(Menelisik Fenomena Kekerasan terhadap Perempuan)
Pendahuluan
Kekerasan terhadap perempuan merupakan warisan kultural yang ada sejak masa-masa Jahiliyah pertama, ketika laki-laki merasa bangga mengubur anak perempuannya hidup-hidup dengan anggapan bahwa perempuan merupakan “simbol malapetaka”, dan hingga saat inipun kita masih merasakannya. Budaya kekerasan —yang menjadikan laki-laki sebagai “majikan” yang harus ditaati dengan posisinya sebagai “langit”, sedangkan perempuan adalah “budak” dengan posisinya sebagai “bumi” disertai kerelaan menerima berbagai bentuk kekerasan tanpa sedikitpun boleh mengeluh— akarnya tidak ditemukan dalam Islam. Kekerasan tak lain adalah pemisahan sosial hubungan yang tidak seimbang dan sewenang-wenang terhadap perempuan, dan cenderung memihak kepada laki-laki. Maksud kekerasan terhadap perempuan di sini adalah, segala hal yang membawa dampak negatif, jasmaniah atau mental.
Ada beberapa tingkatan kekerasan terhadap perempuan, di antaranya: kekerasan mental, inilah yang paling berbahaya. Banyak hal yang bisa dijadikan contoh di sini, misalnya memandangnya dengan rendah, berbagai macam tekanan dan pemaksaan (seperti memaksanya untuk kawin dengan laki-laki yang sama sekali tidak dicintainya, atau merampas hartanya dll), atau menghalang-halanginya mendapatkan kedudukan yang menjadi haknya, atau memperlakukannya secara tidak adil dalam tugas, atau merampas haknya untuk mendapatkan pendidikan, atau membebebaninya dengan berbagai pekerjaan di rumah tanpa memberikan fasilitas yang memadai.
Ada juga kekerasan dalam bentuk ucapan, seperti mencaci, meremehkan dan mengancam. Kemudian ada kekerasan jasmaniah, seperti memukul, melukai dan membunuh. Dalam masyarakat, pelaku kekerasan terhadap perempuan sangat banyak: ayah, suami, saudara laki-laki, tetangga, bahkan ibu terhadap anak-anak perempuannya. Kalau dilihat, nampaknya, sejak kecil (atau sejak dilahirkan) perempuan sudah diperlakukan secara tidak adil. Ketika anak laki-laki lebih diistimewakan daripada anak perempuan, ketika dia dipandang sebagai sumber malapetaka dan aib bagi keluarga, sehingga kemudian cepat-cepat dinikahkan (pernikahan dini), dan ketika masyarakat meragukan kesuciannya manakala dia ditalak oleh suaminya.
Fenomena kekerasan terhadap perempuan dari waktu ke waktu semakin meluas, tak ubahnya seperti virus yang mudah menular pada semua masyarakat: masyarakat maju dan berkembang. Hanya saja di negara-negara maju pemerintah ikut serta merumuskan undang-undang tegas guna melindungi kaum perempuan, di sana bahkan terdapat organisasi-organisasi dan pusat-pusat layanan rumah tangga yang memberikan jaminan perlindungan terhadap perempuan yang rentan kekerasan, di Jerman misalnya, pada tahun 2004 tercatat 73 organisasi.
Faktor-faktor Munculnya Aksi-aksi Kekerasan
Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi tindak kekerasan terhadap perempuan, di antaranya:
Pertama, adanya ketidaksamaan bagi sebagian laki-laki: disebabkan oleh kondisi mental sejak kecil, atau tekanan mental untuk bekerja, sehingga kadang-kadang seorang laki-laki merasa tersaingi oleh istrinya yang mempu bekerja seperti dirinya, atau karena ia berasal dari keluarga yang menganggap pemukulan terhadap perempuan sebagai hal yang lumrah dan biasa.
Kedua, menurut Dr. Abdul Hamid Ismail al-Ashari[3], adalah menyebarnya pemahaman-pemahaman yang salah di tengah masyarakat, di antaranya:
a. Pemahaman salah terhadap al-qawâmah (kepemimpinan): sebagian laki-laki memaknai al-qawâmah dengan “penguasaan” dan “hegemoni”. Padahal secara syar`î bermakna “kemampuan melaksanakan sesuatu yang menjadi kemaslahatannya, juga kemampuan memberikan perlidungan, serta kemampuan memberi nafkah, nasehat dan pengarahan.
b. Pemahaman salah terhadap al-rujûlah (kelelakian): sebagian memaknainya bahwa, laki-laki harus kuat, keras dan tegas, sebab perempuan bagi mereka, hanya menghormati suami yang memukulnya, bukan suami yang halus, lembut dan toleran.
c. Pemahaman salah terhadap al-taujîh (memberi arahan) dan al-irsyâd (memberi nasihat): terdapat pemahaman salah yang menyebar di masyarakat awam, bahwa laki-laki boleh memukul istrinya yang durhaka sebagai hukuman lazim, dan ini merupakan hak yang telah diberikan oleh al-Qur’an. Pemahaman seperti ini adalah benar, namun bila dikemukakan tanpa memberikan komentar yang sesuai akan memberikan kesan keliru, apalagi dengan embel-embel kata hukuman lazim. Kalau dilihat, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Alwi Shihab[4], al-Qur’an memberikan tahapan yang hendak ditempuh oleh suami terhadap istri yang durhaka demi mempertahankan kelangsungan keluarganya. Pertama, nasihat, kedua, menampakkan ketidaksenangan dengan meninggalkannya dari pembaringan (bukan dari rumah)—dalam arti menahan diri tidak berhubungan seks dengannya—dan ketiga memukulnya. Di sini terlihat dengan jelas bahwa memukul adalah alternatif terakhir. Tetapi jangan kemudian kata “memukul” ini dipahami dalam arti “menyakiti.” Rasulullah Saw. mengingatkan agar “Jangan memukul wajah dan jangan pula menyakiti.” Pada suatu kesempatan beliau bersabda, “Tidaklah kalian malu, memukul istri kalian, seperti memukul keledai?” Malu bukan saja karena memukul, tetapi juga malu karena gagal menemukan titik temu dengan istri atau mendidiknya dengan nasehat. Jadi jelas sekali bahwa memukul bukanlah sesuatu yang terpuji. Andaikata memukul adalah perbuatan terpuji, maka Rasulullah akan melakukannya mengingat beliau adalah pendidik sejati, tetapi beliau sama sekali dan belum pernah selama hidupnya memukul perempuan.
d. Pemahaman salah terhadap karakter atau watak perempuan: ada yang menganggap bahwa perempuan diciptakan secara “bengkok”, maka memukul adalah satu-satunya cara untuk meluruskannya.
e. Pemahaman salah terhadap hak ketaatan: bagi sebagian orang, ketaatan perempuan adalah ketundukan, kesabaran menerima penghinaan atau pukulan tanpa melayangkan protes dan mengeluh, serta bersabar untuk tidak ikut campur suami dalam mengatur rumah tangga.
Ketiga, tipe pendidikan yang ada di masyarakat: secara umum masyarakat kita adalah masyarakat patriarkis, yang mendidik laki-laki untuk menjadi “pemimpin” atau “majikan” yang ditaati dengan banyak hak dan keistimewaan, bahkan seorang ibu mendidik anak laki-lakinya untuk menjadi semacam “Fir`aun”, sedangkan saudara perempuannya dididik tanpa memiliki kepribadian. Perempuan harus mentaati saudara laki-lakinya dan tidak boleh durhaka terhadapnya. Anak laki-laki lebih dipentingkan dan diistimewakan oleh ibunya, di mana kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya diampuni. Sedangkan anak perempuanya ketika melakukan kesalahan langsung dihukum sebab “darahnya” merupakan harga bagi kesalahannya. “Fir`aun” yang hegemonik dan refresif terhadap saudara perempuannya ini adalah hasil dari pendidikan seorang ibu yang diskriminatif sejak kecil.
Keempat, sistem pendidikan: menentukan peran ideal perempuan di masyarakat, perempuan hanya dibebani dengan aktivitas seperti memasak, mencuci, menjahit (dapur, sumur, kasur), sedangkan laki-laki tugasnya adalah berfikir, menulis dan menyelesaikan tugas-tugas besar. Banyak sekali buku-buku studi yang dirumuskan berdasarkan prinsip “perempuan memasak, laki-laki berfikir”, bahkan pada level unversitas sekalipun banyak buku studi yang menegaskan keparipurnaan laki-laki dan kemampuan otaknya, berbalik dengan kekurangan perempuan, luapan perasaan serta kelemahan otaknya.
Kelima, sistem budaya pada masyarakat kita:—lama atau baru—menempatkan perempuan pada posisi marjinal dan menegaskan ketundukannya terhadap laki-laki. Laki-lakilah yang kuat, laki-lakilah yang lebih tinggi, maka sudah sepantaskan kalau dia menasehati dan memerintah, bahkan memukul perempuan.
Keenam, pengaruh informasi: semakin meneguhkan otoritas laki-laki di atas perempuan. Lihat saja misalkan di film-film atau sinetron-sinetron dan yang lainnya, di mana perempuan harus mengampuni dan mentolerir kesalahan-kesalahan yang diperbuat laki-laki—bintang film—yang meninggalkan rumah setelah tertarik kepada perempuan lain (selingkuh) atau WIL, adapun sang istri harus memelihara anak-anaknya dan menjaga rumah dengan penuh kesabaran. Kemudian di akhir cerita film tersebut si laki-laki kembali ke rumahnya dengan penuh penyesalan, dan sang istri dituntut untuk mengampuninya.
Ketujuh, sistem undang-undang:
a. Lemahnya undang-undang hukum: jika laki-laki memukul atau mencaci istrinya dianggap sebagai kesalahan ringan, dan bila pemukulan itu berakibat pada kematian sang istri, hukumannya ringan sekali, hanya hukuman kurung tiga tahun.
b. Keberpihakan undang-undang kepada kepentingan laki-laki: perempuan tidak punya hak untuk mengajukan talak jika sang suami mandul, akan tetapi suami punya hak mentalaknya jika dia mandul.
Di sana juga banyak faktor lain, misalnya suami yang doyan mabuk-mabukan atau main judi, rendahnya kualitas pendidikan dan ekonomi suami. Di samping juga lemahnya “nurani keagamaan”, di mana ada sebagian kaum muslimin yang melaksanakan ritual-ritual serta ibadah-ibadah keagamaan seperti shalat, puasa dan haji sebagai formalitas saja, sehingga tidak dapat mempengaruhi nuraninya, tidak mendidik prilakunya dan tidak memperbaiki pergaulannya.
Ibu Kita, Saudari Kita, Jangan Disakiti!
Kenapa kita harus mencegah kekerasan terhadap perempuan?
Pertama, karena perempuan adalah ibu kita dan saudari kita. Jika kita tidak benar-benar menghormati dan menghargainya, dan tidak mencegah tindak kekerasan terhadapnya, maka dia tidak akan memiliki mental yang tangguh, sehingga konsekuensi yang muncul kemudian adalah ketidakmampuannya memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anaknya guna membangun masyarakat yang kokoh, sebab orang yang selalu tertekan dan dihantui perasaan takut tidak bisa diharapkan mampu membangun masyarakat yang baik.
Kedua, masyarakat-masyarakat kita menghadapi banyak problem, semisal pendidikan dan ekonomi. Salah satu faktornya adalah lemahnya kualitas perempuan. Bila kita mempelakukannya dengan baik—sebagaimana anjuran Nabi—dan memperkuat kepribadiannya, ini akan sangat berpengaruh pada kekuatan masyarakat. Dari itu kita mesti memperbaiki kualitas pendidikan perempuan guna meneguhkan mentalnya, sehingga dia mampu mendidik anak-anaknya untuk menjadi pemimpin masa depan.
Solusinya Apa?
Ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk dapat lepas dari tradisi negatif (tindak kekerasan terhadap perempuan) ini:
Pertama, terlebih dahulu kita harus sepakat bahwa menghina perempuan adalah perbuatan kriminal.
Kedua, membebaskan tradisi, secara keseluruhan, dari “noda-noda hitam” dan kesewenang-wenangan terhadap perempuan.
Ketiga, menghapus gambaran negatif terhadap perempuan dari buku-buku studi, gambaran bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah.
Keempat, perbaikan kultural yang mencakup seluruh media informasi guna menjelaskan pemahaman-pemahaman yang benar dalam kaitannya dengan interaksi antara kedua jenis.
Kelima, menaruh perhatian kepada para pasutri (pasangan suami-istri) berkenaan dengan hak dan kewajibannya.
Keenam, membangun pusat-pusat yang secara khusus memperhatikan kehidupan rumah tangga, yang sewaktu-waktu dapat dimintai arahan oleh perempuan yang rentan kekerasan guna menentukan sikap.
Ketujuh, memperkuat “nurani keagamaan” antara kedua jenis dengan menyebarkan budaya yang baik dan memperbaiki pemahaman-pemahaman sosial yang salah.
Kedelapan, mempertegas hukuman (punishment) terhadap segala bentuk kekerasan.
Kesembilan, melakukan tinjauan ulang terhadap undang-undang demi menghilangkan berbagai bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan teks-teks agama, terlebih lagi dengan kehidupan sosial masyarakat.
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Diambil dari judul lagu Ada Band. Makalah ini disampaikan pada acara diskusi bulanan Qalam Circle IKBAL Korda Cairo.
[2] Majalah al-Arabi, edisi 548, Juli 2004.
[3] Pengantar dalam buku “Muhammad dan Isa” karya William E. Phipps
Pendahuluan
Kekerasan terhadap perempuan merupakan warisan kultural yang ada sejak masa-masa Jahiliyah pertama, ketika laki-laki merasa bangga mengubur anak perempuannya hidup-hidup dengan anggapan bahwa perempuan merupakan “simbol malapetaka”, dan hingga saat inipun kita masih merasakannya. Budaya kekerasan —yang menjadikan laki-laki sebagai “majikan” yang harus ditaati dengan posisinya sebagai “langit”, sedangkan perempuan adalah “budak” dengan posisinya sebagai “bumi” disertai kerelaan menerima berbagai bentuk kekerasan tanpa sedikitpun boleh mengeluh— akarnya tidak ditemukan dalam Islam. Kekerasan tak lain adalah pemisahan sosial hubungan yang tidak seimbang dan sewenang-wenang terhadap perempuan, dan cenderung memihak kepada laki-laki. Maksud kekerasan terhadap perempuan di sini adalah, segala hal yang membawa dampak negatif, jasmaniah atau mental.
Ada beberapa tingkatan kekerasan terhadap perempuan, di antaranya: kekerasan mental, inilah yang paling berbahaya. Banyak hal yang bisa dijadikan contoh di sini, misalnya memandangnya dengan rendah, berbagai macam tekanan dan pemaksaan (seperti memaksanya untuk kawin dengan laki-laki yang sama sekali tidak dicintainya, atau merampas hartanya dll), atau menghalang-halanginya mendapatkan kedudukan yang menjadi haknya, atau memperlakukannya secara tidak adil dalam tugas, atau merampas haknya untuk mendapatkan pendidikan, atau membebebaninya dengan berbagai pekerjaan di rumah tanpa memberikan fasilitas yang memadai.
Ada juga kekerasan dalam bentuk ucapan, seperti mencaci, meremehkan dan mengancam. Kemudian ada kekerasan jasmaniah, seperti memukul, melukai dan membunuh. Dalam masyarakat, pelaku kekerasan terhadap perempuan sangat banyak: ayah, suami, saudara laki-laki, tetangga, bahkan ibu terhadap anak-anak perempuannya. Kalau dilihat, nampaknya, sejak kecil (atau sejak dilahirkan) perempuan sudah diperlakukan secara tidak adil. Ketika anak laki-laki lebih diistimewakan daripada anak perempuan, ketika dia dipandang sebagai sumber malapetaka dan aib bagi keluarga, sehingga kemudian cepat-cepat dinikahkan (pernikahan dini), dan ketika masyarakat meragukan kesuciannya manakala dia ditalak oleh suaminya.
Fenomena kekerasan terhadap perempuan dari waktu ke waktu semakin meluas, tak ubahnya seperti virus yang mudah menular pada semua masyarakat: masyarakat maju dan berkembang. Hanya saja di negara-negara maju pemerintah ikut serta merumuskan undang-undang tegas guna melindungi kaum perempuan, di sana bahkan terdapat organisasi-organisasi dan pusat-pusat layanan rumah tangga yang memberikan jaminan perlindungan terhadap perempuan yang rentan kekerasan, di Jerman misalnya, pada tahun 2004 tercatat 73 organisasi.
Faktor-faktor Munculnya Aksi-aksi Kekerasan
Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi tindak kekerasan terhadap perempuan, di antaranya:
Pertama, adanya ketidaksamaan bagi sebagian laki-laki: disebabkan oleh kondisi mental sejak kecil, atau tekanan mental untuk bekerja, sehingga kadang-kadang seorang laki-laki merasa tersaingi oleh istrinya yang mempu bekerja seperti dirinya, atau karena ia berasal dari keluarga yang menganggap pemukulan terhadap perempuan sebagai hal yang lumrah dan biasa.
Kedua, menurut Dr. Abdul Hamid Ismail al-Ashari[3], adalah menyebarnya pemahaman-pemahaman yang salah di tengah masyarakat, di antaranya:
a. Pemahaman salah terhadap al-qawâmah (kepemimpinan): sebagian laki-laki memaknai al-qawâmah dengan “penguasaan” dan “hegemoni”. Padahal secara syar`î bermakna “kemampuan melaksanakan sesuatu yang menjadi kemaslahatannya, juga kemampuan memberikan perlidungan, serta kemampuan memberi nafkah, nasehat dan pengarahan.
b. Pemahaman salah terhadap al-rujûlah (kelelakian): sebagian memaknainya bahwa, laki-laki harus kuat, keras dan tegas, sebab perempuan bagi mereka, hanya menghormati suami yang memukulnya, bukan suami yang halus, lembut dan toleran.
c. Pemahaman salah terhadap al-taujîh (memberi arahan) dan al-irsyâd (memberi nasihat): terdapat pemahaman salah yang menyebar di masyarakat awam, bahwa laki-laki boleh memukul istrinya yang durhaka sebagai hukuman lazim, dan ini merupakan hak yang telah diberikan oleh al-Qur’an. Pemahaman seperti ini adalah benar, namun bila dikemukakan tanpa memberikan komentar yang sesuai akan memberikan kesan keliru, apalagi dengan embel-embel kata hukuman lazim. Kalau dilihat, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Alwi Shihab[4], al-Qur’an memberikan tahapan yang hendak ditempuh oleh suami terhadap istri yang durhaka demi mempertahankan kelangsungan keluarganya. Pertama, nasihat, kedua, menampakkan ketidaksenangan dengan meninggalkannya dari pembaringan (bukan dari rumah)—dalam arti menahan diri tidak berhubungan seks dengannya—dan ketiga memukulnya. Di sini terlihat dengan jelas bahwa memukul adalah alternatif terakhir. Tetapi jangan kemudian kata “memukul” ini dipahami dalam arti “menyakiti.” Rasulullah Saw. mengingatkan agar “Jangan memukul wajah dan jangan pula menyakiti.” Pada suatu kesempatan beliau bersabda, “Tidaklah kalian malu, memukul istri kalian, seperti memukul keledai?” Malu bukan saja karena memukul, tetapi juga malu karena gagal menemukan titik temu dengan istri atau mendidiknya dengan nasehat. Jadi jelas sekali bahwa memukul bukanlah sesuatu yang terpuji. Andaikata memukul adalah perbuatan terpuji, maka Rasulullah akan melakukannya mengingat beliau adalah pendidik sejati, tetapi beliau sama sekali dan belum pernah selama hidupnya memukul perempuan.
d. Pemahaman salah terhadap karakter atau watak perempuan: ada yang menganggap bahwa perempuan diciptakan secara “bengkok”, maka memukul adalah satu-satunya cara untuk meluruskannya.
e. Pemahaman salah terhadap hak ketaatan: bagi sebagian orang, ketaatan perempuan adalah ketundukan, kesabaran menerima penghinaan atau pukulan tanpa melayangkan protes dan mengeluh, serta bersabar untuk tidak ikut campur suami dalam mengatur rumah tangga.
Ketiga, tipe pendidikan yang ada di masyarakat: secara umum masyarakat kita adalah masyarakat patriarkis, yang mendidik laki-laki untuk menjadi “pemimpin” atau “majikan” yang ditaati dengan banyak hak dan keistimewaan, bahkan seorang ibu mendidik anak laki-lakinya untuk menjadi semacam “Fir`aun”, sedangkan saudara perempuannya dididik tanpa memiliki kepribadian. Perempuan harus mentaati saudara laki-lakinya dan tidak boleh durhaka terhadapnya. Anak laki-laki lebih dipentingkan dan diistimewakan oleh ibunya, di mana kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya diampuni. Sedangkan anak perempuanya ketika melakukan kesalahan langsung dihukum sebab “darahnya” merupakan harga bagi kesalahannya. “Fir`aun” yang hegemonik dan refresif terhadap saudara perempuannya ini adalah hasil dari pendidikan seorang ibu yang diskriminatif sejak kecil.
Keempat, sistem pendidikan: menentukan peran ideal perempuan di masyarakat, perempuan hanya dibebani dengan aktivitas seperti memasak, mencuci, menjahit (dapur, sumur, kasur), sedangkan laki-laki tugasnya adalah berfikir, menulis dan menyelesaikan tugas-tugas besar. Banyak sekali buku-buku studi yang dirumuskan berdasarkan prinsip “perempuan memasak, laki-laki berfikir”, bahkan pada level unversitas sekalipun banyak buku studi yang menegaskan keparipurnaan laki-laki dan kemampuan otaknya, berbalik dengan kekurangan perempuan, luapan perasaan serta kelemahan otaknya.
Kelima, sistem budaya pada masyarakat kita:—lama atau baru—menempatkan perempuan pada posisi marjinal dan menegaskan ketundukannya terhadap laki-laki. Laki-lakilah yang kuat, laki-lakilah yang lebih tinggi, maka sudah sepantaskan kalau dia menasehati dan memerintah, bahkan memukul perempuan.
Keenam, pengaruh informasi: semakin meneguhkan otoritas laki-laki di atas perempuan. Lihat saja misalkan di film-film atau sinetron-sinetron dan yang lainnya, di mana perempuan harus mengampuni dan mentolerir kesalahan-kesalahan yang diperbuat laki-laki—bintang film—yang meninggalkan rumah setelah tertarik kepada perempuan lain (selingkuh) atau WIL, adapun sang istri harus memelihara anak-anaknya dan menjaga rumah dengan penuh kesabaran. Kemudian di akhir cerita film tersebut si laki-laki kembali ke rumahnya dengan penuh penyesalan, dan sang istri dituntut untuk mengampuninya.
Ketujuh, sistem undang-undang:
a. Lemahnya undang-undang hukum: jika laki-laki memukul atau mencaci istrinya dianggap sebagai kesalahan ringan, dan bila pemukulan itu berakibat pada kematian sang istri, hukumannya ringan sekali, hanya hukuman kurung tiga tahun.
b. Keberpihakan undang-undang kepada kepentingan laki-laki: perempuan tidak punya hak untuk mengajukan talak jika sang suami mandul, akan tetapi suami punya hak mentalaknya jika dia mandul.
Di sana juga banyak faktor lain, misalnya suami yang doyan mabuk-mabukan atau main judi, rendahnya kualitas pendidikan dan ekonomi suami. Di samping juga lemahnya “nurani keagamaan”, di mana ada sebagian kaum muslimin yang melaksanakan ritual-ritual serta ibadah-ibadah keagamaan seperti shalat, puasa dan haji sebagai formalitas saja, sehingga tidak dapat mempengaruhi nuraninya, tidak mendidik prilakunya dan tidak memperbaiki pergaulannya.
Ibu Kita, Saudari Kita, Jangan Disakiti!
Kenapa kita harus mencegah kekerasan terhadap perempuan?
Pertama, karena perempuan adalah ibu kita dan saudari kita. Jika kita tidak benar-benar menghormati dan menghargainya, dan tidak mencegah tindak kekerasan terhadapnya, maka dia tidak akan memiliki mental yang tangguh, sehingga konsekuensi yang muncul kemudian adalah ketidakmampuannya memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anaknya guna membangun masyarakat yang kokoh, sebab orang yang selalu tertekan dan dihantui perasaan takut tidak bisa diharapkan mampu membangun masyarakat yang baik.
Kedua, masyarakat-masyarakat kita menghadapi banyak problem, semisal pendidikan dan ekonomi. Salah satu faktornya adalah lemahnya kualitas perempuan. Bila kita mempelakukannya dengan baik—sebagaimana anjuran Nabi—dan memperkuat kepribadiannya, ini akan sangat berpengaruh pada kekuatan masyarakat. Dari itu kita mesti memperbaiki kualitas pendidikan perempuan guna meneguhkan mentalnya, sehingga dia mampu mendidik anak-anaknya untuk menjadi pemimpin masa depan.
Solusinya Apa?
Ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk dapat lepas dari tradisi negatif (tindak kekerasan terhadap perempuan) ini:
Pertama, terlebih dahulu kita harus sepakat bahwa menghina perempuan adalah perbuatan kriminal.
Kedua, membebaskan tradisi, secara keseluruhan, dari “noda-noda hitam” dan kesewenang-wenangan terhadap perempuan.
Ketiga, menghapus gambaran negatif terhadap perempuan dari buku-buku studi, gambaran bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah.
Keempat, perbaikan kultural yang mencakup seluruh media informasi guna menjelaskan pemahaman-pemahaman yang benar dalam kaitannya dengan interaksi antara kedua jenis.
Kelima, menaruh perhatian kepada para pasutri (pasangan suami-istri) berkenaan dengan hak dan kewajibannya.
Keenam, membangun pusat-pusat yang secara khusus memperhatikan kehidupan rumah tangga, yang sewaktu-waktu dapat dimintai arahan oleh perempuan yang rentan kekerasan guna menentukan sikap.
Ketujuh, memperkuat “nurani keagamaan” antara kedua jenis dengan menyebarkan budaya yang baik dan memperbaiki pemahaman-pemahaman sosial yang salah.
Kedelapan, mempertegas hukuman (punishment) terhadap segala bentuk kekerasan.
Kesembilan, melakukan tinjauan ulang terhadap undang-undang demi menghilangkan berbagai bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan teks-teks agama, terlebih lagi dengan kehidupan sosial masyarakat.
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Diambil dari judul lagu Ada Band. Makalah ini disampaikan pada acara diskusi bulanan Qalam Circle IKBAL Korda Cairo.
[2] Majalah al-Arabi, edisi 548, Juli 2004.
[3] Pengantar dalam buku “Muhammad dan Isa” karya William E. Phipps