**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Thursday, February 09, 2006
Tanggpan Untuk Milis IKBAL

Sebelumnya saya ucapkan terima kasih kepada Kak Guntur. Tak lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada sahabat dekat saya saudara Azhar Amrullah Hafidz yang telah meluangkan waktunya yang cukup berharga untuk menanggapi tulisan saya, sebab saya tahu bahwa Azhar Amrullah ini adalah orang super sibuk, sibuk di PMIK, dan saya tidak akan menyebutkan kesibukan apa yang ia lakukan di sana, yang jelas, sebagaimana yang disebutkan oleh Mas Salam Amin beberapa waktu yang lalu, kita sudah banyak orang tahu, sehingga saya tidak perlu menyebutkannya lagi. Di sini, sebagaimana anjuran Kak Guntur, saya akan merespon balik pertanyaan-pertanyaan yang dinyatakan Azhar di milis. Saya minta maaf kalau saya baru sekarang menjawabnya, sebab saya tidak banyak mempunyai kesempatan.

Pertama, saya katakan, dalam tulisan itu, saya tidak pernah mengatakan bahwa Imam Syafi`i menyuruh atau mewajibkan kita untuk mengikutinya (baca yang benar, pakai tasmak Mad!). Tapi justeru di sinilah saya ingin katakan, bahwa Imam Syafi`i tidak pernah menyuruh kita untuk "mematuhi" pendapatnya, bahkan saya sempat mendengar, bahwa beliau pernah menyatakan, yang arti kasarnya begini, "Pendapat orang bisa saja lebih benar dari pendapat saya." Dengan demikian Imam Syafi`i tidak kebal kritik. Kita mungkin masih ingat tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid-nya. Ini saja menunjukkan bahwa dalam bangunan pemikiran beliau pun terdapat pertentangan. Ketika di suatu daerah Imam Syafi`i mengambil pendapat begini, maka di kala berada di tempat lain yang memiliki budaya yang berbeda, mau tidak mau beliau harus menela`ah kembali pendapat sebelumnya. Sayangnya, banyak orang tidak memahami ini, sehingga ketika ada yang berani mengkritisinya, langsung dituduh yang nggak-nggak.

Kedua, sehubungan dengan makna "Hikmah" yang sering disebutkan dalam al-Qur'an di mana Imam Syafi`i memaknainya dengan Sunnah atau Hadis. Dalam kitab al-Risalah Imam Syafi`i berkata, : "Kullu ma sanna Rasulullah mimma laisa fihi kitab, wa fima katabna fi kitabina hadza, min dzikri ma manna Allah bihi `ala al-`ibad min ta`allum al-kitab wa al-hikmah dalil `ala anna al-Hikmah sunnatu Rasulullah." (Untuk lebih lengkapnya, silahkan baca buku al-Risalah, hal 91 - 92). Pernyataan Imam Syafi`i ini menunjukkan bahwa kata "Hikmah" dalam al-Qur'an adalah Sunnah Rasul, dan selain itu bukan Hikmah. Dan tentu saja, penafsiran Imam Syafi`i ini menimbulkan pertanyaan. Apakah dia memiliki bukti (dalil) yang kuat dalam hal ini? Ternyata beliau tidak menyebutkan apa-apa dari al-Qur'an yang menguatkan penafsirannya tersebut. Beliau hanya menyebutkan pendapat para ulama yang sepakat dengannya. Tapi sayang sekali, ulama yang dimaksud Imam Syafi`i itu siapa? Apa saja faktor yang membuat mereka menyatakan pendapat ini? Menurut hukum-hukum logika, kita mungkin saja meragukan pendapat seseorang, akan tetapi kita tidak bisa meragukan sesuatu yang sudah pasti. Dalam hal apa yang telah disebutkan Imam Syafi`i, saya melihat beliau beralih secara tiba-tiba dari sesuatu yang ihtimali (sesuatu yang mungkin) kepada sesuatu ta'kidi (konfirmatif), tanpa memberikan bukti yang sesuai yang meneguhkan pendapat yang bersifat mungkin menjadi pendapat yang berkedudukan pasti. Ini saya kira tidak dapat diterima dalam perdebatan ilmiyah.

Tuhan menyebutkan, bahwa Dia sendirilah yang menafsirkan al-Qur'an, artinya al-Qur'an menafsirkan al-Qur'an. Al-Qur'an menggunakan kata "Hikmah" sebanyak dua puluh kali yang menunjuk pada ajaran-ajaran al-Qur'an (ta`alim) atau Hikmah secara umum di mana para nabi dan rasul menyebutnya demikian. Kata "Hikmah" dalam al-Qur'an menunjukkan tiga belas sifat terpuji (Surat Isra', dari ayat 22 hingga 38) yaitu : Ibadatullah wahdahu la syarikalah (menyembah Allah dan tidak menyekutukannya), tahrim `ibadah al-awtsan (larangan menyembah berhala), ihtiram al-walidain wa al-ihsan lahuma (menghormati dan berbuat baik pada kedua orang tua), al-tashadduq `ala dzi al-qurba wa al-fuqara' wa al-masakin wa ibn al-sabil (bersedekah pada kerabat, fakir miskin, dan para musafir), `adam al-israf wa tahrim qatl al-awlad khasyyah al-faqr (tidak berlebih-lebihan, boros dan larangan membunuh anak karena takut miskin), larangan zina (tahrim al-zina), tahrim qatl al-nafs allati harrama Allah qatlaha illa bi al-haq (larangan membunuh jiwa yang dilarang oleh Allah kecuali dengan kebenaran), tahrim akl mal al-yatim (larangan memakan/menggeredek harta anak yatim), al-amanah fi al-mu`amalat wa tahrim al-akhdz bi ra'y man ja'a bi naba' qabla al-tahaqquq min shihhatihi (kejujuran dalam bermu`amalat dan larangan mengambil pendapat sebelum meneliti kebenarannya), tahrim al-kibr wa kulli ma huwa syarr (larangan berbuat dosa besar dan setiap apa yang buruk). (baca bukunya Qasim Ahmad, I`adah Taqyim al-Hadits, al-`Audah Ila al-Qur'an, atau baca juga bukunya Zakariya Ouzon, Jinayah al-Syafi`i, kalau tidak punya beli saja di Ma`radl, harganya 35 LE setelah discoun)

Demikian juga dalam surat Ali Imran ayat 81, di mana makna kata "Hikmah" menunjukkan kandungan seluruh Kitab Samawi. Juga dalam surat Luqman ayat 12, kata "Hikmah" menunjukkan Hikmah para pengajar spiritualitas (al-ruhaniyyat) secara umum. Jadi kalau merujuk pada al-Qur'an, kita dapat menyimpulkan dua hal. Pertama, bahwa kata "Hikmah" dalam ayat (Rabbana wa ib`ats fihim rasulan minhum yatlu `alaihim ayatuka wa ya`allimuhum al-kitab wa al-hikah wa yuzakkihim) yang disebutkan Imam Syafi`i menunjukkan al-ta`alim al-akhlaqiyyah li al-Qur'an (ajaran-ajaran etis/moral al-Qur'an). Kedua, bahwa "al-hikmah" secara umum merupakan karakter seluruh nabi. Mungkinkah kita menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad mengajarkan Hikmah kepada umatnya di tengah-tengah kepemimpinannya? Jawabannya memang iya. Akan tetapi kepemimpinannya tersebut bersandar pula pada penerapan ajaran-ajaran etis/moral al-Qur'an. Semua ajaran ini (hikmah) terdapat dalam al-Qur'an, meskipun ada beberapa hadis yang bisa disebut "hikmah." Dan kita tahu bahwa antara "hadis" dan "Sunnah" sangat berbeda.

Dalam al-Qur'an, kata "Sunnah" berarti sistem/aturan atau hukum Tuhan atau ajaran-ajaran umat terdahulu yang masih ada. Al-Qur'an tidak menunjukkan bahwa "sunnah" adalah tingkah laku atau gerak-gerik Nabi. (lihat surat al-Fath ayat 23, al-Anfal ayat 38). Sedangkan kata "hadits" dalam al-Qur'an berarti al-akhbar (berita), al-qashash (cerita), al-risalah (ajaran) dan al-syay' (sesuatu). Al-Qur'an menyebutkannya sebanyak 36 kali dalam posisi-posisi lingual yang berbeda-beda, dan tidak satupun yang menunjukkan apa yang kita kenal dengan "hadits Nabi." Bahkan dalam beberapa ayat, kata "hadits" bermakna "al-Qur'an" sendiri, sangat jauh dari pemaknaan bahwa itu adalah "hadits Nabi."

Ketiga, tentang pensejajaran Sunnah, Ijma` dan Qiyas dengan al-Qur'an. Sebagaimana yang saya sebutkan, Imam Syafi`i memaknai "Hikmah" dengan Sunnah Rasul. Jika demikian, maka keta`atan kepada Rasul--yang dalam al-Quran selalu disandingkan dengan keta`tan kepada Allah--berarti mengikuti Sunnah Rasul. Kita tidak mungkin menentang Imam Syafi`i dengan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan keta`atan kepada Rasul hanya berkenaan dengan wahyu Tuhan, sebab beliau telah menjadikan Sunnah sebagai wahyu dari Tuhan, di mana keduanya memiliki otoritas dan kedudukan yang sama. Ketika Imam Syafi`i menafsirkan "Hikmah" dengan Sunnah Rasul, ketika Imam Syafi`i memaknai "al-`Ishmah" (kemaksuman) dengan "tidak adanya kesalahan secara mutlak," sebenarnya di sinilah letak pensejajaran itu. Wahyu berasal dari Tuhan, yang sudah jelas terbebas dari kesalahan, sementara Nabi menurut Imam Syafi`i adalah maksum, apa saja yang beliau ucapkan, apa saja yang beliau lakukan adalah benar, terbebas dari salah. Dengan demikian, apa bedanya al-Qur'an dengan Sunnah Nabi? Tidakkah Imam Syafi`i melihat perkataan Nabi sendiri, "Antum a`lam bi umur dunyakum," "kalian lebih tahu urusan dunia kalian?" (baca bukunya Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, Penerjemah : Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim)

Kemudian mengenai Ijma`, Imam Syafi`i, dalam kitab al-Risalah, memperluas makna Sunnah mencakup Ijma` generasi Muslim pertama, generasi para Shabahat Nabi, di mana karena kedekatannya dengan kehidupan Nabi, maka konsensus mereka adalah benar, tidak salah. Dalam ini Imam Syafi`i nampak hendak mengulangi pernyataan gurunya, yaitu Imam Malik, yang bersandar pada "`Amal Ahl al-Madinah" (aktifitas penduduk Madinah) yang dianggap sebagai sumber hukum (mashdar fiqhi). Imam Syafi`i juga cenderung menganggap Ijma` sebagai sunnah yang wajib dikuti (wajibah al-ittiba`). (jangan lupa baca juga dalam kitab al-Umm, kalau tidak punya beli di Ma`radl, harganya 100 LE, setebal kamus al-Munawwir).

Adapun mengenai Qiyas, Imam Syafi`i menganggapnya sebagai satu-satunya Ijtihad yang harus dilakukan seorang fakih. Dan Qiyas (Ijtihad) hanya dibatasi pada teks-teks belaka, tidak yang lain. Sehingga hasil daripada Qiyas, yang menurutnya hanya pada teks-teks keagamaan (al-Qur'an dan Hadis), harus diikuti. (Baca bukunya Nasr Hamid Abu Zaid dalam bukunya al-Imam al-Syafi`i Wa Ta'sisi al-Idiyulujiyyah al-Wasathiyyah, ketika mengutip pernyataan Abu Zahroh). Kalau tidak, berarti menentang Ijma`, Sunnah dan al-Qur'an.

Keempat, mengenai penyamaan perempuan dengan keledai dan anjing sebagaimana tertera dalam kitab Shahih Bukhari. Memang tidak secara Eksplisit Imam Bukhari menyatakannya, akan tetapi kalau dilihat di bab Nikah, atau di bab Nafaqat, atau bab Thalaq, kita lihat di sana ada beberapa hadits yang hanya menyuruh perempuan untuk tinggal di rumah suaminya, tidak boleh keluar tanpa izinnya, hanya menjadi penunggu dan penjaga. Kalau kita lihat di Muthala`ah kelas satu dulu, di situ kita akan menemukan Muhadatsah tentang al-Kalbu (anjing), "al-Kalbu Hayawan Amin, Yahru al-Manazil wa al-Mazari`." Di sini anjing hanya dijadikan penjaga rumah yang patuh pada majikan. Kalau tidak menjaga rumah dengan baik, maka ia tidak akan dikasih roti, ia juga tidak dibolehkan memasukkan seseorang, teman atau siapa saja, kecuali dengan izin sang majikan. (untuk lebih jelasnya, silahkan baca bukunya Zakariya Ouzon, Jinayah al-Bukhari, kalau nggak punya beli saja di Ma`radl, harganya 35 LE, atau baca juga Jinayah al-Syafi`i, dalam Muqaddimah buku ini juga disinggung).

Dalam Shahih Bukhari disebutkan sebuah hadits yang berbunyi, "Yaqtha` al-Shalata al-mar'atu wa al-himar wa al-kalb, wa yaqi dzalika mitslu mu'khirah al-rahli." (hadits no. 514). Hadits ini diriwayatkan oleh Abi Hurairah yang oleh banyak kalangan banyak bersikap "kurang adil" terhadap perempuan. Hadits ini juga telah ditentang oleh Sayyidah `A'isyah dengan pernyataannya, "Laqad Sawwaitumuna ma`a al-hamir wa al-kilab!!, "Kalian telah menyamakan kami (para perempuan) dengan keledai dan anjing!!" Hadits ini sangat bertentangan dengan perkataan Nabi, "La Yaqtha` al-Shalata sya'i wa idra'u ma istatha`tum fainnama huwa al-syaithan." (lihat sunan Abi Daud 617). Kalau anjing dan keledai memang bisa saja membatalkan shalat, karena ditakutkan ketika sedang sujud, keduanya mengganggu, sebab keduanya termasuk hewan yang hidup dan berbaur dengan manusia dalam kihidupan sehari-hari. Siapa tahu ketika sedang shalat, karena keduanya memang tidak berakal, secara tiba-tiba mendekat dan mengganggu. Apa lagi kita tahu, dalam tradisi masyarakat Islam, anjing itu najis. Akan tetapi perempuan? Saya kira perempuan punyak akal, tahu mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga ketika melihat orang sedang shalat dia tidak mungkin mengganggu. (silahkan baca bukunya Samir Islambuli, Tahrir al-`Aql Min al-Naql)

Ada hadits lain dalam Shahih Bukhari yang perlu dikritisi, yaitu yang berbunyi, "La tunkah al-ayyimu hatta tusta'mar, wala tunkahu al-bikru hatta tusta`dzan, Qalu Ya Rasullallah wa kaifa Idznuha, Qala antaskuta (hadits no. 5136). Dalam hadits ini diceritakan tentang izin perempuan yang hendak dinikahkan dengan seorang laki-laki, di mana izinnya hanya cukup dengan diam. Yang namanya izin harus dengan suara, atau dengan isyarat lain, misalnya dengan mengangguk. Izin juga berarti kerelaan, akan tetapi harus dengan pernyataan. Tidak bisa hanya dengan diam membisu. Katakanlah kita mau masuk rumah orang, kita harus minta izin dulu, izin tentu saja dengan perkataan, misalnya dengan kata-kata "silahkan masuk," atau dengan isyarat, misalnya dengan tangan (bagi yang bisu). Jadi diam tidak bisa dijadikan sebagai "izin."

Maka kita perlu mempertanyakan keabsahan hadits ini, sebab pertanyaan para Shahabat, "kaifa idznuha?," "bagaimana izinnya?" ini adalah pertanyaan yang sangat aneh. Sebab yang namanya izin sudah banyak yang tahu, jadi tidak perlu dipertanyakan lagi. Izin harus dengan kerelaan dan persetujuan dari sang perempuan. Tidak bisa dengan diam. Siapa tahu diamnya perempuan karena takut sama kedua orang tuanya, sebab mungkin orang tuanya sangat keras. Bahkan ada sebuah hadits tentang seorang perempuan yang tidak mau dikawinkan dengan seseorang yang sama sekali tidak dicintainya, tapi oleh ayahnya tetap dipaksa. Kemudian perempuan itu menghadap Rasulullah, dan ternyata Rasulullah membelanya, bahkan mencela ayahnya yang tidak tahu perasaan putrinya.

Terakhir saya pesan untuk Azhar, jangan sering nge-date di PMIK, di sana kan banyak buku, baca dong buku-bukunya, jangan hanya asyik menikmati cewek-cewek.............
Sekian dari saya.................
 
posted by Roland Gunawan at 4:16 PM | Permalink |


1 Comments:


At 6:07 PM, Blogger Unknown

senang sekali, saya ingin menanggapi sedikit saja..potongan hadis "antum a'alamu bi umuri dunyakum" yang antum maksud sesuai dengan referensi di atas, menurut saya tidak tepat, pertama karena tidak dikembalikan ke sababul wurud hadis tsb. kita tahu perkataan itu disebabkan oleh perbuatan petani kurma, yang menanyakan kurma itu penyerbukanx seperti apa? jadi terkait dengan hal2 teknis. tentu tidak bisa disamakan dengan memahami sebuah konsep hanya berdasarkan logika bahasa. tq

 



"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"