**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Thursday, July 14, 2011
Pengantar Sosiologi dalam Penelitian Sosial
DALAM rangkaian paket Training Metodologi Penelitian, Rumah KitaB menghadirkan seorang tokoh yang populer di dunia penelitian Agraria, yaitu Dr (hc). Gunawan Wiradi. Sebagaimana dikatakan ibu Lies Marcoes dalam pengantarnya, Pak Wiradi—demikian ia akrab disapa—merupakan oase dan icon pengetahuan terutama dalam bidang ilmu sosiologi. Ia dikenal sangat menguasai penelitian yang terkait dengan agraria (pertanahan) dan reformasi Agraria yang bersifat advokatif. Itu sebabnya, ia mendapatkan Doktor Honoris Causa dari Institut Pertanian Bandung (IPB). Jadi, kalau di dunia pesantren, Pak Wiradi ini adalah Hadhrah al-Syaikh, Maha Guru.

Pada kesempatan ini, ia berbicara tentang sosiologi dan penelitian sosial mulai dari yang paling dasar sekali, bisa dikatakan sebagai pengantar. Isinya sangat umum dan elementer, tetapi sangat mendasar.

“Penelitian itu adalah bagian integral dari suatu kegiatan ilmiah,” demikianlah ia mengawali presentasinya. Penelitian, menurutnya, bukan sekedar pengumpulan data (fact finding), dan bukan juga studi evaluasi. Misalnya, pemerintah ingin tahu dalam tahun ini berapa orang yang meninggal, lalu dicari data-datanya, ini bukan penelitian, tetapi pengumpulan data.

Penelitian yang secara metodologi benar adalah penelitian yang tidak berhenti pada deskripsi, tidak hanya bersifat verifikatif secara membabi-buta, melainkan melalui tahapan-tahapan: Pertama, peneliti mampu mengumpulkan data di lapangan yang secara metodologis benar lalu mengkaitkan data lapangan dengan teori. Dengan demikian, peneliti harus tahu teori apa yang hendak diujikan melalui penelitian itu, dan harus tahu cara menghubungkan data dengan teori; Kedua, peneliti mampu melakukan analisis untuk menjawab “mengapa” dan “bagaimana”. Artinya peneliti memiliki kemampuan abstraksi yang secara metodologis benar untuk menjawab pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana”. Berbeda dengan pengumpulan data yang biasanya hanya menjawab “apa”, “di mana”, “siapa”, tahap analisis adalah menjawab pertanyaan lanjutannya yang lebih mendasar yaitu mengapa dan bagaimana. Dalam penelitian, setelah ada gambaran yang dikumpulkan dari proses “apa” harus ada tahap analisis; Ketiga, penelitian harus terbuka bagi informasi ataupun kesimpulan yang tidak terduga (efek serendivitas). Artinya, kalau kita ke lapangan lalu menemukan sesuatu yang tidak terduga, atau mungkin bukan yang kita tuju, atau tidak sesuai dengan hipotesis awal, kita tidak boleh mengabaikannya, sebab justru itulah yang penting mengapa kita melakukan penelitian.

Pak Wiradi menjelaskan bahwa sebagai kegiatan ilmiah penelitian harus memiliki unsur-unsur bangunan metode ilmah. Menurutnya ada enam unsur bangunan metode ilmiah, yaitu . (1). Subject matter (obyek telaah); (2). Paradigma (fundamental assumption); (3). Peer group; (4). Konsep-teori; (5). Metodologi; (6). Perbendaharaan istilah yang khas. Dari enam unsur ini, “peer group” dan “perbendaharaan istilah”, khususnya dalam ilmu sosiologi, di Indonesia masih belum terwujud secara sempurna, karena memang tidak jelas. Padahal ini sangat fundamental. “Peer group” di sini maksudnya adalah mengidentifikasi pemeluk paradigma yang digunakan dalam penelitian itu. Sementara perbendaharaan istilah adalah kamus istilah yang khas yang terkait dengan penelitian tersebut. Kamus istilah ini sangat penting agar kita sebagai peneliti bisa berkomunikasi dengan para ilmuan dunia. Dalam penelitian ilmu pertanian misalnya, mereka sudah punya daftar istilah sendiri yang disepakati oleh para ilmuan dunia. Sebutlah “oryza sativa”, seluruh dunia tahu itu artinya padi. Tetapi dalam ilmu sosial, khususnya di Indonesia, kita belum punya kesepakatan. Setiap ilmuan memakai istilah sendiri-sendiri, istilah-istilah yang digunakan belum baku.

Pak Wiradi menjelaskan, bahwa dalam kegiatan ilmiah kita harus mempunyai sikap ilmiah. Sikap ilmiah itu ada enam, yaitu: Pertama, obyektivitas. Intinya adalah peneliti harus punya jarak dengan obyek yang ditelitinya untuk menjamin obyektivitas peneliti agar tak memperngaruhi hasilnya. (Menurut Ibu Lies Marcoes yang disebut obyektivitas juga diperdebatkan. Penelitian yang menggunakan feminist theori bahkan menolak karena penelitian yang subyektif belum tentu tidak ilmiah atau sebaliknya yang obyektif belum tentu ilmiah dan sanggup menjaga netralitas, sebab pada dasarnya manusia memang subyektif dan ilmu-ilmu sosial tidak dapat diperlakukan sama dengan obyek ilmu alam yang eksak).

Kedua, bebas nilai. Masih terkait dengan obyektivitas untuk menjaga netralitas hasil penelitiannya, peneliti harus bebas nilai dalam arti netral terhadap obyek yang ditelitinya. Namun pendekatan ini juga disangkap oleh para peneliti terutama penelitian untuk advokasi. Peneliti biasanya tidak bebas nilai tapi membawa nilai-nilai tertentu yang mau tidak mau berpengaruh pada cara pandang dan hasil penelitiannya. Ketiga, relatif. Artinya, bahwa kebenaran ilmiah itu bersifat sementara sampai nanti ada hasil temuan baru baru yang membantahnya.

Keempat, parsimony, maksudnya sederhana, jelas, dan tidak multi-interpretasi. Misalnya ada kalimat begini: Suatu pagi nan sejuk, di lereng gunung nun jauh di sana nampak seorang gadis cantik duduk di atas sebuah batu besar sedang menangis dengan sedihnya. Ini bukan kalimat ilmiah. Kenapa? (1). Sejuk itu temperaturnya berapa? Kok ada gadis menangis sendirian di lereng gunung yang sejuk, apa tidak kedinginan? Jadi, sejuknya tidak jelas; (2). Nun jauh di sana ada seorang gadis cantik. Lho dari jarak yang jauh kok bisa tahu kalau itu perempuan masih gadis dan tahu bahwa itu cantik? Ini jelas tidak ilmiah. Apa bukti kalau ia seorang gadis? Tidak jelas juga; (3). Di sebuah batu besar. Seberapa besar batunya?; (4). Sedang menangis dengan sedihnya. Apa iya? Jangan-jangan ia menangis gembira, bukan sedih. Itu merupakan contoh kalimat yang tidak ilmiah. Kalau kalimat ilmiah harus sangat jelas dan tidak multi interpretasi. Misalnya: Di pagi hari, di lereng yang berbatu, terlihat ada seorang perempuan, tampak ia sedang menangis. Isi kalimat ini jelas tidak ada interpretasi. Namun memang kalimat penelitian ilmiah seringkali dianggap kering. Tetapi bukan berarti laporan penelitian tidak indah. Ada sejumlah ilmuan yang sangat trampil dalam menulis, tidak berlebihan tetapi indah. Sebut saja, misalnya, Clifford Geertz.

Kelima, skeptis. Penelitian harus punya sikpa skeptis dalam arti terus bertanya-tanya. benarkah begini? Benarkah begitu?; Keenam, rendah hati. Seorang yang punya pandangan ilmiah harus rendah hati. Artinya, pandangan orang lain harus kita hargai. Belum tentu pandangan kita benar. Peneliti ilmah sadar bahwa kebenaran ilmiah itu sifatnya sementara.

Pak Wiradi menjelaskan, sebenarnya ada banyak teori tentang kebenaran ilmiah. Namun saat ini ada dua teori yang diterima oleh para ilmuan, yaitu: pertama, teori koherensi (bersifat deduktif-rasional). Artinya, sesuatu dianggap benar kalau didasarkan pada sesuatu yang lain yang sudah dianggap benar. Contohnya, di suatu daerah ada sesuatu, sebutlah sesuatu itu adalah C. Apa itu ya? Nah, kita ke lapangan, dan ternyata kita memperoleh data C sama dengan B. Tetapi apakah itu benar atau tidak? Mungkin itu benar, tetapi apa kesimpulannya? Sebelumnya sudah ada asumsi bahwa A = B. Kalau A = B dianggap benar, maka kesimpulannya adalah A = C adalah benar. Karena A = B, B = C, maka A = C adalah benar. Ini adalah teori koherensi. Kedua, teori korespondensi (bersifat induktif-empiris), bahwa sesuatu dianggap benar kalau korespon (sesuai) dengan kenyataan (empiris). Jadi kita melihat apa adanya di lapangan. Kedua teori ini, menurut Pak Wiradi, sekarang disyaratkan di dalam kegiatan ilmiah.

Setelah itu, Pak Wiradi menjelaskan mengenai konsep, istilah dan definisi. Tiga hal ini sangat dasar untuk membangun kerangka berpikir dalam penelitian ilmu-ilmu sosial. Apa itu konsep? Untuk merujuk pada konsep diperlukan lambang yang singkat, yaitu yang disebut istilah. Istilah adalah kata atau kata-kata yang merujuk pada konsep. Tetapi, kalau hanya menyebut istilah, itu tidak bisa untuk menggambarkan konsep itu. Di sinilah definisi diperlukan. Definisi sendiri artinya batasan. Ia tidak mencakup keseluruhan gambaran tentang konsep. Sebab konsep adalah bayangan-banyangan kabur di dalam angan-angan.

Menurutnya, ada dua kategori dalam konsep: pertama, logical construct. Artinya, konstruksi kita sendiri dalam membayangkan sesuatu; kedua, gambaran abstrak sebagai hasil generalisasi manusia menangkap suatu gejala. Misalnya begini: kita melihat ada benda terbuat dari kayu yang ada bidang datarnya, ada sandarannya dan ada kakinya. Kemudian kita melihat orang duduk di situ. Di sebelah sana ada benda terbuat dari rotan yang ada bidang datarnya, ada sandarannya, dan ada kakinya. Kemudian di sebelah sananya lagi ada benda, juga ada kakinya. Lalu di sana ada juga benda lain yang agak mirip, hanya bentuknya saja yang beda. Kita mengeneralisir benda itu. Nah, di sini ada bayangan. Setiap kali kita lihat, orang ini duduk, orang itu juga duduk. Jadi, itu tempat duduk. Supaya gampang lambangnya apa? Satu katanya saja, yaitu “kursi”. Kalau kita diminta untuk membatasi, apa yang disebut kursi? Di sini kita bicara definisi. Dan salah satu syarat membuat definisi adalah tidak boleh kelebihan juga tidak boleh kekurangan. Lalu, apa yang disebut kursi? “Kursi adalah tempat duduk yang bentuknya ada sandaran, ada bidang datar, dan ada kaki.” Jadi, tidak boleh kelebihan: yang berkaki empat, misalnya, soalnya ada kursi yang berkaki tiga. Juga tidak boleh kekurangan: kursi adalah tempat duduk, misalnya, sebab meja juga bisa menjadi tempat duduk.

Pak Wiradi juga membahas sekilas tentang ilmu-ilmu sosial. Menurutnya, ilmu sosial adalah ilmu tentang masyarakat atau ilmu yang mempelajari tentang seluk-beluk masyarakat. Setidaknya ada lima anggota “keluarga” dari ilmu-ilmu sosial, yaitu: ekonomi, politik, antropologi, psikologi-sosial dan sosiologi. Tetapi, menurutnya, ini tergantung tradisi setiap negara. Kalau Amerika, misalnya, ilmu sosial tidak dianggap sebagai science, melainkan seni atau art karena itu gelar yang diraih mahasiswa S2 adalah MA (Master of Art). Jadi seni, bukan science. Sementara ilmu fisika, biologi, kimia, itulah yang dianggap science. Sementara dalam tradisi Inggris, juga bekas-bekas jajahan Inggris, seperti India, Pakistan, Banglades, Malaysia. Lima ilmu tadi digolongkan ke dalam ilmu-ilmu sosial. Sementara sejarah, psikologi, itu digolongkan ke dalam ilmu-ilmu humaniora, budaya dan lain sebagainya.

Di antara lima ilmu-ilmu sosial yang disebut di atas—di antara semua cabang ilmu sebenarnya—, sosiologi adalah anak bungsu dari kelaurga ilmu-ilmu sosial itu. Karena itu ada yang mengkritik sosiologi itu ilmu yang belum masak. Sebab ciri dari ilmu yang sudah masak adalah jika menganut satu paradigma, sementara dalam sosiologi, belum ditemukan satu paradigma. Panamun pandanagn ini juga karena bias ilmu-ilmu ekakta yang positifistik. Dan karenanya ilmu sosial dianggap belum masak. Tetapi ada pembelaan diri dari G. Ritzer, misalnya, bahwa sosiologi itu adalah ilmu yang berparadigma ganda (multi-paradigm science).

Lalu, apa ciri dan citra ilmu sosial? Pak Wiradi menyebutkan enam: (1). Ilmu sosiologi itu adalah ilmu yang berparadigma ganda (multi-paradigm science); (2). Ilmu yang berkembang dalam “kontroversi” dan “kritik diri”. Karena itu, ia terbagi menjadi beberapa “school of thoughts” aliran yang berbeda-beda. Ini implikasi dari yang pertama; (3). Sering dituduh negatif karena sering mengungkap yang latent, bukan yang manifest, yang implisit, bukan yang eksplisit; (4). Perbendaharaan terminologinya banyak mengandung istilah yang diangkat dari kata sehari-hari yang ada dalam konteks yang ditelitinya sehingga sering membingungkan. (dalam penelitian Geertz misalnya digunakan istilah-istilah yang dalam konteks tertentu tidak bisa diterapkan karena bersifat kontekstual); (5). Sosiologi adalah ilmu terbuka (pintu masuknya banyak). Kita bisa langsung bicara kemiskinan, kenakalan remaja, organisasi, dan lain sebagainya. Jadi, pintunya sangat banyak; (6). Sosiologi adalah ilmu yang tidak bebas nilai. Tetapi kegiatan ilmiah berusaha supaya obyektif, tidak bebas nilai. Misalnya kita bicara air. Kalau memakai ilmu kimia, air itu adalah H2O. Baik di Rusia, di Indonesia, di Amerika, dan di mana saja, air tetap H2O. Tidak ada air komunis, air kapitalis, misalnya. Jadi, obyektif dalam arti ini. Tetapi ketika ada sebuah gelas berisi air, kemudian diberi mantra, di beri bacaan oleh seorang kiyai, ini sudah terkait dengan nilai. Ini air dianggap air yang memiliki makna lain atau dianggap air suci. Padahal kalau dianalisa secara kimiawi air itu tetap H2O. Artinya, yang dimaksud tidak bebas nilai itu biasanya subyektivitasnya tidak bisa hilang.

Lalu ada pertanyaan, apa sebenarnya yang melahirkan sosiologi? Tidak lain, menurut Pak Wiradi, adalah kesadaran bahwa manusia adalah makhluk sosial. Sifat sosial ini setidak tercermin dalam empat hal: (1). Manusia adalah makhluk yang “tersosialisasi”. Artinya, pola prilakunya “terpelajari” melalui interaksinya dengan orang lain. Tidak naluriah seperti hewan. Misalnya, anjing menggonggong, itu tidak perlu diajari oleh induknya. Tetapi kalau manusia bicara itu diajari oleh orang lain di luar dirinya. Karena itu disebut tersosialisasi, prilakunya itu tersosialisasi; (2). Manusia adalah pelaku sosial. Maksudnya apa? Seorang guru, misalnya, mengajarkan suatu mata pelajaran di kelas, dan murid-muridnya mendengarkan. Ini artinya, guru itu berbuat kepada murid-muridnya, dan murid-muridnya juga berbuat kepadanya, yaitu mendengarkan. Jadi, ada timbak-balik; (3). Pola yang terbentuk dalam masyarakat mempengaruhi pola tindakan individu. Artinya, ketika suatu masyarakat prilakunya ini menjadi terpola, maka pada gilirannya akan terjadi arus-balik; pola itu akan mempengaruhi individu setelahnya. Pola prilaku masyarakat ini mempergaruhi kita, dan kita terikat dengan pola ini. Tetapi sekaligus kita adalah pelaku sosial; (4). Manusia hidup selalu membutuhkan orang lain.

Terakhir, Pak Wiradi membahas sedikit tentang aras atau obyek garapan sosiologi yang terdiri dari lima tingkatan, yaitu: (1). Ada yang terfokus pada masyarakat secara keseluruhan (makro); (2). Ada yang terfokus pada organisasi sosial dari yang paling besar (masyarakat) sampai yang paling kecil (individu); (3). Ada yang fokus pada kelembagaan (ciri khas sosiologi Amerika); (4). Ada yang fokus pada masalah sosial, seperti kenakalan remaja, kemiskinan, narkoba, perceraian, dsb; (5). Ada yang fokus pada interaksi tatap-muka (mikro). [Roland Gunawan]



 
posted by Roland Gunawan at 10:53 AM | Permalink | 0 comments

"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"