**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Sunday, February 05, 2006
Jinayah al-Syafi'i


Belum lama ini, Nasr Hamid Abu Zaid mengarang sebuah buku berjudul : al-Imam al-Syâfi`î Wa Ta'sîsi al-Îdiyulûjiyyah al-Wasathiyyah. Sebagaimana karyanya yang lain, buku ini juga sangat kontroversial di kalangan umat Islam. Sebelum itu juga ada buku lain berjudul al-`Audah Ilâ al-Qur'ân. Muhammad Arkoun juga pernah mengarang sebuah buku Târîkhiyyah al-Fikr al-`Arabî al-Islâmî. Buku-buku yang saya sebutkan tadi, semuanya mengkritik Imam Syafi`i yang cenderung mensejajarkan antara Sunnah, Ijmâ` dan Qiyâs dengan al-Qur'an. Bahkan baru-baru ini, Zakariya Ouzon mengarang sebuah buku yang tidak kalah kontroversialnya, yaitu Jinâyah al-Syâfi`î (Kriminalitas Imam Syafi`i). Sebelumnya Zakariya Ouzon juga mengarang dua buah buku lain dengan judul Jinâyah Sîbawaih dan Jinâyah al-Bukhârî. Kontan saja buku-buku yang merupakan hasil jerih payahnya ini menuai banyak protes dari umat Islam, khususnya para ulama. Malahan tak jarang tuduhan-tuduhan negatif menyelimuti penulisnya.
Ini adalah sesuatu yang perlu kita renungi, bahwa studi analitis kritis (al-dirâsah al-tahlîliyyah al-naqdiyyah) terhadap pemikiran salah satu Imam dalam rangka membedah wacana keagamaan (al-khithâb al-dînî) akan merangsang berkobarnya emosi-emosi religius kalangan masyarakat umum, tanpa memahami bahwa jalan ini bertentangan dengan gagasan-gagasan politis yang diusung oleh wacana tersebut. Makna kebangkitan agama (al-shahwah al-dîniyyah) mengharuskan pembaharuan dalam bidang pemikiran keagamaan, menjadikannya sesuai dengan tuntutan-tuntutan zaman, menjadikannya mampu memberikan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan besar yang nampak masih menjadi sentral perhatian manusia Muslim dalam kenyataannya di satu sisi, dan dalam hubungan kenyataan ini dengan dunia di sekitarnya dari sisi lain, dunia yang tak lagi merupakan pulau-pulau dan komunitas-komunitas terpisah, akan tetapi kalau dilihat dari perkembangan media-media komunikasi dan transformasi informasi, tak lebih hanya sekedar "kampung kecil." Kita tidak mungkin memperbaharui pemikiran keagamaan dengan tanpa mengkaji "tradisi" pemikiran ini secara analitis dan kritis, melewati batas-batas studi tradisional (al-dirâsah al-taqlîdiyyah) yang hanya cukup mengulang-ulang pemikiran-pemikiran tradisi setelah direduksi dan diringkas sedemikian rupa, sehingga ia kehilangan kedinamisan dan kematangannya, untuk kemudian menjadi epistema yang statis dan membeku. Ini adalah problem umat Islam masa kini.
Sehubungan dengan buku Jinâyah al-Syâfi`î, buku ini ditulis sebagai ekspresi keprihatinan mendalam terhadap realitas umat Islam yang "raganya" hidup di masa kini, akan tetapi jiwa dan pikirannya ternyata masih hidup "di masa lalu." Melihat judulnya, sepintas kita akan dapat mereka-reka kandungan buku tersebut, tentu saja adalah kritikan terhadap Imam Syafi`i dalam hubungannya Kitabullah (al-Qur'an), Sunnah Rasulullah, umat Islam, Ba`dl al-Ahkam al-Fiqhiyyah (beberapa hukum fikih), serta "masa lalu" dan "masa kini." Banyak kalangan yang memprotes terbitnya buku ini, bahkan ada yang melarangnya. Pelarangan dan protes terhadap buku ini muncul, sebagaimana dijelaskan oleh pengarangnya sendiri, yaitu Zakariya Ouzon, dari dua prinsip dasar yang bermuara pada apa yang dianggap sebagai "perlakuan tidak baik" (al-isâ'ah) —dengan kata jinayah (kriminal)— terhadap simbol-simbol umat Islam (rumûz al-ummah al-islâmiyyah) di satu sisi, dan upaya "penghakiman" dan "penghinaan" terhadap orang yang sudah meninggal (al-mautâ) pada sisi yang lain. Berkenaan dengan hal pertama, Zakariya Ouzon mengatakan bahwa sebenarnya ia sangat tidak suka "memeriksa" atau "menggali" kuburan-kuburan dan berbicara mengenai orang-orang yang sudah meninggal yang dihormatinya. Biarlah mereka damai hidup di sana.
Memang tidak bisa dipungkiri, setiap kita akan mati, panjang atau pendek umur kita. Hanya saja problem yang sebenarnya adalah bahwa kita, pada abad kedua puluh satu ini, masih dikuasai oleh berbagai perkataan, pendapat, penilaian, fatwa dan ijtihad manusia-manusia —sekali lagi saya katakan manusia-manusia (unâs), bukan para rasul atau para nabi (al-rusul wa al-anbiyâ')— yang hidup di abad-abad yang lalu. Saat ini kita benar-benar tidak mempunyai pandangan, pemikiran atau gagasan guna menyelesaikan problem-problem kontemporer dan merumuskan masa depan kita tanpa terlepas dari perkataan-perkataan orang-orang masa lalu yang kita jadikan sebagai standar, pertimbangan dan referensi utama. Misalnya saja, bagaimana mungkin perempuan sama dengan keledai dan anjing? Maka akan dijawab, "Seperti inilah yang disebutkan dalam Shahîh al-Bukhârî." Bagaimana "al-Hikmah" dalam al-Qur'an menjadi Sunnah Rasul Saw.? Maka akan dijawab, "Ini adalah pendapat Imam Syafi`i."
Itulah kondisi kita saat ini. Kita sama sekali tidak berani berteriak, "Kita adalah orang-orang hidup, jangan sampai dikontrol dan dikuasai oleh orang-orang yang sudah meninggal." Kalau kita menemukan orang yang berani melakukan kritik terhadap para ulama masa lalu, katakanlah kepada Imam Syafi'i misalnya, secara serta merta kita akan menganggapnya sebagai kafir, berkhianat dan perlakuan tidak baik terhadap agama. Sebab orang-orang seperti Imam Syafi`i, Imam Hambali, Imam Bukhari dan Imam Muslim adalah simbol-simbol agama, yang dalam pandangan kita tak ubahnya seperti "berhala-berhala" dan manusia-manusia agung, di mana kita selalu bersembunyi di balik mereka, dan bersama mereka kita menutup-nutupi kebodohan berikut ketidakmampuan kita dalam melakukan reformasi dan perubahan serta dalam menghadapi kenyataan hidup yang sedemikian kerasnya.
Lebih parah lagi, kita sering mengikat-ngikat pendapat dan perbuatan orang-orang terdahulu dengan kerelaan dan kemurkaan Tuhan. Dengan kata lain, siapa saja yang mengakui kebenarannya, maka baginya adalah pahala berupa surga. Sebaliknya, siapa saja yang tidak sependapat atau mengkritisinya, maka ia telah berbuat dosa, tidak ada ganjaran lain yang lebih setimpal melainkan neraka. Bukankah para khalifah, para Imam atau siapa saja dari ulama-ulama masa lalu adalah manusia yang menunaikan haknya dalam berfikir dan berijtihad, di mana mereka meninggalkan sebuah tradisi dan sudah menjadi hak kita untuk berfikir dan berijtihad di dalamnya, sebagaimana mereka juga berfikir dan berijtihad? Apakah sikap devensif yang diambil oleh kaum Muslimin, khususnya para ulama saat ini yang anti analisa dan kritik terhadap pemikiran Imam Syafi`i, sebenarnya adalah pembelaan terhadap Imam Syafi`i sendiri yang telah berhasil merumuskan proyek pemikirannya pada abad kedua Hijriah, atau hanya sekedar pembelaan terhadap "taqlîd" yang sengaja dilindungi atas nama Imam Syafi`i, dengan segenap apa yang tergambar dalam "nurani keislaman" dari nilai ilmiah dan pemikiran? Pertanyaan ini tidak akan saya jawab dalam tulisan ini, silahkah pembaca mencari sendiri jawabannya dengan melakukan analisa mendalam terhadap sikap-sikap kaum Muslimin, atau para ulama khususnya, terhadap pemikiran dan gagasan para pendahulu (al-salaf al-shâlih).
 
posted by Roland Gunawan at 2:31 PM | Permalink |


0 Comments:





"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"