**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Wednesday, June 29, 2011
Kapow! (Ketika Ide Penelitian Datang)
PADA acara Training Metode Penelitian tanggal 03 Juni 2011 lalu, Rumah KitaB mendatangkan seorang antropolog dari Universitas Illinois Urbana Amerika, Dr. Jonathan Zilberg. Tema kali ini adalah bagaimana menemukan tema menarik dalam penelitian. Di awal ceramahnya Jonathan menunjukkan sebuah slide yang diambil dari presentasi Dr. Oman Fathurrahman, pakar Filologi dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tentang “The Root of Islam in Indonesia” (Akar Islam di Indonesia). Presentasi itu disampaikan oleh Dr. Oman dalam suatu seminar di Bogor yang diselenggarakan oleh KEMENAG. Dalam data yang—oleh Dr. Oman sendiri—disebut Butterfly itu, terpampang Database of Southeast Asian Islamic Manuscripts. Ada sekitar 1604 manuskrip yang terbagi ke dalam 20 disiplin keilmuan, di antaranya adalah tasawuf, fikih, teologi, hadits, astronomi, filsafat-logika, politik, pengobatan tradisional, dll. Jumlah manuskrip yang paling banyak adalah tasawuf, sekitar 321 manuskrip atau 20%. Sementara hadits hanya 8 manuskrip, filsafat-logika 8 manuskrip, politik 7 manuskrip, dan pengobatan tradisional 5 manuskrip; semua yang disebut terakhir adalah 0%.


Menurut Jonathan, dari sisi pandangan antropologi, data yang dipresentasikan oleh Oman Fathurahman tersebut sebenarnya tidak berbicara apa-apa dikaitkan dengan judul presentasinya “Akar Islam di Indonesia”. Kenapa, misalnya, hadits, filsafat-logika, dan politik itu hanya 0%? Apa artinya itu? Hadits, filsafat-logika dan politik, meski hanya beberapa manuskrip, tidak berarti bahwa itu semua tidak menarik dan tidak penting untuk menjelaskan tentang akar Islam di Indonesia.


Data seperti itu seharusnya memunculkan banyak pertanyaan. Misalnya, apa judul dari setiap kitab? Bagaimana kecenderungannya? Kapan itu ditulis? Kapan itu diketemukan? Di mana itu diajarkan? Siapa yang mengajarkan? Siapa yang diajar? Bagaimana itu diajarkan? Apa yang dipikirkan oleh para murid tentang kitab yang diajarkan itu? Bagaimana itu diproduksi dan reproduksi? Di pesantren mana itu diproduksi atau direproduksi? Pada kenyatannya, sekali lagi, data yang tersaji tidak menjawab apa itu akar dari Islam di Indonesia. Karena itu, judulnya mestinya bukan “Akar Islam di Indonesia”, akan tetapi “Perbandingan Statistik Manuskrip”.


Sebetulnya, menurut Jonathan, banyak hal menarik yang bisa dijadikan tema penelitian. Sebagai contoh, misalnya, berbicara tentang realitas Islam di Indonesia, kita bisa menyoroti perdebatan soal waria. Sebagaimana jamak diketahui, bahwa kaum waria mempunyai kehidupan sendiri di tengah-tengah kehidupan umat Muslim Indonesia. Bahkan, sebelum Islam ada di bumi Indonesia, mereka sudah ada dan membaur dengan masyarakat. Namun, baru-baru ini MUI mengeluarkan fatwa haram terhadap eksistensi mereka, bahkan meminta DEPKES untuk mengatasi para waria itu dengan cara mengobati mereka agar secara fisik tetap menjadi laki-laki. Tetapi yang menarik adalah, FPI yang biasanya suka “ngamuk-ngamuk” ternyata bersikap diam saja terhadap pesantren yang menampung para waria. Dan orang-orang yang ada di sekitar pesantren, misalnya, justru menyelenggarakan acara-acara keagamaan dengan para waria itu. Bagi Jonathan, ini bisa menjadi tema yang menarik.


Setelah itu, Jonathan memperlihatkan sebuah foto yang menggambarkan keberadaan sebuah gereja yang rusak total akibat ulah oknum yang mengatasnamakan agama. Di bawah foto tersebut terdapat statistik hubungan Islam-Kristen di Indonesia dari tahun ke tahun sebelum dan sesudah diberlakukannya peraturan keagamaan. Seperti yang dipresentasikan oleh Oman Fathurahman, data yang diperlihatkan oleh Jonathan juga menggunakan angka-angka, tetapi itu membicarakan sesuatu, yaitu sejarah hubungan Islam-Kristen di Indonesia. Data statistik itu menunjukkan, dalam waktu setahun saja—khususnya setelah diberlakukannya peraturan keagamaan—tiba-tiba angkanya naik sedemikian rupa; semakin bertambah buruk. Hal ini dapat dilihat dari foto yang terpampang yang memperlihatkan kerusakan gereja. Foto itu, menurut Jonathan, bicara. Dan yang menarik untuk diteliti; seorang peneliti harus bertanya kepada masyarakat, ada apa? Kenapa ini terjadi? Harus mencari penjelasan terkait perubahan angka-angka itu.


Contoh berikutnya adalah tentang Syi’ah di Indonesia. Dalam pandangannya, Syi’ah telah melewati sejarah yang cukup panjang dan kemudian masuk ke Indonesia. Meski sebenarnya tidak ada konflik sangat mendasar dengan kelompok Sunni, tetapi kehadirannya di Indonesia menuai penolakan dari berbagai lapisan masyarakat. Yang menarik dari Syi’ah adalah soal isu gender, di mana perempuan mempunyai kedudukan yang sangat mulia bagi mereka. Mereka, misalnya, menggunakan simbol Fatimah dan Zainab. Fatimah adalah simbol dari perempuan maksum, sementara Zainab adalah simbol dari perjuangan. Jadi, dari sisi gender bisa dibilang Syi’ah cukup bagus. Dan ini juga menarik kalau digarap sebagai proyek penelitian.


Jadi, lapangan yang bisa diteliti pada hakikatnya sangat banyak dan kaya. Kalau demikian, bagaimana cara menemukan tema yang menarik? Terkait hal ini, Jonathan mengatakan bahwa setiap orang bisa menemukan tema yang menarik untuk penelitian. Dia sendiri, misalnya, sering mendapatkan ide atau gagasan secara tidak terduga; AHA! Think atau—menurut istilah Jonathan—“Kapow”. Contohnya, belum lama ini dia melakukan penelitian tentang Museum Istiqlal. Padahal, sebelumnya dia tidak pernah sekalipun berpikir tentang hal itu. Dalam artian, dia tidak pernah memilih Museum Istiqlal sebagai obyek penelitiannya, justru Museum Istiqlal sendirilah yang seolah datang kepadanya dan memilihnya sebagai peneliti.


Ketertarikannya meneliti Museum Istiqlal sebenarnya berangkat dari proyek pembangunan Museum Tsunami di Aceh. Kurator untuk proyek ini adalah AD Pirous dari ITB. Pirous bilang ke Kuntoro, kepala Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR), “Kuntoro, kalau museum ini (Museum Tsunami, red.) dibangun seperti Museum Istiqlal, kamu tidak usah datang ke saya lagi.” Di sini nama Museum Istiqlal mulai muncul. Dan saat itu Jonathan sama sekali belum “ngeh”. Tetapi kemudian, tidak lama setelah itu, dia pergi ke Singapura untuk suatu penelitian. Secara kebetulan di sana dia bertemu dengan Prof. Anthony Reid. Saat itu Profesor Reid bilang kepadanya bahwa dia sedang mendesain Museum Tsunami yang akan menelan biaya 7 juta dollar. Dan “Kapow”!, tiba-tiba saja Jonathan ingat nama Museum Istiqlal yang pernah disebut oleh Pirous beberapa waktu sebelumnya. “Ini dia ide menarik, aku akan meneliti Museum Istiqlal,” bisiknya dalam hati. Sambil merencanakan riset, dia bertanya kepada orang-orang tentang museum itu, tetapi tidak ada seorangpun yang tahu. Dia lalu berpikir, kalau nasib Museum Tsunami nantinya akan sama dengan nasib Museum Istiqlal, kenapa duit sebanyak 7 juta dollar itu tidak digunakan untuk mengurusi Museum Istiqlal saja?


Demikianlah Jonathan mengantarkan peserta untuk memahami bagaimana sebuah ide penelitian bisa lahir. Jika demikian, pertanyaannya kemudian, apa itu “Kapow”? “Kapow” pada hakikatnya adalah sebuah proses penemuan tema penelitian. Ketika “Kapow” itu datang—meminjam bahasa Mike George dalam bukunya, The 7 Aha!s of Highly Enlightened Souls—, kita tiba-tiba merasa diberkati, tanpa alasan yang jelas, dengan munculnya kesadaran akan apa yang sepatutnya kita lakukan atau katakan. Tidak hanya itu, kita sepenuhnya yakin bahwa itu adalah gagasan yang sempurna kendati sebelumnya kita tidak pernah memikirkannya.


Bagaimana cara mendapatkan “Kapow”? Jonathan mengatakan, berdasar pengalamannya, tidak ada jalan lain selain melakukan tiga hal, yaitu: membaca, menulis, dan melakukan riset. Dia berpesan kepada para peserta yang intinya adalah, bahwa siapapun yang bercita-cita menjadi peneliti sejati, ia harus membaca terus-menerus, memperluas ragam bacaan, mengumpulkan data tanpa bosan (obsesif) melalui riset, lalu menuliskan hasil bacaan dan risetnya itu dengan ketekunan hati seakan-akan itu adalah ibadah. Tiga hal itu, yaitu membaca, menulis, dan melakukan riset, dapat memberikan ruang bagi datangnya pandangan baru yang membawa gelombang dalam kekuatan intelektual seorang peneliti.


Kalau dipikir-pikir, menurut Jonathan, apa yang ditempuhnya selama ini sebagai peneliti tak ubahnya seperti jalan sufi yang kental dengan nuansa mistik. Dia sering, misalnya, melakukan sesuatu yang tidak dia ketahui bagaimana ujungnya, tetapi begitu sampai di ujung dia bisa melihat logika dari keseluruhan perjalanannya. Dia tiba-tiba saja menemukan sesuatu, dia membukanya, dan “Kapow!, itu tema penelitian menarik yang segera diambilnya dan kemudian dia identifikasi dengan banyak referensi.


Baginya, pilihan menjadi seorang peneliti merupakan sebentuk rasa syukur karena hidup ini adalah hadiah. Seperti juga kita, sebagai orang pesantren, ketika memilih menjadi peneliti, berarti kita bersyukur karena hidup kita adalah hadiah; kita sudah dilahirkan, kita dapat hidup di dunia pesantren, kita mengalami segala sesuatu, dan melalui penelitian kita membaca kembali semua itu.


Jonathan mengingatkan, kita harus melakukan penelitian semata-mata karena kecintaan kepada ilmu pengetahuan dan demi kecintaan kepada dunia penelitian. Namun demikian, kita harus punya sikap politis. Dalam artian, harus ada keberpihakan. Dalam konteks penelitian museum, misalnya, Jonathan telah melakukannya dengan sungguh-sungguh berdasar metodologi dan pendekatan yang benar. Jadi, dia tidak mengkhianati pakem-pakem penelitian yang ada. Tetapi dengan penelitian itu, dia mempunyai tujuan menyetop pembangunan Museum Tsunami di Aceh karena dirasa tidak ada gunanya, hanya akan menghabis-habiskan duit saja. “7 million dollars for nothing,” katanya. Dia ingin, daripada untuk membangun Museum Tsunami yang tidak jelas itu, lebih baik uang itu digunakan untuk menghidupkan Museum Aceh yang telah ada. [Roland Gunawan]


 
posted by Roland Gunawan at 8:35 AM | Permalink |


0 Comments:





"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"