Menghargai Perbedaan Adalah Kewajiban Setiap Manusia
Tentangku
Name: Roland Gunawan From: Cairo, Mesir, Egypt About me: Aku adalah manusia biasa yang sedang melangkah menuju ke arah "kesempurnaan", entahlah aku tidak tahu di mana adanya "kesempurnaan" itu, di alam mimpi atau di alam nyata, aku juga tidak tahu apa bedanya antara mimpi dan kenyataan, bukankah mimpi adalah kehidupan, sebagaimana ketika kita terjaga juga kehidupan, sama-sama kehidupan, maka biarlah mimpi dan kenyataan sama-sama ada, nggak usah diributkan, "Gitu ajach kok repot." Yang penting adalah menikmati hidup yang entah kapan akan berakhir, sekarang, esok, atau masih seribu tahun yang akan datang, tak ada yang tahu, dan kita tidak perlu risau akan apa yang tidak kita ketahui, walaupun kita tahu manusia adalah musuh bagi apa yang tidak diketahuinya, tapi justru itulah tantangannya, tantangan biar manusia manusia mau belajar, belajar dan melangkah menuju "kesempurnaan", entah di mana aku tidak tahu...yang jelas saat ini aku lagi mencarinya...mungkin kutemui "kesempurnaan" itu saat aku memiliki banyak teman...
Manusia oleh Tuhan diciptakan secara berbeda, ini dimaksudkan agar manusia mau saling mengenal, saling mengenal maksudnya menjalin hubungan harmonis antar sesama. Persahabatan merupakan salah satu cara untuk menjalin hubungan tersebut, hubungan yang terjalin untuk terciptanya perdamaian di dunia, mengingat manusia merupakan satu-satunya makhluk Tuhan yang memiliki potensi ganda, potensi berbuat baik dan potensi berbuat buruk, kedua potensi ini selalu bergumul dan bergulat di dalam jiwa manusia. Dan manusia, oleh Tuhan diberi sebuah anugerah yang tidak ternilai harganya, yaitu berupa akal. Akal inilah yang bisa memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Dan akal tidak bekerja sendiri, ia dibantu oleh sebuah kekuatan lain yang tidak kalah signifikatif, yaitu hati, di mana di dalamnya tersimpan cahaya Tuhan. Manusia dituntut untuk mampu menguak cahaya Tuhan tersebut dari dalam hatinya, sebab kalau tidak, maka dunia ini akan menjadi gelap diselimuti oleh perbuatan buruknya. Namun ketika manusia mampu menyingkapnya dan menjadikannya sebagai obor dan pelita bagi hidupnya, niscaya dunia ini akan penuh dengan kebaikan, saat inilah kedamaian akan bertahta.....persahabatan merupakan salah satu cara untuk mencapai kedamaian tersebut, persahabatan adalah pertautan hati antara manusia dengan sesamanya, melangkah bersama menuju ridha-Nya..... Salam Perdamaian..)
)
Sunday, February 05, 2006
Catatan Untuk Para Mustasyhid, Teroris dan Muntahir
Beberapa hari yang lalu saya pernah menulis di milis ini tentang mencari makna lain di balik Hari Raya Kurban. Tulisan ini kemudian ditanggapi oleh Kak Guntur. Saya ucapkan terima kasih kepada Kak Guntur Romli atas tanggapannya terhadap tulisan saya yang amat sederhana. Saya ingin menyatakan bahwa tulisan saya yang sederhana itu hanya merupakan refleksi keprihatinan saya melihat aksi-aksi "sia-sia" yang terjadi akhir-akhir ini. Dalam al-Qur'an ada sebuah ayat yang sering dijadikan sebagai justifikasi terhadap aksi-aksi Teror (irhab) atau istisyhad atau intihar yang belakangan menghantui dunia.Ayat itu berbunyi "Wa a`iddu ma istatha`tum min quwwah wa ribath al-khail turhibuna bihi." Dalam ayat ini ada dua yang bias digunakan untuk irhab (aksi teror), pertama adalah al-quwwah (kekuatan). Kedua adalah ribath al-khail, ribath di sini artinya (penguatan), sedangkan al-khail adalah khuyala' (kesombongan, atau unjuk kekuatan). Lalu mana yang harus kita pilih? Kita tidak perlu pusing memikirkan mana yang harus dipilih. Sebab lanjutan ayat tersebut dengan jelas menyatakan "turhibuna bihi," bukan "biha" atau "bihima". kalau "biha" pasti menunjuk pada "al-quwwah", kalau "bihima" pasti menunjuk pada "al-quwwah dan ribath al-khail", tapi bukan ini rupanya yang dimaksudkan oleh al-Qur'an, tapi "bihi", yang menunjuk hanya pada "ribath al-khail" atau "unjuk kekuatan", bukan "kekuatan" secara langsung yang akibatnya nanti hanya pertumpahan darah, tapi hanya unjuk kekuatan atau "al-khail atau al-khuyala'. Dalam sebuah hadits "al-khuyala'" memang dilarang oleh nabi, tapi itu tergantung pada konteksnya. Pernah dalam salah satu perang, seorang tentara Islam ada yang berlagak atau membusungkan dada karena jumlahnya memang melebihi jumlah musuh, melihat ini Nabi langsung berkata : "Sungguh, kalau tidak dalam keadaan seperti ini (perang), sikap seperti ini tidak boleh (dilarang)." Dari awal sampai akhir hayatnya, Nabi dan para shahabat selalu berbuat demikian, artinya hanya melakukan teror (menakut-nakuti) dengan unjuk kekuatan, selagi kekuatan yang dimiliki berada di atas kekuatan musuh. Ketika pertama kali berdakwa, Nabi melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Dan para pengikutnya pun, yang kala itu hanya berjumlah sedikit, pada saat melakukan ibadah, mereja juga sembunyi-bunyi, dan Nabi sendiri nampaknya khawatir para pengikutnya akan menerima penindasan dari kaum kafir Quraisy. Tapi ketika Umar masuk Islam, di mana kita tahu bahwa Umar merupakan orang paling ditakuti dan paling berpengaruh di kalangan orang-orang Quraisy, dakwah dilakukan secara terang-terangan. Para pengikut Nabi berjalan mengelilingi Ka'bah di bawah pimpinan Umar dengan pedang terhunus di tangan yang diacungkan tinggi-tinggi ke atas. Umar berteriak :"Ayo siapa yang berani mengganggu kaum Muslimin akan berhadapan dengan saya." Teriakan ini didengar oleh kaum kafir Quraisy, maka mereka, dari para tuan atau majikan hingga budak-budak berbondong-bondong keluar ingin tahu apa yang terjadi di Ka'bah. Ketika melihat Umar mengangkat pedang yang diikuti oleh kaum Muslimin, sekujur tubuh mereka tiba-tiba menjadi gemetar, nyali mereka kendor. Bahkan banyak para budak kemudian masuk Islam, sebenarnya mereka telah lama berniat masuk Islam, tapi karena takut kepada para majikan, terpaksa niat itu ditunda. Yang menarik, Umar sama sekali tidak melalukan penindasan, ia hanya memberi peringatan saja, ia tidak menumpahkan darah, sebab ia tahu hal itu bertentangan dengan Islam sebagai agama kedamaian bagi semua alam. Ketika melihat para musuh takut dan menyerah, masalahnya kemudian menjadi beres, tidak ada pembunuhan. Para musuh dibiarkan saja menjalankan aktifitasnya sehari-hari asalkan tidak mengganggu kaum Muslimin yang ingin beribadah di Ka`bah. Juga dalam berbagai perang, yang pertama kali dilakukan adalah "pamer atau unjuk kekuatan", kalau musuh takut atau menyerah, sesesailah sudah. Tapi kalau melawan, mereka juga melawan, masak mau mati konyol. Kaum Muslimin kalau ditindas, mereka melawan secara jantan, tidak pengecut. Demikian juga pada waktu "FATHU MAKKAH", Kaum Muslimin hanya mengepung kota Makkah. Ketika itu, dengan sangat cerdas Nabi menyusun siasat, beliau hanya menyuruh tiga kelompok, di mana setiap kelompok terdiri dari sepuluh orang, untuk menyalakan obor, setiap kelompok disuruh menyalakan satu obor. Kemudian mereka disuruh berdiri untuk menampakkan diri secara berjejer dengan mengangkat obor tinggi-tinggi. Hal ini dilihat oleh para tentara kafir, mereka kemudian berfikir "berarti setiap obor terdiri dari sepuluh orang." Dan Nabi tahu apa yang ada di benak para tentara kafir ketika itu. Lalu setelah itu Nabi menyuruh setiap orang selain dari ketiga kelompok tadi untuk menyalakan obor, jadi setiap orang memegang satu obor.Kemudian mereka disuruh berjejer mengelilingi kota Makkah, tidak untuk menampakkan diri, tapi hanya menampakkan obor. Ketika para tentara kafir melihat banyak sekali obor mengelilingi kota Makkah, mereka berfikir lagi "kalau setiap obor terdiri dari sepuluh orang, berarti dengan obor yang hampir ribuan ini, jumlah tentara kaum Muslimin bisa mencapai ratusan ribu." Kontan saja, mereka kemudian takut, keberanian mereka lenyap begitu saja, mereka menyerah. Kemudian diutuslah Abu Sufyan untuk mengadap Nabi guna meminta damai. Apa tanggapan Nabi, beliau menerima dengan tangan terbuka, bahkan beliau berkata : "Barang siapa yang memasuki kota Makkah, maka ia akan selamat." Coba lihat, tidak ada pertumpahan darah, semuanya berjalan seperti tidak terjadi apa-apa. Jadi yang dilakukan adalah menteror (irhab) atau menakut-nakuti dengan hanya "unjuk kekuatan." Pada saat itulah, Tuhan kemudian berfirman : "Hari ini aku sempurnakan bagimu agamamu....". Diawali dengan kedamaian, diakhiri dengan kedamaian. Kalau melihat hal di atas, kita akan menjadi prihatin menyaksikan oleh kaum Mustasyhid, teroris, atau Muntahir, yang mereka tunjukkan bukanlah sikap jantan, tapi sikap pengecut, beraninya hanya sembunyi-sembunyi. Islam sangat benci sikap pengecut. Apalagi tujuan mereka tidak murni demi agama, akan tetapi, sebagaimana kata Arkoun, ada niatan atau tujuan duniawi, yaitu tujuan menguasai, menghegemoni. Kalau merujuk pada teorinya Ary Ginanjar Agustian, sebenarnya, kehendak ingin menguasai atau menghegemoni, merupakan implementasi dari sifat Tuhan yaitu "al-Muhaimin" yang ada di dalam hati setiap manusia, jadi ini wajar. Tapi ingat, sifat Tuhan bukan hanya "al-Muhaimin" akan tetapi juga "al-Salam", "al-Rahman", al-Rahim", dan masih banyak lagi. Jadi harus "berfikir melingkar", jangan hanya melihat atau mengutamakan satu sifat saja, semua sifat Tuhan perlu dipertimbangkan. Kalau hanya satu aspek saja yang dilihat, maka dunia akan kacau. Maka sekali lagi saya katakan, para Mustasyhid atau teroris atau Muntahir, cara mereka salah. Kehendak ingin menguasai atau menghegemoni harus didasari dengan banyak pertimbangan. Malah saya ingin bertanya "seandainya saat ini yang menguasai dunia adalah umat Islam, apakah kita bisa menjamin bahwa mereka tidak akan berbuat seperti yang dilakukan Barat saat ini? Berkaca pada sejarah Nabi yang saya paparkan di atas, "teror" dengan cara "unjuk kekuatan" memerlukan kekuatan umat Islam dalam segala aspek, baik intelektualitas, teknologi dan lain-lain. Untuk itu harus berani bersaing secara sportif, secara jantan, bukan dengan bersikap pengecut. Kalau umat Islam sudah maju dalam segala bidang, mereka tidak perlu lagi melakukan teror, dengan melihat kekuatannya saja, orang lain akan segan. Sebenarnya inilah yang diharapkan oleh al-Qur'an, bangun dulu kekuatan itu, baru tunjukkan, artinya harus kuat dulu, sehingga kita tidak mejadi orang-orang pengecut.... Satu hal yang perlu dicatat, bahwa Nabi diutus bukan untuk orang Islam, tapi untuk orang-orang kafir agar mereka sadar. Makanya Nabi tidak pernah membenci orang-orang kafir. Kalau boleh digambarkan, Nabi ibarat tukang mebel. Tukang mebel biasanya mempunyai dua gudang. Gudang pertama untuk bahan-bahan mentah, gudang kedua untuk barang-barang yang sudah jadi (sudah diukir sedemikian rupa). Adakah tukang mebel membakar gudang yang berisi bahan-bahan mentah? Tidak ada, malah dijaga agar tidak dimakan rayap atau kehujanan. Sama juga, bagi Nabi, orang-orang kafir ibarat bahan-bahan mentah, sedangkan kaum Muslimin adalah barang-barang yang sudah jadi. Makanya Nabi tidak pernah membenci orang-orang kafir, atau ada kehendak untuk memusnahkannya. Sebab orang-orang kafir adalah obyek dakwah beliau. Jadi kalau dimusnahkan, lalu ke mana dakwah beliau akan disampaikan? Perang terhadap orang-orang kafir dilakukan hanya untuk membela diri saja, karena mereka mengganggu, tapi itu dilakukan secara jantan, berhadap-hadapan, tidak pengecut seperti kaum Mustasyhid, teroris atau Muntahir......... Catatan dari Kiyahi Khos Afkar NU