**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Tuesday, January 10, 2012
ARIEL PETERPAN DAN CITA MASA DEPAN INDONESIA

ARIEL—demikian ia disapa akrab oleh banyak fansnya—adalah sosok yang fenomenal. Kebedaraannya telah membuat nama “PETERPAN” begitu dikenal di masyarakat luas, bahkan memberikan nafas baru bagi kancah musik di tanah air. Belakangan ini nama “PETERPAN” sudah jarang terdengar. Meski terdengar, namun sudah bercampur dengan adonan negatif, tersebab keterlibatan Ariel—sang vokalis—dalam skandal seks bersama beberapa artis perempuan papan atas Indonesia. Cercaan dan hinaan datang menerpanya dari berbagai pihak—khususnya dari pemerintah—, tak ubahnya seperti segerombolan harimau yang memburu mangsa akibat ‘kesalahan’nya sebagai binatang kecil nan lemah. Namun tidak sedikit pula yang berupaya melakukan pembelaan terhadapnya, khususnya dari para fans, musisi, sastrawan, bahkan beberapa tokoh pemikir muslim.

Dalam konteks ‘jalinan seksual’ Ariel dengan artis-artis perempuan tersebut, banyak yang melihatnya dari sudut pandang agama. Tetapi meski demikian, bagi saya, tidak ada alasan kuat yang membuat Ariel layak untuk dipenjara. Misalnya, kasusnya dengan sang kekasih, Luna Maya. Dalam hal ini—kalau memang betul-betul terjadi—apa yang dilakukan keduanya adalah ‘perkawinan’ dan bukan ‘pernikahan’. Saya adalah orang yang cenderung membedakan antara perkawinan dan pernikahan. Perkawinan adalah sebentuk hubungan biologis atas dasar ‘suka sama suka’ disertai cinta antara laki-laki dan perempuan, sementara pernikahan adalah sebuah ‘pesta resmi’—dalam tradisi agama biasanya disebut walimah—sebagai bentuk ‘selamatan’ atas bersatunya dua insan yang saling mencintai.

Dalam beberapa hadits, Nabi tampak cenderung membedakan antara perkawinan dan pernikahan. Misalnya beliau bersabda, “Yâ ma’syar al-syabâb, man istathâ’a minkum al-bâ`ah falyatazawwaj…” [Wahai para pemuda, siapapun di antara kalian yang mempunyai kemampuan, maka hendak ia kawin]. Dalam hadits ini terdapat kata “falyatazawwaj” (hendaknya kawin), bukan “falyankih” (hendaknya menikah). Beliau juga bersabda, “Al-Nikâh-u sunnatîy…faman ragiba ‘an sunnatîy falaysa minnîy,” [Nikah itu adalah sunnahku, siapapun yang membenci sunnahku, maka ia tidak termasuk dalam golonganku]. Dalam hadits ini terdapat kata “al-nikâh” (nikah), bukan “al-zawâj” (kawin). Lantas, mana yang lebih wajib, nikah atau kawin?

Hadits pertama dengan sangat jelas menegaskan bahwa ‘kawin’ adalah sebuah kewajiban. Kata “falyatazawwaj” dalam hadits tersebut adalah “al-amr” (kalimat perintah), dan “al-amr” dalam kaidah ushul fikih dimaksudkan “li al-wujûb” (untuk kewajiban). Kemudian, kata “al-bâ`ah” (kemampuan) saya lebih suka memaknainya dengan tiga hal: pertama, mampu secara umur, dalam arti telah baligh/dewasa; kedua, mampu secara materi, dan; ketiga—inilah yang paling penting—mampu secara komitmen dengan tanggung jawab, dalam artian berkomitmen untuk hidup bersama dan bertanggung jawab atas keutuhan rumah tangga. Dengan ketiga kemampuan ini (umur, materi dan tanggung jawab), seseorang laki-laki/wanita boleh melakukan perkawinan dengan pasangan yang dicintainya.

Berbeda dengan hadits kedua yang menyuratkan—tidak menyiratkan—bahwa ‘nikah’ adalah sunnah, dan siapapun yang membecinya tidak diakui sebagai umat Nabi. Hal ini menunjukkan, bahwa bila terdapat salah seorang tidak menikah seumur hidupnya, itu tidak berarti bahwa ia membenci sunnah itu. Hanya saja mungkin ada alasan tertentu yang menjadi dasar baginya untuk tidak menikah. Sama halnya dengan orang yang tidak mau minum, bukan berarti ia membenci air.

Dengan ulasan pendek di atas, menurut hemat saya, ditinjau dari sudut pandang agama, berdasarkan hadits khususnya, apa yang dilakukan Ariel dengan Luna Maya—sekali lagi, jika memang benar-benar terjadi—bukanlah sebuah dosa atau kesalahan yang patut menerima sanksi apapun, terlebih lagi penjara. Keduanya adalah pasangan yang telah memenuhi syarat “al-bâ`ah” (kemampuan) sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas. Lebih dari itu, sebelum kasus itu terkuak, keduanya sudah berkomitmen untuk hidup bersama dalam satu biduk rumah tangga meski tanpa pernikahan. Sebab pernikahan hanyalah sebuah formalitas yang tidak harus dilakukan, yang bahkan oleh Nabi sendiri dianggap sebagai salah satu sunnahnya. Tidak melaksanakan pernikahan bukan berarti membenci sunnah tersebut, sehingga keduanya tetap masuk dalam golongan umatnya. Dengan demikian, apa yang dilakukan keduanya sebenarnya sudah tepat, mendahulukan yang wajib ketimbang yang sunnah.

Kalau kita menengok sejarah masa lalu, di era Nabi Adam as. tradisi pernikahan (al-nikâh)—dalam makna pesta resmi—tidak dikenal, yang ada hanyalah tradisi perkawinan (al-zawâj). Makanya di dalam al-Qur`an, khusus dalam konteks masa Nabi Adam as., hanya menyebutkan kata “al-zawj” (suami/istri-pasangan) yang seakar dengan kata “al-zawâj”. Kata “al-nikâh”—yang di dalam al-Qur`an disebut dalam bentuk fi’l amr (kata perintah) yaitu “fankihû”—itu dikenal pada masa kenabian Muhammad saw.

Di masa-masa pra-sejarah, kita banyak mendapatkan informasi bahwa orang-orang di masa itu tidak melangsungkan pernikahan. Hal yang melegalkan setiap pasangan melakukan hubungan seksual di kalangan mereka bukanlah pernikahan, melainkan didasarkan pada perasaan cinta dan ‘suka-sama suka’. Dari sinilah mereka dapat berkembang biak dan memiliki keturunan.

Kemudian, kasus seksual Ariel dengan Cut Tari, barangkali inilah masalahnya yang paling rumit. Cut Tari sudah bersuami, bahkan sudah dikaruniai anak. Dalam agama, kasus hubungan seksual yang melibatkan laki-laki/wanita yang sudah berumah tangga, dalam arti sudah mempunyai suami/istri, disebut dengan “zinâ muhshan”, yaitu suatu perbuatan yang layak mendapat hukuman rajam (dilempari batu sampai mati). Dan keduanya, Ariel-Cut Tari, memang tidak mungkin berkomitmen hidup dalam satu rumah tangga, sebab keduanya sama-sama mempunyai pasangan.

Namun, sanksi rajam bagi pezina, saya cenderung tidak menganggapnya sebagai ‘hukum wajib’. Karena—seperti yang dikatakan Gamal al-Banna—zina merupakan perbuatan yang tertutup (jarîmah mughlaqah), sehingga tidak perlu dicari-cari. Kalau kita mencari orang berzina, berarti kita harus memata-matai (tajassus), dan mematai-matai kejahatan orang lain tidak dibolehkan dalam agama. Dengan kata lain, rajam bagi pezina tidak termasuk hadd utama dalam agama. Untuk itu, hukum rajam tidak serta merta dan secara sewenang-wenang harus dilakukan.

Kasus yang mendera Ariel dan Cut Tari sebenarnya lebih merupakan ‘kekhilafan’ pribadi masing-masing. Dan kita lihat, suami Cut Tari sudah memaafkan kekhilafan istrinya tersebut. Sebagaimana Luna Maya juga tidak lagi mempersoalkan—kalau boleh dibilang—‘hubungan gelap’ Ariel dengan Cut Tari dan menganggap itu sebagai kesalahan masa lalu, bahkan ia berencana meresmikan hubungan perkawinannya dengan Ariel dalam ‘bingkai’ pernikahan.

Terlepas dari itu semua, yang jelas Ariel berhak merengkuh kebebasannya dalam berkarya. Skandal seksualnya biarlah menjadi masalah pribadinya, dan itu bukanlah sebuah kesalahan yang tidak bisa dimaafkan. Kita tidak perlu merasa ‘malu’ untuk mengakuinya sebagai salah seorang musisi terbaik di negeri ini. Saat ini kita memang tengah terjebak dalam budaya yang memandang seseorang dengan keseluruhan sifatnya. Artinya, bila ada salah satu sifatnya yang tidak berkenan di hati kita, maka kita akan membenci sifat-sifatnya yang lain tanpa berupaya melihat hal-hal positif dalam dirinya. Hal baik apapun yang dilakukannya, kita akan menilainya negatif dan tidakmempunyai makna. Sebisa mungkin kita harus menghindari budaya seperti ini.

Di Dunia Eropa-Barat kita banyak menemukan para artis yang terlibat skandal video porno, namun hal itu tidak lantas membuat karier keartisan mereka anjlok. Dan masyarakat di sana tampaknya memang tidak menghiraukan hal itu, sebab dalam jiwa mereka telah tertanam sikap positif dalam memandang segala sesuatu. Sehingga tidak heran bila mereka tetap memberikan apresiasi terhadap karya-karya beberapa artis—baik dalam bidang film atau musik—yang terlibat kasus serupa dengan Ariel. Kita tidak pernah menemukan seorang artis masuk penjara hanya gara-gara tersandung kasus video porno di Eropa-Barat. Saya pribadi adalah pengagum Ariel. Di Cairo, setiap kali tampil bersama group band yang menaungi saya, METRO BAND, tidak lupa saya membawakan paling tidak satu lagu ciptaan Ariel dengan PETERPAN-nya. Bahkan, di tahun 2006 yang lalu, ketika masih di Cairo-Mesir dan menjadi kandidat presiden PPMI (Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia), saya pernah menulis sebuah tulisan ringan bertajuk “Taman Langit” sebagai bentuk apresiasi saya terhadap album perdana PETERPAN yang telah sukses membius para penikmat musik di tanah air di awal abad millenium.

 
posted by Roland Gunawan at 8:53 AM | Permalink | 0 comments

"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"