Konflik Agraria;
Kapitalisme, Perampasan Tanah Global dan Hilangnya Nasionalisme
KAMIS, tanggal 08 Maret 2012, Rumah KitaB mengundang Dr. Noer Fauzi Rachman, Kepala Studio Studi Agraria di Sajogyo Institute, untuk memberikan kuliah tentang “Konflik Agraria dan Implikasinya terhadap Konflik Horizontal/Komunitas”. Sarjana jebolan University of California ini mengulas secara panjang lebar tentang kapitalisme dan cara kerjanya yang mendapatkan sokongan langsung dari pemerintah Indonesia. Di depan para audien yang terdiri dari para aktivis Rumah KitaB dan para aktivis lembaga-lembaga lain, pakar studi agraria ini mengatakan bahwa Orde Baru di bawah Pimpinan Soeharto, pada pertengahan dekade 1960-an telah merampas kedaulatan rakyat atas tanah untuk kedua kalinya setelah pemerintahan kolonial melakukan cara serupa semasa penjajahan sebelumnya. Badan-badan pemerintahan mulai memagari lahan-lahan konsesi dan mengeluarkan para penduduk dari wilayah itu. Hubungan dan cara komunitas lokal menikmati hasil dari tanah dan alam telah diputus melalui pemberlakukan hukum, penggunaan kekerasan, pemagaran wilayah secara fisik, hingga penggunaan simbol-simbol baru yang menunjukkan status kepemilikan yang tidak lagi dipangku oleh mereka.
Tulisan di bawah ini merupakan perasan dari ceramahnya yang sangat panjang. Cerita-cerita tentang pengalaman penelitiannya dalam persoalan agraria paling tidak telah menumbuhkan sebuah kesadaran bahwa saat ini Indonesia sedang terancam kesatuannya. Betapa tidak, perampasan tanah rakyat melalui konsesi tanah oleh badan-badan pemerintah telah menyebabkan beberapa wilayah Indonesia menghendaki kemerdekaan, keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
*****
APA itu konflik agraria? Tidak lain—sederhananya—adalah suatu pertentangan klaim antara satu pihak dengan pihak lain atas tanah, wilayah dan kekayaan alam. Pertentangan klaim ini biasanya terjadi antara rakyat dan perusahaan-perusahaan besar yang mendapatkan konsesi dari bagian-bagian pemerintah. Misalnya, pihak A mengklaim kepemilikan terhadap suatu tanah sebagai wilayah hidupnya, kemudian pihak B—katakanlah perusahaan HTI (Hutan Tanaman Industri) yang hendak menanam pohon-pohon untuk produksi seperti tisu—juga mengklaim memiliki tanah tersebut karena sudah mendapatkan izin resmi berupa konsesi dari pemerintah.
Sejak masa Orde Baru, perusahaan-perusahaan HTI telah menggarap hampir 16 juta hektar tanah di seluruh Indonesia. Sementara total keseluruhan hutan Indonesia luasnya mencapai 127 juta hektar. Dari luas hutan tersebut, 64 juta hektarnya adalah hutan-hutan dengan konsesi HPH (Hak Penguasaan Hutan), termasuk juga HPHTI (Hak Penguasaan Hutan Tanaman Industri). Ketika suatu perusahaan HTI bekerja, itu harus mendapatkan SK dari Menteri Kehutanan. Repotnya, SK (Surat Keputusan) dari Menteri Kehutanan ini memasukkan tanah dan wilayah berkekayaan alam rakyat di dalam konsesi.
Pertanyaannya, mengapa Menteri Kehutanan membuat SK yang memasukkan tanah/wilayah dan kekayaan alam rakyat itu ke dalam kawasan konsesi? Rupanya ada konstruksi hukum di dalam undang-undang kehutanan yang dibuat tahun 1967 (undang-undang nomor 5 tahun 1967) yang mengatakan bahwa ketika menteri menunjuk suatu wilayah sebagai kawasan hutan, maka hak-hak penduduk yang ada di wilayah menjadi hak milik negara—hak-hak tanah, wilayah dan kekayaan alam itu adalah milik negara. Dan ketika itu menjadi milik negara, maka menteri berhak memberikan otoritasnya terkait tanah tersebut. Mengapa bisa begitu? Karena undang-undang 5 tahun 1967 ini mengandung suatu konsepsi politik hukum yang dikenal dengan “Domain Verlklaring”, yang ternyata pernah diterapkan pada tahun 1870 dalam undang-undang agraria di masa Hindia-Belanda.
Sekedar informasi, “Domain Verlklaring” mempunyai prinsip, bahwa apabila pada masa tertentu negara mengalami kemiskinan, maka pemerintah akan menjual bidang-bidang tanah kepada orang-orang kaya dari masyarakat. Orang-orang kaya itu kemudian diberikan suatu jenis hak tertentu, dan yang paling besar adalah yang disebut “tanah partikelir”. “Tanah partikelir” adalah tanah pertuanan, di mana si pemilik tanah selain memanfaatkan tanah juga berhak mengambil pajak langsung kepada pribumi yang berada dalam kawasan yang diklaim sebagai tanahnya tersebut.
Pada masa Hindia-Belanda, dalam konteks “tanah partikelir”, tanah yang dijual pada waktu itu sekitar 1.6 juta hektar, yaitu di daerah Jawa dan di Sulawesi Selatan. Kepada orang-orang kaya tersebut diberikan hak-hak yang disebut “eigendom” (kepunyaan/milik). Dan siapapun penduduk yang tidak mendapatkan hak “eigendom”, maka tanahnya adalah milik negara. Di dalam undang-undang agraria tahun 1870 terdapat suatu peraturan bahwa untuk tanah-tanah yang sedang dipakai oleh masyarakat adat, itu dilarang untuk—istilahnya—“diasingkan”, tanah-tanah itu dibiarkan hidup.
Beberapa perusahaan, begitu mendapatkan konsesi dari pemerintah Hindia-Belanda, bertindak sewenang-wenang, bahkan banyak mengambil tanah rakyat. Ketika 1.7 juta hektar di Sumatera Timur dibuka, maka orang-orang yang tanahnya diambil itu akan menjadi tenaga kerja (buruh) di kebun-kebun perusahaan-perusahaan tersebut. Kalau tanah bapak kita yang diambil, mungkin kita masih bisa merasakan kemarahannya. Tetapi kalau yang diambil tanah kakek kita, kita mungkin sudah tidak lagi merasakan kemarahannya, kita hanya akan merasa bahwa kita tidak punya tanah. Dan kita, ketika merasa sudah menjadi orang miskin, harus berjuang dan pergi ke Sumatera Timur, dan jadilah kita orang-orang yang dipergikan oleh perusahaan-perusahaan tersebut.
Pada masa Orde Baru, dari 127 juta hektar hutan, 64 juta hektar itu diberikan kepada perusahaan-perusahaan. Bob Hasan, yang pada waktu itu mempunyai perusahaan terbesar, mendapatkan konsesi dengan total 5.6 juta hektar hutan. Konsesinya didapatkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan. Jadi, tidak ada proses beli. Inilah caranya menguasai negara. Dan semua itu berlangsung terus dari 1969 sampai 1998.
Orde Baru melakukan itu dimungkinkan karena: (1) Mereka telah membekukan undang-undang pokok agraria nomor 5 tahun 1960, karena undang-undang ini hendak menghapuskan “Domain Verlklaring” yang dianggap sebagai sumber penindasan; (2). Mereka telah membunuhi orang-orang komunis dan orang-orang dituduh komunis, dan (3). Mereka telah memenjarakan para perintangnya.
Pada tahun 1919 terdapat sebuah buku berjudul “Rakyat Indonesia dan Tanahnya”. Di dalamnya disebutkan bahwa pada waktu itu adalah seabad ketidakadilan. Karena sejak ada klaim tanah negara, rakyat Indonesia telah kehilangan hak atas tanahnya. Buku ini sangat terkenal di kalangan para pembuat undang-undang Indonesia, termasuk Soekarno dan Hatta, sehingga ada upaya besar untuk merubah undang-undang “Domain Verlklaring” itu. Tetapi kemudian oleh Orde Baru undang-undang ini dihidupkan kembali, undang-undang pokok agraria dibekukan, oposan-oposan utama Orde Baru dibunuhi dan ditumpas, dan elit-elit politiknya dikonsolidasikan.
Selain itu, ada upaya unifikasi partai politik sehingga menjadi tiga partai saja, semua orang dikorporatisasi, semua pemerintahan daerah dibentuk seragam. Desa-desa harus memakai model desa Jawa dengan undang-undang nomor 5 1974 dan undang-undang pemerintahan daerah, birokrasi pemerintahan bukan cuma dari menteri dalam negeri, tetapi juga gubernur, bupati, camat, dan kepala desa. Semuanya sama di seluruh desa. Tidak ada lagi konstitusi adat di dalam struktur birokrasi itu. Selain itu, struktur birokrasi itu juga ada Kodam, Kodim, Korep, Koramil, dan Babinsa. Kalau di kepolisian ada Polri, Polda, Polwil, Polres, Polsek, dan Babintaktinas kepala desa. Semuanya serba terkendali, dan tidak ada seorangpun yang mampu melawan Orde Baru pada waktu itu.
Jadi, perampasan tanah adalah modus kerja dari rezim Orde Baru, sebagai cara di mana kekayaan itu dikumpulkan dan distribusikan dan kemudian terbentuklah apa yang kita kenal dengan “konglomerasi”. Inilah rezim yang layak disebut dengan “ektrakstif rezim”, rezim tukang keruk. Bukan hanya pohon-pohon kayu yang dikeruk, tetapi tambang juga dikeruk. Sebelum Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia, pemerintah Indonesia sudah memberikan konsesi pertambangan sebesar 200 ribu hektar kepada perusahaan-perusahaan. Kemudian pada tahun 1995 diperluas menjadi 1.5 juta hektar. Perusahaan-perusahaan pertambangan kemudian bekerja dan sampai sekarang menjadi 7.5 juta hektar.
Dengan industri-industri orientasi eksport, kita ingat, ketika harga minyak turun pada tahun 1978-an, dan pendapatan minyak Indonesia menurun, pemerintah Indonesia kemudian mulai merencanakan eksport non-migas. Hal ini mengakibatkan perubahan dari industri subtitusi import menjadi industri orientasi eksport, makanya kawasan-kawasan industri tumbuh di mana-mana, termasuk di wilayah-wilayah hulu, seperti di Bandung Selatan, Majalaya. Tentu saja, wilayah-wilayah industri membutuhkan pengadaan tanah, yang tak lain diambil dari tanah rakyat. Makanya dibuatlah undang-undang pembebasan tanah, undang-undang pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang boleh digunakan oleh perusahaan swasta. Ini namanya rezim untuk tanah pembangunan.
Setelah itu mulai berkembang apa yang disebut pengembangan “agro industri”, di mana perkebunan-perkebunan dihidupkan kembali. Kita tahu bahwa Indonesia pada waktu itu mulai menetapkan—atas saran dari Bank Dunia—ingin menjadi produsen utama minyak sawit atau palm oil. Sekarang kita lihat, setiap rumah tangga menggunakan minyak sawit, yang tadinya minyak goreng bermerek “Barco”. Sekarang yang ada sekarang adalah minyak goreng “Filma”, “Bimoli”, dan itu adalah palm oil. Meskipun minyak “Barco” itu sekarang masih ada, tetapi mahal sekali, karena memang terbuat dari kelapa murni, bukan kelapa sawit. Bukan hanya minyak, tetapi sampoo, lotion, sabun, minyak rambut, itu semua palm oil. Dan sekarang, 11.5 juta hektar tanah Indonesia dialokasikan untuk palm oil. Dengan luas seperti ini membuat Indonesia menjadi nomor 1 di dunia dalam hal produksi palm oil, mengalahkan Malaysia.
Melalui model konsesi seperti itulah kapitalisme di Indonesia tumbuh. Tetapi, ini bukan modelnya orang berusaha keras, mengumpulkan kekayaan dari usaha peras keringat banting tulang, melainkan dari konsesi yang diberikan pemerintah kepada perusahaan-perusahaan besar. Ini yang saya sebut dengan “kapitalisme konsesionalis”, artinya hidup dari konsesi. Konsesi inilah yang memasukkan tanah-tanah adat, yang pada zaman Soeharto tidak pernah tampil ke permukaan.
Dengan demikian, pertentangan klaim, atau konflik agraria, itu sebenarnya sudah berlangsung sejak lama, sudah sangat kronis. Ada orang-orang yang tidak melawan, dan mereka terpaksa pergi meninggalkan tanah kelahirannya, menjadi proletariat (kaum buruh). Mereka adalah orang-orang yang terlempar dari tanah pertanian, yang karena tidak lagi punya wilayah hidup akhirnya pergi ke kota. Dan kita tahu, pada masa Orde Baru terjadi imigrasi besar-besaran ke kota sebagai bagian dari urbanisasi. Mereka yang terproletarisasi menjadi tenaga kerja bebas dan tidak segera terserap ke dalam industri. Terlalu banyak orang yang terlempar menjadi apa yang disebut Karl Max “surplus population”, atau suatu penduduk yang berkelebihan yang tidak sanggup ditampung di dalam dunia pekerjaan industri. Pemberian konsesi atau hak-hak izin tanah telah menyebabkan hal itu.
Dan yang sangat merepotkan adalah, setiap ada proses produksi baru selalu disertai dengan imigrasi. Orang-orang Madura, misalnya, itu pergi berbondong-bondong dari Madura ke Kalimantan tanpa diorganisir dalam suatu skema seperti transmigrasi. Di sana mereka bekerja mulai dari penebangan kayu sampai pelabuhan. Lama-kelamaan, setelah semakin kuat, mereka membuat kampung sendiri di sana. Karena sudah memiliki kampung sendiri, mereka kemudian tampil dan menjalin relasi dengan kekuasaan politik, masuk Golkar dan partai lainnya, bahkan sampai ada yang menjadi bupati di tempat itu. Nah, orang-orang Dayak seperti di Sanggau, merasa tanah mereka diambil; orang Madura berkuasa dari hutan sampai ke pelabuhan, jabatan diambil, dan bahkan mempekerjakan penduduk setempat hanya sebatas pegawai. Inilah sumber utama permasalahannya. Orang-orang Dayak kemudian berpikir, mereka tidak mungkin bisa melawan perusahaan-perusahaan besar itu, lebih baik melawan tetangga sendiri yang sudah membuat kampung sendiri di wilayah mereka.
Jelas sekali, konflik Madura-Dayak di Sanggau, Sampit, dan juga Sambas, akarnya adalah suatu proses seperti di atas. Dan terjadilah suatu masa di mana rezim Orde Baru kehilangan kendali, otoritarianisme kehilangan legitimasinya, tentara-tentara tidak lagi mencengkram, kerja-kerja birokrasi sudah kehilangan kepercayaan. Kondisi ini, dipergunakan oleh orang-orang Dayak untuk mengambil tanah mereka kembali. Mereka mulai mendefinisikan siapa musuh mereka. Mereka sudah tidak percaya lagi kepada yang namanya “Republik Indonesia”. Kenapa? Kalau pada masa Hindia-Belanda yang mengambil tanah membawa surat dengan cap “Singa”, maka pada masa Orde Baru membawa surat dengan cap “Garuda Pancasila”. Melihat kenyataan seperti ini, orang-orang Dayak tentu tidak akan mengandalkan mekanisme penyelasaian resmi, akan tetapi mereka kembali kepada identitas adat. Jadi, transformasinya dari warga setempat, dari ikatan-ikatan etnis dan adat. Karena untuk masuk ke “warga negara Indonesia” mereka sudah distop dan blokir oleh surat bercap “Garuda Pancasila” dan aparatus keamanan.
Jadi, konsekuensi besar dari perampasan tanah berlipat ganda. Kalau para ekonom mengatakan bahwa setiap usaha ekomomi pasti ada multiplayer effect, maka kita juga mengatakan bahwa setiap usaha perampasan tanah pasti ada multiplayer effect, termasuk adalah hilangnya rasa keindonesiaan, tidak ada lagi nasionalisme, karena negara tidak berfungsi sebagai alat kesadaran kewarganegaraan. Bagian-bagian dari pemerintah seperti Departemen Kehutanan, ataupun Badan Pertanahan Nasional, ataupun Menteri Pertambangan, mereka sendiri adalah penyebabnya, karena SK-SK pejabat publik inilah yang menjadi penyebab konflik agraria tersebut dengan asumsi bahwa tanah rakyat adalah tanah negara. Proses negaraisasi tanah/wilayah dan kekayaan inilah yang menjadi dasar politik hukumnya, yang diajarkan di perguruan-perguruan tinggi. Melalui pengajaran-pengajaran itulah maka orang-orang yang merasa menjadi “orang-orang Indonesia” itu punya hak untuk menentukan—ketika sudah menjadi pejabat—bahwa tanah rakyat dibolehkan untuk diambil dan dirampas. Apa yang haram, itu buat menjadi sesuatu yang tidak hanya halal, tetapi sesuatu yang wajib.
Nah, sekarang, kalau orang-orang yang terampas tanahnya itu menginginkan kemerdekaan, apakah mereka salah? Karena kalau dilihat, dalam konteks studi agraria, aspirasi kemerdekaan selalu berkaitan dengan perjuangan hak atas tanah. Dan memang, kalau kita membaca laporan-laporan bagaimana partai-partai politik Indonesia dibentuk, mulai dari Sarekat Islam, Muhammadiyah, kemudian Partai Komunis Indonesia, PNI, akan kita temukan bahwa semua itu dasarnya adalah perjuangan agraris yang kemudian diformulasikan untuk membentuk negara baru sebagai jembatan emas. Dan agenda pertamanya adalah penataan agraris karena tanah rakyat dirampas, dan hak atas tanah itu adalah bagian dasar dari kemerdekaan nasional.
Perampasan tanah menjadi pemicu utama hilangnya rasa nasionalisme. Sebenarnya, nasionalisme dalam soal agraris pernah berkembang dalam rentang waktu 20, yaitu dari tahun 1945 sampai tahun 1965. Ini adalah masa yang sangat pendek kalau lihat dari tahun 1800 di mana kolonialisme mulai mengambil tanah-tanah rakyat di Periangan Timur sampai sekarang 2013. Jadi, masa nasionalisme di bidang ini adalah pembentukan dasar-dasar politik hukum baru yang disebut “hak menguasi wilayah negara”, yaitu dibuatnya suatu konsepsi politik hukum baru yang begitu besar kewenangannya: bahwa pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk menetukan hubungan hukum antara penduduk/pihak-pihak/subyek hukum dengan tanah dan kekayaan alam, baik hubungan milik, sewa, ataukah tidak punya tanah. Selain itu, pemerintah pusat juga punya kewenangan untuk menentukan perbuatan hukum, misalnya menganggap penduduk sebagai pencuri atau sebagai pemilik, bahkan juga memiliki kewenangan untuk perencanaan alokasi.
Nah, kewenangan besar pada waktu itu dibuat sedemikian rupa karena pemerintah ingin mengambil kekayaan-kekayaan yang telah rampas oleh kolonial untuk diredistribusikan. Tanpa kewenangan besar semacam itu tidak mungkin. Namun, begitu Soekarno jatuh dan diganti oleh Soeharto sebagai punggawa rezim Orde Baru, politik hukum kemudian berubah, orientasi mau ke mana tanah itu dipergunakan berubah. Pemerintah Orde Baru ingin melanjutkan kolonialisme.
Pada tahun 1969 dan 1972, beberapa wilayah di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat diberikan kepada perusahaan-perusahaan asing sebagai kompensasi atas jasa-jasa mereka yang telah membantu menggulingkan Soekarno. Artinya, memang ada upaya menghabisi praktek-praktek 20 tahun nasionalisme, meskipun sedimennya (endapannya) masih berdiam di dalam dokumen-dokumen negara, baik itu undang-undang dasar 1945 dan undang-undang pokok agraria. Pada masa sekarang, kita tidak menemukan lagi di dalam perundang-undangan yang sekarang diproduksi atau yang diproduksi Orde Baru kata “sosialisme Indonesia”. Kata ini hanya ada di dalam undang-undang pokok agraria.
Nah, ada beberapa peneliti agraria yang mencoba menghidupkan kembali bahwa nasionalisme seharusnya dijadikan pegangan karena sekarang ini sudah terlampau kronis. Orang sudah dipegang, cara pikirnya sudah sedemikian tergerus untuk mendukung kapitalisme berkembang. Padahal, kapitalisme itu tidak akan pernah berhenti melakukan akumulasi kekayaan. Dan tugas kita menghidupkan kembali alat-alat analitis ini supaya kita bisa melihat. Kapitalisme ini harus dibikin menjadi tidak alamiah. Orang sudah menganggap bahwa kapitalisme ini bukan sekedar jahat, tetapi dianggap alamiah, sudah dengan sendirinya harus bekerja begitu. Dan cara untuk bekerja itu adalah dengan menutupi bahwa perampasan tanah ini adalah sesuatu yang keliru.
Indonesia kekayaan gas alamnya paling besar di seluruh dunia. Di Papua, ada gas yang sangat luar biasa. Kemudian juga batu bara, Indonesia adalah eksportir terbesar di dunia. Kalau kita ke Kalimantan Selatan, seperti ke kota baru di Banjarmasin, itu setiap sore kita akan menderita di kota itu. Kenapa? Karena di sana truk-truk batu bara mengantri untuk mengisi solar. Sekitar 3 km truk-truk itu sudah antri. Dan batu bara itu diangkut dari pedalaman masuk ke pelabuhan. Kota Balikpapan dikelilingin oleh konsesi-konsesi batu bara kecil-kecil. Di sana, dengan hanya menggali dua meter, kita sudah akan mendapatkan batu bara. Batu bara ini kemudian dieksport ke China, Korea, atau ke India, wilayah-wilayah di mana pemanasan global sedang berlangsung karena pabrik berkembang cepat sekali di sana.
Kemudian panas bumi, Indonesia itu menyimpan 40% dari cadangan panas bumi dunia. Ada panas bumi yang terperangkap 2-3 km di bawah permukaan di gunung berapi seperti Derajat, di Garut, gunung Muria atau di Dieng. Jadi, Indonesia adalah kawasan paling hebat, kepulauan dengan gunung api paling banyak. Dan panas yang terperangkap di dalam bumi ini ditusuk sedikian rupa sehingga dapat mengeluarkan uap-uap panasnya, lalu dimasukkan ke katel, katel itu akan memberikan uap, uap itu akan membuat dorongan kepada turbin, dan turbin itu akan menghasilkan listrik. Siapa yang menguasai itu? Tak lain adalah Chevron yang merupakan salah satu perusahaan terbesar di Amerika. Sefron beroperasi di Indonesia dan akan mengklaim memproduksi “green energy”, yaitu produksi listrik dengan menggunakan panas bumi. Siapa yang membeli listriknya? Tak lain adalah PLN.
Lalu minyak kelapa sawit, sekarang sudah mencapai 19 juta ton per tahun. Artinya, Indonesia menjadi produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Kemudian kakau, Indonesia adalah produsen terbesar kedua atau ketiga di dunia, bersaing dengan Pantai Gading, nomor satunya adalah Ghana. Kemudian timah, Indonesia adalah produsen terbesar kedua produksi timah. Kemudian nikau, Indonesia menyimpan cadangan nikau terbesar nomor 4 di dunia. Dan seterusnya. Itu adalah kekayaan alam semua. Indonesia ini besar, negara kepulauan paling besar di dunia dengan variasi kekayaan alam yang sangat luar biasa, dan menjadi tempat di mana kapitalisme konsesioner bekerja untuk produksi global.
Tawaran dan Rekomendasi
Apa yang dapat kita rekomendasikan kepada pemerintahan SBY dalam menyelesaikan konflik agraria? Bukanlah sesuatu yang mudah untuk merekomendasikan kepada suatu penyakit di mana dokter melihat penyakit itu sudah kronis dan komplikasinya sudah sedemikian parah.
Namun, bagaimanapun parahnya, masih ada beberapa cara yang bisa ditempuh, meski tidak mungkin—dan memang mustahil—untuk menyelasikan konflik-konflik yang ada secara menyeluruh. Pertama, secara sederhana dan praktis, harus ada jaminan bagi orang-orang yang tersingkir karena tanahnya sedang dirampas. Mereka harus mendapatkan perlindungan dari negara. Jangan biarkan mereka terlunta-lunta, jangan dikerasi, dan jangan dibunuh. Klaim mereka dihargai, didaftar dan diproses. Mereka bukanlah orang-orang yang harus dicap sebagai para penggarap hutan atau sebagai pendatang. Artinya, harus ada badan negara yang sanggup membuat mereka itu berkurang penderitaannya. Negara harus membuat suatu badan atau mekanisme yang dapat menunjukkan wajah budiman Negara Republik Indonesia kepada para korban itu. Jangan sampai ada orang-orang seperti 48 orang pulau Padang yang menjahit mulutnya dan kemudian mendatangi kantor DPR dan diam di sana selama 2 minggu. Karena wilayah hidup mereka, pulau mereka, itu dimasukkan dalam kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Itu yang namanya membuat rakyat yang sudah terlempar dari tanah itu hidup. Kalau perlu kasih saja transfer uang dari BTL (bantuan tunai langsung). Atau bisa juga melalui “conditional cash transfer” sebagai upaya untuk menguragi kemiskinan dan sebagai bamper untuk dana menghadapi kenaikan guncangan tiba-tiba dari harga di pasar. Atau, pemerintah bisa menyiapkan paket-paket 3 milyar untuk setiap kabupaten atau kecamatan, di mana masyarakat diminta berkelompok untuk membuat proposal dengan dibantu fasilitator. Karena kalau tidak begitu, mereka akan mati. Kebijakan ini akan membuat mereka yang sudah terampas tanahnya dan sudah terlunta-lunta tidak mati. Dan pemerintah harus memilih, apakah akan melayani perusahaan-perusahaan raksasa itu, atau memikirkan mereka yang terlunta-lunta.
Kedua, ini juga yang perlu dipikirkan, melakukan reformasi untuk Indonesia yang lebih baik, yaitu dengan mengumpulkan kekayaan yang telah dicuri untuk diredistribusi. Menyelamatkan mereka yang hampir mati adalah perbuatan sangat mulia, tetapi politik redistribusi adalah amanat konstitusi. Nasib-nasib masyarakat yang terampas tanahnya sangat merana, dan mereka menuntut suatu keadilan, memanggil keadilan. Dan keadilan tidak bisa tidak harus menggunakan redistribusi. Tanah-tanah yang sudah terkonsentrasi harus diredistribusi. Dan Indonesia memungkinkan itu, kenapa? Karena perusahaan-perusahaan tidak bekerja dengan “sistem hukum milik”, tetapi dengan “sistem hukum hak guna” atau hak untuk memanfaatkan dalam periode waktu tertentu. Umpamanya HPHTI yang 64 juta hektar, dalam waktu 35 tahun bisa habis masa berlakunya. Lantas, kalau sudah demikian, HPH-nya mau dikemanain? Indonesia bukannya tidak cukup untuk produksi makanan, tetapi kenapa kok dipakai untuk industri palm oil, batu bara, nikel dan bauksit, ketimbang produksi makanan? Sehingga kita harus makan membeli jeruk dari China, misalnya. Pada periode yang lalu, jeruk itu dimonopoli, sehingga orang tidak bisa mengeluarkan jeruk dari Kalimantan Barat kecuali melalui Badan Penyangga Pemasaran Jeruk yang pimpin dan dimiliki oleh Tommy Soeharto. Akibatnya, jeruk-jeruk itu terbuang begitu saja di jalanan. Dan kemudian pohon-pohon jeruk itu lebih baik ditebang, karena biaya memanennya lebih mahal daripada menjualnya. Dan sekarang jeruk begitu langka sehingga datanglah jeruk-jeruk dari luar. Bahkan sekarang jeruk Pontianak lebih mahal daripada jeruk dari luar karena memang sudah langka.
Proses redistribusi sangat memungkinkan, tetapi kalau “mindset” pemerintahannya melayani korporasi, itu benar-benar suatu cara untuk memiskinkan rakyat dengan menggunakan argumen kemakmuran, argumen untuk melayani dunia, argumen untuk menyiapkan produksi makanan untuk mengatasi krisis pangan dunia.
Sekarang, di hadapan pemerintah ada dua pilihan, apakah akan meneruskan sistem kolonialisme, atau apakah akan menyelamatkan mereka yang secara praktis mau mati. Pemerintah tidak bisa menyalahkan mereka yang mencoba merebut kembali tanahnya seperti yang terjadi di Jawa Timur, di mana ada orang yang kembali merebut tanahnya di kawasan perkebunan, dan kemudian MUI Jawa Timur memberikan fatwa bahwa merampas tanah perkebunan itu haram. Kalau kita tanya, misalnya, ketika kita mengambil kembali tanah yang dicuri orang lain, dan orang lain itu sudah mensertifikatkan tanah tersebut, apakah itu haram atau halal? Jadi, jangan dipotong bahwa orang mengambil tanah perkebunan. Kalau dilihat secara historis, orang yang mengambil hak miliknya yang telah dicuri oleh perusahaan-perusahaan raksasa dan sudah disertifikatkan dan diresmikan oleh SK-SK negara. Rakyat yang sudah hampir miskin atau dimiskinkan ini mengambil kembali sejumput saja dari tanahnya untuk hidupnya. Apakah kita haramkan kelakuannya itu?
Tuntutan-tuntutan reformasi tanah atau reformasi agraria itu sebetulnya sudah berkembang di mana-mana. Di antaranya adalah Meksiko, 60% tanah Meksiko yang dulunya dikuasi oleh Hassenda-Hassenda besar kemudian diredistribusikan sedemikian rupa selama 30 tahun, sehingga tanah-tanah itu terbagi-bagi ke rakyat secara merata. Tetapi sekarang tanah-tanah itu tengah digerus oleh perubahan-perubahan pembentukan pasar bebas, di mana tanah-tanah yang sudah diredistribusikan itu diambil oleh perusahaan-perusahaan raksasa. Tadinya, tanah-tanah yang sudah diredistribusikan itu tidak boleh diperjual-belikan berdasarkan konstitusi negara. Namun, pada periode berikutnya, konstitusi itu diamandemen oleh sebuah rezim pada 1 Januari 1994. Sehingga amandemen konstitusi ini membangkitkan pemberontakan besar para gerilyawan di negara bagian, Ciapas namanya. Para gerilyawan melalukan pemberontakan gara-gara tanah-tanah rakyat sudah diambil oleh korporasi. Mereka ingin mendorong rakyat mengorganisir diri untuk mengambil tanah-tanah itu kembali. Karena, merampas kembali tanah-tanah yang telah dicuri oleh perusahaan-perusahaan adalah konstitusional sifatnya. Mereka ingin memanggil masyarakat sipil Meksiko untuk kembali kepada asas konstitusi.
Nah, pemerintah dapat mengambil yang seperti itu dengan cara yang berbeda, bahwa konstitusi kita adalah konstitusi yang redistributif yang kaya akan nilai-nilai keadilan. Dalam mukaddimah UUD 1945, misalnya, kita dapat melihat dengan sangat jelas sifat bagaimana pemerintah Indonesia seharusnya menjadi alat bagi proses pemerdekaan. [Roland Gunawan]