaan itu setara dengan orang yang mengerjakan 70 kewajiban. Ramadhan merupakan bulan kesabaran, dan balasan kesabaran adalah surga. Ramadhan merupakan bulan santunan, bulan yang di dalamnya Allah melapangkan rizki setiap hamba-Nya. Barangsiapa yang memberikan hidangan buka puasa bagi orang yang berpuasa, maka akan diampuni dosanya, dibebaskan dari belenggu neraka, serta mendapatkan pahala setimpal dengan orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut,” [HR. Khuzaimah]


SUATU siang di pinggir jalan raya, penulis bersama seorang kawan sedang menunggu taksi. Kebetulan saat itu kami hendak menuju ke Warung Daun di jalan Cikini untuk mengikuti rapat Yayasan Rumah Kitab. Terasa lama sekali! Tidak ada taksi kosong yang lewat. Semuanya penuh dengan penumpang. Sungguh, ini tidak seperti biasanya, bisik penulis dalam hati.

Akhirnya kawan penulis yang ketika itu bersandar ke sebuah pohon sedikit bergumam, “Wah, penuh semua nih! Maklumlah, besok kan puasa. Malam ini shalat tarawih.” Seketika penulis tersadar bahwa besok adalah hari pertama puasa. Pantas saja bila orang-orang hilir-mudik berpacu dengan waktu kembali ke tempat tinggal masing-masing agar dapat menikmati malam pertama Ramadhan bersama keluarga.

Penulis sendiri merasa waktu memang melaju begitu cepatnya. Ia bergerak mengiringi titian takdir jalan kehidupan kita di muka bumi, kendatipun kita tidak menyadarinya karena lebih sering terlena dan mabuk oleh alunan iramanya sembari terus mengikuti ke mana saja arah perginya sang waktu yang sedemikian bengis itu.

Kalau dilihat dari bawah, awan-awan yang mengambang antara langit dan bumi itu seakan-akan diam saja tak bergerak. Tetapi bila diperhatikan dengan cermat dan mata yang jeli, kita menjadi terkejut dan heran, betapa tiba-tiba ia sudah jauh meninggalkan kita yang duduk terpaku dan terbuai dalam pelukan hangat angin senja.

Waktu terus berjalan menggiring kita menuju suatu keadaan di masa depan yang tidak pernah kita ketahui. Ia terus saja memaksa kita, meski terkadang kita mengelaknya. Di suatu saat, ketika tengah dilanda kecemasan akan suatu kejadian buruk yang bakal berlangsung, kita mencoba untuk melawan waktu dengan seluruh kekuatan yang kita miliki. Tetapi, apalah arti besar kekuatan kita di hadapannya?

Gunung-gunung yang selama ini kita sangka diam ternyata bergerak mengikuti awan-awan kelabu. Hal ini dibuktikan dengan adanya pernyataan dari Badan Riset di Amerika Serikat setelah mengadakan penelitian bahwa gunung-gunung yang terdapat di kawasan kota Makkah bergerak beberapa mm pertahunnya. Tuhan sendiri menegaskan dalam firman-Nya yang berbunyi, “Dan kamu lihat gunung-gunung yang kamu kira mati (diam), ternyata dia bergerak sebagaimana awan [bergerak].”

Ketika bulan Ramadhan tiba, kita pun terkadang tidak menyadarinya. Wajar kiranya bila dalam penyambutannya umat Muslim tidaklah sama. Ada yang siap, ada pula yang tidak siap. Ada yang bahagia; karena di bulan ini dia bisa meraup banyak pahala. Ada juga yang sedih; karena di bulan ini dia harus meninggalkan kesukaan dan kesenangan yang biasa dilakukannya di siang hari pada bulan-bulan sebelumnya.

Namun bagaimanapun, harus diakui, bahwa di antara dua belas bulan dalam tahun Hijriyah—selain bulan haji—mungkin hanya bulan Ramadhan saja yang sangat ditunggu-tunggu kehadirannya oleh mayoritas umat Muslim di seluruh penjuru dunia. Jauh-jauh hari berbagai aktivitas penyambutan sudah digelar. Di jalan-jalan raya sudah terpampang baliho-baliho dan spanduk-spanduk besar bertuliskan “Selamat Menunaikan Ibadah Puasa” dan “Marhaban Ya Ramadhan”. Seluruh stasiun televisi tidak henti-hentinya menyuguhkan berbagai iklan dan menu program khusus Ramadhan. Beberapa artis, khususnya kalangan penyanyi, berlomba-lomba membuat lagu-lagu religi dan menyebarkannya di media-media elektronik atau sebagai RBT handphone. Para bintang sinetron sibuk menandatangani kontrak dengan para produser untuk pembuatan film serial Ramadhan. Tak ketinggalan, beberapa da’i kondang juga tak kuasa menolak tawaran untuk tampil di layar televisi.

Itulah serba-serbi masyarakat Muslim Indonesia dalam menyemarakkan datangnya bulan suci Ramadhan yang mempunyai nilai-nilai tersendiri dan sebagai motivasi awal demi terwujudnya reformasi jiwa yang menjadi angan-angan setiap orang yang berpuasa. Tibanya kita di bulan suci ini menyiratkan tanda bahwa Tuhan masih memberikan kita umur panjang. Kita masih diberi kesempatan oleh-Nya untuk memperbaiki tingkah laku kita di dunia yang berlumur noda dan dosa.

Bulan ini adalah momen yang tepat di mana kita harus melakukan instrospeksi dan merenungi setiap cuil kesalahan yang pernah kita lakukan, baik sadar atau tidak sadar. Dikatakan momen yang tepat, karena di bulan ini setiap kebaikan sekecil apapun pasti memiliki arti dan nilai yang tinggi, sebanding dengan cobaan dan godaan yang menyemburat dari segala penjuru untuk menguji sejauh mana kita konsisten melaksanakan ibadah puasa yang teramat berat ini.

Meski para ulama mengatakan bahwa pada bulan ini setan-setan dibelenggu agar tidak mengganggu orang-orang yang berpuasa, tetapi kenyataannya tidaklah seperti itu. Di saat kita sedang khusyuk berpuasa, di sana-sini masih ditemukan pengaruh-pengaruh setan, bahkan lebih besar dan lebih banyak. Kita melihat para pendusta, para penipu, orang-orang munafik, serta orang-orang yang dengan sengaja dan secara terang-terangan makan dan minum sehingga mengganggu ketenangan orang-orang yang berpuasa. Semua ini menjadi isyarat bahwa setan-setan masih bersemayam di dalam setiap jiwa. Ini artinya, hadits Rasulullah saw. yang berbunyi, “Jika Ramadhan telah tiba, pintu-pintu surga dibuka, sedangkan pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu,” tidak serta-merta bermaksud bahwa setan-setan diikat sehingga mereka tidak bisa bergerak atau tidak bisa melakukan aktivitas apapun untuk menghalang-halangi menyebarnya kebaikan di tengah-tengah manusia.

Demi melihat kenyataan itu, lantas apa sebenarnya maksud pembelengguan setan-setan sebagaimana tersurat dalam hadits tersebut? Sebagian ulama mengatakan bahwa terdapat jenis setan tertentu yang dibelenggu, sementara yang lainnya tidak dibelenggu. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa maksud dari hadits Nabi saw. tersebut sebenarnya adalah bahwa seluruh setan memang dibelenggu, hanya saja orang-orang yang gemar berbuat keji sudah menjadi seperti setan, bahkan sudah menjadi teman-temannya, sehingga tidak lagi memerlukan setan untuk menggoda dan mengajak mereka berbuat keburukan dan melanggar ketetapan-ketetapan Tuhan.

Bagi penulis sendiri, hadits tersebut bagaimanapun tetaplah sebuah kalâm (ucapan). Dalam bahasa Arab kalâm biasanya terbagi menjadi dua macam. Pertama, kalâm khabarîy (ucapan informatif) yang menceritakan tentang suatu realitas. Kedua, kalâm khabarîy yang diucapkan untuk menciptakan sebuah realitas. Misalnya firman Tuhan tentang al-Bayt al-Harâm, “Barang siapa yang memasukinya, amanlah ia.” Ayat ini, di samping boleh jadi merupakan informasi dari Tuhan perihal realitas yang sesungguhnya, bahwa di al-Bayt al-Harâm tidak akan mungkin ada aksi-aksi kejahatan, juga boleh jadi dimaksudkan untuk menciptakan realitas, yang menyiratkan perintah agar manusia tidak berbuat onar demi terciptanya keamanan dan kenyamanan di tempat suci tersebut. Dari itu, kalau kita mendapatkan realitas yang tidak sesuai, misalnya kita temukan di sana tindakan-tindakan yang menyimpang, berarti ini kembali kepada manusianya yang tidak mau berjalan pada jalur yang telah Tuhan gariskan.

Sama halnya dengan firman Tuhan yang berbunyi, “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji [pula]. Sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik [pula].” Namun apa yang kita lihat, adakah kenyataan yang nampak di hadapan kita selalu demikian? Ternyata tidak! Kita melihat perempuan baik-baik justru mendapatkan suami bejat yang berperilaku bajingan, atau sebaliknya lelaki baik-baik mendapatkan istri kejam yang berperangai buruk.

Sehubungan dengan itu, maka hadits yang menjelaskan pembelengguan setan-setan itu hakikatnya merupakan kalâm yang ditujukan untuk menciptakan sebuah realitas atau keadaan. Kalau kita mentaati seluruh perintah Tuhan, maka setan-setan akan terbelenggu dengan sendirinya. Sebaliknya kalau kita tidak mentaatinya, setan-setan tidak akan terbelenggu. Dan kita diperintahkan untuk menciptakan realitas yang demikian di bulan Ramadhan ini.

Memang ada baiknya bila kita menyambut Ramadhan dengan segala kemegahan dan acara-acara besar sebagaimana kita menyambut momen-momen akbar lainnya. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah kesiapan mental dan kepribadian kita untuk ditempa. Sesuai dengan namanya—yang berasal dari kata “ramdhâ`” (terik panas)—bulan Ramadhan merupakan bulan workshop guna melatih diri dengan berbagai ritual dan amal kebajikan sebagai persiapan menghadapi sebelas bulan berikutnya. Bulan Ramadhan adalah bulan pendadaran jiwa dengan menceburkan diri ke dalam panasnya kobaran api semangat yang menyala-nyala untuk tidak melakukan perbuatan maksiat.

Puasa yang kita lakukan di bulan mulai ini harus dapat membuat kita terhindar dari perbuatan dan ucapan yang keji. Nabi saw. bersabda, “Puasa itu adalah perisai. Jika salah seorang di antara kalian berpuasa, maka janganlah berkata keji. Dan jika ada yang mencaci maki, katakanlah,Sesungguhnya aku sedang berpuasa,’” [HR. al-Bukhari]. Selain itu, juga harus bisa menumbuhkan kesadaran dalam diri kita untuk gemar memberi bantuan dan pertolongan kepada mereka yang membutuhkan. Nabi saw. bersabda, “...barangsiapa yang memberikan hidangan buka puasa bagi orang yang berpuasa, maka akan diampuni dosanya, dibebaskan dari belenggu neraka, serta mendapatkan pahala setimpal dengan orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut,” [HR. Khuzaimah].

Terlalu banyak berkah yang akan didapatkan oleh orang-orang yang berpuasa, baik di dunia dan di akhirat kelak. Berkah di dunia paling tidak adalah kegembiraan saat berbuka. Sedangkan berkah di akhirat adalah kegembiraan saat bertemu Allah SWT. Dalam hal ini Nabi saw. bersabda, “Orang yang berpuasa itu akan mendapatkan dua kegembiraan, yaitu kegembiraan saat berbuka dan kegembiraan saat bertemu Tuhannya,” [HR. al-Bukhari]

Maka, tiada kata yang lebih pantas kita ucapkan dengan penuh kerendahan hati di bulan yang sangat mulia ini kecuali rasa terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Tuhan Yang Mahaagung atas segala nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada kita. Sehingga untuk yang kesekian kalinya kita bisa menginjakkan kaki di bulan suci Ramadhan yang penuh dengan rahmah dan berkah ini. Marhaban ya Ramadhan...
 
posted by Roland Gunawan at 6:26 PM | Permalink | 0 comments

"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"