**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Friday, September 17, 2010
Menembus Dinding Pembatas
[Pengantar Untuk Buku "Spirit Islam Sufistik"]


I
PADA awal Januari yang lalu, sahabat karib saya, Mukti Ali el-Qum, menawarkan kepada saya untuk menyunting naskah buku ini. Ketika itu judulnya masih “Agama Sufistik Agama Mencerahkan; Tasawuf Sebagai Instrumen Pembacaan Terhadap Islam”. Tetapi KH. Husein Muhammad dan Mas Imdadun Rakhmat—keduanya adalah pemikir garda depan Indonesia—menyarankan agar judul itu diubah. Sebab, menurut keduanya, kurang mencakup keseluruhan isi buku. Untuk itu, setelah berdiskusi panjang lebar dengan Mukti Ali, akhirnya kami memutuskan untuk memberikan judul “Spirit Islam Sufistik; Tasawuf Sebagai Instrumen Pembacaan Terhadap Islam”.

Secara pribadi saya ingin segera menyelesaikan suntingan naskah buku ini agar cepat terbit dan langsung dapat dinikmati oleh para pembaca di tanah air. Namun yang menjadi persoalan adalah, dari Januari hingga Mei saya—bersama kawan-kawan—disibukkan oleh program Yayasan Rumah KitaB, yaitu menyusun “Ensiklopedi Kitab Kuning” yang memuat lebih dari tujuh ratus anotasi kitab kuning hasil survei pendahuluan di beberapa pondok pesantren tradisional di Jawa Timur.

Sebagai orang yang diberi amanah untuk menyunting, saya sudah membaca naskah buku ini dari awal sampai akhir. Saya melihat beberapa persoalan yang diangkat, seperti humanisme, demokrasi, toleransi, pluralisme agama, wihdah al-adyân, feminisme, adalah isu-isu yang sebetulnya sudah sering diwacanakan oleh para pemikir kita. Hanya saja, kaca mata yang digunakan berbeda. Bila mayoritas pemikir kita melihat persoalan-persoalan tersebut melalui fikih, atau teologi, filsafat, atau bahkan politik, maka buku ini secara khusus menggunakan tasawuf sebagai instrumen pembacaannya. Sebuah upaya yang relatif masih langka dalam dinamika pemikiran Islam saat ini.

Kenapa tasawuf? Sebenarnya, ini adalah pertanyaan pertama yang muncul di benak saya ketika pertama kali membaca judul buku ini. Dan penulis sudah memberikan jawaban panjang lebar di dalam pengantar dan di bab awal. Dia menjelaskan bahwa selama ini tasawuf dianggap sebagai ‘kambing hitam’ penyebab kemunduran peradaban manusia, khususnya Islam. Adanya sekelompok orang yang dengan sengaja menjauhkan diri dari kehidupan sosial hanya demi untuk mendalami tasawuf sebagai upaya pendekatan diri kepada Tuhan, adalah bukti paling nyata yang dapat menjustifikasi anggapan tersebut. Juga, menjamurnya majlis-majlis tarekat yang hanya diisi dengan dzikir-dzikir tanpa gerakan-gerakan konkret-signifikatif untuk menyelesaikan problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat menjadi alasan cukup kuat bagi banyak kalangan untuk mengkambinghitamkan tasawuf.

Tentu saja, anggapan negatif tersebut tidaklah sesuai dengan doktrin tasawuf sesungguhnya yang telah dibangun oleh para sufi agung atas dasar semangat untuk mengajak manusia kembali ke jati dirinya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Sejarah telah menunjukkan kepada kita kiprah mereka dalam perjuangan membangun moralitas kemanusiaan. Di masa sahabat, misalnya, kita mengenal Abu Dzar al-Ghifari, sosok sahabat yang disebut-sebut menjalani kehidupan asketik. Ketika kemewahan duniawi mewabah di Madinah karena melimpahnya hasil rampasan perang, dia dengan gagah berani mendatangi khalifah dan menasehati agar umat Muslim kembali kepada kehidupan prihatin, menjadikan dunia hanya sebagai halte pemberhentian sementara dan tidak hanyut dalam tipuan glamoritasnya.

Pada masa dinasti Bani Umayyah, ketika pergolakan politik dan kekuasaan serta perluasan wilayah kekuasaan yang diwarnai atau lebih didominasi oleh kepentingan duniawi, maka para sahabat yang benar-benar menghayati makna-makna moralitas agama menarik diri dan memfokuskan perhatian untuk mengajarkan nilai-nilai agama yang hakiki.

Kekuasaan-kekuasaan otoriter yang sewenang-wenang atau penjajahan terhadap hak dan derajat kemanusiaan adalah lawan-lawan nyata bagi kaum sufi. Berita tentang perlawanan atau kepemimpinan mereka dalam menentang kesewanang-wenangan para penguasa sudah biasa ditemui dalam buku-buku sejarah atau cerita kehidupan para sufi.

Dengan melihat itu, tidak diragukan lagi, bahwa tasawuf pada hakikatnya adalah perjuangan dan pemberontakan. Ia adalah perjuangan untuk meninggikan kehendak Tuhan, baik dalam realita kehidupan nyata secara umum, atau yang lebih diutamakan, di dalam hati manusia secara khusus. Ia adalah pemberontakan terhadap segala bentuk dan ragam kepentingan yang dipaksakan masuk, menggoda, dan menguasai hati manusia. Dari sisi ini, maka medan perjuangan tasawuf terletak dalam hati. Ia adalah pertempuran antara keinginan dan keinginan, antara kehendak dan kehendak.

Dunia kita saat ini dipenuhi dengan produk-produk eksplorasi dan evolusi keinginan dan kehendak manusia. Alam dan makhluk-makhluk lain porak-poranda oleh keinginan manusia untuk mendapatkan fasilitas kehidupan. Sains dan teknologi serta pengembangannya berjalan demi untuk memenuhi keinginan-keinginan dan cita-cita manusia menikmati kehidupan yang serba mewah di dunia ini. Permainan, informasi, prestise, kekayaan, pemuasan nafsu-syahwati yang selalu dipancing setiap saat, kekuasaan dan hak milik, menjadi santapan harian bagi manusia zaman sekarang. Penemuan baru, gaya dan style baru, penampilan baru dan bahkan kehidupan baru, selalu menggoda hati dan jiwa manusia setiap saat. Tidak ada detik yang terlewati tanpa kehadiran godaan dan keinginan-keinginan tersebut. Pikiran dan hati manusia saat ini sibuk mengikuti perkembangan-perkembangan yang merayu hatinya yang memang selalu berbolak-balik dan jiwanya yang memang memiliki tabiat ke arah keburukan. Semua itu menumpuk dan berakumulasi menjadi penghalang perhatian hati dari Sang Pencipta.

Apakah dengan demikian tasawuf bertentangan dengan semangat zaman? Atau bertentangan dengan kemajuan dan modernitas? Atau berlawanan dengan kemajuan dan perkembangan sains dan teknologi? Atau bersebrangan dengan seluruh perkembangan kehidupan manusia berikut segenap dimensi kehidupannya? Atau bermusuhan dengan pembentukan sekaligus pengembangan budaya dan peradaban manusia?

Kita menyaksikan, di masa-masa awal, tepatnya pada fase-fase benih, kelahiran dan pembentukannya, tasawuf memang menitis pada ranah-ranah zhahir dan batin secara nyata. Dalam artian, spirit, norma, dan etika tasawuf, yang berada pada wilayah batin, terejawantahkan secara faktual dalam realita kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, norma menjauhkan diri dari dunia tidak hanya tertanam dalam hati, akan tetapi juga terimplementasikan secara riil dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, generasi pertama sufi lebih identik dengan zuhud (asketisme), yaitu sebuah ajaran yang menuntun manusia untuk menjauhi dunia. Zuhud merupakan benih awal sebelum kata tasawuf dikenal di dunia Islam. Generasi pertama ini lebih cenderung memiskinkan diri mereka ketimbang berusaha mendapatkan kehidupan yang mapan. Pakaian dan baju mereka pun seadanya, dari yang dapat mereka peroleh tanpa harus menyibukkan diri dan hati mereka dengan upaya untuk memperolehnya. Kehidupan mereka tenggelam dalam ibadah, perenungan, pemahaman, dan penghayatan ajaran-ajaran agama. Kesibukan dan kebahagian mereka terletak dalam kedekatan kepada Tuhan.

Peresapan makna dan pengejewantahan moral tasawuf pada fase keterbentukannya mencakup wilayah-wilayah zhahir dan batin secara nyata sebagai sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan di dalam buku ini, tercantum cerita perdebatan pada abad pertengahan, tentang siapakah yang paling mulia atau tinggi derajatnya; orang fakir ataukah orang kaya? Dan orang fakir, dengan makna kalimat, disepakati mendapatkan derajat yang lebih tinggi dari orang kaya.

Namun hal itu kemudian diikuti dengan pergeseran-pergeseran paradigma. Frekuensi shalat dan puasa yang banyak tidak lagi menjadi jaminan untuk mendapatkan identitas jati diri sufi, namun ia didapati dengan keamanan hati dan kedermawanan jiwa. Kondisi hati, kecenderungan, kebahagiaan, ketundukan, kepatuhan, rasa takut, harapan, cinta, dan bahkan sujudnya hati kepada Tuhan, menjadi standar pencapaian derajat dan level-level spiritual.

Makna batin terkesan cenderung lebih mendominasi, di mana pengejawantahan norma dan moral tasawuf lebih dititik pusatkan di dalam hati dan batin, bukan dalam bentuk-bentuk luar. Hal ini tidak diartikan sebagai penafian atau pengabaian ibadah-ibadah mahdhah. Sebab pelaksanaan ibadah-ibadah mahdhah ini justru menjadi jalan utama menuju Tuhan yang kemudian diikuti ibadah-ibadah sunnah. Namun makna spiritual yang ada atau yang seharusnya ada di dalam ibadah-ibadah tersebut lebih ditekankan mengiringi bentuk-bentuk luar ritual itu sendiri. Demikian pula halnya di luar ibadah murni. Ragam bentuk kehidupan yang direpresentasikan dengan pakaian, makanan, minuman, kekayaan, pangkat, kedudukan, dan sebagainya, tidak lagi menjadi standar atau wajah identitas seorang sufi. Seorang sufi bisa saja menjadi seorang presiden, menteri, pejabat, pengusaha, pedagang, petani, nelayan atau apa saja selama norma-norma ajaran sufistik terejawantahkan dalam hati, etika dan moral tingkah lakunya.

Dengan melihat pergeseran-pergeseran paradigma yang terjadi, dapat dipahami bahwa tasawuf sejatinya tidak bertentangan dengan budaya dan peradaban manusia. Secara lebih konkret, tasawuf tidak berlawanan dengan kemajuan sains dan teknologi yang telah dicapai oleh kemajuan akal manusia. Tasawuf berada dalam wilayah moral dan etika yang mengarahkan manusia dalam seluruh perbuatannya. Tasawuf adalah pendidikan dan pergerakan moral yang menjadikan hati manusia lebih mengutamakan Tuhan dalam seluruh dimensi kehidupannya. Adapun pangkat, jabatan, baju, kekuasaan, hak milik, dan segala macam perangkat duniawi yang ada padanya, tidak lain hanyalah bentuk-bentuk zhahir yang dijadikan sebagai media pendekatan diri kepada Tuhan.

II
SAYA pernah membaca sebuah artikel pendek yang ditulis oleh seorang perempuan yang dimuat dalam sebuah surat kabar mengenai problem kâffah seorang muslimah. Dalam artikel itu, si penulis mengutarakan keluh-kesah dalam upayanya menjadi muslimah yang kâffah. Dia mengatakan amat susah untuk ber-Islam secara kâffah sebagaimana konsep yang diterimanya. Sejak lama dia belajar hidup Islami, tetapi betapa sulitnya. Dia dilahirkan dari keluarga yang non-agamis. Dia baru mengenal Islam ketika di SMA, itupun setelah belajar secara otodidak. Dia harus menghadapi ibunya yang berbeda pemahaman agamanya. Dari keturunan ayahnya, kebanyakan adalah non-Islam. Sementara ibunya sendiri adalah Islam Kejawen; sebuah lingkungan yang sangat sinkretis.

Dia melanjutkan, kadang dia mengalami benturan budaya dalam upayanya ber-Islam kâffah. Sebagai contoh dia menyebutkan jilbab yang dianggap wajib bagi para perempuan. Tetapi ketika dia mengenakannya, ibunya malah menentang habis-habisan. Sebab, katanya, di lingkungannya jilbab tidak umum.

Setelah membaca artikel itu, saya mencoba mereka-reka apa sebenarnya makna Islam kâffah yang ada di benak perempuan tersebut. Apakah seseorang dapat dikatakan telah ber-Islam kâffah hanya karena dia mengenakan jilbab (perempuan), atau jenggot (laki-laki)?

Dalam al-Qur`an disebutkan, “Yâ ayyuh-a al-ladzîna âmanû udkhulû fî al-silm-i kâffah.” Menurut Abu Ishaq, makna “kâffah” dalam ayat ini adalah “jamî’” (semuanya) dan “ihâthah” (pencakupan). Maka, menurutnya, ayat ini boleh diartikan, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh, atau dalam seluruh syariatnya.” (Ibn Mandur, Lisân-u al-‘Arab)

Bagi saya, makna yang disebutkan Abu Ishaq adalah sebuah ‘kemungkinan’. Sebab dia masih menyebut kata-kata “fayajûz-u an yakûn-a ma’nâh-u” yang berarti “maka boleh jadi maknanya”. Dengan kata lain, dia tidak menetapkan makna kâffah secara pasti. Itu sebabnya, kita juga bisa mencari kemungkinan-kemungkinan lain dalam memaknai kâffah.

Dalam ayat di atas ada beberapa kata yang mesti kita pahami, yaitu “al-ladzîna âmanû”, “al-silm” dan “kâffah”. Saya mengamati, al-Qur`an tidak pernah menyebut “yâ ayyuh-a al-ladzîna aslamû” (hai orang-orang yang beragama Islam), ia lebih sering menyebut “yâ ayyuh-a al-ladzîna âmanû” (hai orang-orang yang beriman). Sebab kata-kata “orang-orang yang beriman” lebih dalam maknanya ketimbang “orang-orang yang beragama Islam”. Dan Allah tidak menghendaki umat Muslim disebut ‘Muslim’ hanya karena beragama Islam, tetapi lebih dari itu Dia menghendaki keberislaman mereka dilandasi keimanan mendalam kepada-Nya. Maka di sini, yang dimaksud “orang-orang yang beriman” oleh al-Qur`an tidak lain adalah umat Muslim sendiri. Sehingga kata “al-silm” tidak perlu lagi diartikan “agama Islam”. Kata “al-silm” lebih tepat dimaknai “kedamaian” sebagaimana termaktub di dalam kamus-kamus bahasa Arab.

Lalu tentang kata “kâffah”, secara umum ia lebih populer diartikan “jamâ’ah” (kelompok), atau “jamâ’at-un min-a an-nâs” (sekelompok orang), atau “jamî’” (semua). Namun dalam konteks ayat ini, kata “kâffah” tidak menunjukkan makna “jamâ’at-un min-a an-nâs”, tetapi lebih bermakna “totalitas”. Dengan demikian, ayat itu bisa diartikan, “Hai orang-orang yang beriman (umat Muslim), masuklah kalian ‘semua’ ke dalam ‘kedamaian’ secara total.” Jelas, ini merupakan seruan kapada umat Muslim untuk selalu terlibat dalam penyebaran kedamaian secara total.

Itu hanya salah satu kemungkinan. Kemungkinan lain, bisa saja Islam kâffah lebih mengarah pada segi wawasan keislaman. Sebab “al-ladzîn-a âmanû” (keberimanan) mensyaratkan rasionalisasi seluruh aspek yang ada dalam agama, dan rasionalisasi menuntut pengayaan nomenklatur keilmuan Islam. Di sini, Islam kâffah merupakan sebuah proses pembacaan yang terus-menerus guna menciptakan inklusivitas keimanan.

Di samping kemungkinan makna yang saya paparkan di atas barangkali masih banyak yang lain. Dan bagi saya, setiap kemungkinan itu dibutuhkan menurut konteks serta tuntutan zamannya. Abu Ishaq memaknai kâffah dengan “menjalankan keseluruhan syariat [atau hukum] Islam”. Sebab, mungkin saja, wacana yang berkembang pada masanya memanglah demikian. Namun pada masa sekarang, menurut saya, kita lebih membutuhkan dua kemungkinan makna lain yang juga saya sebutkan setelahnya, yaitu “totalitas sikap dalam kedamaian” dan “totalitas semangat memperkaya wawasan keislaman”.

Ketika membaca buku yang ditulis Mukti Ali el-Qum ini, saya banyak sekali menemukan indikasi yang mengarah kepada dua kemungkinan makna di atas. Meski tidak secara langsung menyebut terma “Islam kâffah”, tetapi ajaran-ajaran para sufi agung yang tersaji di dalam buku ini sarat sekali dengan nilai-nilai kedamaian dan wawasan keislaman agar umat Muslim benar-benar menjadi umat pembawa rahmat kepada seluruh alam sebagaimana dicontohkan baginda Nabi saw. Dan inilah sebenarnya, menurut saya, model Islam kâffah yang ‘dikehendaki’ Allah melalui firman-Nya di dalam al-Qur`an.

Terkait kemungkinan makna yang pertama, harus disadari, bahwa saat ini kedamaian merupakan kebutuhan urgen umat Muslim; kedamaian di dalam diri sendiri dan kedamaian menyangkut hubungan mereka dengan orang lain (baca; non-Muslim). Umat Muslim perlu menanamkan ‘sikap jenuh’ di dalam jiwa mereka terhadap segala bentuk pertikaian di antara mereka sendiri; yang berjilbab mencela yang tidak berjilbab, dan begitu sebaliknya; yang berjenggot memandang rendah kepada orang yang tak berjenggot, dan begitu sebaliknya; yang Ahl al-Sunnah mengkafirkan yang Syi’ah, dan begitu sebaliknya. Belum lagi pertentangan-pertentangan dengan para penganut agama-agama lain, khususnya Kristen dan Yahudi. Demikianlah kondisi umat Islam dari dulu hingga sekarang.

Para sufi hadir membawa ajaran yang berbeda dengan kebanyakan ajaran pada umumnya. Perdamaian manusia adalah misi utama yang harus mereka perjuangkan tanpa peduli akan membentur otoritas yang lebih besar, baik dari kalangan para tokoh ulama atau bahkan para penguasa.

Pada masa klasik, melihat maraknya perdebatan teologis di kalangan ulama kalam sebagai upaya untuk memperjuangkan kepentingan kelompok, para sufi mengatakan, “Ketika Allah mencintai hamba-Nya, maka Dia akan membukakan pintu amal dan menutup pintu perdebatan teologis.” Perdebatan dan kefanatikan terhadap mazhab fikih tak ayal telah memunculkan kritik dari para sufi yang mencela para figur mazhab yang tidak mengajarkan dan menanamkan ajaran moral dalam tingkah laku ritual ibadah zhahir.

Abu Hayyan al-Tauhidi, misalnya, tokoh sufi terbesar pada abad ke-4, mencela para tokoh mazhab yang suka mengobarkan api perpecahan di kalangan umat Muslim. Seperti dikatakannya sendiri dalam karya besarnya, “Kitâb al-Imtâ’ wa al-Mu`ânasah”, para tokoh mazhab sudah terjangkiti virus yang menghantarkan mereka ke puncak perpecahan. Mereka saling mengeluarkan pernyataan “kafir”, saling menuduh “fasik” (menyimpang dari doktrin agama), bahkan menghalalkan darah sesama. Mulut mereka amat doyan melontarkan kata-kata menyakitkan, mencaci-maki, memfitnah, dan memutuskan tali silaturrahmi.

Ulah para ulama kalam dan mazhab-mazhab fikih itu ternyata membawa akibat sangat fatal bagi mayoritas umat Muslim yang tidak hanya mengabaikan pesan-pesan kedamaian al-Qur`an, tetapi juga telah melupakan ajaran persatuan antarsesama sebagaimana digalakkan oleh Nabi saw. semasa beliau hidup. Demi melihat kualitas pluralisme internal, sedikit sekali dari umat Muslim yang berupaya untuk hidup selaras dengan spirit inklusivisme al-Qur`an sebagai rujukan utama mereka. Perbedaan tak terelakkan terhadap rujukan ini adalah pemahaman mereka dan kondisi di mana mereka tinggal. Pengabaian ambiguitas bahasa al-Qur`an, reduksi sejarah dan pengaruhnya terhadap penafsiran membawa konsekuensi tidak adanya perbedaan efektif antara moral normatif Islam dan perspektif mereka mengenai hal itu. Dan yang pasti, masing-masing mazhab atau aliran akan mengatakan, “Kami adalah orang-orang yang memahami al-Qur`an secara benar.”

Demikian juga menyangkut hubungan dengan para penganut agama-agama lain. Sikap mayoritas umat Muslim dalam menjaga keimanan tidak pernah sekalipun tersentuh oleh rasa kemanusiaan dari orang-orang yang berbeda agama dengan mereka. Mereka, selain tidak merasa tergugah untuk menemukan ‘kelapangan’ dan ‘keluasan’ di dalam ranah eksklusif keimanan mereka sendiri, tidak mampu secara penuh ber-istiqâmah menyaksikan kemurahan dan kasih-sayang Tuhan, juga tidak mampu memahami pluralisme eksternal sehingga menimbulkan kekeliruan dalam memahami kemampuan para penganut agama lain untuk mendengarkan mereka sebagai bukti bahwa mereka benar dan para penganut agama-agama lain salah, selain tentunya kedalaman tekad mereka untuk mendengarkan para penganut agama-agama lain itu. Tak mengherankan kiranya bila kedamaian hanya menjadi ‘hiburan’ di alam mimpi!

Dan bagaimanapun, “totalitas sikap dalam kedamaian” tidak akan mungkin terwujud tanpa “totalitas semangat memperkaya wawasan keislaman”. Wawasan keislaman yang saya maksud bukan sebatas wawasan yang dihasilkan melalui pergulatan diskursif di dalam tradisi Islam, tetapi juga wawasan progresif yang dapat mendorong kita untuk mempertanyakan kembali relevansi keimanan kita secara kontekstual.

Para sufi, dalam hal ini, telah melakukan upaya-upaya yang layak untuk diteladani. Al-Hallaj, al-Tauhidi, Ibn Arabi, Jalaluddin Rumi, dll. adalah tokoh-tokoh sufi yang telah berjuang demi tegaknya perdamaian antarumat beragama. Al-Hallaj, misalnya, sebagaimana termaktub di dalam buku ini, selama pengembaraannya ke beberapa negeri, telah banyak bergaul dan belajar dari orang-orang non-Muslim. Pada 899 M., dia memulai pengembaraan spiritual pertamanya ke perbatasan laut timur, lalu menuju ke selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902 M. Dalam pengembaraannya itu, dia bertemu dengan guru-guru spiritual dari berbagai agama. Dari mereka dia mempelajari banyak terminologi yang mereka gunakan untuk kemudian dia tuangkan dalam karya-karyanya. Di India, dia menyerap ilmu pengetahuan yang sedang semarak dan sangat digandrungi oleh masyarakat di sana. Sebagai konsekuensi mempelajari dan menyerap ilmu esoteris-gnosis dari banyak tradisi dan budaya dengan berlandaskan rasa kemanusiaan yang tinggi, di dalam dirinya lahir spirit inklusif dalam menyikapi perbedaan agama.

Berbagai dialog spiritual dan tukar-menukar pengalaman spiritual pun telah dilakukan secara egaliter oleh para sufi Muslim dengan para tokoh agama-agama lain. Mereka membudayakan dialog dan saling menghargai subyektivitas spiritual masing-masing. Mereka juga saling bertukar pengalaman untuk memperkaya wawasan dan pengetahuan. Sehingga dengan sendirinya dalam diri mereka terpatri sebuah sikap yang kerapkali diabaikan oleh mayoritas umat Muslim, yaitu ‘sikap bijak’.

‘Sikap bijak’, demikianlah kira-kira—sebagaimana dipaparkan oleh Farid Esack dalam bukunya, “On Being Muslim”—kita menerjemahkan kata “al-hikmah”. Menurut sebuah hadits, al-hikmah atau sikap bijak adalah barang yang hilang dari orang beriman, barang yang perlu diambil kembali, dari mana pun ia berasal. Bila ‘sikap bijak’ itu ternyata adalah hasil dari keterlibatan dengan para penganut agama-agama lain, dalam hal ini adalah umat Kristiani dan umat Yahudi, itu jauh lebih baik daripada sesuatu yang dihasilkan oleh sebuah permainan cantik yurisprudensis para ulama di mimbar-mimbar.

Untuk itu, para sufi senantiasa mendorong kepada pencarian kebenaran secara terus menerus demi terciptanya pluralisme yang sehat. Dalam pencarian kebenaran itu mereka tidak lagi mempersoalkan apakah sebuah pemikiran berasal dari Timur atau Barat, Kristen atau Yahudi. Sebab, bagi mereka, tidak ada seorang pun yang memiliki semua kebenaran, sehingga pengalaman dari tempat-tempat, bangsa-bangsa dan agama-agama lain sangat diperlukan guna membuka perspektif-perspektif kebenaran yang variatif. Dari sini, dapat dikatakan bahwa para sufi telah melakukan semacam revolusi yang mampu menciptakan rangsangan dalam pikiran mereka untuk berupaya menghimpun kebenaran-kebenaran pihak lain dan kebenaran yang mereka yakini di bawah tenda yang sama guna memecahkan problem-problem umat.

Model keberislaman mereka itulah yang menurut saya lebih layak disebut kâffah dan sangat dibutuhkan oleh umat Muslim, terutama untuk saat ini. Dengan berpijak pada ajaran-ajaran kedamaian dan pluralisme para sufi, saya katakan bahwa Islam kâffah sejatinya adalah komitmen ‘menyeluruh’ mengenai peningkatan kualitas diri melalui keterlibatan-keterlibatan bersama orang lain, dalam upaya mewujudkan dunia damai yang lebih manusiawi dan adil.

Islam kâffah, dengan demikian, bukanlah—meminjam bahasa Abdul Karim Soroush dalam bukunya, “Menggugat Otaritas dan Tradisi Agama”—sebentuk upaya ideologisasi agama, artinya mengubah agama menjadi alat fanatisme dan kebencian. Ideologisasi agama ini merupakan penyakit pemikiran agama yang kalau dibiarkan akan menjadi virus membahayakan. Dan yang membuat kita perihatin, para ulama tidak saja merasa puas diri, tetapi bahkan secara sadar terus mempropagandakannya.

Problem ideologisasi agama mengajak kita untuk membedakan antara Islam sebagai identitas dan Islam sebagai kebenaran. Islam model pertama adalah alat ideologis untuk identitas sekaligus respon terhadap apa yang kita kenal saat ini “krisis identitas”. Sementara Islam model kedua menunjuk kepada Islam kâffah seperti yang saya paparkan tadi, yaitu Islam sebagai sumber kebenaran yang menunjukkan jalan kedamaian. Oleh karena itu, saya sangat mengamini perkataan Abdul Karim Soroush, bahwa Nabi Muhammad saw. adalah pembawa kebenaran dan kedamaian. Para nabi, seperti yang kita tahu, pada mulanya menyeru manusia kepada kebenaran yang membawa kedamaian. Mereka mengemban misi mempercepat proses evolusi spiritual manusia, menyempurnakan kebaikan moral, memudahkan dan menafsirkan pengalaman spiritual, memperbaiki akhlak, mengajarkan hikmah dan ajaran esoteris, mengingatkan manusia akan asal-usul mereka yang sebenarnya. Nah, manakala orang-orang menerima itu dan mereka ‘disetir’ oleh disiplin agama, secara bertahap mereka membangun identitas. Tetapi, perlu digarisbawahi, membangun identitas bukanlah tujuan para nabi.

Makanya, lagi-lagi kata Abdul Karim Soroush, salah satu penyakit teoritis di dunia Islam yang paling berat saat ini adalah, bahwa pada umumnya umat Muslim lebih suka memahami Islam sebagai identitas ketimbang sebagai kebenaran. Adalah benar bahwa mereka mempunyai identitas, tetapi mereka tidak boleh memperalat Islam demi kepentingan identitas. Identitas muncul sebagai konsekuensi tak terencana dari aksi-aksi sadar para pelaku sosial. Identitas adalah keseluruhan pencapaian materi dan pemikiran dari banyak generasi. Identitas tidak bisa muncul dari upaya sadar segelintir orang. Identitas adalah desain spontanitas. Upaya apa pun yang direncanakan justru akan merobohkan desain tersebut. Namun tidak berarti bahwa umat Muslim tidak mempunyai identitas, melainkan bahwa Islam jangan sampai disalahgunakan demi kepentingan identitas. Di sini dapat dikatakan, bahwa Islam kâffah adalah Islam yang mencakup segala macam kebenaran. Artinya, kebenaran apapun dapat duduk harmonis di dalamnya.

Di samping itu, Islam kâffah juga berarti pengakuan bahwa Allah menciptakan manusia dengan keragaman. Ada yang beragama Islam, Yahudi, dan Kristen. Kalau kita membaca al-Qur`an, kita akan dapati bahwa Islam telah ada sejak Nabi Adam, tetapi bukan sebagai agama. Islam dideklarasikan sebagai agama resmi sejak adanya Nabi Muhammad saw. Sebelum beliau, Islam hanya merupakan nilai-nilai universal Tuhan sebagai petunjuk kebenaran. Dan manusia sebagai makhluk, oleh Tuhan telah dikaruniai kelebihan khusus berupa akal yang berpotensi untuk berikhtilaf. Maka, Islam sebagai nilai-nilai Tuhan itu ditafsirkan beragam oleh manusia. Orang-orang Israel (keturunan Ya’qub) menafsirkan Islam itu begini, para anggota gereja menafsirkannya begitu, dan Nabi saw. juga tidak ketinggalan memberikan penafsiran berbeda.

Kemudian, mereka memilih nama-nama kesukaan masing-masing untuk disematkan kepada hasil penafsiran mereka terhadap Islam. Keturunan Ya’qub yang sangat fanatik terhadap ikatan suku Yehuda memberi nama ‘Yudaisme’. Para pengikut Isa yang tergabung dalam kelompok Messiah Yahudi memberinya nama ‘Kristiani’ yang berasal dari ‘Xristos’, terjemahan Yunani untuk ‘Meshicha’ yang merupakan istilah Aramaik yang berarti ‘yang diberi ucapan perminyakan suci’. ‘Masihi’ merupakan sebutan Arab untuk orang-orang Eropa yang disebut ‘Xristianos’. Sementara itu, Nabi Muhammad saw. nampaknya lebih menyukai nama yang mempunyai makna cukup luas dan berarti. Makanya kemudian beliau memilih nama ‘Islam’ yang berarti ‘keberserahan’. Nama tersebut diambil dari nama pertamanya sebagai jalan berserah diri kepada Tuhan demi meraih kebenaran.

Melihat kenyataan historis yang demikian menuntut kita membuang jauh-jauh keinginan untuk menghina para penganut agama-agama lain. Ketika masih menjadi mahasiswa di universitas al-Azhar Mesir, saya sering mengunjungi International Books Fair yang diselenggarakan di kota Cairo. Di beberapa stand Pemeran saya menemukan puluhan bahkan ratusan buku yang berisi penghinaan terhadap agama Kristen yang dipamerkan secara terang-terangan, buku-buku yang secara sengaja ditulis untuk menyerang agama Kristen dengan menuduhnya sebagai agama kesyirikan. Bahkan terdapat CD yang dibagikan secara cuma-cuma yang memuat puluhan naskah buku, seperti “Limâdzâ Kassarû al-Shalîb?”, “al-Ilâh al-ladzîy lâ Wujûd-a Lah-u”, “al-Nashrânîyyah min al-Wahîd Ilâ al-Muta’addid”, “Hârûnîy am Dawûdîy al-Jins”, “al-Jins fî al-‘Ahd al-Yahûdîy al-Qadîm”, “al-Kanîsah wa al-Inhirâf”, “Ummah Bilâ Shalîb”, “al-‘Aqâ`id al-Watsanîyyah fî al-Diyânah al-Nashrânîyyah”, dan beberapa buku lainnya.

Namun yang mengherankan, penerbitan buku-buku tersebut justru atas dukungan dari negara. Ini sangat kontras dengan kehidupan di Mesir sehari-hari. Kalau dilihat, Mesir terlihat sangat damai. Antara umat Muslim dan umat Kristiani terjadi toleransi yang sangat tinggi, terjalin solidaritas yang begitu kuat. Saya sering melihat masjid berhadap-hadapan atau berdampingan dengan gereja. Saya bahkan hampir tidak bisa membedakan mana yang Muslim atau Kristiani. Di Mesir banyak perempuan Muslim pakai kerudung, tetapi banyak juga yang tidak memakainya. Para perempuan Kristiani juga banyak yang memakai kerudung. Bagi mereka, pemakaian kerudung tidak murni semata-mata karena agama, akan tetapi karena kerudung merupakan pakaian tradisional yang dipakai secara turun-temurun. Jadi, siapapun boleh memakai kerudung, perempuan Muslim atau Kristiani. Tetapi kenapa masih ada saja orang yang berusaha memutus tali pengikat yang sudah sejak lama terjalin itu dengan menyebarkan buku-buku yang antipatif terhadap agama-agama lain. Tidak hanya di Mesir, di Indonesia pun kita sering melihat buku-buku yang berisi penghinaan terhadap Kristen dan agama-agama lainnya.

Jika kita menolak orang lain menghina agama kita, kenapa kita mesti menghantam keyakinan orang lain yang hidup dengan dan di tengah-tengah kita? Sebelum melemparkan tuduhan kepada orang lain, kita harus yakin terlebih dahulu bahwa kita terbebas dari tuduhan yang sama. Inilah sebenarnya makna dari hadits Rasulullah saw. yang berbunyi, “Berbahagialah bagi orang yang disibukkan oleh aibnya sendiri sehingga ia melupakan aib orang lain.” Kalau hadits ini kita tarik kepada konteks yang lebih luas, bukan sebatas hubungan manusia dengan manusia, tetapi menyangkut hubungan antarumat beragama, maka akan bermakna, “Berbahagialah bagi para pengikut suatu agama yang disibukkan dengan aib-aib mereka sendiri sehingga mereka melupakan aib-aib para pengikut agama lain.” Wajar kiranya bila umat Muslim tidak maju-maju, karena mereka selalu disibukkan dengan aktivitas mencari-cari kesalahan orang lain, tidak mau mengoreksi diri.

Kebiasaan menghina para penganut agama-agama lain yang dilakukan sebagian besar umat Muslim, tidak lain merupakan salah satu dampak negatif dari ideologisasi agama. Dan saya kira, problem ideologisasi agama itu tidak hanya terjadi di dunia Islam, agama Kristen, Yahudi dan agama-agama lainnya juga mengalami problem serupa. Para penganut dari masing-masing agama, dengan dalih menjaga kesucian agama, dengan serta-merta menolak bantuan orang lain. Akibatnya, agama menjadi terisolasi dan kaku. Ideologisasi agama selalu menuntut idealisme dan dogmatisme sehingga berlawanan dengan obyektivitas yang pada gilirannya mendorong seseorang memandang dunia melalui celah tunggal yang sempit. Hal ini menampakkan kesan adanya kecacatan dalam agama, padahal kecacatan itu justru terjadi dalam perspektif manusia. Sebab, pikiran manusia memang tidak bisa lepas dari pengaruh kebutuhan dan kecenderungan, sehingga pemahamannya menjadi tidak sama dengan pemahaman manusia lainnya.

Sebagai bahan renungan, saya ingin katakan bahwa, tidak ada agama yang ditumbuh-kembangkan dalam sebuah ‘tabung kaca’ yang tertutup dari dinamika luarnya; sejarah justru menunjukkan betapa agama merupakan sebuah pergulatan tanpa henti terhadap beragam masalah sosial dan sejumlah keterlibatan lainnya. Makanya, perbedaan pemahaman, atau lebih spesifiknya perbedaan agama, jangan sampai menjadi penghalang bagi kita untuk terlibat secara aktif bersama para penganut agama-agama lain menciptakan dunia yang damai. Sudah saatnya kita berusaha memahami para penganut agama-agama lain dengan tetap meneguhkan kepercayaan—meminjam bahasa Farid Esack—bahwa hidup yang bermakna adalah hidup yang berdasarkan pintu keyakinan sendiri sementara jendelanya terbuka lebar bagi yang lain. Sudah waktunya kita memperkuat diri dengan komitmen bersama guna mewujudkan tatanan hidup penuh keadilan di muka bumi ini.

Harus diakui, rasanya memang sangat sulit untuk menumbuhkan sikap terbuka terhadap orang lain yang berbeda agama dengan kita ketika, sekilas pandang, seolah-olah mereka hendak menghancurkan keyakinan agama kita, sementara kita berpikir bahwa agama kita adalah yang paling benar. Tetapi, akan lebih baik bila kita mengabaikan cerita-cetita menyeramkan tentang agama-agama lain dan para penganutnya, mestinya kita mendekatinya secara langsung sebagai upaya membangun sebuah ruang, meskipun kecil, yang memungkinkan orang lain ada di antara kita. Inilah makna Islam kâffah yang sebenarnya, yaitu Islam yang sejalan dengan semangat inklusivisme.

Segala bentuk permusuhan perlu segera dihindarkan. Dan kedamaian harus senantiasa ditebarkan. Sebagai umat yang secara kâffah menjalankan ajaran-ajaran Islam, kita mestinya lebih suka berdamai. Kata-kata santun yang jauh dari unsur cacian, makian dan hinaan, harus kita kedepankan demi menghormati para penganut agama-agama lain yang juga manusia seperti kita dan mempunyai hak yang sama dengan kita. Untuk saat ini, tidak relevan lagi kita memandang identitas keagamaan seseorang. Justru yang harus kita lihat adalah sisi kemanusiaannya. Sebab, masuk dan tidaknya seseorang ke dalam surga tidak ditentukan oleh agama, kelompok atau apalah namanya, melainkan ditentukan oleh kelakuan dan sepak terjangnya di muka bumi; sejauh mana kontribusinya terhadap sesama, dan apa saja yang telah diperbuatnya untuk perdamaian, ketenteraman dan kemajuan manusia. Nabi saw. pernah bersabda, “Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”

Coba kita merenungkan hadits Nabi di atas. Nabi tidak mengatakan, “Sebaik-baiknya manusia adalah yang beragama Islam.” Persis seperti di dalam al-Qur`an, di mana banyak di antara ayat-ayatnya yang menekankan “perbuatan baik” (al-‘amal al-shâlih) sebagai syarat mutlak masuk surga. Kata “iman” dan “islam” itu lebih bermakna “kepercayaan” dan “kepasrahan” kepada Tuhan semata, bukan bermakna “afiliasi” dan “kepenganutan” terhadap agama tertentu.

“Kepercayaan” dan “kepasrahan” terhadap Tuhan pun tidak memperdulikan siapa Tuhan yang disembah. Yang penting “kebertuhanan” itu menumbuhkan sifat-sifat yang luhur di dalam diri manusia untuk kemudian diejawantahkan di dalam kehidupannya sehari-hari.

Satu hal yang ingin saya tekankan di sini, bahwa model Islam kâffah yang terjebak pada simbol-simbol kesalehan—yang menurut saya sama sekali tidak signifikatif—seperti jilbab dan jenggot, di samping eksklusivitas keimanan dan kungkungan ideologisasi Islam sebagai sebuah identitas, hanyalah bentukan wacana dominan yang ditopang oleh tradisi. Sebagai realitas, keberagamaan bukanlah sesuatu yang statis dan konstan. Ibarat air, ia selalu berubah bentuk, kendatipun esensinya sama. Tidak ada satu pun yang tetap dalam proses keberagamaan.

III
MEMBACA buku mahakarya Mukti Ali el-Qum ini bagaikan menyelam ke dalam samudera dan tidak ingin muncul ke permukaan. Begitu masuk, kesejukan dan kenyamanan langsung menyambut antusiasme kita dalam membacanya. Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Cerita-cerita kehidupan para sufi yang disuguhkan dengan bahasa yang sederhana dan tidak ‘melangit’ seperti kebiasaan para pemikir pada umumnya, membuat saya ingin sekali mempelajari tasawuf secara lebih mendalam.

Membaca buku ini, sekali lagi, membuat saya mampu menembus dinding yang selama ini menghalangi saya untuk mengetahui banyak hakikat. Maksud saya, hakikat bahwa tasawuf bukan hanya ajaran dzikir, melainkan ajaran yang hendak mengembalikan manusia kepada fitrahnya yang suci sebagai khalifah Tuhan yang diberi amanah untuk menciptakan kemakmuran di muka bumi; hakikat bahwa para sufi bukanlah para pertapa ‘suci’ yang mengisolasi diri dari kehidupan manusia, melainkan orang-orang yang tulus berjuang untuk tegaknya keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan manusia secara universal; hakikat bahwa Kasih-sayang Tuhan sangat luas, lebih luas daripada langit dan bumi beserta segala isinya, bahkan menenggelamkan Murka-Nya. Bila Kasih-sayang-Nya adalah samudera tak bertepi, maka Murka-Nya adalah setetes air yang larut ke dalam samudera tersebut; hakikat bahwa keragaman aliran dan agama adalah bagian dari sunnatullâh yang tak terbantahkan, selaras dengan keragaman manusia yang hidup mewarnai kehidupan ini; hakikat bahwa segala perbedaan yang tampak di dunia dunia ini tak lain adalah satu dan bersumber dari Tuhan Yang Mahasatu; dll.

Buku ini telah menyadarkan saya dari keterlenaan akibat buaian teks-teks yurisprudensial yang cenderung membatasi antara diri saya dan hakikat-hakikat yang saya sebutkan tadi. Sekarang jiwa saya terasa lapang. Bongkahan batu eksklusivisme iman dan radikalisme sikap yang sejak lama menindih jiwa saya kini terangkat.

Seperti yang pernah saya alami sebelumnya, banyak dari umat Muslim yang menjadi eksklusif dan radikal karena hanya terpaku pada teks-teks yurisprudensial semata. Sangat jarang dari mereka yang mau mengkaji teks-teks hasil kerja keras dan eksperimentasi para tokoh sufi agung seperti al-Hallaj, Abu Yazid al-Busthami, Ibn Arabi, Jalaluddin Rumi, al-Tauhidi, Suhrawardi, al-Ghazali, Mulla Shadra, dll. Mereka adalah pewaris para nabi. Mewarisi para nabi bukan hanya ilmunya, tetapi juga penderitaannya. Lihat saja al-Hallaj dan al-Tauhidi, keduanya sengsara karena ulah para ahli fikih yang menjadi budak-budak pemerintah. Demikian juga Suhrawardi yang dipenjara hanya karena mengatakan bahwa Allah dengan Kemahamampuan-Nya bisa mengutus nabi lain setelah Nabi Muhammad saw. Para ahli fikih menentang keras pendapat tersebut dengan dalih bahwa Nabi Muhammad saw. adalah nabi terakhir. Bermodal kedekatan dengan pemerintah, mereka berhasil memenjarakannya, sampai akhirnya dia meninggal karena dibunuh.

Saya sependapat dengan Suhrawardi. Tuhan Mahamampu, hak Dia untuk mengutus nabi lain selain Nabi Muhammad saw. Hanya saja, Dia tidak akan mengingkari janji-Nya bahwa Nabi Muhammad adalah rasul yang terakhir. Namun ini tidak berarti menghilangkan Kemahamampuan Tuhan. Justru orang-orang yang menentang Suhrawardi, bagi saya, adalah orang-orang yang mengingkari Kemahamampuan Tuhan.

Bekasi, 08 Juli 2010
 
posted by Roland Gunawan at 4:18 PM | Permalink | 0 comments
Al-Qawâ’id al-‘Asyrah(*)
10 Kiat Mendekati Tuhan dan Meraih Cinta-Nya


Sekilas Tentang Perjalanan Pemikiran al-Ghazali
HAMPIR pasti, tidak ada umat Muslim yang tak kenal Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali atau al-Imam al-Ghazali. Kalangan Ahl al-Sunnah atau biasa disebut kaum Sunni tidak sah seseorang mengaku muslim tanpa mengenal Imam al-Ghazali.

Dalam beberapa buku sejarah digambarkan, bahwa al-Ghazali, hidup di saat peradaban Islam mengalami perpecahan. Kala itu, kekhilafahan Islam di Baghdad tidak lagi menjadi pemerintahan sentral umat Muslim. Pemerintahan Islam di Baghdad harus menghadapi ancaman dari berbagai kesultanan Islam di luarnya, terutama dari dinasti Syi’ah Fathimiyah dan dinasti Buwaihiyah. Keduanya merupakan kekuatan besar yang membahayakan posisi dan otoritas kekhalifahan di Baghdad. Tidak hanya melakukan penggerusan politik melalui kekuatan militer, keduanya melakukan perlawanan melalui hegemoni budaya dan pemikiran. Cukup bisa dimengerti jika pemikiran keagamaan dianggap sebagai jalan keluar yang benar-benar dibutuhkan saat itu. Selain untuk meredam emosi masyarakat, pemikiran keagamaan dianggap dapat menjinakkan arus gelombang oposisi yang kontra terhadap pemerintahan. Dengan kerangka serupa itu, maka semua tindakan penguasa akan dianggap netral jauh dari kepentingan individu dan kelompok karena ditampilkan untuk dan atas nama agama.[1]

Justifikasi agama terhadap kekuasaan merupakan sebuah keniscayaan pada saat agama dilibatkan dalam pertarungan politik. Tak ayal, pertarungan politik kemudian menjelma menjadi pertarungan ideologi dan pemikiran. Tiap-tiap kekhalifahan berusaha menafikan legalitas pemerintahan oposan melalui wacana dan pemikiran. Pada akhirnya pemikiran dianggap sebagai senjata paling ampuh untuk merebut kekuasaan selain kekuatan militer. Dalam situasi seperti ini, peran para pemikir sangat menentukan bahkan dominan. Mereka merupakan bagian tak terpisahkan dari kekuasaan. Mereka sangat dibutuhkan untuk melindungi ideologi negara dan memerangi segala bentuk pemikiran yang lahir dari pihak oposisi. Kenyataan inilah yang kemudian menobatkan gerakan intelektualitas tidak lagi sepenuhnya demi kebenaran. Mayoritas akademisi hanya berorientasi untuk mendapatkan popularitas dan kenikmatan duniawi yang diperoleh dari kedekatan dengan penguasa.

Demikianlah kira-kira konteks sosial politik di masa al-Ghazali hidup. Karenanya bisa dimengerti, bahwa perpindahannya dari Naisabur menuju Mu’askar tidak lain untuk meraih popularitas dan mendapatkan kedudukan penting di dalam pemerintahan. Kala itu ia memposisikan diri sebagai pemikir yang getol mempertahankan ideologi resmi pemerintah. Ia merasa tertuntut menghadapi berbagai ancaman pemikiran dari kekuasaan oposan. Ia harus mampu melawan pemikiran Muktazilah di Buwaih dan pemikiran Batiniyah di Mesir. Lemahnya kekhalifahan Islam di Baghdad telah membuat aliran Sunni tercabik-cabik. Dibutuhkan upaya baru untuk menyelamatkannya dari kepunahan sekaligus untuk mengatasi krisis akibat tidak adanya kesesuaian antara metodologi dengan identitas pemikirannya. Pengingkaran aliran pemikiran yang dikembangkan kalangan Sunni terhadap kausalitas telah menabrak efektivitas metodologi Muktazilah yang sangat menuntut kepercayaan terhadap rasio. Di sinilah letak strategis kontribusi al-Ghazali. Keberhasilannya menyempurnakan metode “qiyâs al-ghâ`ib ‘alâ al-syâhid” yang digunakan Muktazilah dengan cara memasukkan ilmu logika ke dalam metode tersebut. Hal itu telah membuahkan konsekuensi berupa pemaduan antara ilmu kalam dan filsafat dalam ilmu kalam Sunni.

Keberhasilan ini merupakan bukti dari kemampuan al-Ghazali membuka lembaran baru dalam dinamika pemikiran Islam. Ia mampu membawa aliran Sunni sebagai pemenang dalam dialektika pemikiran Islam klasik. Bahkan pemikirannya mampu melampaui pemikiran semua akademisi Muslim di masanya. Dalam perlawanan terhadap filsafat, al-Ghazali tidak sekedar sebagai jelmaan dari al-Juwaini. Al-Juwaini melawan filsafat hanya pada unsur-unsur eksternalnya saja, sehingga perlawanan al-Juwaini tak mampu melawan kekuatan medodologi pemikiran Muktazilah. Sedangkan al-Ghazali langsung menyentuh unsur-unsur internalnya sehingga metodenya sangat mematikan. Demikian pula dalam masalah usul fikih, al-Ghazali tidak sebatas sebagai jelmaan dari al-Syafi’i. Rumusan metodologi usul fikihnya tidak hanya berkutat pada tataran kebahasaan sebagaimana al-Syafi’i, tetapi juga merambah ke ilmu logika sebagai sebuah keharusan dalam perumusan hukum.

Terkait ilmu logika, pendekatan al-Ghazali tidak sama dengan para akademisi lain yang konsen dalam ilmu tersebut. Promosi al-Ghazali akan urgensi ilmu logika jauh berbeda dengan promosi Ibn Hazm. Promosi al-Ghazali hanya ditujukan untuk menggantikan metodologi ‘irfânîy-bâthinîy, namun tidak menyentuh ‘irfânîy-shûfîy sebagaimana Ibn Hazm. Tidak hanya itu, dia juga tidak seperti al-Farabi yang menggunakan ilmu logika sebagai metodologi pencapaian temuan-temuan ilmiah. Al-Ghazali memfungsikan ilmu tersebut justru sebagai instrumen dalam mempertahankan pemikiran Sunni dari serangan pemikiran oposan. Dan akhirnya ia pun mampu menyudahi perangan pemikiran masa klasik dengan menjadikan Sunni sebagai pemenang, sekaligus menjadi penyebab terjadinya perpaduan antara paham Sunni dengan tasawuf.

Dengan demikian, tak berlebihan kiranya bila al-Ghazali diklaim sebagai simbol intelektualitas Islam di masanya. Dalam dirinya mengalir berbagai macam intelektualitas, mulai dari ilmu fikih, ilmu kalam, filsafat, hingga tasawuf. Penguasaannya terhadap ilmu-ilmu itu sangat mendalam. Ia mampu menyaingi para akademisi yang membidangi ilmu-ilmu tersebut. Ia adalah pakar Asy’ariyah ketika mendiskusikan ilmu kalam, seorang sufi saat merumuskan metodologi tasawuf, sekaligus seorang filsuf kala membantah kerancuan-kerancuan pemikiran para filsuf.[2] Hal itu menunjukkan bahwa penguasaannya terhadap ilmu-ilmu tersebut merupakan tuntutan realitas. Posisinya sebagai akademisi dinasti Saljuk menuntut dirinya untuk menguasai segala kecenderungan pemikiran. Ia harus menguasai ilmu kalam agar mampu memberangus pemikiran Muktazilah, menguasai filsafat dan tasawuf guna melawan pemikiran Syi’ah Bathiniyah.

Tasawuf merupakan fase terakhir dari perkembangan pemikiran al-Ghazali. Pada fase ini, al-Ghazali menemukan apa yang dinamakannya ‘hakikat kebenaran’. Hakikat kebenaran itu diperolehnya setelah mengalami skeptisme berat. Ia menceritakan pengalamannya itu di dalam sebuah kitab berjudul “al-Munqidz min al-Dhalâl”. Kitab ini memaparkan bagaimana al-Ghazali keluar dari derita skeptisme yang membuatnya mempertanyakan setiap kebenaran sampai membuat tubuhnya menjadi lemah dan tidak dapat melakukan apa-apa. Al-Ghazali berhasil mengakhiri penderitaan itu setelah mendapatkan cahaya Tuhan yang memercik ke dalam lubuk hatinya. Dengan cahaya Tuhan itulah dia mampu menemukan hakikat kebenaran.[3] Rupa-rupanya, kembali kepada Tuhan adalah solusi terbaik setelah mengalami kebingungan dalam menentukan kebenaran. Kebenaran telah terpecah-pecah akibat perbedaan akal manusia. Hal ini tentu saja menuntut adanya ‘campur tangan’ Tuhan yang terjewantahkan dalam wujud sebuah ilham yang tidak bisa ditalar oleh rasio.[4]

Jika kitab “al-Munqidz min al-Dhalâl” adalah biografi al-Ghazali dalam menemukan hakikat kebenaran, maka kitab “Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn” merupakan pemaparan mengenai hakikat kebenaran itu sendiri. Kitab ini telah memicu laju perkembangan tasawuf dalam peradaban Islam. Kelebihan kitab ini tidak hanya terletak pada materi tasawufnya semata, melainkan juga pada mekanisme penanaman materi itu di dalam peradaban Islam. Al-Ghazali menanamkan pemikiran-pemikiran tasawuf tersebut melalui jalur resmi pemikiran Sunni, yaitu fikih.[5] Di sini, ia menganggap ibadah tidak hanya berupa praktek zhahiriyah semata, tetapi juga mencakup aspek bathiniyah. Ia berusaha memberikan signifikasi spiritual lebih mendalam terhadap semua ibadah wajib dalam Islam. Bersuci, shalat, puasa, zakat, dan haji bukan hanya merupakan amal zhahir, tetapi juga merupakan amal batin. Selain itu, al-Ghazali juga berusaha memperlebar arti ibadah hingga tidak hanya mencakup hal-hal yang wajib. Semua aktivitas manusia dapat pula dianggap sebagai ibadah asalkan disisipi dengan makna-makna spiritual.[6]

Kelebihan lain dari kitab tersebut terletak pada metodologi tasawuf yang ditawarkan al-Ghazali. Tidak seperti para filsuf yang mencukupkan diri pada capaian keilmuan, juga tidak seperti para ahli fikih yang mencukupkan diri pada praktek amaliah, al-Ghazali justru berusaha membangun metodologi tasawufnya melalui penyatuan antara ilmu dan amal. Menurutnya, mempelajari ilmu tasawuf harus didahulukan sebelum menceburkan diri ke dalam dunia tasawuf. Ilmu sangatlah dibutuhkan dalam dunia tasawuf dan lebih utama dari semua ibadah yang dijalankan tanpa ilmu.[7] Ini menandakan bahwa al-Ghazali memasuki dunia tasawuf setelah menguasai ilmunya. Ilmu itu diperolehnya melalui kitab-kitab karya para imam sufi. Al-Ghazali telah mempelajari kitab “Qût al-Qulûb” karya Abu Thalib al-Makki dan “al-Risâlah al-Qusyayrîyyah” karya Imam al-Qusyairi, dll. Kitab-kitab inilah yang banyak mempengaruhi lahirnya kitab “Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn”.[8]

Dengan demikian, ilmu tasawuf sebenarnya hanyalah sebatas pengantar dalam mengarungi samudera spiritualitas. Melalui ilmu tasawuf segala ketentuan dalam menjalani dunia kesufian akan diketahui, juga hal-hal yang semestinya didahulukan dan hal-hal yang seharusnya diakhirkan. Ilmu tasawuf akan memberikan informasi mengenai tata-cara membersihkan hati dari entitas selain Tuhan. Namun, selain penguasaan terhadap ilmu, olah diri juga harus dilakukan dengan banyak berbuat amal kebajikan dan selalu lebur dalam dzikir-dzikir Tuhan agar jiwa menjadi suci. Apabila itu terjadi, maka akan terwujudlah mukâsyafah dan musyâhadah, yang nantinya akan berujung pada tingkatan fanâ`.[9] Mukâsyafah, musyâhadah, dan fanâ` hanya bisa terjadi di saat seorang sufi mampu menyatukan zhâhir dan bâthin, syariat dan hakikat, dengan keimanan yang benar kepada Tuhan serta selalu berbuat baik kepada ciptaan-Nya. Apabila ia tidak mampu melakukan hal itu, maka tatanan kesufian di dalam dirinya akan hancur. Sehingga ia tidak bisa menobatkan diri sebagai seorang sufi, karena tidak akan mungkin mendapatkan mukâsyafah, musyâhadah, dan fanâ` sebagai anugerah dari Tuhan.[10]

Mukâsyafah adalah penampakan pengetahuan dalam hati sufi. Semua hati manusia sebenarnya mempunyai potensi yang sama dalam menerima mukâsyafah. Tetapi, mukâsyafah hanya bisa dicapai kalau antara hati manusia dan lawh al-mahfûzh tidak terhalangi oleh apapun. Penghalang hanya mampu disirnakan oleh para nabi dan wali melalui olah diri dan pensucian. Perbedaan antara keduanya hanya teletak pada kemampuan dalam menyaksikan kehadiran sang pembawa pengetahuan. Mukâsyafah dalam diri nabi disebut dengan wahyu, sedangkan pada diri wali disebut ilham.

Mukâsyafah tidak didapatkan melalui pengkajian atau penalaran. Mukâsyafah adalah buah dari olah diri dan pensucian yang dilakukan para sufi. Itu semua bagaikan kajian keilmuan yang dilakukan para ulama. Dalam hal ini, kajian keilmuan juga mendapatkan pengetahuan dari lawh al-mahfûzh. Perbedaan antara kajian keilmuan dengan mukâsyafah hanya pada mekanisme pencapaian pengetahuan. Para sufi mendapatkan itu melalui olah diri dan amal saleh yang bertumpu pada hati, sedangkan para ulama melalui pengkajian yang bertumpu pada nalar. Para sufi akan terhalangi di saat melakukan kemaksiatan, sedangkan ulama akan terhalangi oleh kelupaan.[11]

Bagi al-Ghazali, mukâsyafah adalah kebenaran Ilahi. Argumentasinya dapat dimengerti melalui mimpi yang terkadang memberikan informasi berupa kepastian terjadinya peristiwa di masa depan. Hal ini terjadi karena di saat tidur manusia tidak lagi memperhatikan tuntutan-tuntutan jasmaninya. Namun, pengabaian terhadap tuntutan-tuntutan jasmani tidak hanya terjadi pada saat-saat tidur. Dalam kondisi sadarpun manusia mampu menepisnya dengan melakukan puasa, olah diri, dan pensucian hati. Sehingga dalam kondisi sadar, manusia juga mampu mengetahui peristiwa masa depan tersebut. Tidak ada perbedaan antara mukâsyafah melalui mimpi dengan mukâsyafah dalam kondisi sadar. Yang terpenting adalah kemampuan manusia dalam meminimalisir seluruh tuntutan jasmaninya.[12]

Selain mendapatkan mukâsyafah, para sufi juga mencapai musyâhadah. Musyâhadah menjadikan para sufi mampu menyaksikan semua fenomena menakjubkan yang tidak bisa disaksikan di alam nyata. Mereka mampu menyaksikan para malaikat, arwah para nabi, serta dapat mengambil manfaat dari persaksian itu. Klimaks dari itu semua adalah fanâ`. Tahapan ini merupakan tahapan paling akhir dari upaya pendekatan para sufi dengan Tuhan. Dalam tahapan ini, meraka senantiasa akan menyaksikan dan merasakan kehadiran Tuhan. Tak ada lain kecuali hanya Tuhan yang tampak oleh mereka. Ini merupakan empati tertinggi para sufi. Fanâ` hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang telah merasakan empati itu. Mempublikasikan empati tersebut kepada masyarakat umum akan melahirkan tuduhan kafir terhadap mereka.[13] Ketidakpahaman terhadap empati itu akan memunculkan klaim panteisme dan inkarnasi. Klaim tersebut muncul akibat ketidakpahaman masyarakat umum mengenai arti fanâ` dalam dunia sufisme.

Pengingkaran al-Ghazali terhadap panteisme dan inkarnasi tidak berarti ia mengkafirkan para imam sufi yang mempunyai teori itu. Ia hanya melarang jika teori itu dijalankan oleh masyarakat biasa yang tidak memahami kaidah-kaidah sufisme. Tetapi, itu pun tidak berarti bahwa al-Ghazali merestui teori penteisme dan inkarnasi. Artinya, dia tidak melihat bahwa statemen-statemen para tokoh sufi mengandung arti penyatuan antara Tuhan dengan hamba-Nya. Statemen-statemen mereka tidak bisa dipahami hanya melalui peranti-peranti tekstual. Oleh karena itu, apa yang dikatakan oleh Abu Yasid al-Busthami, “Maha suci aku dan tidak ada entitas yang lebih agung dariku,” tidak boleh diklaim sebagai bentuk kekufuran. Statemen tersebut tidak berarti bahwa dirinya telah menyatu dengan Tuhan. Justru itu merupakan sebuah ungkapan atas kebesaran Tuhan yang sedang disaksikannya. Artinya, Abu Yazid menganggap dirinya telah mencapai tingkatan paling atas dalam dunia sufisme, sehingga posisinya di hadapan Tuhan tidak tertandingi oleh entitas apapun.[14]

Demikianlah konsep tasawuf yang dikembangkan al-Ghazali di dalam dinasti Saljuk yang berpaham Sunni. Jelas, konsep ini jauh berbeda dengan konsep tasawuf Syi’ah Batiniyah yang sangat identik dengan panteisme dan inkarnasi. Kerhadiran konsep tasawuf al-Ghazali diharapkan menjadi alternatif untuk menggatikan tasawuf Batiniyah. Namun, akibat bias ideologi Sunni pemikiran al-Ghazali nampak paradoks. Pemikiran-pemikirannya terkesan tidak selaras dan saling berbenturan. Ini bisa dilihat dari konsep tasawuf rumusannya yang bertolak belakang dengan ilmu logika yang dipromosikannya. Himbauan untuk bertasawuf hingga mencapai mukâsyafah akan menghantam himbaunnya untuk mempelajari ilmu logika. Antara ilmu mukâsyafah dengan ilmu logika adalah dua hal yang saling berlawanan. Memang, keduanya sama-sama mendapatkan pangetahuan dari lawh mahfûzh. Akan tetapi keduanya tetap berbeda, perbedaannya adalah pada mekanisme pancapaian pengetahuan. Ilmu logika bersandar pada pijakan-pijakan akal, sedang ilmu mukâsyafah justru menihilkan penalaran. Mukâsyafah tidak hanya akan membentur himbauannya akan urgensi ilmu logika, tetapi juga akan membentur pelarangannya terhadap filsafat.

Sebetulnya, bila diamati lebih jauh, paradoksalitas pemikiran al-Ghazali lebih disebabkan karena beratnya beban ideologi aliran Sunni yang menindih pundaknya. Himbauannya untuk mempelajari ilmu logika sebenarnya merupakan upayanya untuk menggantikan konsep ‘pembimbing suci’ aliran Syi’ah Batiniyah. Sementara, rumusan tasawufnya sengaja dicanangkan untuk menjadi pengganti atas bangunan spiritualitas Syi’ah Batiniyah. Begitu pula pengkafirannya terhadap filsafat tidak lain adalah untuk mematikan landasan filsafat Syi’ah Batiniyah tersebut. Dalam pandangan al-Ghazali, filsafat Batiniyah adalah perwujudan dari filsafat Neoplatonisme yang dikembangkan oleh al-Farabi dan Ibnu Sina. Sehingga, pengkafiran terhadap al-Farabi dan Ibn Sina diharapkan akan dapat meruntuhkan dasar-dasar filsafat Syi’ah Batiniyah.[15]


Kandungan Kitab “al-Qawâ’id al-‘Asyrah
SEPERTI disinggung di atas, kitab “al-Munqidz min al-Dhalâl” merupakan biografi al-Ghazali dalam menemukan hakikat kebenaran, sedangkan kitab “Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn” merupakan pemaparan mengenai hakikat kebenaran itu sendiri. Maka kitab “al-Qawâ’id al-‘Asyrah” ini, selain juga kitab “Kîmiyâ` al-Sa’âdah” dan “al-Adab fî al-Dîn”, sejatinya merupakan kelanjutan dari kedua kitab tadi, yang secara khusus membahas tentang kaidah-kaidah dan kiat-kiat mendekati Allah SWT guna merengkuh cinta-Nya, khususnya—tentu saja—di dunia tarekat.

Pada awalnya, seperti kebanyakan kitab keagamaan lainnya, al-Ghazali membuka kitab ini dengan pujian kepada Tuhan semesta alam atas segala karunia dan hidayah-Nya kepada para pecinta-Nya, yang mana hati mereka digerakkan oleh-Nya untuk mengikuti tuntunan al-Qur`an dan al-Sunnah. Kemudian al-Ghazali menyebutkan salah satu pilar tasawuf, yaitu qiyâm al-layl, yang menjadi ciri khas para pecinta-Nya. Mereka, seperti juga disinyalir di dalam al-Qur`an, menjauhkan lambung mereka dari tempat tidur di malam hari untuk beribadah dan memanjatkan doa kepada Allah SWT dengan perasaan takut dan harap, selain juga banyak berbuat amal saleh.

Selanjutnya, al-Ghazali memberikan isyarat bahwa para murid dapat mendorong jiwa mereka untuk menanjaki tangga-tangga cinta jika mereka mampu membiasakan diri dengan dzikir-dzikir seperti yang diamalkan para sufi yang sudah mencapai puncak kematangan jiwa-ruh karena kedekatan mereka dengan Allah SWT. Kematangan jiwa-ruh mereka telah menghantarkan mereka memasuki istana tauhid, di mana mereka melepaskan dahaga kerinduan dengan minuman cahaya yang memasuki tenggorokan, jasad dan ruh mereka. Saat itulah mereka berdialog secara rahasia dengan Sang Kekasih Abadi yang menjamu mereka dengan hidangan cahaya-Nya.

Maka, bagi mereka yang mempunyai gairah untuk menjalani dunia tarekat supaya merasakan nikmatnya berdekatan dan mencintai-dicintai Allah SWT, di bawah ini terdapat beberapa kaidah—bisa juga diistilahkan dengan ‘kiat’—yang harus perhatikan, yaitu:

Pertama: Niat yang Tulus (al-Nîyyah al-Shâdiqah)
Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya [perbuatan] setiap orang tergantung niatnya.” ‘Niat’ mempunyai makna tekad atau keinginan kuat di dalam hati, sedangkan ‘tulus’ mempunyai makna dikerjakan atau ditinggalkan hanya karena Allah. Sebagai seorang sufi, al-Ghazali meletakkan niat di peringkat pertama. Karena, sesuai kandungan hadits tadi, apapun pekerjaan seorang tergantung niatnya. Sehingga tak berlebihan bila ia menjadi pilar pertama di dalam tarekat, yaitu arah atau tujuan yang baik untuk mencapai apa yang diinginkan dan keteguhan untuk aktif di tarekat tanpa memperdulikan aral-aral yang datang menghalang-halangi jalan menuju kebenaran.

Untuk menguatkan pilar tersebut, para salik dianjurkan membaca kisah-kisah para pecinta Tuhan (al-muhibbûn) di dalam kitab-kitab tasawuf lama, seperti “al-Risâlah” karya al-Qusyairi, “al-Hulyah” karya Abu Na’im, “Thabaqât al-Awliyâ`”, dll. Dengan membaca kitab-kitab itu para salik diharapkan dapat menumbuhkan keinginan kuat di dalam diri mereka untuk menempuh jalan tarekat. Sebab tanpa keinginan kuat untuk meraih kedudukan-kedudukan tinggi sebagaimana yang berhasil diraih oleh para generasi terdahulu, sangat tidak mungkin dalam diri seorang salik tertanam niat yang tulus.

Kedua: Melakukan Amal Ibadah Hanya Karena Allah
Menyangkut kaidah ini, al-Ghazali menyitir sebuah hadits yang berbunyi, “Sembahlah Allah seolah kamu melihat-Nya. Dan bila kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” Tanda bahwa seseorang melakukan amal ibadah hanya karena Allah adalah ia tidak mengikatkan hatinya dengan selain-Nya dan tidak menghendaki apapun selain keridhaan-Nya. Dia, selain menggantungkan harapan-harapannya hanya kepada Allah SWT, juga meninggalkan hal-hal syubhât.

Tentu saja, melakukan amal ibadah hanya karena Allah tidaklah mudah. Makanya setiap salik dituntut untuk menanamkan dan memupuk keikhlasan di dalam hatinya. Dan keikhlasan bukanlah sesuatu yang muktasab, akan tetapi sebagaimana yang dikatakan Suhrawardi merupakan salah satu dari rahasia Allah SWT yang diberikan kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.

Ketiga: Hidup Selaras dengan Kebenaran dan Mengesampingkan Hawa Nafsu
Maksud dari kaidah ini adalah, berupaya menundukkan dan mengikutkan hawa nafsu kepada ajaran-ajaran yang telah digariskan oleh syariat. Menurut al-Ghazali, kebenaran harus senantiasa diikuti dengan kesungguhan, dan hawa nafsu harus dihadapi dengan kesabaran. Dengan kata lain, sabar untuk tidak melakukan suatu perbuatan yang merupakan tuntutan hawa nafsu. Sebab, perbuatan apapun yang didasarkan pada hawa nafsu hanya akan menjerumuskan manusia kepada hal-hal yang merusak dan mencelakai dirinya sendiri. Allah berfirman, “Janganlah kamu menjerumuskan diri kalian kepada kehancuran.”

Dan sebenarnya, apa yang disebutkan oleh al-Ghazali di atas hanyalah efek, keadaan, sekaligus konsekuensi perbuatan tanpa menguraikan secara jelas dasar-dasar tarekat yaitu: tawbah, khawf, rajâ`, huzn, qanâ’ah, zuhd, wara’, tawakkul, shabr, syukr, jihâd al-nafs, ridhâ bi al-qadhâ`, tark al-‘ibâd (dalam artian tidak memalingkan hati kepada keadaan para hamba).

Keempat: Melakukan Amal Ibadah Sesuai Syariat Tanpa Membuat-buat Berdasarkan Hawa Nafsunya
Di sini al-Ghazali menekankan agar seorang salik tidak menjadikan syariat sebagai permainan akal pikirannya. Ajaran apapun dari syariat harus dipatuhi dan tidak dibantah, sekalipun itu disampaikan oleh seorang budak yang hina. Nabi saw. bersabda, “Hendaknya kalian mendengarkan dan mentaati [ajaran-ajaran syariat], meskipun seorang budak bangsa Habsyi yang menyampaikannya.”

Al-Ghazali, dengan kaidah ini, berupaya menjauhkan para salik dari keterjemusan ke dalam jurang bid’ah yang dilarang oleh agama. Maksud bid’ah di sini adalah membuat sesuatu yang baru di dalam agama yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw. Sebuah hadits menyebutkan, “Setiap sesuatu yang baru adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan [tempatnya] adalah di dalam neraka.”

Namun hadits tersebut jangan serta-merta dipahami bahwa setiap hal baru yang dilakukan oleh sekelompok orang adalah bid’ah yang menyesatkan. Menurut Syaikh Mukhtar, seorang tokoh sufi di Mesir, definisi bid’ah yang benar adalah “Taqyîd mâ athlaqahullâh wa rasûluh-u, wa ithlâq mâ qayyadahullâh wa rasûluh-u” (me-muqayyad-kan apa yang di-muthlaq-kan oleh Allah dan rasul-Nya, dan me-muthlaq-kan apa yang di-muqayyad-kan oleh Allah dan rasul-Nya). Contoh sederhananya adalah shalat Ashar. Shalat Ashar muqayyad dari segi rakaat dan waktunya. Kalau kita tambah atau mengurangi rakaatnya dan mengerjakannya kapan saja semau kita, ini baru bid’ah yang harus dijauhi. Berbeda dengan dua kalimat syahadat sebagai pondasi awal agama yang bersifat muthlaq. Artinya tidak terikat oleh zaman dan tempat. Kapan saja kita mau, kita boleh melafalkannya. Demikian juga dzikir (menyebut nama Tuhan), di mana saja kita boleh berdzikir, dengan model atau bentuk apapun. Bisa dengan tarian—seperti dilakukan oleh para pengikut Jalaluddin Rumi—, pakai musik, berdiri, tidur-tiduran, di bioskop, di cafe, di masjid, di rumah, di kuburan, atau dalam bentuk tahlilan—seperti tradisi masyarakat NU—dll. Pendek kata, di manapun, kapanpun dan dalam keadaan apapun dzikir boleh dilakukan. Sebab, Allah SWT hanya menyuruh para hamba-Nya untuk banyak-banyak menyebut-Nya.

Dan perlu digaris bawahi, bahwa bid’ah ada dua, yaitu: bid’ah yang baik (bid’ah hasanah) dan bid’ah yang buruk (bid’ah sayyi`ah). Bid’ah yang baik contohnya seperti anggur yang dibuat khamr. Perubahan anggur menjadi khamr disebut bid’ah. Menurut syariat, khamr kalau diminum hukumnya haram, karenanya disebut bid’ah yang buruk. Dari dulu hingga saat ini banyak orang suka meminumnya, sehingga ini bisa disebut sunnah yang buruk (sunnah sayyi`ah). Demikian halnya dengan anggur yang dibuat kismis. Seperti yang pertama, perubahan anggur menjadi kismis juga disebut bid’ah. Menurut banyak orang, kismis enak kalau dibuat camilan. Sedangkan menurut syariat kismis tidak apa-apa kalau dimakan, karenanya ia disebut bid’ah yang baik. Dari dulu sampai sekarang banyak orang yang mengkonsumsinya, maka ini bisa disebut sunnah yang baik (sunnah hasanah).

Kelima: Memiliki Keinginan Kuat (al-Himmah al-‘Ulyâ) yang Jauh Dari Hal-hal Merusak
Di sini, yang dimaksud al-Ghazali adalah bahwa tidak dibenarkan bila seorang hamba menunda-nunda suatu perbuatan sampai hari esok. Contoh yang bisa disebutkan di sini—sebagaimana juga disebutkan al-Ghazali sendiri di dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn—adalah taubat. Seorang hamba kalau merasa banyak melakukan dosa dan kesalahan, hendaknya dia segera bertaubat, tidak boleh menunggu hari tua. Sebab ajal manusia tidak diketahui kapan datangnya. Sehingga dengan demikian, setiap hamba harus menyegerakan taubat selagi Allah masih memberikan kesempatan baginya. Kesempatan, seperti jamak kita tahu, tidak datang dua kali. Nabi saw. bersabda, “Lakukan sesuatu untuk duniamu seolah engkau akan hidup selamanya. Dan lakukanlah sesuatu untuk akhiratmu seolah engkau akan mati esok.”

Keenam: Merasa Lemah (al-‘Ajz) dan Hina (al-Dzillah)
Di sini al-Ghazali tidak memaksudkan bahwa para salik boleh malas dan mengabaikan usaha. Justru sebaliknya, dia menghendaki para salik menumbuhkan kesadaran di dalam diri mereka bahwa apapun yang mereka lakukan semuanya adalah atas kekuasaan Allah SWT. Para salik harus berusaha semaksimal mungkin melakukan segala bentuk ketaatan kepada Allah SWT dengan tetap menyadari bahwa tanpa kekuasaan dan kehendak-Nya mereka tidak akan mampu berbuat apa-apa. Mereka harus merasa lemah dan hina di hadapan-Nya. Dengan begitu mereka tidak akan menjadi sombong dan memandang makhluk-makhluk Tuhan yang lain dengan pandangan menghargai sekaligus menghormati.

Para salik harus mengetahui Kemahakuasaan Allah supaya mereka tidak mudah melakukan hal-hal yang melampaui batas. Allah senantiasa menyayangi seorang hamba yang mengetahui kekuasaan-Nya, tidak melampaui batas dan tidak keluar dari jalan yang dikehendaki-Nya.

Allah SWT mempunyai kekuasaan paripurna yang tidak dapat dilemahkan oleh apapun, dan tidak terikat dengan sebab apapun. Dia-lah yang menentukan nasib hamba-hamba-Nya, dan Dia pulalah yang mengatur kejadian-kejadian alam menurut ukuran dan kebijaksanaan-Nya.

Ketujuh: Menumbuhkan Rasa Takut (al-Khawf) dan Harap (al-Rajâ`)
Dalam kaidah ini, al-Ghazali tidak memberikan paparan lebih jauh mengenai al-khawf dan al-rajâ`. Hal ini kemungkinan karena dia telah membahasnya secara gamblang di dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai representasi rujukan tasawuf aliran Ahl al-Sunnah.

Mengenai al-khawf, misalnya, al-Ghazali mengatakan dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, “Ketahuilah bahwa hakikat khawf adalah penderitaan hati karena mewaspadai kemungkinan terjadinya keburukan di masa depan. Terkadang terjadi karena mengalirnya banyak dosa, dan terkadang juga karena takut kepada Allah SWT dengan mengetahui sifat-sifat-Nya yang tentu saja akan menimbulkan perasaan takut, inilah yang paling sempurna (yang paling baik). Sebab, siapapun yang mengetahui Allah, niscaya dia akan takut kepada-Nya.”

Apa yang dikatakan al-Ghazali di atas kiranya selaras dengan firman Allah SWT yang berbunyi, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama [yang mengetahui kekuasaan dan kebesaran Allah].”

Selain ayat tersebut, terdapat ayat-ayat lain di dalam al-Qur`an yang menyinggung masalah al-khawf atau perasaan takut kepada Allah SWT. Di antaranya:

Allah menyeru hamba-hamba-Nya agar takut hanya kepada-Nya. Dia berfirman, “Dan hanya kepada-Ku lah kamu harus takut (tunduk).”

Allah memuji orang-orang beriman karena sifat takut mereka kepada-Nya, “Mereka takut kepada Tuhan mereka yang kuasa atas mereka.”

Allah menjadikan al-khawf sebagai syarat kesempurnaan iman, “Dan takutlah kepada-Ku jika kamu adalah orang-orang yang beriman.”

Allah menjadikan dua surga bagi orang yang takut akan saat menghadap-Nya; surga pengetahuan-pengetahuan di dunia, dan surga hiasan-hiasan di akhirat. Dia berfirman, “Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga.”

Allah menjadikan surga sebagai tempat bagi orang yang takut akan kebesaran-Nya, “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surga adalah tempat tinggal baginya.”

Sedangkan mengenai al-rajâ` atau mengharapkan pahala dan ridha dari Allah SWT, al-Ghazali mengatakan, “Al-rajâ` adalah ketenangan hati karena menantikan sesuatu yang sangat diinginkan.” Di sini, yang dimaksud al-Ghazali dengan sesuatu yang diinginkan adalah pahala dan ridha dari Allah SWT.

Al-Ghazali membedakan antara al-rajâ` (berharap kepada Allah) dan al-tamannîy (berandai-andai). Orang yang berharap kepada Allah adalah orang yang melakukan ketaatan dengan memohon ridha-Nya, sedangkan orang yang berandai-andai justru mengabaikan usaha karena sifat malas yang menggerogotinya.

Dari itu, seorang salik yang mengaku benar-benar mengharapkan ridha dari Allah hendaknya dia menyingsingkan lengan bajunya untuk berusaha secara sungguh-sungguh dan ikhlas sehingga dia mendapatkan apa yang diinginkannya, bukan hanya berpangku tangan. Allah SWT berfirman, “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerjakan amal saleh dan janganlah mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada-Nya.”

Al-Ghazali menambahkan, al-rajâ` perlu disertai dengan husn al-zhann (baik sangka) kepada Allah SWT dengan menjauhkan keputusasaan akan rahmat-Nya. Dalam tulisan ini tidak akan disebutkan contoh seperti disuguhkan al-Ghazali di dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn tentang kisah Nabi Yusuf as. yang diceburkan ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya. Tetapi akan disebutkan kisah lain yang menyiratkan kesamaan pesan dengan kisah yang disebutkan al-Ghazali di dalam karyanya tersebut mengenai pentingnya berbaik sangka kepada Allah SWT.

Seorang raja memiliki seorang menteri yang bijaksana. Hubungan keduanya sangat dekat sekali. Di mana pun raja berada sang menteri selalu setia menemaninya. Setiap kali raja terkena sesuatu yang membuatnya kesal, sang menteri berusaha menghiburnya dengan berkata, “Semoga itu menjadi kebaikan,” dan raja kemudian menjadi tenang. Pada suatu waktu, ketika sedang latihan berperang, salah satu jari sang raja putus terkena sabetan pedang. Sang menteri berkata, “Semoga itu menjadi kebaikan.” Mendengar ini, tentu saja sang raja marah tak terkira, lalu katanya, “Hai tolol, apa baiknya ini?” Kemudian dia menyuruh para pengawalnya untuk menjebloskan sang menteri ke dalam penjara. Dengan tenang sang menteri berkata, “Semoga ini menjadi kebaikan,” dan tinggallah dia di dalam penjara untuk beberapa lama. Pada suatu hari, bersama beberapa pengawalnya sang raja pergi ke hutan untuk berburu. Ketika di hutan dia menjauh dari para pengawalnya mengejar hewan buruannya. Dia terus berlari sampai akhirnya bertemu dengan suatu kaum penyembah berhala. Mereka lalu menangkapnya untuk dijadikan kurban bagi berhala sesembahan mereka. Namun ketika mereka melihat salah satu jarinya putus, dengan serta-merta mereka melepaskannya. Dengan hati diliputi kebahagiaan sang raja kemudian pergi, dia bersyukur kepada Allah SWT karena telah menyelamatkannya dari menjadi kurban bagi berhala yang tidak dapat berbuat apa-apa. Begitu sampai di istana, hal pertama yang dia lakukan adalah menyuruh para pengawalnya membebaskan sang menteri untuk dibawa ke hadapannya. Ketika menteri itu telah berada di hadapannya, sang raja langsung meminta maaf atas apa yang telah dilakukan terhadapnya. Sekarang dia menyadari kebaikan pada jarinya yang putus. Dia haturkan puja dan puji kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya. Kemudia dia bertanya kepada menterinya, “Ketika aku menyuruhmu untuk dipenjara, kau berkata, ‘Semoga ini menjadi kebaikan,’ apa kebaikan itu?” Sang menteri menjawab sambil tersenyum, “Seandainya hamba tidak dipenjara lalu ikut paduka berburu, sudah tentu hambalah yang akan menjadi kurban bagi berhala tersebut menggantikan paduka. Sesungguhnya apapun yang telah digariskan oleh Allah SWT semuanya adalah kebaikan.”

Berbaik sangka dan keyakinan terhadap rahmat Allah SWT merupakan sifat-sifat orang mukmin. Allah berfirman, “Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Tuhannya kecuali orang-orang yang sesat.”

Shuhaib menyebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh menakjubkan keadaan orang mukmin, semua perkaranya adalah kebaikan, dan itu tidak terjadi pada siapapun kecuali orang mukmin; bila hidup makmur dia bersyukur [kepada Allah], maka itu menjadi kebaikan baginya. Dan bila hidup susah dia bersabar, maka itu menjadi kebaikan baginya.”

Seorang salik yang ingin menghadap dan mendekatkan diri dengan Allah SWT harus mampu menggabungkan dan menyeimbangkan antara al-khawf dan al-rajâ`; tidak melebihkan al-khawf di atas al-rajâ` sehingga dia berputus asa dari rahmat Allah SWT dan ampunan-Nya, juga tidak melebihkan al-rajâ` di atas al-khawf sehingga dia mudah terjerumus ke dalam jurang maksiat dan keburukan. Dia harus berupaya untuk terbang dengan sayap a-khawf dan al-rajâ` mengikuti hembusan angin kebenaran yang bersih, sehingga dia senantiasa berdekatan dengan hadirat Ilahi.

Takut berjauhan dari-Nya dan berharap untuk selalu dekat dengan-Nya. Takut bila Dia meninggalkannya dan berharap memperoleh ridha-Nya. Takut bila Dia mengabaikannya dan berharap untuk terus berhubungan dengan-Nya. Takut dari siksa api neraka dan berharap mendapatkan nikmat surga. Demikianlah mestinya seorang salik dalam kehidupannya.

Al-Ghazali menegaskan, bahwa orang-orang yang takut (al-khâ`ifûn) tidak hanya satu tingkatan. Menurutnya, ada beberapa tingkatan al-khâ`ifûn: pertama, khawf al-‘awâm (takutnya orang awam), yaitu takut akan hukuman dan keterlambatan pahala; kedua, khawf al-khâshshah (takutnya orang khusus), yaitu takut akan keterlambatan teguran; ketiga, khawf al-khâshshah al-khâshshah (takutnya orang paling khusus), yaitu takut akan ketertutupan dengan nampaknya keburukan budi pekerti.

Sama halnya dengan orang-orang yang berharap (al-râjûn) yang juga ada beberapa tingkatan: pertama, rajâ` al-‘awâm (harapan orang awam), yaitu harapan mendapatkan sebaik-baiknya tempat kembali dan meraih sebanyak-banyaknya pahala; kedua, rajâ` al-khâshshah (harapan orang khusus), yaitu harapan memperoleh ridha dan selalu dekat dengan Allah SWT; ketiga, rajâ` al-khâshshah al-khâshshah (harapan orang paling khusus), yaitu harapan kemungkinan untuk syuhûd (menyaksikan) dan meningkatnya pengetahuan mengenai rahasia-rahasia Allah SWT.

Kedelapan: Selalu Melakukan Wirid dan Dzikir
Dalam dunia tasawuf, wirid dan dzikir merupakan salah satu pilar tegaknya sebuah tarekat. Dan al-Ghazali menyadari betul hal ini. Bahkan dia secara terang-terangan menyatakan bahwa dia sudah sampai pada tingkatan dzikir dengan al-ism al-a’zham “Allah”.

Seperti halnya al-Ghazali, para ulama tarekat secara umum mengamalkan wirid dan dzikir, di samping untuk meningkatkan kematangan jiwa, juga untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebut saja misalnya Sayyid Abdul Karim al-Jili yang telah menyusun dzikir-dzikir untuk diamalkannya sendiri dan para pengikutnya. Dzikir-dzikir yang disusunnya itu terdiri dari tiga belas nama Allah, yang mana setiap nama disebut sebanyak 100 ribu kali. Ketiga belas nama itu adalah: Lâ Ilâh-a illâ Allâh, Huw-a, Hayy-un, Wâjid-un, ‘Azîz-un, Wadûd-un, Haqq-un, Qahhâr-un, Qayyûm-un, Wahhâb-un, Muhaymin-un, dan Bâsith-un.

Nama-nama tersebut ternyata juga banyak dijadikan dzikiran oleh para ulama dan para pengikut tarekat yang lain. Dalam beberapa kitab tarekat disebutkan bahwa para pengikut Sayyid Ahmad Rifa’i mengamalkan nama-nama tersebut sebagai dzikir. Juga para ulama tarekat al-Bayumiyah yang menjadikan ketiga belas nama Allah SWT tersebut sebagai dzikir. Namun, hal ini tidak lantas berarti bahwa para sufi tidak mempunyai dzikiran dan wiridan lain selain ketiga belas nama tadi. Al-adzkâr al-nabawîyyah (dzikir-dzikir Nabi saw.) dan tilâwah al-qur`ân (membaca al-Qur`an) terbuka seluas-luasnya bagi para ‘pencari akhirat’ yang dalam pengamalannya tidak membutuhkan izin dari para syaikh tarekat sebagaimana pemahaman orang-orang awam selama ini. Berdzikir dengan selain ketiga belas nama tadi bahkan disunnahkan dan sangat dianjurkan oleh Nabi saw.

Dan perlu diketahui, bahwa para ulama tarekat mengamalkan ketiga belas nama tersebut sebagai dzikiran berdasarkan ilham setelah sekian lamanya mereka bergelut di dunia spiritual. Di samping ketiga belas nama tadi, setiap tokoh tarekat juga mengamalkan dzikir khusus yang sesuai dengan keadaan (al-hâl) masing-masing. Setiap nama Allah yang tergabung dalam al-Asmâ` al-Husnâ mempunyai keistimewaan dan epifani yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan masing-masing tokoh. Adapun bagi para pemula atau murid yang baru memasuki dunia tarekat, hendaknya mereka mengamalkan dzikir nama-nama yang diajarkan oleh para syaikh sampai akhirnya Allah SWT membuka jalan bagi mereka dan memberikan ilham kepada mereka untuk mengamalkan dzikir-dzikir yang sesuai dengan keadaan masing-masing.

Kesembilan: Selalu Merasa Diawasi Allah (al-Murâqabah)
Murâqabah (pengawasan) juga merupakan salah satu pilar tarekat terpenting yang harus selalu ditegakkan oleh para salik. Terdapat dua murâqabah atau pengawasan yang secara umum diyakini di dalam tarekat, yaitu pengawasan Allah SWT (murâqabatullâh) dan pengawasan pembimbing spiritual (murâqabah al-musyrif al-rûhîy) terhadap hati para salik. Menurut para sufi, maksud dari pengawasan Allah SWT adalah melakukan munâjât (dialog rahasia dengan memohon ampunan, rahmat dan ridha dari Allah) seolah-olah kita sedang melihat-Nya. Para sufi mengatakan bahwa pengawasan jenis ini merupakan dasar utama bagi para pecinta Allah (al-muhibbûn) agar selalu dekat dengan-Nya. Sedangkan pengawasan pembimbing spiritual adalah pengawasan ‘teman spiritual hati’, yang dalam dunia tarekat disebut syaikh atau maha guru. Pengawasan syaikh sangat penting untuk menghindari tipuan setan. Sebab, tipuan setan yang kerapkali membayangi para murid di awal mula perjalanan mereka di dunia tarekat memerlukan ‘penolakan’ (muthâradah) yang sangat keras. Sementara spiritualitas para murid di awal perjalanan mereka terkadang tidak mampu memikul perjuangan melawan tipuan setan sendirian, sehingga mereka sangat memerlukan ‘teman spiritual hati’ guna mengawal perjalanan mereka. Kematangan jiwa-ruh dan pengaruh syaikh di dalam dunia spiritual akan sangat membantu perjalanan para murid agar mereka dapat menyaksikan kilatan-kilatan cahaya Tuhan. Seperti halnya pengawasan Nabi Muhammad saw. terhadap para sahabat di awal-awal mereka masuk Islam.

Banyak kalangan berpendapat, terutama generasi belakangan, bahwa syaikh bisa menjadi wasilah untuk sampai kepada Allah. Pendapat ini bisa dianggap benar kalau yang dimaksud adalah orang-orang awam yang benar-benar tidak memahami al-Qur`an dan al-Sunnah sehingga mereka tidak mampu mencapai Allah kecuali dengan mengkuti para syaikh. Akan tetapi pendapat tersebut bisa salah kalau yang dimaksud adalah bahwa ikatan spiritualitas seorang murid dengan syaikhnya dapat menghantarkannya untuk sampai kepada Allah SWT. Sebab, ikatan spiritualitas murid dengan syaikhnya justru akan menjadi hijab antara dia dan Allah. Bila ini terjadi, maka murid yang demikian selamanya akan bergantung kepada syaikhnya sehingga dia akan sangat kesulitan untuk mencapai keinginannya dalam mengarungi dunia spiritual. Makanya, alangkah akan lebih baik bila seorang murid, terutama kalau dia sudah mencapai tingkatan ahli ilmu dan makrifat, untuk secara langsung ‘menuju’ Allah dengan sendirinya sebagaimana dilakukan oleh al-Ghazali dan para sufi lainnya.

Seorang salik yang sudah lepas dari ikatan spiritualitas syaikhnya, untuk selanjutnya ia harus mampu mempertahankan kondisi hatinya di bawah pengawasan Allah SWT tanpa sekejap pun berpaling dari-Nya. Ketika ia konsisten dengan itu dan berhasil menafikan sama sekali entitas selain Allah dari hatinya, berarti ia telah mencapai level pertama murâqabatullâh, yaitu ‘ilm al-yaqîn. Kemudian, ketika ia sudah mampu melihat Kemahakuasaan Allah dalam menggerakkan dan mendiamkan segala sesuatu tanpa membutuhkan topangan entitas apapun selain Dzat-Nya, berarti ia telah mencapai level kedua, yaitu ‘ain al-yaqîn. Selanjutnya, kalau ia berhasil melampaui semua itu dan fanâ` dengan Allah, di mana ia tidak lagi melihat sesuatu apapun kecuali ia melihat Allah padanya, berarti ia telah mencapai level terakhir, yaitu haqîqah al-yaqîn. Pada level ini seorang salik akan menyaksikan keindahan rahasia-rahasia dan cahaya Allah melalui musyâhadah. Ia menjadi sangat dekat dengan Allah karena ikatan cinta yang tanpa batas. Allah akan menjadi mata yang ia gunakan untuk melihat. Allah akan menjadi lisan yang ia gunakan untuk bicara. Allah akan menjadi tangan yang ia gunakan untuk memegang. Allah akan menjadi kaki yang ia gunakan untuk berjalan.

Kesepuluh: Mengetahui Lahir dan Batin Apa yang Harus Dilakukan dengan Usaha
KETAATAN apapun yang harus dilakukan oleh seorang salik dalam upayanya mendekatkan diri dengan Allah dan meraih cinta-Nya, harus diketahui terlebih dahulu ilmunya. Al-Ghazali selalu mengajarkan untuk mencari tahu mengenai seluk-beluk suatu amal sebelum dikerjakan, baik lahir maupun batinnya, terutama sekali menyangkut masalah ibadah. Contohnya sederhananya adalah shalat. Secara lahir, yang harus dipelajari dari shalat adalah tata-caranya, mulai dari niat sampai tahiyat akhir. Lalu secara batin, yang mesti diketahui dari shalat adalah sebab kenapa Allah mensyariatkan shalat, juga hikmah berikut faedahnya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengetahui ini semua, setiap hamba akan termotivasi untuk mengerjakannya semaksimal mungkin. Dan ia akan terus berusaha konsisten guna meraih banyak faedah dan hikmah sebagai bekal hidup di dunia dan di akhirat kelak.

(*) Tulisan ini adalah hasil ngaji mingguan terhadap karya-karya Imam al-Ghazali di Rumah KitaB
[1] Sulaiman Dunya, al-Haqîqah fî Nazhr al-Ghazâlîy, Cairo: Dar al-Ma’arif, 1994, hal. 15
[2] Muhammad Yasin Arabi, Mawâqif wa Maqâshid fî al-Fikr al-Falsafîy al-Islâmîy al-Muqârin, Dar al-Arabiyah li al-Kitab, 1991, hal. 271
[3] Al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalâl, Beirut: al-Maktabah al-Sya’biyah, t. th. hal. 11
[4] Majdi Muhammad Ibrahim, al-Tashawwuf al-Sunnîy; Hâl al-Fanâ` Bayn-a al-Junaydîy wa al-Ghazâlîy, Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyah, 2002, hal. 506
[5] Muhammad Abed al-Gabiri, Nahn-u wa al-Turâst, Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyah, hal. 169-170
[6] Yohana Qamer, al-Ghazâlîy, Beirut: Katholik, 1947, hal. 24
[7] Majdi Muhammad Ibrahim, op.cit, hal. 476
[8] Zakiy Mubarak, al-Akhlâq ‘ind-a al-Ghazâlîy, Cairo: Daar al-Kitab al-Arabi, 1968, hal. 74
[9] Umar al-Faruk, Târîkh al-Fikr al-‘Arabîy ilâ Ayyâm ibn Khaldûn, Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1972, hal. 512
[10] Ibid., hal. 507
[11] Sulaiman Dunya, op. cit., hal. 129
[12] Ibid., hal. 139
[13] Majdi Muhammad Ibrahim, op. cit., hal. 514
[14] Al-Ghazali, al-Muqshid al-Asnâ fî Syarh Asmâ` Allâh al-Husnâ
[15] Muhammad Abed al-Gabiri, Nahwu wa al-Turast, op.cit., hal. 147
 
posted by Roland Gunawan at 2:59 PM | Permalink | 0 comments

"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"