**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Tuesday, May 31, 2011
Metodologi Penelitian Agama
KENAPA penelitian menjadi penting? Inilah pertanyaan pertama yang dilontarkan Pak Anas Saidi, MA. mengawali ceramahnya dalam kegiatan “Training Metode Penelitian Sosial untuk Kajian Keagamaan” di Rumah Kitab pada tanggal 20 Mei 2011 yang lalu. Kepada para peserta Pak Anas mengatakan bahwa era ke depan ini bukanlah era advokasi, melainkan era penelitian. Di kalangan LSM-LSM, program advokasi terlihat semakin menyusut. Ia mencontohkan, sebuah lembaga dana internasional baru-baru ini memberikan dana untuk penelitian sampai 1 M, sementara untuk advokasi hanya 150 juta. Dan trend ini terjadi di hampir semua lembaga dana. Sebagai tambahan, saat ini beberapa lembaga internasional sedang menyelenggarakan reseach tentang knowledge sector. Intinya dalah meneliti tentang kemampuan lembaga-lembaga penelitian dalam memproduksi penegetahuan melalui reseach yang tujuannya adalah untuk mensuplay pengetahuan kepada para pengambil kebijakan. Jelas sekali bahwa trend untuk memperkuat lembaga riset sekarang sedang tumbuh kembali.

Belakangan ini, menurut Pak Anas, banyak program penelitian yang ditawarkan oleh founding-founding secara individual, bukan rombongan. Dalam hal ini, dia mengambil contoh, misalnya, Suaidi, seorang—yang menurutnya—cukup menarik karena mempersiapkan diri sebagai peneliti secara berjenjang. Sebelumnya Suaidi bekerja di sebuah LSM sampai akhirnya bergabung dan bekerja di TAF (The Asian Foundition). Ternyata, gaji di TAF yang lumayan besar tidak membuatnya betah. Justru, dalam pikirannya, bekerja sehari-hari di dalam sebuah ruangan yang sama adalah rutinitas yang menjenuhkan. Akhirnya dia meminta TAF membiayainya untuk kursus bahasa Inggris di Australia selama 1 tahun. Sekembalinya dari Australia, dengan bekal pengalaman tulis-menulis yang memadai dan bahasa Inggris yang bagus, dia punya keinginan untuk menjadi peneliti. Untuk itu, dia mengajukan lamaran ke sebuah lembaga penelitian, namanya API, dan langsung diterima.

Seperti yang dialami oleh Pak Anas sendiri, diterima di API berarti mempunyai kesempatan untuk meneliti di berbagai kawasan di seluruh dunia. Untuk di Jepang, misalnya, sebulan bisa mendapat gaji 6000 sampai 7000 dollar, dan kalau masih junior biasanya mendapatkan minimal 4500 dollar. Dapat dibayangkan kalau sampai setahun meneliti di sana, kalau selama melakukan penelitian hanya makan mie instan, misalnya, pulang bisa membawa kurang lebih setengah Milyar. Tentu, ini sangat menjanjikan sekali. Suaidi adalah contoh nyata dalam hal ini. Dia sudah pernah ke Jepang selama 6 bulan, bahkan sudah berkeliling Asia selama setahun. Dengan modal yang cukup besar, sekarang dia sudah membuka toko Meubel. Sementara, Pak Anas sendiri sudah pernah menjadi peneliti tamu di KYOTO University di Jepang, UPHI (Universitas Philipina), Jerman, Belanda, dll.

Itu artinya, lanjut Pak Anas, menekuni profesi sebagai peneliti dipastikan mempunyai “masa depan”—jangan hanya diterjemahkan uang, kata Pak Anas, tetapi kesempatan. Makanya dia berpesan kepada para peserta training, mumpung masih muda, untuk tekun dalam tiga hal: (1). Tulis menulis; (2) Bahasa Inggris; dan (3). Penelitian. Dengan tiga modal ini, keliling dunia menjadi hal yang amat mudah. Minclok sana, minclok sini, dan terlalu banyak beasiswa yang ditawarkan.

Namun, satu hal yang sangat ditekankan Pak Anas, bahwa menjadi peneliti itu tidak bisa instan. Membutuhkan ketekunan dan sebagian besar ditentukan oleh diri sendiri. Mengikuti berbagai kuliah dan pelatihan, itu sama sekali tidak cukup untuk bekal menjadi seorang peneliti. Penelitian, menurut Pak Anas, itu seperti belajar berenang, bukan hanya teori yang dikuasai, tetapi juga praktek; berenang, berenang, dan berenang. Sama halnya dengan seks, misalnya, yang secara teori dimulai dari pemanasan, cara membuka baju begini, cara membuka celana begitu dan seterusnya. Anehnya, begitu sampai praktek, terutama penganten baru, misalnya, teori itu langsung hilang. Tetapi, bagaimanapun praktek tanpa teori adalah nonsen. Artinya, orang yang tidak mengerti teori seks, maka yang akan terjadi adalah egoisme dan subyektivisme; selalu mengobyektivikasi istri. Istri belum panas tetapi dia sudah selesai. Ini karena dia egois.

Cerita yang disampaikan Pak Anas tersebut tidak lain hanya untuk merangsang gairah para peserta training agar lebih rajin belajar menjadi peneliti. Selanjutnya, apa dan bagaimana penelitian agama itu? Di sini, terlebih dahulu Pak Anas menjelaskan apa itu agama. Menurutnya, agama itu dibagi menjadi dua: pertama, agama wadh’îy, agama alam, agama kebudayaan, agama primitif, dll., yaitu sistem kepercayaan dan ritus yang tumbuh dari kearifan lokal, budaya tempatan, tradisi, leluhur, dsb. Kedua, agama samawîy, agama profetik, yaitu agama yang diturunkan oleh al-Khaliq melalui nabi dan rasul untuk menjadi pedoman hidup manusia. Dari sini bisa dipetakan agama sebagai obyek penelitian. Menurut perspektif ilmu agama, agama dilihat dari sudut normatifnya. Sementara menurut kaca mata ilmu pengetahuan umum/ilmu sosial, agama dilihat dari sudut empiriknya.

Dengan demikian, harus jelas apa yang dimaksud dengan penelitian agama. Tanpa kejelasan bisa menimbulkan kemarahan para penganut agama. Sebab, meneliti agama berarti meragukan kebenarannya. Bukankah penelitian itu berarti mencari kebenaran? Penelitian agama bermakna ambigu: di satu sisi penelitian agama adalah cara untuk mencari/menemukan kebenaran agama, di sisi lain penelitian agama adalah cara untuk memahami realitas empiris. Yang pertama menyangkut agama sebagai sesuatu yang diyakini dan dihayati, sedangkan yang kedua menyangkut agama sebagai subject matter penelitian.

Sebenarnya, dalam tradisi Islam, kedua makna penelitian itu sudah ada. Beberapa tokoh bisa disebutkan di sini. Imam al-Bukhari, misalnya, meneliti hadits untuk menemukan kebenaran hadits, shahîh apa tidak, dengan metode sanad; Imam al-Syafi’i meneliti sumber-sumber agama untuk menentukan dan menetapkan hukum; Imam al-Ghazali meneliti untuk menemukan sikap hidup beragama yang benar; Ibn Khaldun meneliti agama untuk menemukan realitas yang sebenarnya dari umat beragama. Nah, apa yang dilakukan oleh Imam al-Bukhari, Imam al-Syafi’i, dan Imam al-Ghazali adalah contoh usaha untuk mendapatkan pesan yang benar dari doktrin yang diyakini. Sedangkan yang dilakukan Ibn Khaldun adalah contoh dari upaya memahami realitas sosial atau sejarah dari umat yang meyakini suatu doktrin agama.

Namun pada titik tertentu, menurut Pak Anas, harus ada kesadaran dalam diri peneliti bahwa penelitian agama adalah menjadikan agama sebagai sasaran penelitian. Makanya, harus ada jarak antara peneliti sebagai subyek dan agama sebagai obyek. Agama harus dipandang sebagai fenomena yang riil, sekalipun mungkin terasa abstrak. Sebagai fenomena riil, menurut Taufik Abdullah, agama mengandung tiga kategori: pertama, agama sebagai doktrin. Apa substansi keyakinan religius itu? Apakah yang diyakini adalah kebenaran yang hakiki? Apa makna ajaran bagi para pemeluknya? Kedua, struktur dan dinamika masyarakat agama. Agama adalah dasar terbentuknya komunitas kognitif, komunitas yang dibentuk oleh pengetahuan/keyakinan yang sama. Ketiga, sikap masyarakat pemeluk terhadap doktrin, sebab dalam realitas keterikatan setiap orang terhadap agamanya tidaklah sama. Nah, dari tiga kategori ini bisa disimpulkan dua hal terkait dimensi keagamaan, seperti pernah diuraikan oleh Durkheim: (1). Biliefs, kepercayaan, ajaran, norma agama; (2). Practices, keberagamaan, yakni perilaku yang bersumber dari ajaran agama, atau disebut juga sebagai religiusitas.

Dari uraian tersebut, lanjut Pak Anas, jelaslah bahwa sebelum melakukan penelitian agama, peneliti harus terlebih dahulu menetapkan subject matter atau materi (fakta, gejala) yang dikaji, dan subject formal atau aspek apanya (segi tertentu) yang dikaji dari obyek itu. Subject matter maksudnya adalah pokok-pokok ajaran agama, sejarah perkembangan agama dan religiusitas umatnya. Adapun subject formal maksudnya adalah mengkaji masalah di atas dari sudut pandang agama itu sendiri, bukan dari segi kemasyarakatan atau psikologi, yaitu dari usaha para penganut agama mempertahankan, mengamalkan, mengembangkan agama mereka di tengah peradaban yang terus berubah dan berkembang.

Jadi, penelitian agama bukan penelitian sosiologi agama, bukan penelitian psikologi agama, bukan penelitian komunikasi agama, bukan antropologi agama dan seterusnya. Penelitian agama adalah mengkaji pokok ajaran, sejarah perkembangan, dan tingkah laku orang yang beragama menurut pandangan agama itu sendiri. Karena itu, penelitian agama tidak mungkin dilakukan oleh orang yang tidak mengerti agama itu. Dan umat beragama dipandang sebagai aktor sejarah, aktor kebudayaan, sebagai subyek yang berjuang untuk tujuan cita-cita kehidupan agamis yang diyakini kebenarannya di tengah masyarakat.

Maka, dalam penelitian agama, menurut Pak Anas, ada empat hal yang bisa dekati: (a). Pokok-pokok ajaran agama (dokrin); (b). Hasil-hasil pemikiran filosofis, yang dalam dalam agama disebut hasil-hasil ijtihad (tafsir); (c). Tingkah laku/kehidupan keagamaan umat beragama; (d). Sosial budaya yang mempengaruhi perkembangan pemikiran/kehidupan agama. Pada bagian (a), penelitian agama hanya bisa meneliti sejarah kitab suci itu dan memahami isinya/ajaran-ajarannya. Bagian (b) bisa diteliti dengan metode philosofis dan historis. Bagian (a) + (d) bisa diteliti dengan metode empiris-sosiologis. Bagian (b) dan (c), sebagai pancaran interaksi antara (a) dan (d), hanya bisa dimengerti dalam hubungan interaksi (a) dan (b).

Setelah menjelaskan sekilas tentang metodologi penelitian agama, Pak Anas kemudian menggaris bawahi, bahwa tidak ada penelitian yang tingkat kerumitannya melebihi penelitian agama sebagai pesan ilahiyah yang diyakini oleh para pemeluknya memiliki unsur kesakralan dan kemutlakan yang sifatnya paska-empiris (beyond reality), yang dibenarkan sebelum dibuktikan. Agama, selain sebagai bagian dari realitas, juga bisa menjadi produsen realitas. Maksudnya begini: orang seperti Martin, kalau datang ke Indonesia untuk memahami pesantren, mau tidak mau dia harus belajar NU. Sebab, pemahaman keagaman di pesantren yang akan ditelitinya itu sebenarnya merupakan refleksi dari NU. Demikian juga Clifford Geertz yang meneliti tentang Priyai, Santri, dan Abangan, tidak boleh tidak dia harus belajar tentang bahasa dan budaya Jawa. Karena yang ditelitinya sebenarnya adalah refleksi dari ideologi yang paling dalam, yang dalam agama itu disebut doktrin. Makanya, dalam penelitian agama, kita tidak akan pernah bisa melihat agama kecuali pemahaman terhadap doktrinnya. Kita tidak akan pernah mengerti Iran tanpa mengerti Syi’ah, kita tidak akan pernah mengerti Indonesia tanpa mengerti NU, misalnya. Syi’ah dan NU, itu hanyalah refleksi dari tafsir terhadap doktrin, tetapi bukan doktrin itu sendiri.

Agama, katakanlah Islam, diyakini sebagai kehendak Tuhan yang termaktub di dalam al-Qur`an. Tetapi apa sesungguhnya yang diinginkan Tuhan kita tidak pernah tahu kecuali melalui Nabi Muhammad saw. Ketika Nabi wafat, kita tidak bisa bertanya tentang al-Qur`an kecuali melalui mufasir—tafsir, sementara doktrin agama itu sendiri kita tidak pernah tahu. Misalnya Tuhan berfirman, “Yadullâh fawqa aydîhim”, atau ayat-ayat mutasyâbihât, kita hanya bisa mengira-ngira, dan kita tidak pernah tahu persis apa makna sesungguhnya. Karena itu, di dalam definisi yang namanya tafsir itu tidak mutlak. Nah, akibat dari tafsir itu tercermin di dalam realitas. Misalnya, penafsiran terhadap al-Qur`an yang menekan tekstualitas melahirkan kelompok Khawarij. Sementara penafsiran terhadap al-Qur`an yang menekankan rasionalitas melahirkan kelompok Muktazilah. Baik Khawarij, Muktazilah, dan lainnya, itu adalah dampak tafsir terhadap kitab suci. Karena itu, yang bisa dipahami oleh penelitian agama adalah yang kedua ini, yaitu tafsir dengan segala seluk-beluknya. Tentu saja kalau tafsir ini menggunakan ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu balaghah, maka ilmu-ilmu ini juga bisa diteliti.

Orang-orang sekuler cenderung memandang agama tidak bisa menjadi nilai atau etika universal. Sebab mereka mempunyai pikiran, bahwa agama dibenarkan atau diyakini dulu, baru kemudian dibuktikan. Berbeda dengan ilmu pengetahuan yang bersifat induktif, dibuktikan dulu, baru kemudian diyakini. Misalnya, Tuhan mengatakan bahwa setelah kita mati ada kehidupan lagi, bagaimana ini mau diteliti? Diverifikasi juga tidak mungkin, kecuali belive or not. Misalnya lagi, Tuhan mengatakan, “Berdoalah kepada-Ku niscaya aku kabulkan,” ini juga tidak bisa diteliti dan diverifikasi. Misalnya kemudian dilakukan eksperimen; yang satu disuruh berdoa selama 24 jam sampai mencret, sementara yang lain hanya disuruh belajar tanpa berdoa sama sekali. Ketika itu keduanya sedang menghadapi ujian semester. Ternyata yang berdoa malah tidak lulus. Berarti doa itu tidak ada. Ini kan tidak mungkin?

Nah, hal-hal seperti ini memberikan pengertian kepada kita bahwa hal-hal yang bersifat doktrinal tidak bisa diteliti. Inilah yang kemudian menyebabkan sekolompok orang sekuler terkadang hanya mempercayai sesuatu yang ghaib tetapi tidak mempercayai agama. Karena bagi mereka agama seringkali menjadi sumber konflik, menjadi sub-ikatan primordial, dan seterusnya. Makanya sekarang ada jargon yang sedang populer “kesalehan tanpa beragama”.


 
posted by Roland Gunawan at 8:59 AM | Permalink |


0 Comments:





"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"