Islam: Orde Lama, Baru dan Reformasi
Indonesia sebagai sebuah negara, telah mengarungi sejarah panjang sejak awal proklamasinya. Setidaknya hingga sekarang ada tiga priode yang kita tahu, yaitu priodenya Bung Karno, Suharto, dan priode setelah keduanya. Dan setiap priode itu mempunyai nama dan julukan masing-masing. Kalau pada zaman Bung Karno kita kenal dengan rezim orde lama, pada zaman Suharto kita kenal dengan rezim orde baru, dan pada zaman setelahnya kita kenal dengan orde reformasi.
Pada zaman orde lama di bawah kepemimpinan Bung Karno, saat itu Indonesia baru menunjukkan eksistensinya sebagai negara yang merdeka, negara yang berdaulat, dan negara yang baru saja merasakan nikmatnya sebuah kebebasan. Dengan semangat kemerdekaan itulah Indonesia setapak demi setapak namun pasti menuju ke arah kemajuan.
Setelah presiden Soekarno turun, secara otomatis rezim orde lama juga terhenti. Bersamaan dengan itu, maka lahirlah orde lain sebagai penerus perjuangan. Orde ini tak lain adalah orde baru yang dipimpin oleh presiden Suharto. Orde ini berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama, yaitu kurang lebih 32 tahun. Pada awalnya cukup demokratis, tapi itu hanya berjalan sementara saja. Banyak orang yang bersikap kritis ditangkap kemudian dipenjara. Tak jarang terjadi penculikan-penculikan terhadap sejumlah tokoh pergerakan. Bahkan seluruh gerakan mahasiswa diberangus karena dinilai mengganggu stabilitas negara. Pemberangusan itu ternyata tidak membuat mereka putus asa. Mereka terus berusaha walaupun secara diam-diam. Dan pada akhir 1990-an, ketika Indonesia mulai didera krisis, para generasi muda dari kalangan mahasiswa itu kembali melakukan berbagai gerakan menuntut pertanggung jawaban terhadap rezim orde baru. Namun, gerakan-gerakan yang mereka lakukan tidak serta-merta berhasil, baru pada tahun 1998, mereka berhasil menumbangkan penguasa orde baru yang dikenal sebagai penguasa diktator dan korup.
Walaupun demikian, sebenarnya pada masa orde baru, kalau dilihat dari segi fisik, Indonesia sangat berkembang dan maju. Di berbagai tempat -terutama di kota-kota besar- bangunan-bangunan besar dan mewah didirikan. Tapi kalau ditinjau dari segi politik, semakin menurun. Karena ‘trias politika’ sebagai lembaga-lembaga tertinggi negara, yang berfungsi hanya lembaga eksekutif saja, sementara dua lembaga lainnya, baik itu lembaga legistatif dan yudikatif kurang atau bahkan tidak berfungsi sama sekali. Kedua lembaga ini tunduk di bawah lembaga eksekutif. Keduanya tak lebih hanyalah sebagai ‘robot’ yang gerak-geriknya diatur oleh lembaga eksekutif. Demikian juga dari segi ekonomi, selama orde baru berkuasa, kurang berkembang, bahkan mengalami krisis yang berkepanjangan.
Pada tahun 1999, setelah rezim orde baru jatuh, Indonesia memulai kehidupan barunya dengan melaksanakan pemilu secara jurdil dan demokratis. Masa ini cukup dikenal sebagai "orde reformasi". Sebuah orde di mana saat itu dilakukan reformasi secara total dengan agenda-agenda yang sejak lama direncanakan.
Dalam konteks ini, kalau kita mau mengambil sedikit komparasi, kiranya ada kesamaan dengan perkembangan yang ada pada Islam. Ketika Islam baru muncul di pentas sejarah dengan Rasulullah sebagai pemimpin utamanya, kaum Muslimin ibarat anak-anak yang baru belajar untuk hidup di bawah asuhan orang tua yang bijaksana, yaitu Rasulullah Saw. Karena masih 'anak-anak', tentunya mereka perlu belajar untuk menyongsong masa depan yang cerah.
Ada suatu hal yang menarik untuk diperhatikan, bahwa saat itu, kehidupan masyarakat Muslim masih berjalan sedemikian dinamis, tidak ada belenggu-belenggu yang mengikat, setiap orang boleh untuk bersikap kritis, semua produk pemikiran atas dasar ijtihad begitu dihargai. Nabi sendiri, dengan kapasitasnya sebagai pemimpin tidak pernah merasa benar sendiri. Sebab beliau menyadari bahwa dirinya tak lebih hanyalah manusia biasa yang tidak bisa lepas dari kesalahan.
Para ahli hadis meriwayatkan berbagai peristiwa ketika terjadi perbedaan pendapat antara Nabi dan Umar. Nabi hendak menshalatkan 'Abdullah ibn Ubay, namun Umar tidak menyetujuinya. Dalam kasus ini, wahyu turun membenarkan 'Umar. Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan juga bahwa Nabi saw. pernah menangis dengan terisak-isak menyesali kesalahan pendapatnya, disertai Abu Bakar. Umar bertanya, "Apa yang menyebabkan Anda dan sahabat Anda menangis? Kalau ada sesuatu yang pantas untuk saya tangisi, saya akan menangis. Kalau tidak ada tangisan, saya akan berusaha menangis seperti tangisan Anda. Ditanya demikian, Nabi kemudian menceritakan tentang wahyu yang turun membenarkan Umar. Lebih lanjut, Nabi berkata, "Seandainya azab turun, tidak akan ada yang selamat kecuali Umar ibn Khaththab." ( Pengantar Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Taufik Adnan Amal ‘Islam dan Tantangan Modernitas’ )
Riwayat di atas, merupakan justifikasi bahwa Nabi tidak pernah memonopoli kebenaran, beliau begitu demokratis, pendapat orang lain tetap beliau hormati sebagai sebuah ijtihad, tidak lantas seenaknya sendiri menyalahkan ini dan itu. Kondisi ini terus berlangsung selama kehidupan beliau hingga berakhirnya masa al-Khulafa' al-Rasyidin. Periode ini kita sebut dengan 'orde lama' Islam.
Adapun 'orde baru' Islam itu berlangsung sejak munculnya dinasti Umawiyyah, yang kemudian dilanjutkan oleh dinasti-dinasti lain setelahnya. Pada masa ini -sebagaimana di zaman Suharto- Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik itu di bidang dakwah, ilmu, pemerintahan, kesenian dan bidang-bidang lain. Tapi ada sesuatu yang kurang, yaitu bahwa pada masa itu kemajuan yang sudah sejak lama diraih oleh Islam, terutama dalam hal-hal yang menyangkut agama, pada akhirnya dianggap sudah final.
Hal itu terbukti ketika pada akhir abad pertengahan, mayoritas ulama pada masa itu telah berhasil membangun sebuah kesepakatan bahwa semua problem keagamaan yang esensial telah dibahas secara tuntas, tanpa ada satupun yang tertinggal, sehingga mereka kemudian berpandangan bahwa pelaksanaan segala bentuk ijtihad (inovasi) tidak diperbolehkan lagi. Sebab hal itu ditakutkan akan mengganggu stabilitas ajaran Islam. Namun, implikasi dari hal tersebut, pada kenyataanya, telah mempersempit ruang gerak berbagai usaha untuk memikirkan masa depan Islam kembali. Periode ini kita sebut dengan 'Orde Baru' Islam.
Di akhir masa 'orde baru' ini, Islam dilanda 'krisis'. Dikatakan krisis, karena saat itulah kemunduran Islam semakin tampak. Akan tapi ternyata para pemikir muda Islam tidak begitu berani kalau harus berhadapan dengan status quo. Mereka hanya memanfaatkan waktu luang untuk introspeksi diri, mengembangkan potensi diri dengan mendirikan kelompok-kelompok kecil. Pada akhirnya, di kala krisis sudah sedemikian parah, lahirlah seorang tokoh Muslim terkenal (dari Spanyol), yaitu Ibn Rusydi. Dialah orangnya yang telah mempelopori perjuangan dalam membongkar hegemoni ulama klasik. Dengan kecerdasannya, dia berani 'melawan' orang sekaliber Imam al-Ghazali yang sudah dianggap sebagai Hujjatul al-Islam serta dijadikan inspirasi, kiblat dan referensi pemikiran oleh mayoritas umat Islam hingga dewasa ini. Dengan perjuangannya yang gigih, Ibnu Rusydi telah berhasil membuka kembali 'kran' ijtihad (inovasi) yang sudah 'ditutup'. Bahkan dia juga dikenal dalam sejarah sebagai seorang filosuf Arab terbesar yang mampu membangun Eropa dan menghantarkan dunia Barat ke 'pintu gerbang' Renaissance, karena kemahirannya dalam memberikan komentar dan penjelasan tentang filsafat Aristoteles. Ia juga berusaha menghidupkan kembali filsafat-filsafat para pendahulunya, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajah dan Ibnu Taufail yang telah 'dibabat habis' oleh al-Ghazali.
Meskipun Ibnu Rusydi cukup dikenal, namun ternyata tidak cukup berpengaruh terhadap perkembangan dan kemajuan Islam sendiri. Sebab masyarakat Islam ketika itu masih 'mabuk' dengan pengaruh orang-orang 'orde baru' yang sudah mengkristal. Lihat saja bagaimana pengaruh Imam madzhab yang empat (aimmah al-madzahib al-arba'ah). Belum lagi Imam al-Ghazali yang hidup dipenghujung masa 'orde baru' Islam. Karya monomentalnya, Ihya ulum al-Din (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama) telah dianggap sebagai rujukan ketiga setelah al-Qur'an dan al-Hadits. Bahkan tentang karyanya ini dikatakan bahwa 'jika semua buku Islam dihancurkan, itu tidaklah begitu rugi, kalau kitab Ihya-nya al-Ghazali dapat diselamatkan'. Tidak hanya itu, al-Ghazali juga dianggap sebagai 'Muslim terbesar setelah Nabi Muhammad' yang sampai saat ini belum ada replikanya.
Prestasi besar Ibnu Rusydi hanya dipandang sebelah mata oleh orang-orang 'orde baru'. Dia hanya banyak dikenal di Eropa. Sepanjang abad ke-12 karya-karya banyak filosuf, yang figur sentralnya adalah Ibnu Rusydi, diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa latin. Ini menimbulkan gelombang produktivitas intelektual di Eropa Barat, sehingga mempengaruhi sains, filsafat, dan juga teologi. Itu dapat kita lihat dari beberapa karya para filosuf Eropa, seperti Domica, Albertus Magnus, Thomas Aquinas, Siger, dan lainnya yang kemudian dikenal sebagai Ibnu Rusydi-nya latin. Sebagian besar dari mereka menerima Aristotelianisme dari Ibnu Rusydi. Aquinas, khususnya, menjadikannya sebagai dasar bagi sebuah sistem teologi dan metafisika yang lengkap. ( Akbar S. Ahmed ‘Posmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam’ Penerjemah: M. Sirozi, Mizan: Bandung 1993, cet. Ke-1, hal 95)
Itulah puncak krisis yang mendera Islam. Khazanah kultural dan intelektual yang sejak lama menjadi ciri khas Islam, beralih tangan ke dunia Barat. Bahkan Watt -seorang penulis Barat- pernah menulis bahwa sejak abad ke-9 banyak dari generasi muda Eropa tertarik pada puisi Arab, dan lebih tertarik pada bahasa Arab ketimbang bahasa latin.
Demi melihat kondisi semacam ini, para generasi muda yang mempunyai perhatian besar terhadap Islam, tidak tinggal diam. Mereka berontak dengan melancarkan banyak kritik terhadap orang-orang 'orde baru' Islam. Maka inilah yang disebut dengan 'orde reformasi' Islam. Sebuah orde di mana seabrek tokoh-tokoh muda Islam dilahirkan. Mereka semua hendak melakukan reformasi dalam tubuh Islam, dan hendak melaksanakan 'agenda reformasi' yang pernah dicanangkan oleh Ibnu Rusydi.
Kita masih mengenal siapa itu Rifa'ah Badawi Rufi al-Tahtawi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Qasim Amien, Mohammad Arkoun, Muhammad Abid al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zaid, Hasan Hanafi dan sederet cendekiawan-cendekiawan Muslim lainnya. Mereka adalah kaum reformis Islam yang merasa tidak puas dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang 'orde baru' Islam.
Sekarang timbul pertanyaan, kenapa sampai saat ini umat Islam tidak maju-maju? Jawabannya gampang saja. Karena umat Islam saat ini belum siap untuk melakukan reformasi. Mereka belum memiliki modal berupa potensi yang mumpuni. Sebab ketika masa 'orde baru' Islam, kebebasan mereka dalam melakukan inovasi terlalu dibatasi dan dipersempit, bahkan dikebiri dengan ditutupnya pintu ijtihad. Sehingga mereka tidak bisa berbuat banyak, kecuali hanya ber-taqlid kepada orang-orang 'orde baru'. Maka ketika ‘orde reformasi’ itu muncul, umat Islam tidak bisa berbuat apa-apa, mereka tidak memiliki pondasi yang kuat, mereka bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Karena dalam keadaan bingung, tidak ada jalan lain kecuali diam saja. Kalaupun berbuat, -seperti yang sudah menjadi trend masyarakat Indonesia saat ini- mungkin hanya niru-niru saja.
Dan yang sangat menyedihkan adalah, bahwa saat ini, di tengah zaman 'orde reformasi' Islam, ternyata masih banyak juga orang-orang 'orde baru' yang berkeliaran. Mereka secara terang-terangan menunjukkan eksistensinya sebagai orang-orang yang masih mempunyai otoritas dalam memonopoli kebenaran. Sehingga kalau ada orang yang tidak sepaham dengan mereka, dianggap keluar dari mainstream, yaitu Islam.