Lalu, apa itu filologi? Dick tidak memberi pengertian yang bersifat mutlak, atau definisi yang bersifat definitif. Terlebih dahulu ia memenjelaskan bahwa di dalam dunia ilmu pengetahuan pada dasarnya tidak ada definisi yang mutlak. Artinya, bahwa setiap ilmuan mempunyai definisi tentang subyeknya masing-masing. Ilmu pengetahuan selalu maju dan berkembang, sehingga tidak ada seorang ilmuan pun yang bisa menetapkan definisi untuk suatu disiplin ilmu dan kemudian memaksakannya kepada ilmuan lain sepanjang waktu. Menurutnya, semua ilmu pengetahuan tidak tergantung kepada jawaban, akan tetapi tergantung kepada pertanyaan. Maksudnya, kalau seorang ilmuan menanyakan suatu persoalan, lalu ia mengerjakannya, maka akan langsung muncul pertanyaan yang lain, dan begitu seterusnya. Dan darisalalah akan muncul suatu definisi. Sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, filologi juga tidak mempunyai definisi yang pasti. Para filolog tidak pernah membuat suatu kesepakatan terkait kepastian definisi filologi. Kalau sejak awal mereka sudah menetapkan definisi filologi itu seperti apa, sudah barang tentu filologi akan statis tanpa mengalami perkembangan.
Dengan tidak mengabaikan definisi filolog yang lain, Dick mengatakan, berdasarkan pengamalamannya sendiri selama melakukan riset di Nusantara, bahwa filologi adalah metode ilmu pengetahuan yang diterapkan untuk mengangkat teks dari naskah sedemikian rupa sehingga hasilnya dapat diandalkan mewakili teks sesuai dengan keinginan filolog dan nantinya teks tersebut bisa dijelaskan serta diapresiasi.
Dick menjelaskan bahwa filologi tidak menafsirkan tapi melulu mengangkat teks. Tugas filolog adalah melakukan langkah-langkah reseach sebelum proses tafsir. Filologi bukan tidak mempunyai tugas untuk menafsirkan, tetapi tafsir hanya pada upaya melengkapi teks berdasarkan perbandingan dengan teks lain. Di tingkat ini disiplin, kredibilitas filolog dipertaruhkan. Tugas filolog pada dasarnya hanya mengangkat teks dari naskah dan menunjukkan apa adanya, tanpa mengurangi ataupun menambahinya. Karenanya, dalam urutan-urutan ilmu pengetahuannya, filologi adalah ilmu penyokong atau pendukung data yang bertugas mencari bahan untuk riset selanjutnya. Dengan kata lain, hasil kerja filologi nantinya akan dipakai orang lain untuk ditafsirkan, untuk dijelaskan isinya dan lain sebagainya.
Disiplin ilmu filologi dibutuhkan untuk menyiapkan naskah yang dapat diteliti oleh peneliti lain. Dan Dick—sebagaimana diakuinya sendiri—justru sangat menyukai tugas sebagai seorang filolog. Menurutnya, sangat boleh jadi teks hasil suntingannya akan dipakai 1000 tahun kemudian. Sementara penafsiran naskah mungkin tidak akan berlangsung lama karena penafsiran itu bersifat kontekstual.
Tentu saja, hasil suntingan dari sebuah teks diharapkan tidak hanya sesuai dengan keinginan diri sendiri, melainkan juga sesuai dengan keinginan para filolog yang lainnya, atau paling tidak diterima oleh mereka sebagai karya ilmu pengetahuan. Dalam filologi dikenal metode penyuntingan yang satu sama lain bisa berbeda. Misalnya, si D menyunting suatu teks dengan menerapkan suatu metode. Kemudian filolog lain memberikan catatan dan menyatakan tidak setuju dengan hasil suntingannya. Namun dengan pertanggung jawaban detail dan rinci terkait suntingannya, hasil kerja filolog tersebut tetap bisa diterima sebagai karya ilmu pengetahuan. Sehingga jika kelak ada riview atas hasil pekerjaannya orang hanya akan menegatakan, “Si D memakai metode ini atau itu, dan kita kurang setuju karena pertimbangan ini dan itu, tetapi hasil suntingannya tetap bisa diterima sebagai karya ilmu pengetahuan.”
Menurut Dick, secara klasik, bahan filologi yang dianggap paling terpenting adalah naskah tulisan tangan. Namun ia menambahkan, bahwa ada juga filolog yang wawasannya lebih luas menggunakan teks yang sudah diterbitkan. Dan naskah sendiri tidak harus tua, bisa naskah yang baru beberapa dekade ditulis. Sebab memang tidak ada limit waktu untuk bahan baku enelitian filologi. Demikian halnya dengan ukuran naskah. Naskah bisa besar, kecil, tebal, tipis dan malahan bisa satu kalimat saja. Bagi filolog, tidak ada naskah buruk, yang ada hanya naskah yang tidak bisa digunakan karena tidak bisa menjawab pertanyaan yang kita ajukan kepada teks.
Khusus di Nusantara, naskah ditulis memiliki banyak jenis huruf. Dan yang paling sering digunakan adalah huruf Arab, huruf Jawa dengan variannya yang mencakup huruf Bali dan huruf Jejawen dari Lombok. Selain itu, ada juga huruf Bugis atau Makassar. Sementara bahasanya bisa Sunda, Bugis/Makassar, Minangkabau, Malayu, Madura, Buton, Aceh, dan Sasak. Dan naskah sendiri bisa mengandung bermacam-macam teks; teks agama, sejarah, kesusastraan, sajak, ilmu kedokteran, prinbon dan catatan pribadi. Metode filologi bisa diterapkan untuk semua jenis naskah. Tidak ada filologi Islam, atau filologi Kristen, misalnya. Dan, menurut Dick, kebanyakan sebuah teks terkandung di dalam beberapa naskah. Misalnya, cerita tentang Isra` Mi’raj, yang dalam bahasa Melayu terkandung di dalam sekitar 20 naskah. Atau sebaliknya, bisa saja sebuah naskah mengandung banyak teks yang berbeda-beda.
Kenapa di Nusantara ini diperlukan seorang filolog? Sebab banyak sekali, atau bahkan mencapai 90%, khazanah naskah di Indonesia yang belum pernah disentuh oleh ilmu pengetahuan. Sehingga dunia luar sama sekali tidak tahu tentang naskah-naskah di Indonesia. Dan untuk itu, kalau kita ingin memberitahukan kepada orang lain apa isi naskah-naskah yang ada di Nusantara, teksnya harus keluar dari naskah-naskah itu, baik dalam bentuk huruf ataupun dalam bentuk bahasa. Karena kebanyakan orang di dunia ini tidak tahu bahasa Jawa. Misalnya, disunting dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris agar lebih mendunia.
Namun Dick sangat menyayangkan, bahwa kebanyakan mahasiswa di Indonesia hanya tahu dua jenis huruf, yaitu huruf Latin dan Arab. Dan mereka akan langsung mogok kalau hendak diajarkan huruf Jawa Honocoroko dengan alasan susah. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Orang China saja, menurut Dick, kalau mau terjun ke dalam ilmu pengetahuan, harus belajar sekitar 16 ribu karakter. Jauh sekali jumlahnya bila dibandingkan dengan huruf Jawa dengan segala variannya yang hanya 60 huruf. Apakah ini yang dibilang susah? Adalah wajar bila saat ini kebudayaan Jawa mulai menyusut, karena semua orang malas belajar huruf Jawa.
Kemudian, bagaimana sebetulnya cara menyunting sebuah teks? Menurut Dick van der Miej—berdasar pengalamannya sendiri—ada enam langkah yang bisa ditempuh dalam menyunting teks. Pertama, mencari subyek kajian. Kalau itu sudah selesai kita mencari naskah yang dapat membantu kita untuk menjawab pertanyaan kita. Tentu saja suntingan teks sendiri juga bisa kita angkat sebagai subyek dari riset kita dan hasilnya disebut suntingan teks atau edisi.
Kedua, membaca naskah dari awal sampai akhir. Kalau hurufnya lain dari pada huruf Latin atau Arab—karena memang kebanyakan orang Indonesia hanya memahami keduanya—kita harus belajar membaca dan menulis huruf itu dahulu. Kita juga harus mengetahui bahasa yang digunakan dalam naskah. Kalau pengetahuan kita masih kurang, jangan mengusahakan mengedit atau membaca naskah itu.
Ketiga, kalau kita sudah memastikan bahwa naskah yang ingin kita sunting memang menarik kita harus tahu apakah teks itu pernah disunting atau belum. Kalau sudah, sebaiknya kita berusaha untuk terlebih dahulu membaca hasil penelitian itu sebelum kita meneruskan riset kita sendiri. Kalau edisi sudah bagus dan memuaskan, jangan kita ulangi. Kalau tidak memuaskan, kita lanjutkan.
Keempat, kalau kita memutuskan meneruskan keinginan kita untuk menyunting teks, kita harus mengetahui naskah-naskan yang ada di perpustakaan dunia dan infornasi itu harus kita muat dalam riset kita. Dulu semua naskah teks tertentu harus dibaca. Namun sekarang itu sudah tidak mungkin lagi, karena terlalu banyak sehingga akan membuang waktu dan energi saja. Makanya, tema kajian harus dipersempit, misalnya fokus ke tafsir atau yang lainnya. Artinya, bagaimana kita tahu apakah pertanyaan kita memang pertanyaan yang wajar dan masuk akal. Dan sebagai bahan pendamping, akan sangat baik kalau kita melihat katalogus-katalogus untuk mengetahui apakah masih ada naskah lagi dari teks yang kita ingin kaji. Sekarang sudah banyak katalogus tersedia dan kita perlu menelesurinya semua untuk mendapat gambaran tentang teks yang kita kaji. Jangan lupa sekarang era internet dan banyak katalogus dan malahan naskah sudah di digitalkan. Di samping itu, kamus juga sangat dibutuhkan, begitupun buku-buku tentang kebudayaan, untuk memahami dan mengerti teks itu.
Kelima, kalau kita sudah memutuskan naskah apa yang akan kita gunakan untuk edisi kita, kita harus mendeskripsi naskah yang kita pakai. Itu dilakukan supaya pembaca dapat menggambarkan bentuk naskahnya. Keenam, perlu membubuhkan catatan kaki pada edisi hasil suntingan kita. Catakan kaki ini dimaksudkan untuk menjelaskan arti sebuah kata di dalam teks ataupun untuk menjelaskan perbedaan dengan naskah-naskah yang lain. Sering perbedaannya banyak sekali sehingga banyak sekali catatan kakinya.
Ketujuh, memahami teks. Langkah ini yang paling sulit dan yang paling penting. Kita harus menjelaskan isi naskah dan kaitannya dengan kebudayaan, sejarah, agama, kearifan lokal dan lain sebagainya supaya pembaca mengerti juga kenapa teks itu penting/bagus. Kalau dulu, banyak filolog cenderung tidak mau menjelaskan apa maksud teks yang disuntingnya. Tetapi saat ini, filologi modern sudah menuntut para filolog untuk juga menjelaskan isi; what is it? Apa yang membedakannya dengan teks yang lain? Kenapa teks ini perlu diangkat? Apa manfaatnya untuk pengembangan intelektualitas, misalnya?