**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Monday, March 27, 2006
Agama Pinggiran
Islam adalah agama di antara agama-agama lain yang saat ini masih melakukan pencarian identitas yang diyakini akan menghantarkannya untuk ikut serta dalam memainkan peranan signifikan di pentas sejarah. Namun, pencarian identitas tersebut nampaknya tidak akan berjalan mulus. Masih banyak aral rintang yang harus dihadapi, internal maupun eksternal. Menurut Arkoun, saat ini, ada sebuah fenomena yang membuat kita bingung dan heran, yaitu semacam konspirasi antara Yahudi dan Kristen untuk menyingkirkan Islam, tidak hanya secara teologis, tapi juga secara kultural dan politis.

Bagi Yahudi-Kristen, Islam adalah agama masyarakat terbelakang yang belum memasuki fase peradaban. Ini didasarkan pada asumsi-asumsi kontradiktif terhadap Islam yang memang sudah menjadi warisan sejak abad pertengahan. Ditambah lagi dengan konflik Arab-Israel yang melahirkan akibat-akibat buruk, dan membutuhkan waktu cukup lama untuk menghapusnya, jika saja revolusi Islam mencapai titik keberhasilannya. Hal itu telah memainkan peran besar dalam menyingkirkan Islam dari ‘surga’ teologi Kristen-Yahudi. Sekarang, tidak seorang pun ada yang mengatakan tradisi Yahudi-Kristen-Islam, tetapi yang dikatakan hanya tradisi Yahudi-Kristen, nilai-nilai Yahudi-Kristen dan lain-lain. Dikatakan demikian, karena Islam, dalam bentuk apapun, merupakan kelanjutan dari Yahudi dan Kristen. Dalam al-Qur’an sendiri banyak kisah-kisah tentang nabi-nabi kaum Yahudi dan Isa ibn Maryam. Dan mereka (para nabi tersebut) mempunyai kedudukan besar dan transendental bagi kaum Yahudi dan Kristen.

Sebenarnya ‘penyingkiran’ itu tidak hanya terlahir dari satu pihak saja, melainkan dari kedua belah pihak. Kita menolak Barat dan Kristen karena alasan-alasan teologis. Terdapat banyak asumsi-asumsi negatif dari pihak kita mengenai Barat dan Kristen yang perlu dibenarkan dan rehabilitasi. Cukup bagi kita membuka buku-buku akidah untuk meyakinkan hal itu. Penyingkiran teologis seperti inilah yang secara langsung menimbulkan penyingkiran secara sosial dan politis. Belum lagi gerakan-gerakan fundamentalisme yang semakin memambah kompleksnya permasalahan dengan diaktifkannya kembali teologi abad pertengahan selaras dengan meluasnya wawasan.

Dulu, Islam disingkirkan karena alasan-alasan teologis, sebab Islam merupakan agama saingan selama abad pertengahan, sedangkan sekarang disingkirkan karena faktor-faktor sekuler. Dari itu, studi tradisi keislaman tidak pernah mendapatkan porsi memuaskan, justru menjadi bagian orientalis yang tertutup. Inilah barangkali yang menekan Arkoun dan seruan-seruannya agar dilakukan kajian secara menyeluruh terhadap semua tradisi keagamaan tanpa membeda-bedakan antara satu dengan lainnya, seolah dunia ini tidak pernah mengenal, apakah itu Kristen, Yahudi, Islam dan lain-lain. Jadi, harus diterapkan metodologi yang sama dalam studi tradisi Yahudi-Kristen-Islam.

Sehubungan dengan kaum orientalis, dalam melakukan studi keislaman, mereka seolah-olah tidak tahu menahu akan perkembangan metodologi yang ada saat ini. Banyak dari mereka yang semata-mata hanya mengumpulkan berbagai data mengenai tradisi Islam sunni, untuk kemudian dipindahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Jerman dan mengatakan, “Inilah Islam, beginilah orang-orang Islam berfikir...,” tanpa dilakukan upaya kongkret untuk mendekonstruksi ketertutupan tradisi tersebut. Dalam hal ini, jelaslah bahwa motodologi yang mereka gunakan adalah metodologi lama yang pernah digunakan para orientalis klasik. Metodologi lama yang saya maksudkan adalah metodogi filologi historis, sebuah metodologi yang hanya terbatas pada pengumpulan data-data secara kronologis dan melihat teks dengan satu makna saja, tidak melihat kemungkinan adanya makna lain yang lebih benar. Metodologi filologi, dalam pandangan Arkoun, memang baik untuk diterapkan, akan tetapi sebagai fase pertama dalam melakukan studi, bukan satu-satunya. Jadi, setelah mengumpulkan data-data detail tentang objek apapun, berikut klarifikasi dan penyaringannya, harus dilanjutkan dengan fase lain, yaitu pengolahan dan pengambilan konklusi umum dari data-data yang dikumpulkan tadi. Fase ini menuntut penggunaan metodologi baru, yaitu metodologi psikologi historis, sosiologi historis dan antropologi historis.

Metodologi filologi hanya cukup dengan membahas makna pertama dari sebuah teks, serta perkembangannya dari masa ke masa. Ini memang berguna, tapi jangan lupa bahwa teks itu akan digunakan saat ini, konteks yang sudah banyak mengalami perubahan dan berbeda dengan konteks-konteks masa lalu. Jadi, harus multi metodologi.

Makanya, sejauh mungkin, harus ada intervensi epistemologis dari kaum orentalis (sebab dalam Islam tidak pernah terjadi revolusi dahsyat dalam masalah metodologi seperti yang terjadi di Barat dan Eropa). Maksudnya intervensi epistemologis yang paripurna, bukan yang setengah-tengah. Tetapi kaum orientalis nampaknya merasa hawatir ketika berbicara mengenai masalah-masalah keislaman. Dari mereka ada yang mengatakan, “Kami kaum ilmuan hanya bertugas mengumpulkan data sebanyak mungkin dari objek yang kami kaji, perkara tugas teorisasi, itu merupakan tugas kaum muslimin sendiri, bukan kami.”

Bahkan saat ini, di berbagai universitas di Barat dan Eropa, terjadi semacam ketidakadilan. Kalau ada seorang mahasiswa muslim yang ingin menyelesaikan disertasi doktoral, dia tidak akan mendapat penanganan serius dari para pembimbing. Walaupun misalnya, hasil dari penelitiannya tidak bagus, ijazah akan diberikan begitu saja. Para pembimbing hanya akan berkata, “Ini sudah cukup bagi dia (mahasiswa muslim itu), sebab kalau diberi lebih, tidak akan berpengaruh apa-apa bagi umat Islam.”

Inilah yang terjadi pada beberapa sarjana kita saat ini. Anehnya, mereka merasa bangga dengan hasil yang didapatkan. Tidak sadar bahwa mereka telah dibodohi. Itupun, ketika di tengah-tengah masyarakat, mereka tidak mendapat peluang cukup besar untuk melakukan revolusi. Mengingat bahwa kondisi sosial, politik dan kultural, tidak memungkingkan bagi berlakunya revolusi besar-besaran dalam tubuh masyarakat Islam. Dan bila kita lihat, dalam masyarakat Islam, aliran kritis, sampai sekarang, belum menunjukkan indikasi akan berhasil seperti di Yahudi dan Kristen, terutama sekali Kristen Eropa. Dalam Islam, saat ini, yang mendominasi dan menjadi mainstream adalah aliran fundamentalis yang cenderung menutup kran-kran kebebasan.

Kalau kita mengamati kondisi Kristen dengan segenap alirannya, kita akan melihat ruang cukup luas bagi siapa saja, baik kaum agamawan maupun sekularis, untuk melakukan kajian—dalam bentuk apapun—terhadapnya. Kaum agamawan menggunakan seluruh pengetahuan, bakat dan pengaruh pemikiran mereka guna menunjukkan kemahatinggian Kristen di atas agama-agama lain, berikut kemampuannya dalam beradaptasi dengan modernitas. Keimanan mereka bukan merupakan penghalang untuk menerapkan berbagai metodologi paling mutakhir sekalipun dalam studi tradisi keagamaan. Sementara kaum sekularis (intelektual) yang hidup di bawah pengaruh pemikiran dan kultur Kristen, mereka menerima dengan lapang dada demi terlestarikannya berbagai keutamaan agama tersebut, serta memperlakukannya dengan sangat istimewa. Mereka tidak pernah menimpakan problem-problem etnografis ataupun pandangan-pandangan politis negatif terhadap Kristen, sebagaimana mereka timpakan pada agama-agama lainnya.

Sebaliknya, dalam masyarakat Islam, kita jangan pernah bermimpi akan melihat kebebasan semacam itu. Contoh kecil saja, pembelajaran sejarah agama-agama akan menuai banyak protes dan perlawanan dari kaum mukmin fundamentalis. Bagi mereka, studi ilmiah terhadap agama, apalagi dengan menggunakan metodologi-metodologi modern, akan menyebabkan banyak reduksi. Sebab yang namanya studi ilmiah akan meletakkan keimanan dalam tanda kurung, atau mengabaikan masalah keimanan. Mereka akan merasa “shok” kalau membaca kajian-kajian Mohammed Arkoun—sebagai contoh— mengenai Islam pertama dan proses pertumbuhannya secara historis. Seorang mukmin tradisionalis beranggapan bahwa agama berada di atas nalar atau di luar nalar, sehingga dia tidak pernah paham bagaimana menerapkan metode-metode rasional dalam studi keagamaan. Bahkan dia menganggap agama adalah nalar itu sendiri, tapi nalar yang mengatasi nalar manusia, dari itu harus diterima apa adanya.

Demi keamanan, tak jarang kita dapati beberapa intelektual Islam yang berpikiran progresif harus rela hidup terasing di negara orang lain. Seorang Muslim, jika ingin melakukan kajian tentang tradisi keislaman dengan menggunakan metodologi modern, sebagai misal, sebut saja al-Qur’an yang merupakan obyek sensitif bagi masyarakat Islam, paling tidak, harus menghindari dua hal, yaitu bahasa dan letak geografis. Dengan kata lain, dia harus menulis dengan bahasa Inggris atau Prancis dan harus berdomisili di negara Barat atau Eropa. Mungkin bisa dikatakan, bahwa Nasr Hamid Abu Zaid adalah orang pertama yang secara langsung menulis dengan bahasa Arab dan mengajar di Universitas Kairo, kemudian dengan berani melabrak batasan-batasan yang melarang penerapan metodologi modern, semisal linguistik terhadap al-Qur’an. Artinya, dia telah berani melanggar beberapa batasan sekaligus; pertama, dia adalah seorang muslim; kedua, dia menulis dengan bahasa Arab tentang sebuah obyek yang sangat sensitif, yaitu al-Qur’an; ketiga, dia tinggal di Mesir, tepatnya di Cairo. Bahkan sebelumnya, Muhammad Khalafullah juga berupaya melakukan kritik sastra dalam menganalisa kisah-kisah al-Qur’an, meski akhirnya dia mengalami kegagalan. Inilah kiranya yang membuat malas para pemikir muslim dalam mempelajari metodologi-metodologi mutakhir yang lahir di Barat maupun Eropa.

Tradisi Islam sejak turunnya al-Qur’an hingga sekarang tertulis dengan bahasa Arab, sedangkan tradisi Kristen pertama kali diungkapkan dengan bahasa Aramia (bahasanya al-Masih), kemudian bahasa Greek/bahasa orang Yunani yang merupakan bahasa pertama Injil, setelah itu bahasa Latin (bahasa kedua Injil selama abad pertengahan sampai munculnya era kebangkitan), dan yang terakhir adalah bahasa-bahasa Eropa Modern, seperti Inggris, Prancis, Jerman, Italia dll. (untuk ketiga kalinya Injil diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa tersebut).

Lain halnya dengan al-Qur’an yang sejak awal diturunkan sampai sekarang adalah al-Qur’an Arab. Memang, kaum muslimin selain Arab menulis tradisi Islam dengan bahasa kebangsaan mereka, seperti Persia, Turki, Yordania, Indonesia dll. Akan tetapi al-Qur'an tetap mereka baca dengan teks asli, yaitu bahasa Arab. Maka, jika Islam diberi kenikmatan berupa kontinuitas top pada level bahasa, namun tertimpa keterputusan negatif pada level pemikiran, sehingga Islam terlepas dari dinamika, pluralitas dan keterbukaan yang dimilikinya pada masa-masa pertama, dan sekarang Islam malah memasuki masa dekadensi dan stagnasi skolastik sejak abad kesebelas hingga saat ini.

Dari itu, jangan heran, bila dalam masyarakat Islam, jarang sekali kita menemukan para ilmuan atau intelektual yang mampu mengajarkan agama dengan metodologi-metodologi modern. Dengan kata lain, mereka yang mampu menerapkan berbagai metodologi sejarah perbandingan sistem-sistem teologis dan filosofis, sekaligus menguasai dasar-dasar analisis dan istilah-istilah antropologi agama, politik, sosial dan kultural. Tanpa syarat-syarat tersebut, sulit bagi kita untuk keluar dari ‘kebodohan’ terorganisir secara kelembagaan sejak beberapa abad yang lalu, sehubungan dengan agama-agama secara umum, dan agama-agama wahyu secara khusus.

Dalam rangka itu, suatu upaya sudah dilakukan Mohammed Arkoun. Sebagai seorang intelektual Islam kontemporer, dia mendirikan sebuah sekolah nasional studi-studi keislaman di Paris (Ecole Nationale d’Edutes Islamiques). Sebenarnya pendirian sekolah tersebut sudah sejak lama dia impikan. Namun baru tercapai sejak beberapa tahun yang lalu, dikarenakan adanya kerjasama dan simpati beberapa menteri dalam pemerintahan Prancis. Hal itu dilakukan demi tercapainya sekularisme baru yang terbuka, demi masa depan pemikiran Islam dan kontribusi-kontribusi yang mungkin dapat diberikannya dalam studi fenomena kegamaan.

Dengan sekolah itu, Arkoun mengiginkan pembelajaran agama Islam sesuai dengan metode-metode ilmiah yang dia gariskan sendiri di sela-sela pengasuhan terhadap proyek tersebut. Ini saya kira merupakan langkah kongkret, guna menghadapi proyek fundamentalis-tradisionalis melalui proyek pembaharuan yang melihat agama dari kerangka pandangan epistemologi yang luas. Akan tetapi, ada sesuatu yang nampaknya masih menggelisahkan Arkoun, ditakutkan para pengajar yang akan mengajar dalam sekolah tersebut, tidak dapat menghargai berbagai posisi epistemologis, tujuan-tujuan kognitif, serta target-target ilmiah yang memang menjadi inspirasi dari pendirian proyek yang berada di bawah asuhannya.

Di samping itu, hal lain yang harus Arkoun waspadai adalah—meminjam kata-kata Hasyim Shaleh—kalau-kalau sekolah yang didirikannya itu akan berubah menjadi kuliah syari’at tambahan, tak ubahnya seperti kuliah-kuliah syari’at yang ada di berbagai universitas Arab Islam. Selain itu, ada pertanyaan yang perlu direnungkan: Adakah tenaga pengajar mencukupi yang mampu mengajarkan agama dari sisi pandangan modern dan sekuler? Atau, adakah dari pihak Islam seorang pemikir yang mampu untuk itu? Kalau tidak ada, maka mau tidak mau, harus minta bantuan kepada kaum orientalis atau para peneliti keislaman yang mengajarkan metode-metode riset ilmiah di berbagai universitas di Eropa dan Amerika. Inilah yang nampaknya yang terjadi. Selamat buat Arkoun, dan semoga berhasil. Amien…
 
posted by Roland Gunawan at 3:31 AM | Permalink |


0 Comments:





"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"