**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Monday, February 27, 2012
Menelisik Gerakan Sosial-Keagamaan; Jama’ah Tabligh Sebagai Sampel

Disarikan dari Kuliah Dr. Farish Noor di Rumah KitaB


Latar Belakang

DI SINI saya ingin mengulas secara panjang lebar tentang Jama’ah Tabligh sebagai konsen penelitian saya belakangan ini. Namun sebelum itu, saya ingin terlebih dahulu memberikan informasi tentang latar belakang pendidikan saya. Jadi, saya belajar atau kuliah di Inggris dari S1 sampai S2 dalam bidang filsafat, bukan saja filsafat klasik, semisal Plato, Socrates, dll., atau filsafat perbandingan antara filsafat klasik dengan filsafat Islam, tetapi juga mencakup filsafat modern, yaitu logika dan epistemologi. Dan kemudian, setelah S1 dan S2, untuk S3 saya beralih kepada Science Politic dengan fokus Asia Tenggara. Sekarang saya menjadi dosen di NTU, salah satu universitas teknologi di Singapura. Dan meskipun ini adalah universitas science, tetapi di sana terdapat gradute school yang memberi kursus MSI dan PHD dalam Area Studies International Relation, Strategi and Politic.


Dengan latar belakang saya sebagai dosen yang fokus pada politik Asia Tenggara dan budaya politik (political culture) di Asia Tenggara, saya lebih konsen kepada partai-partai nasionalis dan proses pembinaan negara-bangsa (nation state) di Asia Tenggara. Tetapi pada tahun 1999 saya mulai menulis sebuah buku tentang “Partai Islam Se-Malaysia” (PAS). Saya menulis buku ini karena pada tahun itu sedang berlangsung PEMILU, dan saya yakin bahwa partai Islam akan menang. Paling tidak, sekurang-kurangnya empat provinsi di Malaysia akan menjadikan PAS sebagai partai terbesar kedua di Malaysia.


Nah, setelah menulis buku itu, terjadilah suatu insiden di New York, yang karena ‘keikhlasan’ Osama Ben Laden, secara tiba-tiba Islam menjadi topik yang hangat dan populer. Dan saat itu pun saya menjadi terkenal. Saya kira ini adalah berkah dari ‘ulah’ Osama terhadap WTC dan Pentagon. Kalau tidak karena Osama, mungkin saya hanya akan menjadi dosen biasa. Dan saat itu juga, politik Islam menjadi perbincangan yang begitu luar biasa seksi dan popular. Sehingga saya beserta teman-teman saya di Eropa, diundang berkali-kali untuk memberikan ceramah tentang politik Islam. Sejak priode itu saya mulai menulis tentang “Agama dan Politik”. Dan sekarang di NTU, dalam suatu research clusterKontemporary Religious Politics in Asia Tenggara”, saya meneliti fenomena relasi antara agama dan politik, bukan saja Islam, tetapi juga politik Kristen, politik Hindu, politik Budha, dll. di Asia Tenggara.


Sebelum itu saya pernah tinggal di Jerman selama tujuh tahun, tepatnya di ZMO. Di sana saya mulai menulis dan meneliti femonena Jama’ah Tabligh. Bagi saya, Jama’ah Tabligh ini adalah sesuatu yang sangat menarik, karena ia memberikan suatu “counter factual”, bahwa proses globalisasi tidak semestinya didorong oleh ‘kapital’. Di samping itu, Jama’ah Tabligh adalah suatu kasus globalisasi yang didorong oleh ‘keimanan’ atau ‘dakwah’. Ini yang menurut saya sangat menarik. Dan dengan semakin panasnya konflik anti teroris sedunia, isu tentang Jama’ah Tabligh ini saya rasa menjadi semakin penting.


Sebetulnya, saya tidak tertarik kepada Jama’ah Tabligh, melainkan terjatuh ke dalam lubang Jama’ah Tabligh. Di awal saya menjadi mahasiswa di Inggris—ketika itu usia saya 18 tahun—, saya sama sekali tidak tahu apa itu Jama’ah Tabligh. Ceritanya, saya shalat Jum’at di masjid—kalau di Inggris bentuk masjidnya tidak seperti di Indonesia, tetapi bentuknya seperti rumah pada umumnya. Ketika saya masuk, yang saya lihat di situ semuanya orang Pakistan dan India. Pada waktu itu, di Inggris, sentimen anti emigrasi itu sangat kental. Sentimen rasisme terhadap orang Asia sangat terasa. Kalau kita orang asing di Eropa, di mana-mana selalu dicurigai. Hanya ada satu tempat yang saya rasa saya dapat diterima, yaitu masjid. Jadi, itu pertama kali di Inggris saya masuk ke dalam sebuah ruangan dan semua orang di ruangan itu tersenyum pada saya. Saya diterima dengan hangat di tengah-tengah mereka. Di sana saya belajar masak nasi, masak chapati, masak kari. Saya merasa enjoy bersama mereka.


Selama dua tahun bersama Jama’ah Tabligh, saya tidak pernah mendengar kata “Jama’ah Tabligh” itu. Lalu saya keluar dari lingkungan mereka dan serius menggeluti kuliah saya. Saya mulai belajar filsafat, belajar Karl Marx, belajar Foucault, belajar Derrida, dan saya masih belum tahu bahwa itu Jama’ah Tabligh. Ini uniknya Jama’ah Tabligh, ada orang masuk ke dalamnya tanpa tahu bahwa itu adalah Jama’ah Tabligh. Ibaratnya, saya tahu barang, tetapi tidak tahu nama.


Sepuluh tahun kemudian, ketika pertama kali melakukan penelitian, saya baru tahu kalau itu Jama’ah Tabligh. Jadi, saya sudah punya pengalaman hidup bersama mereka jauh sebelum saya melakukan penelitian tentang Jama’ah Tabligh. Jaringan mereka sangat luar biasa, dan itu terjadi secara eksiden, tidak dirancang terlebih dahulu. Dan karena ulah Osama Ben Laden, topik tentang gerakan muslim seperti Jama’ah Tabligh ini menjadi sangat penting.


Saya menulis buku saya, saya melakukan penelitian di Jerman, karena pada waktu itu di Eropa saya merasakan gelombang phobia tentang Islam itu sangat dahsyat. Dan menurut saya sangat penting sebagai seorang peneliti dalam bidang filsafat untuk mulai melakukan penelitian tentang ini dan menulis secara efektif, rasional dan logis untuk membedakan antara gerakan Jama’ah Tabligh dengan gerakan-gerakan muslim yang berbahaya. Bagi saya, ini bukan saja merupakan tugas akademik, tetapi juga merupakan kewajiban etik.


Saya merasa berhutang budi kepada University of Amsterdam Press karena mau menerima dan menerbitkan buku saya tentang Jama’ah Tabligh. Karena terus terang saja, saat itu untuk menulis tentang Islam di Eropa sangat sulit, karena prejudis anti Islam sudah terlanjur masuk ke dalam ruang akademik, sehingga buku-buku yang ditulis biasnya sangat jelas. Kelihatan sekali kalau Islam itu sangat negatif di mata para sarjana Eropa. Dan saya merasa, saya bisa menulis tentang itu justru melalui jalan filsafat, di mana saya dapat melihat obyek yang sama tetapi dari sudut pandang yang lain.


Saya menulis buku tentang Jama’ah Tabligh itu dengan menyajikan perspektif yang agak berbeda; saya meneliti suatu fenomena “politik-religius” melalui lensa filsafat. Dalam diskripsi buku saya itu, editornya menulis bahwa buku ini penting untuk menjawab tuduhan-tuduhan bahwa Islam adalah agama radikal yang membayakan. Buku ini mengkaji fenomena Islam global dengan para pengikut yang jauh berbeda. Paling tidak, ini membuktikan bahwa realitas sosial itu lebih kompleks daripada apa yang kita lihat di CNN, MBC dan media-media internasional lainnya. Dan saya rasa, fenomena Jama’ah Tabligh ini adalah suatu cerita yang sangat penting, karena ia mengangkat persoalan-persoalan teori yang sering tidak ditanya atau dijawab dalam penulisan-penulisan tentang Islam.


Jadi, motivasi saya menulis adalah untuk mengangkat persoalan-persoalan bagaimanakah kita bicara, menulis dan meneliti fenomena sosial tanpa menggunakan konsep-konsep yang terlalu umum. Karena persoalan-persoalan yang saya angkat tentang apakah itu Jama’ah Tabligh dan bagaimanakah kita menulis dan meneliti suatu fenomena atau suatu gerakan kelompok sosial yang tidak mempunyai suatu identitas yang konkret. Karena Jama’ah Tabligh ini tidak seperti partai politik yang lengkap dengan membershipnya, di mana setiap anggota tercatat dengan sangat rapi dan sistematis, bahkan mempunyai kartu keanggotaan. Dan Jama’ah Tabligh jelas-jelas tidak seperti itu—sangat berbeda jauh. Kita menulis tentang Jama’ah Tabligh, tetapi apa sebenarnya Jama’ah Tabligh itu? Dan kalau kita bisa menjawab pertanyaan ‘apakah itu Jama’ah Tabligh’, mungkin kita akan dapat menjawab pertanyaan ‘apakah itu agama’ dalam konteks normatif. Bagaimana kita menggunakan istilah seperti “politik Islam”, “Politik Kristen”, dsb.? Ini adalah terma-terma yang sangat umum, sehingga menurut saya, dalam perspektif filsafat sebagai konsen pendidikan saya, itu adalah suatu penggunaan bahasa yang tidak persis. Dan saya tidak suka dengan tulisan-tulisan yang terlalu umum.


Terkait dengan pendekatan akademik, yang saya gunakan untuk meneropong Jama’ah Tabligh, selain metodologi filsafat bagaimana identitas kelompok itu diwujudkan, ada juga dinamika sosial, analisis wacana dengan membaca berbagai tulisan dan melakukan wawancara dengan mereka. Namun hanya satu yang tidak dapat saya lakukan secara efektif, yaitu political economy. Jujur, saya sangat kesulitan mendapatkan data. Karena uang mereka tidak disimpan di bank, melainkan dibawa ke mana-mana dalam bentuk cash—atau mungkin ditaruh di bawah kasur dan bantal. Dan para peneliti selain saya, seperti Khalid Mas’ud dll., tidak pernah menemukan data yang persis tentang itu. Tetapi kalau dari pengalaman saya, mereka khuruj ke luar Jawa dengan gratis, bahkan ke luar negeri juga graris, itu menandakan bahwa mereka punya uang. Lebih-lebih saat ini di mana sebagian anggotanya adalah para pebisnis yang kaya. Di Malaysia, misalnya, banyak para pemimpin Jama’ah Tabligh yang dulunya pebisnis yang kaya raya.



Awal Munculnya Gerakan Jama’ah Tabligh

Saya menggunakan Jama’ah Tabligh sebagai suatu obyek penelitian sebetulnya untuk mempertanyakan persoalan-persoalan yang epistemik. Dan di sini, saya akan memulai dengan suatu ‘general introduction’ tentang apa itu Jama’ah Tabligh.


Jama’ah Tabligh adalah gerakan yang terbentuk pertama kali di India pada suatu masa yang sangat penting dalam sejarah India modern. Sebab pada tahun 1857, di India yang saat itu menjadi jajahan Kompeni Inggris terjadi pemberontakan besar. Sebelum datangnya Inggris, India—yang walaupun mayoritas penduduknya menganut agama Hindu—dipimpin oleh sultan-sultan muslim di bawah payung Dinasti Mongol. Namun, begitu Inggris datang, kekuasaan Dinasti Muslim ini jatuh. Dan tahun 1857 adalah pemberontakan pertama anti kolonial di India. Namun pemberontakan itu mengalami kegagalan karena kekuatan yang tidak seimbang, sehingga membuat Inggris sangat berkuasa.


Sebelum tahun 1857 India seperti Indonesia. Kala itu yang memerintah India bukan pemerintah Inggris, melainkan Kompeni Inggris. Seperti halnya Indonesia yang diperintah oleh Kompeni Kolonial Belanda (WOC), bukan pemerintah atau ratu Belanda. Hingga pada tahun 1857 meletuslah api pemberontakan yang dikobarkan oleh orang-orang muslim di India. Hal ini menyebabkan: pertama, Inggris curiga kepada semua gerakan muslim di India; kedua, pemerintahan kompeni Inggris di India berakhir, dan India sejak tahun 1857 diperintah langsung dari London oleh pemerintah Inggris. Dengan demikian, era kompeni berakhir di India.


Pada periode tersebut, karena runtuhnya Dinasti Mongol di India, maharaja Mongol Baharuddin Syah dibuang ke Burma. Akibatnya, orang-orang muslim di India merasa bahwa mereka telah kehilangan kekuasaan simboliknya. Mereka tidak bisa berbuat banyak untuk membangkitkan kembali kejayaan Dinasti Mongol seperti dahulu kala. Mereka lebih banyak terdiam dalam kevakuman yang membosankan sembari memendam hasrat untuk melawan. Pada masa vakum ini, gerakan-gerakan muslim yang ingin ‘menaikkan’ taraf status muslim di India sama sekali tidak diberi akses ke dunia politik, karena Inggris telah menutup jalan politik atas mereka. Dan satu-satunya jalan yang masih terbuka adalah pendidikan, sehingga pendidikan menjadi begitu penting.


Pada periode berikutnya, terbentuklah dua aliran keagamaan: pertama, aliran keagamaan konservatif, yang dimulai oleh Madrasah Darul Ulum Deoband yang didirikan pada tahun 1867—atau sepuluh tahun setelah pemberontakan. Madrasah ini, karena merasa telah kehilangan kekuasaan, berkeinginan untuk memelihara apa-apa yang masih ada, terutama khazanah intelektual muslim di India. Jadi, walaupun sejak awal didirikan dalam bentuk suatu madrasah yang modern dengan guru-guru yang—untuk pertama kalinya di India—digaji secara teratur dan dengan kontrak yang jelas, suatu sistem yang diadopsi dari Inggris, Darul Ulum Deoband merupakan aliran konservatif yang sengaja dibangun guna memelihara khazanah intelektual muslim.


Kedua, Madrasah Aligarh, suatu aliran yang juga sangat responsif terhadap Inggris, tetapi madrasah ini menempuh jalan yang lain, yaitu mengarah kepada modernisasi. Madrasah ini didirikan di Anglo Muhammadan Muslim Collage oleh Sayyid Ahmad Khan. Saat ini, banyak juga mahasiswa Indonesia yang menimba ilmu di sana.


Sejak awal Aligard merupakan suatu modern university yang mengacu kepada Oxpord University. Karena Sayyid Ahmad Khan pernah belajar di Inggris. Semasa masih di Inggris, ia melihat Oxpord University, dan itu memberinya inspirasi untuk membangun universitas muslim yang modern di India. Dan memang ada banyak kemiripan antara Universitas Muslim Aligarh dengan Oxpord University, misalnya, dari sisi bangunannya yang style-nya sangat Inggris.


Dua aliran di atas, Deoband dan Aligarh merupakan dua aliran yang sangat jauh berbeda; Deoband lebih ke arah yang konservatif untuk memelihara budaya muslim berlandaskan al-Qur`an dan Sunnah, sedangkan Aligarh cenderung ke arah yang sangat scientific, di mana Sayyid Ahmad Khan menganjurkan agar setiap muslim di India belajar bahasa-bahasa Eropa mulai dari bahasa Prancis, Jerman, dll., dan juga science—semua itu dipelajari di Universitas Muslim Aligarh.


Keberadaan Universitas Muslim Aligarh tentu saja sangat kontroversial di India, lebih-lebih karena Sayyid Ahmad Khan berpendapat bahwa jin itu tidak eksis (tidak ada). Menurutnya, dari sisi science, bahkan meski menggunakan mikroskop sekalipun, jin tidak akan pernah terlihat. Dari sini ia kemudian mengambil kesimpulan bahwa jin itu hanyalah sebuah ‘ide’ yang ‘dibuat-buat’ oleh manusia. Hal ini bisa ditemukan di dalam buku-bukunya tentang science. Dan ini adalah kali pertama mahasiswa muslim di India diajari fisika, kimia, biologi, dll.


Jadi, di India pada masa itu sudah ada dua aliran yang sangat berlawanan arah. Namun pada akhirnya yang lebih dominan adalah aliran Deoband, karena Aligarh merupakan salah satu universitas yang sangat elit, sehingga kurang diminati oleh masyarakat India pada umumnya. Kalau dibandingkan jumlah mahasiswa antara kedua institusi pendidikan tersebut, kita akan menemukan perbedaan cukup jauh. Para mahasiswa di Deoband bisa mencapai puluhan ribu, sementara Aligarh hanya ratusan. Di Aligarh proses seleksinya amat sangat eksklusif, hanya para anak lelaki keturunan orang-orang elit saja yang bisa masuk dan dapat menimba ilmu di sana.


Dengan demikian, pada abad ke-19, kita sudah melihat perbedaan dalam komunitas muslim di India. Dan pada tahun 1920-an, keadaan di India semakin tegang akibat munculnya persaingan antara gerakan-gerakan muslim, di samping juga bangkitnya gerakan-gerakan politik India-Hindu, yaitu gerakan-gerakan Hindu fundamentalis yang berupaya memelihara budaya-budaya Hindu-India seperti gerakan Arya Samaj yang saat ini di India menjadi induk partai-partai politik Hindu. Arya Samaj sebetulnya merupakan gerakan dakwah Hindu, tetapi menempuh jalan yang konservatif.


Kita lihat, pada tahun 1920-an itu, umat Muslim terhimpit oleh dua pihak; di satu sisi oleh gerakan Hindu yang politiknya semakin kuat, dan di sisi lain oleh Inggris yang kekuatan militernya sangat besar. Kemudian pada tahun 1928 gerakan Jama’ah Tabligh mulai didirikan pada di Nehru, yaitu sebuah daerah di utara India, sebagai sebuah reaksi. Dan di India pada masa itu mulai bermunculan gerakan-gerakan politik muslim. Tetapi anehnya, fokus gerakan Jama’ah Tabligh bukan kepada politik, melainkan kepada dakwah. Hal ini dikarenakan pemimpinnya, Maulana Muhammad Ilyas Kandhalawi, kuatir terlalu banyak muslim di India yang terpengaruh oleh ide-ide Hindu dan ide-ide Eropa, khususnya budaya Inggris.


Memang tidak ada hubungannya antara Jama’ah Tabligh dengan aliran Deoband maupun Aligarh. Akan tetapi pada periode selanjutnya, Jama’ah Tabligh semakin dekat dengan Deoband. Sebut saja, misalnya, ada anggota Jama’ah Tabligh Indonesia yang melakukan khuruj ke India, maka yang pertama kali dikunjunginya adalah pusat Jama’ah Tabligh di Nehru Delhi, dan kemudian kunjungan berikutnya adalah Deoband. Kalau kita pergi ke Deoband, akan kita temukan banyak sekali pengikut Jama’ah Tabligh di sana yang sedang dalam proses khuruj, dan setelah itu baru mereka akan mengelilingi seluruh wilayah India.


Deoband adalah madrasah yang sangat besar, luasnya bahkan nyaris mengalahkan bandara Soekarno-Hatta. Cabang-cabangnya sangat banyak, mencapai kira-kira 28 ribu yang tersebar di seluruh India. Kalau dilihat, Deoband lebih mirip seperti pesantren-pesantren di Indonesia, karena semua pelajar di sana tinggal di asrama. Para pelajar terbanyak dari luar India bukan dari Pakistan, melainkan dari Malaysia dan Inggris. Hingga tahun 1984 jumlah pelajar Malaysia mencapai 500 orang setiap tahunnya. Dan sekarang ini, sebagian basar pemimpin partai-partai Islam di Malaysia adalah alumni Deoband.



Jama’ah Tabligh; Gerakan Literalist Fundamentalist Pietist

Terdapat suatu istilah yang mungkin dapat digunakan untuk menggambarkan Jama’ah Tabligh, yaitu “literalist fundamentalist pietist movement”. Istilah ini sering digunakan oleh Khalid Mas’ud dan beberapa peneliti tentang Jama’ah Tabligh, termasuk saya sendiri. Disebut “movement” karena Jama’ah Tabligh bukanlah organisasi atau partai, melainkan suatu gerakan. Di samping itu, ia juga tidak mempunyai membership yang permanen. Untuk menjadi anggota Jama’ah Tabligh sangat mudah, tinggal datang ke markasnya, lalu menulis nama. Dan bila dibandingkan dengan partai politik, tidak ada sistem di mana setiap anggotanya diberi nomor atau ranking. Artinya, dalam Jama’ah Tabligh tidak ada sistem rekrutmen ketak layaknya partai politik. Oleh karena itu, sangat sulit untuk melakukan penelitian terhadap Jama’ah Tabligh karena kita tidak tahu berapa jumlah anggotanya di seluruh dunia. Banyak peneliti yang mengatakan bahwa Jama’ah Tabligh mungkin merupakan gerakan dakwah yang paling besar di dunia, hanya saja jumlah anggotanya tidak ada yang bisa memastikan.


Disebut “pietist” karena Jama’ah Tabligh adalah suatu gerakan keimanan. Kemudian “fundamentalist” maksudnya adalah bahwa ia berpijak kepada fundamental Islam, yaitu al-Qur`an dan Sunnah sebagai landasan utama. Dari perspektif ini, di mana al-Qur`an dan Sunnah menjadi pusat pijakan, Jama’ah Tabligh dapat membedakan dirinya dari gerakan-gerakan muslim lainnya. Dan karena itu, apapun yang ada di luar al-Qur`an dan Sunnah dianggap bid’ah.


Selanjutnya, Jama’ah Tabligh disebut “literalist”, karena interpretasinya terhadap al-Qur`an dan Sunnah sangat literal. Misalnya, kalau terdapat hadits yang mengatakan bahwa jenggot Nabi panjangnya tiga meter, sudah dipastikan para pengikut gerakan ini akan mengikutinya tanpa berpikir panjang; mereka akan memelihara jenggot sampai tiga meter juga, tidak setengah meter atau dua meter. Karena mereka membaca pijakan fundamental Islam secara literal. Jadi, bagi mereka cerita Isra` Mi’raj itu bukanlah fantasi ataupun metafor. “Buraq” yang dalam beberapa hadits disebut sebagai kendaraan Nabi untuk mencapai langit ketujuh bagi mereka adalah nyata.


Itulah definisi akademik yang sering kita gunakan dalam menggambarkan Jama’ah Tabligh sebagai sebuah gerakan. Kita tidak menggunakan definisi seperti “moderat” atau “ekstrem”, karena konteks akademik berbeda dengan konteks media. Media menggunakan “moderat” itu relatif. Dan bagi saya, definisi relatif tidak bisa diterapkan dalam penelitian akademik. Kita harus berupaya menggunakan istilah-istilah yang benar-benar persis dengan realitas. Saya mengambil definisi di atas dan saya tambahkan dengan istilah “literalist”. Karena dalam kesehariannya, dalam memberikan tafsiran terhadap al-Qur`an dan Sunnah, para pengikut Jama’ah Tabligh menggunakan “approach” yang sangat literalis.


Selain itu, saya melihat beberapa persoalan menarik tentang Jama’ah Tabligh. Kita tahu, seperti yang telah saya bahas tadi, Jama’ah Tabligh bermula dari India. Dan dalam budaya dan wacana normatif tentang Jama’ah Tabligh, kita sering menemukan sentimen-sentimen yang mencerminkan “paranoid”-nya umat Muslim India pada tahun 20-an, yaitu takut kepada elemen dan influence dari luar; takut kepada budaya Kristen, budaya Hindu, filsafat Yunani, dsb. Dan sampai sekarangpun hal ini masih ada dalam budaya Jama’ah Tabligh.


Dalam setiap diskusi atau pengajian yang diadakan oleh para anggotanya, kita tidak akan pernah menemukan adanya “approach critical”. Tradisi intelektual yang kita temukan dalam pemikiran Ibn Khaldun ataupun al-Ghazali sama sekali tidak ada dalam budaya Jama’ah Tabligh. Ibn Khaldun, misalnya, dalam buku “al-Muqaddimah” membahas tentang masyarakat (society). Menurutnya, masyarakat adalah suatu konstruk yang berinteraksi dengan elemen-elemen lain.


Tetapi dalam Jama’ah Tabligh hal itu tidak akan pernah kita temukan. Bagi kelompok ini, masyarakat adalah masyarakat, suatu obyek yang sudah jadi. Artinya, relasi kuasa dalam sebuah masyarakat itu bukanlah akibat dari perbedaan kekayaan atau kekuasaan, akan tetapi memang sudah begitu adanya. Jadi, “approach critical” dalam pemikiran Ibn Khaldun itu tidak ada dalam lokus tradisi Jama’ah Tabligh. Hal ini disebabkan karena kelompok ini masih menaruh ‘kecurigaan’ terhadap filsafat. Dan hal ini juga yang membuat Jama’ah Tabligh tampak lebih dekat dengan Madrasah Deoband.


Pada abad ke-19, misalnya, Madrasah Deoband mengharamkan filsafat. Para ulama Deoband mengatakan bahwa: (a). Filsafat datang dari tradisi Yunani dan Romawi; (b). Karena itu, ia mencemarkan para intelektual muslim dengan ide-ide yang tidak Islami, dan; (c). Filsafat dapat menimbulkan kesalahpahaman di kalangan umat Muslim. Oleh karena itu, tradisi intelektual di Madrasah Deoband sangat konservatif dan sangat anti filsafat.


Dan kalau kita lihat, ritual harian dalam Jama’ah Tabligh adalah pengajian (pagi, siang dan malam). Tetapi, budaya pengajiannya berbeda dengan pengajian yang dilaksanakan di pesantren-pesantren NU, yaitu tidak ada diskusi tentang “meaning” (arti kata). Konsep “meaning” yang digunakan adalah konsep yang sudah jadi, yang sudah tersedia, tanpa sedikitpun berupaya melakukan tafsir dan takwil yang mendalam sebagaimana dilakukan oleh para ulama klasik. Jelas, bagi orang seperti saya yang berpikir scientific, pengajian dan diskusi yang diadakan para anggota Jama’ah Tabligh itu sangat membosankan. Bisa dibayangkan, misalnya, setiap hari yang mereka bincangkan hanya ‘itu itu saja’; jenggot, hijab, dsb.


Jadi, Jama’ah Tabligh terbentuk dalam kondisi umat Muslim yang paranoid terhadap budaya luar. Mereka merasa dikepung oleh banyak musuh. Sehingga Jama’ah Tabligh sejak awal sangat defensif. Meski demikian, ia berkembang di India dengan sangat cepat, justru karena ia merupakan sebuah gerakan dari bawah, bukan sebagai gerakan elit. Target dakwahnya adalah golongan kelas menengah ke bawah, yaitu golongan miskin dari umat Muslim yang ingin melihat perkembangan semangat iman umat Muslim di India sebagai suatu batas yang dapat melindungi setiap muslim dari elemen-elemen dari luar.


Jama’ah Tabligh terus berkembang, hingga kemudian pusatnya dipidahkan ke Delhi. Perkembangannya yang cukup pesat itu membuatnya tersebar di seluruh wilayah India sebelum India pecah pada tahun 1948 menjadi India dan Pakistan, yang disusul kemudian dengan terbentuknya negara Banglades pada tahun 1974. Namun, meskipun India pecah, Jama’ah Tabligh tetap satu tanpa terpengaruh sedikitpun oleh perpecahan tersebut. Kendati warga India, Pakistan dan Banglades sering bermusuhan, namun di dalam lingkup Jama’ah Tabligh mereka adalah saudara. Dan walaupun, misalnya, warga India sangat sulit mendapatkan visa ke Pakistan, demikian juga warga Banglades ke Pakistan, tetapi ketika dilaksanakan ijtima’-ijtima’ besar Jama’ah Tabligh baik di India, di Pakistan dan di Banglades, itu sangat luar biasa banyak jumlah warga India, Pakistan dan Banglades yang saling berkunjung guna mengikuti ijtima’-ijtima’ tersebut. Karena mereka merasa satu keluarga. Inilah yang unik tentang Jama’ah Tabligh di Asia Selatan.


Itu faktor pertama, yaitu sebagai gerakan dari bawah, bukan gerakan elit. Kemudian faktor kedua adalah, bahwa dari awal Jama’ah Tabligh merupakan gerakan sangat maskulin, yaitu hampir semuanya didominasi oleh kaum lelaki. Dalam doktrin kelompok ini, tugas dakwah adalah kewajiban bagi para lelaki muslim—para lelaki harus keluar melakukan dakwah. Inilah argumentasi yang kerap digunakan oleh Jama’ah Tabligh, bahwa tanpa dakwah Islam tidak mungkin ada. Dan bagi Jama’ah Tabligh—meskipun didirikan pada tahun 1928 di India—kalau mengikuti interpretasi sejarahnya, ia sudah ada dalam suatu “protion state” dari zaman Nabi Muhammad, dengan alasan bahwa beliaulah yang melakukan tabligh (penyampaikan dakwah Islam) pertama kali, dan beliau pulalah yang melakukan khuruj pertama kali, yaitu dari Makkah ke Madinah. Semua ini dijadikan landasan oleh Jama’ah Tabligh guna mendapatkan ruh dan legitimasi dari titik awal munculnya Islam.


Kemudian faktor ketiga adalah transisi ideologi dan interpretasi yang terjadi dari pemimpin pertama, Maulana Muhammad Ilyas Kandhalawi, ke pemimpin kedua, Maulana Muhammad Yusuf. Pemimpin yang kedua ini tetap memelihara ajaran Jama’ah Tabligh dari pemimpin pertama, hanya saja fokusnya lebih ke arah sufi. Tidak diketahui jelas kenapa, tetapi kalau kita berkunjung ke markas-markas Jama’ah Tabligh di Asia Tenggara, katakanlah Indonesia, misalnya, buku-buku yang kerap kita temukan adalah karangan Maulana Muhammad Yusuf yang bercorak sufistik. Berbeda, misalnya, kalau kita berkunjung ke markas-markas Jama’ah Tabligh di India, Pakistan dan Banglades, kita akan menemukan buku-buku yang original dari pemimpin pertama, Maulana Muhammad Ilyas Kandhalawi.


Khusus di Indonesia, saya tidak melihat ini di Thailand, saat ini ada fenomena buku-buku kecil Jama’ah Tabligh tulisan anggota Jama’ah Tabligh sendiri. Tetapi tidak ada sensor, apakah ini benar atau salah. Di antara buku-buku kecil itu ada yang temanya sangat lucu, “Kenapa ke India?”. Buku ini digunakan oleh sebagian anggota Jama’ah Tabligh untuk memberikan jawaban kepada para majikan dan istri mereka, kenapa mereka pergi ke India selama sebulan. Ada juga buku kecil berjudul “Bagaimana Menjawab Salafi”. Isinya adalah jawaban terhadap tuduhan-tuduhan yang diarahkan kepada Jama’ah Tabligh. Jadi, ada semacam dialog antara Jama’ah Tabligh dan Salafi. Misalnya, Salafi menuduh Jama’ah Tabligh mengotorkan masjid; masak nasi di masjid, gantung celana dalam di masjid. Jama’ah Tabligh memberikan jawaban: (a). Jama’ah Tabligh tidak akan menggantung celana dalam di dalam masjid tanpa menutupnya dengan handuk; (b). Jama’ah Tabligh tidak memakai celana dalam karena itu melanggar sunnah.


Ada juga buku kecil mereka yang bagi saya sangat menarik, yaitu “Dialog Fiktif Antara Nabi Muhammad dan Setan”. Dalam dialog itu Nabi Muhammad mengatakan bahwa Jama’ah Tabligh adalah ajaran Islam untuk berdakwah kepada dunia. Sementara setan mengatakan bahwa ia akan melawan upaya dakwah Jama’ah Tabligh dengan cara menyebarkan ide-ide bahwa Jama’ah Tabligh itu haram, bahwa keluar rumah untuk berdakwah merupakan beban. Sudah tentu dialog semacam ini tidak pernah terjadi antara Nabi dan setan. Di dalam sumber-sumber fundamental Islam, al-Qur`an dan Sunnah, tidak pernah kita temukan indikasi yang mendukungnya. Kendati demikian, buku kecil tersebut menjadi manual training bagi para anggota Jama’ah Tabligh.


Selain itu, masih banyak buku kecil lainnya yang temanya sangat imajinatif. Maksud saya imajinatif dari segi komposisinya, bukan dari segi filosofinya. Karena memang tidak ada pendekatan intelektual dan kritikal di dalamnya.



Masuknya Jama’ah Tabligh ke Asia Tenggara

Sekarang kita akan membahas proses masuknya Jama’ah Tabligh ke Asia Tenggara yang dimulai dari tahun 1952. Pada tahun ini, delegasi pertama Jama’ah Tabligh tiba di Asia Tenggara dengan naik kapal laut. Mereka menginjakkan kaki pertama kali di pulau Pinang, kemudian ke Medan, kemudian ke Singapura. Pada masa itu, Jama’ah Tabligh adalah fenomena India, Asia Selatan, karena para delegasi pertamanya datang dari India, dan semuanya bicara dalam bahasa India dan Urdu, hanya ada satu atau dua orang yang bisa bicara dalam bahasa Inggris.


Ketika delegasi pertama sampai di Asia Tenggara, karena kekurangan dari segi bahasa, juga karena mereka baru pertama kali datang ke Asia Tenggara, maka sasaran dakwah mereka adalah warga muslim India yang ada di pulau Pinang, Medan dan Singapura. Karena memang, warga muslim India di pulau Pinang, Medan dan Singapura sangat banyak. Lebih-lebih karena di daerah-daerah itu terdapat pelabuhan, sehingga sangat mudah bagi mereka untuk masuk. Sayangnya, banyak peneliti yang berpendapat bahwa Jama’ah Tabligh masuk Asia Tenggara pada tahun 70-an, karena pada masa itu kalau kita lihat para anggota Jama’ah Tabligh sudah dengan wajah Melayu dan Jawa. Padahal, 30 tahunan sebelum itu, yaitu pada tahun 50-an, Jama’ah Tabligh sudah mulai masuk ke Asia Tenggara, tepatnya di Pulau Pinang, Medan dan Singapura, hanya saja memang terbatas pada warga muslim India.


Kemudian pada tahun 1955, delegasi kedua yang berjumlah 8 orang datang ke Jakarta dengan naik pesawat—ini sebetulnya bisa dianggap melanggar sunnah. Ketika itu di Jakarta belum ada bandara Soekarno-Hatta, dan pesawat yang mereka tumpangi mendarat di Kemayoran. Menariknya, dari tahun 1952 sampai 1955, delegasi yang dikirim semuanya berasal dari India, hanya berbicara dalam bahasa India dan Urdu, hanya ada satu orang yang saja bisa berbahasa Inggris, dan tidak ada seorangpun dari mereka yang bisa berbahasa Indonesia.


Ceritanya—berdasar penuturan para amir Jama’ah Tabligh yang masih aktif—, ketika para delegasi itu sampai di Jakarta, mereka turun dari pesawat, lalu mencari taksi yang supirnya bisa berbahasa Inggris dan memintanya membawa mereka ke rumah orang muslim India yang tinggal di Jakarta, “Bawa kami ke rumah orang muslim India,” demikianlah kira-kira yang mereka katakan. Dan akhirnya mereka dibawa ke Jln. Industri. Di sana mereka bertemu dengan Zaman Khan, seorang keturunan muslim India yang sudah menjadi warga Indonesia, karena pada tahun 1945 ia juga ikut berperang melawan Kompeni Belanda. Ia bukanlah seorang ustadz, melainkan seorang pengusaha susu sapi. Jadi, pada tahun 50-an di Indonesia sudah banyak orang muslim India dan juga orang Arab yang menjadi warga Indonesia, bahkan pada tahun 1945 mereka juga terlibat dalam perang melawan Kompeni Belanda.


Ketika bertemu Zaman Khan, para delegasi itu bilang, “Kami adalah delegasi Jama’ah Tabligh, ingin melakukan tabligh di Indonesia.” Mendengar ini tentu saja Zaman Khan kaget dan bertanya, “Kalian ini siapa, kita kan belum kenal. Apa itu Jama’ah Tabligh?” Harus diakui, keberanian delegasi Jama’ah Tabligh ini memang sangat luar biasa! Mereka dikirim ke berbagai negara tanpa kontak dan nama orang yang akan mereka kunjungi.


Kemudian, pada pertemuan pertama, Zaman Khan mengundang semua orang muslim India di kawasan Jakarta ke rumahnya dan bilang, “Saya mengundang kalian, di rumah saya ada tamu berjumlah 8 orang, saya tidak kenal siapa mereka, dan juga bingung mau ditempatkan di mana mereka.” Akhirnya mereka ditempatkan dari satu masjid ke masjid lain, karena tidak ada masjid yang menerima mereka untuk menetap lebih lama. Karena mereka memang asing sekali, tidak bisa berbicara dalam bahasa Indonesia, tidak bisa makan nasi, dan hanya bisa makan chapati—rupa dan budaya mereka semuanya India.


Untuk beberapa waktu lamanya mereka berpindah dari satu masjid ke masjid lain, sampai akhirnya mereka mendapatkan sebuah masjid—yang menjadi markas mereka sekarang—di Kebun Jeruk. Waktu itu, Kebun Jeruk adalah kawasan yang sangat berbahaya dan tidak aman, karena menjadi tempat bersarangnya para perampok, dan bahkan menjadi kawasan para pelacur. Mereka mendapatkan masjid itu karena masjid itu memang kosong, tidak ada seorangpun yang berani tinggal di sana. Dan di sanalah mereka kemudian mendirikan maskas Jama’ah Tabligh.


Dari Jakarta, mereka melakukan dakwah di kawasan Jawa Barat; Bandung, Bogor, dll. Ketika jaringan mereka sudah begitu kuat, pada tahun 1956 mereka mengirim delegasi ke kota-kota yang banyak warga muslim Indianya. Dan selain Jakarta, salah satu kota yang banyak warga muslim Indianya adalah Solo yang saat itu menjadi pusat industri batik. Di sana para pemilik toko batik sebagiannya adalah warga muslim India. Jadi, mereka mengirim delegasi dari Jakarta ke Solo. Dan tanpa memerlukan waktu yang cukup lama, Solo pun menjadi markas Jama’ah Tabligh untuk Jawa Tengah. Sementara Jakarta menjadi markas nasional, dan juga untuk wilayah Jawa Barat.


Namun demikian, meskipun mereka sukses melebarkan sayap dakwahnya sampai ke Jawa Tengah, yang hanya memakan waktu 2 atau 3 tahun saja, tetapi mereka tidak pernah berhasil menembus wilayah Jawa Timur. Karena masyarakat Jawa Timur tidak mau menerima orang India. Para delegasi yang dikirim ke wilayah itu selalu saja menuai kegagalan. Bahkan, ketika mereka mengirim delegasi ke Kudus, masyarakat Jawa Timur melaporkan mereka ke polisi. Tak ayal, para delegasi itupun langsung ditangkap dan dikembalikan lagi ke Jakarta untuk dipulangkan ke India.


Ada cerita menarik, bahwa ketika para delegasi dari Kudus itu ditangkap polisi dan dibawa kembali ke Jakarta untuk dipulangkan ke India, mereka ditahan selama dua minggu di camp tahanan untuk orang-orang illegal di Jakarta. Kemudian delegasi dari markas Jama’ah Tabligh datang ke camp itu guna membebaskan dan memulangkan mereka ke India. Dan lucunya, ketika hendak dibebaskan mereka malah bilang, “Kami tidak mau keluar. Kami akan menetap di camp ini, karena di sini kami bisa berdakwah.” Kita lihat, komitmen mereka benar-benar luar biasa. Bahkan sebelumnya pernah ada seorang muslim India yang dikirim sebagai delegasi dengan berjalan kaki dari Solo ke Madura, walaupun ternyata tidak ada satu masjid pun yang mau menerimanya.


Namun, kegagalan itu tidak lantas membuat mereka putus asa. Mareka terus berusaha melakukan berbagai upaya, sampai akhirnya mereka berhasil menembus Jawa Timur dan Madura pada tahun 70-an. Karena antara tahun 50-an sampai 70-an, jumlah orang Jawa yang menjadi anggota Jama’ah Tabligh semakin banyak. Jadi, Jama’ah Tabligh bisa sukses masuk ke Jawa Timur dan Madura ketika mengirim delegasi yang asli orang Jawa. Dan markas Jama’ah Tabligh—kantor pusat administrasi, bisa dikatakan begitu—untuk seluruh wilayah Jawa Timur adalah Surabaya, tepatnya di Jln. Ikan Gurame, yaitu berupa sebuah rumah kecil. Kenapa? Karena di Surabaya terlalu banyak gerakan Indian-Muslim; ada Syi’ah, ada Isma’iliyah, dll. Jadi, tidak ada tempat yang luas untuk markas Jama’ah Tabligh. Sehingga dengan sangat terpaksa mereka membeli rumah kecil di sana. Sementara markas ijtima’-nya adalah Temboro (daerah dekat Madiun)—mereka menyebutnya dengan “Kampung Madinah”, mengingat hampir seluruh keluarga di sana sudah ditablighisasi. Ini bisa dilihat dari pakaian mereka, khususnya para perempuan yang menggunakan hijab hitam. Ini saya kira menarik, karena menunjukkan tidak adanya konsistensi dalam sistem organisasi Jama’ah Tabligh.


Dulunya Temboro itu adalah markasnya NU, tetapi dengan aliran sufi Naqsyabandi. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana kemudian ia menjadi markas berkumpulnya anggota Jama’ah Tabligh? Hal ini terjadi melalu proses negoisasi sedikit demi sedikit. Mereka bergerak seperti air, mengikuti arus secara alamiah. Apalagi, secara kebetulan, Jama’ah Tabligh terbentuk di India dengan madzhab Hanafi. Sehingga, ketika di Jawa mereka bisa mengadaptasikannya dengan madzhab Syafi’i. Padahal, seperti yang dibahas sebelumnya, Jama’ah Tabligh pada tahun 1952 – 1955 marketnya sangat kecil sekali. Mereka tidak bisa berkomunikasi dengan orang Indonesia karena tidak bisa bahasa Indonesia. Sehingga fokus dakwah mereka adalah muslim India yang bermadzhab Sunni-Syafi’i. Dan belakangan, kalau dilihat dari ijtima’nya di India, para anggota Jama’ah Tabligh dari berbagai madzhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, datang dan berkumpul di sana. Tetapi bukan Ahmadiyah dan Syi’ah. Pendirian Jama’ah Tabligh sangat jelas, Ahmadiyah haram karena bukan Islam, tetapi mereka tidak agresif.


Selain itu, salah satu hal yang menopang keberhasilan Jama’ah Tabligh adalah tidak adanya konfrontasi. Oleh karena itu, kelompok ini tidak bisa dianggap militan. Saya gambarkan lagi proses penyebarannya; dari Medan menyebar ke seluruh Sumatera; dari Jawa mengirim banyak delegasi ke berbagai daerah strategis di sana; kalau di Sulawesi—bisa diibaratkan—bisnya dari Makassar; kalau di Kalimantan, di setiap daerah seperti Banjarmasin, Pontianak, dll., itu kita dapat menemukan markas-markasnya bertebaran, bahkan ke Jayapura di Papua. Dengan ini, kita bisa membayangkan bagaimana skill dan perjuangan para delegasi Jama’ah Tabligh dalam mempengaruhi massa—benar-benar luar biasa!


Kalau melihat sejarah awal Jama’ah Tabligh memang sangat jelas, bahwa sebelum Jama’ah Tabligh terbentuk, dunia Islam ini dalam lanskap sosialnya sudah banyak gerakan-gerakan muslim yang terbentuk. Lalu bagaimana mereka membentuk sebuah gerakan baru yang original dan berbeda. Saya sering menggunakan contoh ‘menjual HP’. Kita lihat di pasar Indonesia sudah banyak jenis HP, ada yang Nokia, Sony Ericsson, Samsung, dll. Katakanlah saya adalah pendatang baru yang akan memasarkan suatu HP baru, lalu saya datang ke Indonesia, dan saya lihat susahnya setengah mati. Nokia sudah mendominasi, demikian juga Sony Ericsson dan Samsung. Jadi, kalau saya mau memasarkan HP yang baru, HP baru yang akan saya pasarkan itu harus ada satu fungsi yang luar biasa uniknya, yang berbeda dari jenis HP lainnya. Karena kalau sama saja dengan Nokia, tentu tidak ada yang mau beli. Untuk apa juga, toh Nokia lebih bagus.


Jadi, Jama’ah Tabligh juga begitu. Ia masuk ke dalam market of ideas yang mana ide-idenya sudah di-sharing dengan gerakan-gerakan yang lain. Jama’ah Tabligh tidak bisa begitu saja mengklaim bahwa dakwah itu hanya wajib bagi mereka, sebab banyak juga gerakan-gerakan muslim lain yang menjalankan dakwah. Demikian juga ajaran-ajarannya; agama, Tuhan, kitab suci, nabi, shalat, puasa, zakat, naik haji—semuanya sama. Lantas apa bedanya Jama’ah Tabligh dengan gerakan yang lain? Ketika para delegasi Jama’ah Tabligh datang ke suatu masyarakat untuk berdakwah mereka mengatakan, “Kami ingin mengajak kalian ke Islam yang murni.” Kenapa Islam murni? Karena mereka mengklaim bahwa pada mereka tidak ada bid’ah. Sementara Islam yang dianut oleh selain mereka dianggap sudah tercemari oleh dunia, sehingga tidak murni lagi. Jadi saya kira, ketika Jama’ah Tabligh muncul di India di awal tahun 20-an, ia mencoba mencari suatu sudut, yaitu: (a). Khuruj; (b). Fokus antara yang konservatif dan sufi; (c). Dakwah dari bawah.


Pada masa itu Jama’ah Tabligh sukses karena gerakan-gerakan muslim yang muncul di India sangat elitis, nasionalis dan ingin membuat partai politik. Jama’ah Tabligh menjadi sangat popular karena yang masuk awalnya adalah para petani, orang-orang miskin. Jadi menurut saya, Jama’ah Tabligh memberikan suatu kesempatan kepada orang-orang yang tidak pernah diberikan peluang untuk tampil, karena sebagai sesama anggota mereka equal. Anak yang lebih muda bisa saja memberikan ceramah kepada mereka yang sudah tua, dan orang miskin bisa menjadi amir bagi orang kaya. Makanya gerakan ini popular juga di kalangan anak-anak muda, orang-orang miskin, yang sebelumnya suaranya tidak terdengar.


Di dalam buku saya tentang Jama’ah Tabligh terdapat banyak cerita mengapa seseorang dengan suka rela menjadi anggota Jama’ah Tabligh. Ada banyak sebab yang mendorong orang-orang menjadi anggota Jama’ah Tabligh, tidak ada sebab yang konsisten. Saya di Yogyakarta bertemu dengan seorang anak muda yang dulunya belajar di madrasah salafi di Jakarta. Tetapi kemudian ia keluar dari madrasah itu, karena ia merasa madrasah itu sangat Arab, sementara ia sendiri adalah orang yang konsisten dengan ajaran Jawa. Dan akhirnya ia masuk Jama’ah Tabligh.


Saya juga pernah ketemu dengan serorang pemuda yang dulunya adalah pengikut Tarekat Naqsyabandi. Tetapi ia kemudian masuk Jama’ah Tabligh karena menurutnya Tarekat Naqsyabandi itu sangat liberal. Saya juga pernah ketemu orang-orang bisnis yang bosan dengan kehidupan mewah, dan kemudian ia memilih masuk Jama’ah Tabligh. Saya juga pernah ketemu seorang politikus yang gagal dalam pemilu, akhirnya ia masuk Jama’ah Tabligh.


Yang menarik, Jama’ah Tabligh memposisikan dirinya sebagai gerakan alternatif. Saya pernah membaca Khalid Mas’ud menggunakan istilah “dry duck”. Istilah ini biasanya digunakan untuk tempat perbaikan kapal-kapal yang sudah rusak di pelabuhan. Jadi, “dry duck” itu adalah tempat yang aman dan nyaman untuk proses perbaikan kapal. Dan Khalid Mas’ud mengibaratkan Jama’ah Tabligh seperti “dry duck”, karena hidup di dunia ini terlalu banyak masalah sehingga mengakibatkan stress berkepanjangan. Malah, di Madura, saya pernah ketemu seorang yang mengatakan bahwa ia masuk Jama’ah Tabligh karena ingin me-recharg ‘batteray’ dalam dirinya.


Lantas, jenis apa gerakan ini? Dari segi membershipnya tidak jelas. Banyak anggota Jama’ah Tabligh yang mungkin aktif hanya seminggu, ada yang aktif sebulan, ada yang aktif setahun, dan ada pula yang aktif secara full time. Jadi, susah untuk kita mencari suatu standar. Oleh karena itu, anggota Jama’ah Tabligh tidak bisa diketahui secara pasti. Tetapi kalau melihat berbagai ijtima’-nya, jumlah pengikutnya bahkan mencapai jutaan. Setelah pelaksanaan haji di Makkah, dilakukan ijtima’ di India, Pakistan dan Banglades. Jumlah anggotanya yang ikut dalam ijtima’ itu sangat fantastik. Ijtima’ itu dilakukan dengan tujuan untuk menguatkan rasa persaudaraan di kalangan para anggotanya.


Tidak seperti anggapan kebanyakan orang, bahwa Jama’ah Tabligh itu bukanlah untuk lari dari masyarakat. Sebab, orang yang lari dari masyarakat tidak akan melakukan dakwah. Dan inilah uniknya, para pengikut Jama’ah Tabligh itu lari dari masyarakat untuk kembali kemasyarakat, tetapi dengan performa yang berbeda, yaitu sebagai pendakwah. Dan modal dakwah mereka sangat sederhana, basicly dan friendly yang hanya berlandaskan kepada al-Qur`an dan Sunnah.


Dan seringnya seperti di dalam Gereja Kristen Protestan, ada fenomena yang disebut dengan “le cuiches”, yaitu orang-orang biasa yang menjadi pendakwah. Tidak seperti gerakan Jesuit, yang training sangat lama, 10, 15 sampai 20 tahun untuk menjadi Jesuit. Membaca buku-buku bahasa Yunani Latin. Kalau di Jama’ah Tabligh 5 menit sudah bisa pendakwah. Jadi, cepat sekali prosesnya.


Namun tidak bisa dipungkiri, banyak di antara anggotanya adalah para mahasiswa dan dosen universitas. Dan ini justru menunjukkan konsistensi Jama’ah Tabligh yang sangat disiplin terkait sikap mereka terhadap hal-hal di luar ruang lingkup al-Qur`an dan Sunnah, bahwa apapun yang tidak ada di dalam kedua kanon fundamental Islam tersebut adalah bid’ah, dan apapun yang ada di luar Jama’ah Tabligh adalah bid’ah, urusan duniawi. Inilah satu hal yang membedakan antara Jama’ah Tabligh dan yang bukan Jama’ah Tabligh. Maksudnya, ada semacam dialectic of identity, bahwa yang di luar itu memberikan bentuknya terhadap Jama’ah Tabligh—ada yang di luar makanya ada Jama’ah Tabligh.


Dan saat ini, image bahwa Jama’ah Tabligh adalah kumpulan orang-orang berjenggot dengan pakaian India, itu saya kira sudah semakin hilang. Karena dari tahun 50-an hingga sekarang, Jama’ah Tabligh telah menjalin suatu fenomena lokal. Bila dibandingkan dengan 12 tahun yang lalu saat saya melakukan penelitian di tahun 2000, saat ini pakaian anggota Jama’ah Tabligh di Indonesia sudah banyak berubah. Kalau dulu masih bercorak India, tetapi sekarang, seperti di Temboro, sudah seperti masyarakat muslim lokal pada umumnya, yaitu memakai sarung dan kopiyah. Selain itu, dari segi makanan, mereka sudah tidak lagi makan chapati, tetapi sudah makan nasi, tempe, tahu, dan makanan-makanan lokal lainnya. Ini menunjukkan bahwa Jama’ah Tabligh sudah menjadi fenomena dan budaya lokal. Ini juga menjadi salah satu faktor kesuksesan Jama’ah Tabligh di Asia Tenggara. Jama’ah Tabligh tidak datang dengan sebuah pemikiran bahwa ‘kami datang Islam yang benar, kalian harus berubah mengikuti kami’.


Di Indonesia, sejauh yang saya tahu, Jama’ah Tabligh tidak ambil bagian dalam aksi-aksi kekerasan dan penyerangan terhadap Ahmadiyah. Selain itu, dengan Syi’ah, mereka juga tidak pernah terlibat konflik. Perspektif Jama’ah Tabligh terhadap kelompok-kelompok tersebut sama dengan perspektif mereka terhadap Kristen dan Yahudi, yaitu tidak ingin konfrontasi.


Jama’ah Tabligh tidak pernah satu kalipun terlibat konflik di Indonesia dari tahun 1952. Kita tidak pernah mendengar ada kasus pembakaran markas Jama’ah Tabligh. Sebagaimana kita juga tidak pernah mendapatkan informasi anggota Jama’ah Tabligh dibunuh dan membunuh. Dalam sejarahnya, di seluruh Asia Tenggara sekalipun, berbagai konflik besar yang sampai menelan korban jiwa tidak ada hubungannya dengan Jama’ah Tabligh.


Jama’ah Tabligh mengadaptasikan dirinya sedemikian rupa dan luar biasa dengan budaya lokal. Oleh karena itu, kalau di Asia Selatan rokok itu haram, tetapi kalau bagi pengikut Jama’ah Tabligh di Indonesia rokok itu hampir wajib. Tetapi ada yang menarik bagi saya, ketika MUI mengeluarkan fatwa bahwa rokok itu haram, itu sama sekali tidak dibahas di kalangan Jama’ah Tabligh pada level syura nasional. Tidak tahu kenapa, mungkin karena banyak anggotanya di Indonesia yang merokok.


Dan saat ini, persoalan yang kerap muncul adalah, apakah bisa menggunakan radio atau televisi atau bahkan internet sebagai media untuk berdakwah? Ini menjadi sebuah tekanan tersendiri bagi Jama’ah Tabligh. Bagaimanapun, Jama’ah Tabligh hanyalah salah aktor di antara aktor-aktor lainnya di dalam sebuah lanskap, ada partai Islam, ada gerakan-gerakan muslim lainnya. Dan Jama’ah Tabligh, tujuan jangka panjangnya adalah mengislamkan seluruh umat Muslim. Nah, kalau gerakan-gerakan lain, seperti Wahabiyah yang sangat konservatif, sudah menggunakan televisi dalam menyebarkan ajaran-ajarannya, lantas berapa lamakah Jama’ah Tabligh bisa bertahan kalau sama sekali tidak mempertimbangan media-media seperti radio, televisi dan internet untuk digunakan dalam menyebarkan dakwahnya?


Tetapi, saya lihat hal itu juga tergantung konteks negaranya. Di Pakistan, misalnya, sekarang Jama’ah Tabligh sudah mulai menggunakan televisi sebagai media dakwah. Meskipun awalnya Jama’ah Tabligh bersikukuh dengan pendirian bahwa televisi adalah bid’ah (haram), tetapi ketika melihat gerakan-gerakan lain masuk ke Pakistan dan menyebarkan dakwahnya menggunakan radio, televisi dan internet, maka mau tidak mau belakangan ini Jama’ah Tabligh Pakistan juga menggunakan media-media tersebut. Dalam kasus ini, biasanya ditentukan oleh syura nasional.


Jadi, dari sisi prakteknya Jama’ah Tabligh sangat realis, meskipun dari sisi doktrinnya sangat saklek. Saya tidak pernah menemukan gerakan yang seperti ini, yang bisa mendapatkan begitu banyak dukungan dari semua level. Ketika saya di Thailand Selatan, markas besarnya, yaitu di kampung Yalla, yang luasnya nyaris menyamai bandara Soekarno-Hatta, saya lihat dinding-dindingnya tidak konsisten, karena batu-batunya tampak berbeda-beda. Lalu saya tanya, dan saya mendapatkan jawaban bahwa markas ini didirikan atas derma dari para anggotanya. Setiap orang dari anggotanya memberikan batu yang berbeda dari yang lain; ada yang memberi batu warna cokelat, ada yang memberi batu warna putih, ada yang memberi batu warna hitam, ada yang memberi batu besar, ada yang memberi batu kecil. Dengan semua ini mereka membangun sebuah markas besar. Ini membuktikan bahwa Jama’ah Tabligh bukanlah sebuah gerakan yang tergantung kepada uang donatur yang besar. Kelompok ini bisa mendapatkan sokongan material dan uang dari para anggota lokalnya sendiri. Bahkan, ketika mereka membangun markas itu, ada seorang syaikh dari Qatar yang ingin memberikan uang 10 ribu dollar, tetapi mereka malah bilang, “Kami tidak akan menerima sepeserpun uang dari Anda selama Anda belum menjadi anggota kami, sebab ini untuk kepentingan tabligh (dakwah).”


Namun kemudian ada persoalan lain, bahwa dengan membershipnya yang sangat terbuka, Jama’ah Tabligh bisa sering disalahgunakan. Seperti pada kasus bom Bali, misalnya, ada beberapa orang yang masuk Bali melalui Jama’ah Tabligh, mereka melakukan khuruj bersama rombongan delegasi, dan terjadilah ledakan bom itu. Artinya, Jama’ah Tabligh itu membuka jalan, sehingga siapapun boleh masuk ke dalamnya dan menjadi anggotanya. Dalam hal ini, kita memang tidak bisa menyalahkan Jama’ah Tabligh atas aksi-aksi seperti bom di Bali. Namun persoalannya, Jama’ah Tabligh tidak mempunyai internal system untuk mengontrol siapapun yang masuk menjadi anggotanya. Menurut saya ini akan menjadi masalah besar bagi Jama’ah Tabligh, tidak saja di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Katakanlah ada seseorang yang ingin meledakkan bom di Peru, ia tinggal masuk Jama’ah Tabligh dan ikut khuruj ke sana.


Jadi, Jama’ah Tabligh sangat rentan disalahgunakan. Sama seperti pesawat yang bisa menerbangkan kita ke manapun tujuan kita. Tetapi kalau disalahgunakan, maka akibatnya akan sangat fatal sekali. Seperti yang kita tahu, WTC dan Pentagon hancur gara-gara ditabrak pesawat yang dibajak oleh beberapa anggota Alqaeda. Kita tidak mungkin mengharamkan semua pesawat, karena manfaatnya sangat banyak. Hanya saja dibutuhkan control system agar pesawat itu tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu.


Tetapi, justru dengan karakternya yang sangat terbuka itu, Jama’ah Tabligh sangat mudah menyebar luas. Karena kalau Jama’ah Tabligh terlalu ketat, maka ia akan mudah hilang dan dilupakan orang. Dan kita lihat, banyak orang masuk Jama’ah Tabligh karena lari dari Wahabiyah. Karena merasa Wahabiyah sangat keras, konservatif, mereka keluar dan mencari gerakan yang lebih longgar. Tetapi kalau terlalu longgar, Jama’ah Tabligh tentu akan kehilangan identitasnya.


Dan tampaknya, paska bom Bali, Jama’ah Tabligh, khususnya di Indonesia, mulai mengeluarkan sikap. Misalnya, pada tahun 2002 atau 2003—menurut sahabat saya, Yusran Razaq—di Jakarta telah diselenggarakan syura nasional, di mana amir Jama’ah Tabligh Indonesia memberikan instruksi kepada seluruh markas cabang Jama’ah Tabligh untuk lebih memperhatikan siapapun yang masuk ke dalam Jama’ah Tabligh, siapapun yang beraktivitas di markas. Hal ini dilakukan untuk berjaga-jaga agar Jama’ah Tabligh tidak dimasuki oleh gerakan-gerakan muslim garis keras. Mulai ada kekuatiran di kalangan Jama’ah Tabligh kalau keberadaan mereka secara umum nantinya diharamkan di Indonesia.



Jama’ah Tabligh dan Partai Politik

Saat ini banyak bermunculan kelompok-kelompok Islam yang menjadikan partai politik sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan. Tetapi, kita sama sekali tidak akan menemukan ‘hasrat politik’ dalam Jama’ah Tabligh. Dalam hal ini mereka mengacu kepada dua aspek penting Nabi Muhammad: pertama, aspek subyektif individual dan psikologi Nabi; kedua, aspek biographical historical atau lingkungan pada masa Nabi. Misalnya, kalau Nabi tidak mendirikan partai politik, dan memang pada masa beliau tidak ada partai politik, lalu untuk apa mendirikan partai politik? Oleh karena itu, mereka berprinsip bahwa partai politik itu adalah bid’ah, termasuk partai Islam. Artinya, tidak ada perbedaan antara partai Islam dan partai sekular atau komunis; semuanya adalah urusan duniawi dan bid’ah yang harus dihindari. Maka, dalam konteks ini, bagi mereka PKS itu adalah bid’ah.


Di sini, fokus kepada pemimpin kedua Jama’ah Tabligh, Maulana Muhammad Yusuf, menjadi penting. Karena dialah yang memberikan corak sufistik dalam ajaran kelompok ini, bahwa Nabi Muhammad, di samping merupakan seorang pemimpin agama, juga merupakan seorang sufi besar yang selalu mementingkan urusan agama di atas urusan duniawi. Untuk itu, kelompok ini kemudian menerima sufisme sebagai sesuatu yang legitemed dalam ajaran Islam. Tetapi, tentu saja, sufisme yang ada dalam bayangan mereka adalah sufisme yang Islami, yang tidak terkontaminasi oleh elemen-elemen esoterik Hindu, Nasrani, Budha, dsb., yaitu suatu bentuk spiritualisme Islam yang berlandaskan pada model Nabi Muhammad. Jadi, semuanya kembali kepada model Nabi; sufismenya ikut model Nabi, society-nya ikut model Nabi, ekonominya ikut model Nabi, dan seterusnya. Pendek kata, Nabi Muhammad menjadi pokok atau basic normative Jama’ah Tabligh.


Kalau kita lihat, ada beberapa kelompok Islam yang beranggapan bahwa dengan politik dan kekuasaan mereka tidak akan kesulitan dalam menerapkan syariat Islam. Namun bagi Jama’ah Tabligh, penerapan syariat Islam itu tidak harus melalui jalan politik, kekuasaan atau negara. Syariat Islam bisa diterapkan dari bawah. Dan menurut mereka, tidak ada gunanya membangun sebuah negara kalau masyarakatnya tidak Islami.


Namun demikian, saya tetap melihat adanya relasi antara Jama’ah Tabligh dengan partai-partai Islam. Karena walaupun Jama’ah Tabligh tidak menerima partai Islam, tetapi kalau proses dakwahnya berhasil mereka akan memanfaatkan partai Islam, dan sudah tentu masyarakat yang lebih Islami akan memilih partai Islam, bukan PDIP atau Golkar. Meskipun ini tidak tampak, tetapi saya melihat suatu mekanisme normatif yang sudah menjadi relasi simbiotik. Karena—ini yang harus digarisbawahi—Jama’ah Tabligh bukanlah gerakan yang keras, dan hukum-hukumnya pun sangat normatif. Sebagai contoh, tidak ada sistem disiplin di mana Jama’ah Tabligh—sebagai sebuah gerakan—mengeluarkan anggotanya yang melakukan kesalahan. Katakanlah ada seorang anggotanya yang meledakkan bom pada sebuah hotel, tetapi tidak ada proses yang digunakan untuk mengeluarkan anggotanya tersebut. “Karena kamu fanatik, kamu harus keluar,” misalnya, ini jelas tidak berlaku di dalam Jama’ah Tabligh. Banyak anggota LSM dan Ormas yang dulunya anggota Jama’ah Tabligh. Mereka dari Jama’ah Tabligh belajar disiplin; tidur di atas lantai, makan nasi dengan garam—realitas semacam ini sangat cocok untuk kehidupan aktivis.


Dengan demikian, Jama’ah Tabligh sangat fleksibel dalam hal operasi normatif harian mereka. Saya, misalnya, di Indonesia, kerap bertemu dengan beberapa pengikut Jama’ah Tabligh yang sebenarnya adalah anggota partai politik; PKS, partai-partai yang berafiliasi kepada NU dan Muhammadiyah, Golkar, bahkan PDIP. Di Solo ada seorang pendakwah Jama’ah Tabligh paling terkenal, dan ia ternyata salah satu pemimpin PAN di Solo. Barangkali alasan mereka masuk Jama’ah Tabligh untuk fokus kepada isu-isu lain sementara waktu, atau bisa juga untuk menggunakan Jama’ah Tabligh sebagai modal berpolitik.


Dan kita lihat, partai-partai Islam di Malaysia cenderung merasa senang dengan adanya Jama’ah Tabligh. Saya pernah mewawancarai mursyid al-‘am Partai Islam Malaysia, Nik Aziz, seorang alumni Deoband, dan saya bertanya, “Jama’ah Tabligh mengatakan bahwa partai Islam itu bid’ah. Apakah Anda menerima Jama’ah Tabligh?” Ia menjawab, “Dari segi ortodoksi, kita tidak bisa menafikan bahwa Jama’ah Tabligh itu benar. Jadi, kita tidak bisa mengharamkan. Kita tidak setuju kalau mereka menjauhi politik. Tetapi kita senang, karena kalau dakwah mereka sukses di provinsi Kelantan, maka masyarakat Muslim Kelantan akan lebih cenderung memilih partai Islam daripada partai nasionalis.” Dan ini ternyata ada kesepahaman dengan pandangan Jama’ah Tabligh sendiri, ketika saya wawancara mereka bilang, “Kita memang bukan pemilik tanah, tetapi kita berusaha menyuburkan tanah itu agar partai Islam dapat memetik jagungnya.” Jadi, Jama’ah Tabligh yang menanam benih-benihnya, dan partai Islam yang memetik hasilnya.


Memang, di Malaysia, kalau melihat sejarah, pada periode 80-an dan 90-an, atau pada masa Mahatir, Jama’ah Tabligh tidak disenangi karena dicurigai sebagai gerakan teroris. Tetapi, setelah lama-kelamaan gerakan ini diketahui tidak militan dan tidak membahayakan, akhirnya pemerintah Malaysia menerima Jama’ah Tabligh, karena mereka menarik muslim dari partai politik ke gerakan dakwah. Artinya, mereka melakukan depolitisasi terhadap masyarakat sehingga semakin memperkuat otoritas pemerintah itu sendiri.


Bahkan, pada tahun 80-an, Jama’ah Tabligh sukses mengendalikan orang-orang yang terlibat dalam kasus narkoba. Jadi, Jama’ah Tabligh mampu membuktikan efektivitasnya kepada pemerintah. Dengan demikian, walaupun Jama’ah Tabligh tidak mempunyai minat untuk terlibat dalam kancah politik negara, tetapi dalam diri mereka telah ada suatu kesadaran dan kepahaman politik. Politik maksudnya bukan dari sisi partai politik, tetapi mereka tahu bermain politik.


Pendirian mereka yang tidak mau terlibat langsung dalam aktivitas politik sebenarnya lebih didasari oleh sikap apatis mereka terhadap harta. Mereka tidak ingin mencemari agama mereka dengan hal-hal yang bersifat duniawi, termasuk harta benda. Mereka memang tidak menafikan bahwa manusia memerlukan harta, tetapi mereka tidak menjadikan harta sebagai tujuan hidup, “Manusia perlu uang untuk hidup, tetapi manusia hidup bukan untuk uang.” Inilah prinsip yang selalu mereka pegang teguh.


Sikap Jama’ah Tabligh yang apatis terhadap dunia, itu tentu membuat kita bertanya, apakah Jama’ah Tabligh adalah gerakan fatalis? Pada tahun 70-an banyak orang yang mengatakan bahwa Jama’ah Tabligh adalah gerakan fatalis, yang hanya cocok bagi orang yang kecewa dengan hidup, misalnya; orang putus cinta, orang yang mengalami perceraian, orang kehilangan pekerjaan, orang mau mati, dsb. Kalau dilihat dari sikap Jama’ah Tabligh terhadap dunia, anggapan semacam itu tampak benar. Para pengikut/anggota Jama’ah Tabligh memandang bahwa dunia itu kotor dan mengotorkan siapapun yang masuk ke dalam dunia itu. Ini pokoknya. Tetapi mereka juga mengikuti model Nabi Muhammad yang tidak lari dari dunia. Tugas beliau adalah masuk ke dunia untuk mengubah dunia. Tidak ada nabi yang lari dari dunia dan mengisolasi diri dan tidak mau berinteraksi dengan masyarakat.


Oleh karena itu, bagi para pengikut/anggota Jama’ah Tabligh dunia itu kotor, tetapi karena patuh kepada model Nabi Muhammad, mereka tetap berkecimpung di dalam dunia. Pendek kata, mereka meninggalkan dunia untuk masuk lagi ke dalamnya, tetapi dengan wujud yang sama sekali berbeda, yaitu berdakwah untuk mengubah dunia. Untuk itu, anggapan bahwa Jama’ah Tabligh adalah gerakan fatalis, itu tidak benar.


Lalu, bagaimana dengan anggapan banyak orang bahwa Jama’ah Tabligh adalah gerakan radikal? Istilah “radikal” adalah di antara istilah akademik yang menurut saya paling sensitif dan paling kompleks. Saya memandang bahwa istilah “radikal” telah salah digunakan, sehingga lebih cenderung berkonotasi “militan”. Tetapi jelas, Jama’ah Tabligh tidak militan. Dalam rentang waktu 12 tahun penelitian, saya sama sekali tidak menemukan satupun dari anggota Jama’ah Tabligh yang menganjurkan dan menggunakan kekerasan dalam berdakwah. Uniknya, dakwah para anggota Jama’ah Tabligh tidak dilakukan di kalangan non-muslim. Mereka hanya berdakwah dari muslim ke muslim. Karena bagi mereka, umat non-muslim itu adalah sebagian dari dunia yang harus dijauhi. Jadi, nyaris tidak pernah ditemukan para anggota Jama’ah Tabligh yang berdakwah di kalangan Kristen, misalnya. Tujuan dakwah mereka hanyalah untuk memperkuat iman di lingkungan umat Muslim, tidak untuk membawa Islam keluar.


Dan kalau kita lihat perspektifnya, sebagaimana telah saya katakan tadi, Jama’ah Tabligh memandang dunia itu kotor dan mengotorkan. Tetapi Nabi sendiri tidak pernah lari dari dunia meskipun dinilai kotor. Karena kewajiban beliau adalah masuk ke dunia untuk melakukan perubahan di dalamnya. Demikian halnya juga dengan Jama’ah Tabligh. Nah, kembali kepada istilah “radikal”, tafsiran yang benar kalau kita mengikuti etimologinya adalah gerakan atau ide yang mencoba mengubah dunia. Dari sisi ini, bukanlah sesuatu yang salah bila agama dianggap radikal. Karena tidak ada agama manapun, baik Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, dll., yang membiarkan dunia sebagaimana adanya. Semua agama berkehendak mengubah dunia agar menjadi lebih baik. Nabi Muhammad, misalnya, adalah radikal, sama seperti nabi-nabi yang lain.


Dengan demikian, Jama’ah Tabligh sebetulnya adalah gerakan yang radikal, tetapi tidak militan yang menggunakan kekerasan dalam berdakwah, atau menebar teror di mana-mana. Tujuan dakwah mereka dalam jangka panjangnya adalah untuk memperdalam rasa dan sifat keislaman di kalangan umat Muslim melalui jalan dari bawah tanpa menggunakan alat-alat yang bersifat duniawi, seperti partai politik karena dianggap sebagai bid’ah. Sehingga tidak mengherankan, sebagaimana telah saya katakan, bahwa diskusi dan pengajian para anggota Jama’ah Tabligh sungguh membosankan, hanya membicarakan ‘itu itu saja’, tanpa ada kurikulum yang sistematis. Kalau di markas besar biasanya akan diisi oleh seorang ustadznya. Tetapi kalau hanya dalam kelompok kecil, itu bisa dilakukan syura terlebih dahulu siapa di antara mereka yang akan memberikan ceramah.


Sedikit membahas tentang syura, saya lihat syura memang sangat penting bagi Jama’ah Tabligh dalam proses pengambilan keputusan di setiap aktivitas dalam keseharian mereka. Katakanlah ketika di dalam markas, lalu ada dua orang keluar hendak membeli teh botol. Keduanya keluar dari ruang markas tidak sebagai individu, keduanya harus melakukan syura bahwa salah satu dari keduanya mesti menjadi amir (pemimpin) bagi yang lain, karena umat Muslim harus mempunyai amir—umat Muslim tidak bisa sedetikpun eksis tanpa seorang amir. Ini memberikan gambaran hidup para anggota atau pengikut Jama’ah Tabligh yang sangat strukturistik. Hanya saja, struktur yang dimaksud adalah struktur yang ‘cair’ dan ‘demokratis’; siapapun bisa menjadi leader. Kita sering menemukan, misalnya, satu kelompok khuruj dengan usia rata-rata 30-an tahun, tetapi yang menjadi pemimpin mereka adalah seorang pemuda berumur 20 tahun, bahkan ada yang masih belasan tahun. Dan setiap hari dalam kelompok khuruj itu bisa dipilih amir baru berdasar syura atau konsensus di antara mereka. Kiranya ini merupakan salah satu faktor kenapa Jama’ah Tabligh menjadi menarik bagi kalangan kelas-kelas bawah, karena memberikan kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan representasi terhadap harga diri mereka. Tradisi syura ini bahkan berlaku juga pada hal-hal yang remeh. Misalnya, siapa yang akan masak untuk hari ini, siapa yang akan mencuci piring, apa menu untuk hari ini, malam ini makan ayam atau ikan, dsb.—sangat over demokratis.


Kembali ke masalah pengajian, saya pernah dalam sebuah kajian malam diundang untuk hadir. Isu-isu yang diangkat ada yang sedikit kompleks, tetapi yang sering adalah isu-isu yang populer. Misalnya, ada diskusi tentang “Bahayanya Celana Jeans”. Jawabannya simpel sekali: (a). Karena bukan sunnah; (b). Karena terlalu ketat, sehingga dapat menimbulkan kegairahan bagi siapapun yang melihatnya.


Dan kemudian, masalah Jeans ini dikaitkan dengan isu identitas dan dibawa pula kepada konteks masyarakat muslim Melayu lokal di Thailand Selatan, karena menurut mereka kalau masyarakat Melayu di Thailand memakai Jeans maka tidak ada bedanya mereka dengan orang-orang Budha di Thailand. Artinya, mereka harus berbeda, kalau orang Budha pakai Jeans, maka orang muslim Melayu hanya boleh pakai sarung.



Sikap Jama’ah Tabligh Terhadap Perempuan

Terdapat sebuah buku kecil Jama’ah Tabligh yang sebenarnya merupakan kompilasi 6 kitab karangan Maulana Muhammad Ilyas dan Maulana Muhammad Yusuf, yaitu “Fadhilah al-‘Amal”. Dan yang paling penting dari enam kitab itu adalah kitab keempat, yaitu “Muhammad dan Sahabatnya”. Bab terakhir dari kitab itu berisi tentang perempuan. Ini saya kira sangat penting, karena Jama’ah Tabligh pada awalnya adalah gerakan maskulin.


Namun yang menarik saat ini, kalau di India dan Banglades Jama’ah Tabligh masih merupakan fenomena lelaki, tetapi sebagaimana gerakan-gerakannya lainnya, ketika sudah tersebar keluar dari wilayah asalnya, akan ada proses imitasi. Jadi, kalau sudah di Jawa, bukan hanya rokok yang dihalalkan, tetapi perempuan pun boleh keluar melakukan dakwah. Di Temboro di markas ijtima’ Jama’ah Tabligh, saya tidak hanya menemukan ruangan bagi kaum lelaki, tetapi juga ruangan bagi kaum perempuan yang sangat luas sekali.


Di Belanda ada seorang teman saya melakukan penelitian tentang khuruj di Afrika yang mencakup Mali dan Senegal. Menurutnya, di Afrika Jama’ah Tabligh itu bukan hanya fenomena lelaki, tetapi juga fenomena perempuan. Jadi, Jama’ah Tabligh memberi peluang kepada perempuan untuk berdakwah. Banyak perempuan muslim anggota Jama’ah Tabligh yang ikut suami melakukan khuruj. Dan ketika sudah sampai di suatu negara, maka perempuan-perempuan itu melakukan dakwah di kalangan perempuan muslim yang ada di negara tersebut.


Ada juga seorang peneliti Indonesia, Eva Fakhrullah, menulis tentang fenomena Jama’ah Tabligh di kalangan perempuan di Jakarta. Ia menyebutnya sebagai suatu fenomena elit kelas menengah yang baru.



Khuruj dan Problem Rumah Tangga

Khuruj adalah sebuah proses penting dalam Jama’ah Tabligh dalam menyebarkan ajaran-ajarannya. Khuruj, pada prinsipnya, adalah keluar demi Islam untuk melakukan dakwah. Tetapi dalam proses khuruj ini ada norma-norma yang harus dipatuhi oleh setiap anggotanya. Di antaranya adalah bahwa dalam khuruj itu tidak boleh tinggal di hotel. Lebih baik tidur di tepi jalan atau di kolong jembatan. Karena hotel adalah tempat maksiat. Selain itu, tidak boleh makan di tempat-tempat yang makanannya tidak bisa dipastikan halal. Dan yang paling penting, harus selalu konsisten melaksanakan kewajiban-kewajiban agama, seperti shalat. Di manapun dan kapanpun shalat harus dilaksanakan, meski di pinggiran jalan, atau bahkan di tengah-tengah banjir sekalipun. Jama’ah Tabligh tidak sedikitpun memberikan kompromi berkaitan dengan hal ini.


“Konsep darurat” mungkin memang ada, tetapi khuruj bukanlah sesuatu yang bisa ditafsirkan secara luwes. Meski begitu, ada satu kata yang digunakan oleh Jama’ah Tabligh di dalam tulisan-tulisan mereka, yaitu kata “enjoy”, bahwa Jama’ah Tabligh itu mempunyai kehidupan yang serba senang dan tenang. Ini sangat erat hubungannya dengan hidup miskin. Ada sebuah buku kecil Jama’ah Tabligh yang menyatakan bahwa miskin itu kaya. Orang yang paling kaya adalah orang yang tidak memiliki apapun. Dan orang yang tidak memiliki apapun akan bebas. Artinya tidak tergantung kepada apapun, lebih-lebih kepada materi duniawi. Mereka menjauhi dunia untuk masuk kembali ke dalam dunia tetapi sebagai individu yang bebas. Terkait hidup “enjoy” itu, saya teringat budaya orang Amerika pada tahun 60-an, yaitu budaya “happy”. Jadi, ada sekelompok orang yang tidak mau mobil, TV, yang mereka inginkan hanyalah “druck”, karena dengan itu mereka bisa happy.


Khuruj itu biasanya ditentukan oleh syura, dan anggota tidak bisa memilih ia ingin khuruj ke mana. Selain itu, kalau markas mau mengirim delegasi khuruj, biasanya akan menunggu jumlah yang cukup, misalnya 50 sampai 100 orang. Kemudian akan ada perundingan mengenai biaya. Setelah itu akan ditentukan, misalnya, 20 orang di kirim ke daerah ini, 20 lagi akan dikirim ke daerah itu, dan seterusnya. Di Papua, misalnya, saya pernah bertemu dengan pemuda anggota Jama’ah Tabligh, seorang keturunan transmigran—bapaknya dari Jawa, dan ibunya dari Ternate, tetapi sudah menetap di Papua—berusia 20 tahun. Anak mudah ini sudah pernah melakukan khuruj hingga ke Peru. Ceritanya, ia mengikuti khuruj dari Papua ke Jakarta, kemudian ke Singapura, kemudian ke China, dan akhirnya ke Peru.


Pertanyaannya, dari mana mereka mendapatkan dana? Mereka mendapat dana dari para donatur. Sebab tidak sedikit dari anggota Jama’ah Tabligh yang berprofesi sebagai bisnismen atau pengusaha. Dan mereka dengan suka rela mendermakan harta mereka untuk kepentingan dakwah. Seperti kita tahu, Jama’ah Tabligh mengirim para delegasi untuk khuruj ke berbagai daerah atau negara dalam rangka berdakwah. Dan para donaturlah yang membiyainya perjalanan khuruj para delegasi itu.


Kembali kepada definisi di atas, “literalist fundamentalist pietist movement”, bahwa—bagi para pengikutnya—menderma kepada Jama’ah Tabligh itu adalah mengikuti sunnah Nabi. Di dalam buku-buku karya para ulamanya bisa kita temukan sebuah pernyataan bahwa Nabi, meskipun beliau adalah manusia paling mulia dalam kapasitasnya sebagai pemimpin umat, tetapi hingga wafatnya, beliau tidak mempunyai harta melimpah layaknya para pemimpin lainnya. Sebab, semasa hidupnya, beliau mendermakan hartanya untuk dakwah. Jadi, pada prinsipnya, bagi mereka, menderma itu adalah ajaran Islam.


Sesuai dengan definisi tadi, karena mereka berpegang teguh kepada fundamental Islam, Nabi Muhammad bagi mereka adalah tipe atau model manusia muslim yang ideal, atau kita bisa istilahkan dengan “idealist prophetic type”. Dalam konteks ini, bagi mereka, bagaimana menjadi seorang muslim, itu modelnya sudah ada, yaitu sosok Nabi Muhammad, tidak ada model yang lain. Jadi, basis fundamental mereka adalah individu, bukan state, Makkah atau Madinah, misalnya.


Jadi, kalau kita membaca buku karangan Muhammad Yusuf Khandalawi, ia hanya mengatakan sesuatu yang sudah jadi, yaitu bahwa Muhammad adalah Nabi dan beliau diberikan interpretasi tabligh. Beliau digambarkan sebagai pentabligh pertama, dan tokoh pertama dalam Islam yang melakukan khuruj. Dijelaskan juga bahwa jihad yang paling utama adalah berdakwah. Dan yang menarik kalau kita baca perspektif tentang Nabi Muhammad menurut Maulana Muhammad Ilyas dan Maulana Muhammad Yusuf adalah, bahwa Nabi Muhammad tidak pernah berperang, dan tidak pernah memegang pedang. Bukan hanya Nabi, tetapi juga sahabat-sahabat yang lainnya.


Jama’ah Tabligh sebenarnya adalah komunitas sahabat kontemporer. Maksudnya, jika Nabi adalah model ideal yang 100% muslim, sementara Jama’ah Tabligh adalah para sahabat yang 80 atau 90% muslim. Cerita mereka tentang Nabi, seluruhnya, adalah bahwa beliau bukan panglima perang, tetapi juru dakwah. Dan berkali-kali dikatakan bahwa beliau meninggal dalam keadaan miskin. Jadi, kalau kita membaca, Muhammad digambarkan lebih seperti Mahatma Gandi.


Saya sering ke toko-toko buku di Inggris, dan saya menemukan buku-buku gerakan muslim lain, seperti Wahabiyah, yang menggambarkan sosok Nabi yang selalu berperang tanpa mengenal waktu sejak bangun tidur. Kita lihat di sini, individunya sama, yaitu Nabi, tetapi perspektifnya berbeda.


Namun, di balik khuruj itu terkandung masalah lain, yaitu masalah keluarga. Sebab tidak jarang kita temukan sebuah keluarga mengalami “broken home” karena ‘sang kepala keluarga’ melakukan khuruj ke berbagai daerah bahkan negara selama berbulan-bulan. Di Singapura ada sebuah kasus di mana pihak pemerintah dan jabatan agama Islam mendapatkan surat-surat keluhan dari beberapa istri karena suami mereka aktif mengikuti khuruj ke luar kota atau ke luar negeri.


Saya sudah bertemu dengan beratus-ratus anggota Jama’ah Tabligh di seluruh Asia Tenggara, juga di Eropa, yang melakukan khuruj ke berbagai wilayah untuk berdakwah. Tetapi tujuannya memang tidak begitu jelas, apakah mereka benar-benar berniat untuk berdakwah atau hanya sebagai alasan untuk lari dari istri. Abu Bakar Ba’asyir, ketika saya wawancarai, mengakui bahwa Jama’ah Tabligh itu dari segi doktrinnya tidak ada yang harus dipermasalahkan, tidak ada yang salah terkait tafsirannya terhadap agama. Tetapi ia juga menolak ajaran yang mengharuskan suami melakukan khuruj (keluar) meninggalkan keluarga, karena: (a). Membawa fitnah; (b). Kalau suami tidak ada di rumah, otomatis khilafah di rumahnya dipegang oleh istri. Padahal seorang istri tidak boleh atau bahkan haram menjadi khalifah (pemimpin) di rumah.



Masyarakat Ideal Versi Jama’ah Tabligh

Membentuk masyarakat ideal adalah salah satu cita-cita dan harapan setiap gerakan muslim. Lalu, apakah Jama’ah Tabligh mempunyai cita-cita—meskipun itu utopis—tentang masyarakat ideal di masa depan? Atau, masyarakat ideal seperti apa yang ingin dibentuk oleh Jama’ah Tabligh?


Agak sulit untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tetapi, kita mungkin bisa mengetahui bagaimana sebetulnya masyarakat ideal yang ingin dibangun oleh Jama’ah Tabligh dengan melihat “Kampung Madinah” yang ada di daerah Temboro. Masyarakat di kampung ini seluruh berdedikasi khusus untuk Jama’ah Tabligh. Bagi saya, sebagai peneliti politik, ini sangat menarik. Apakah ini suatu model anarki? Bukan anarki dalam arti kerusuhan, tetapi dalam arti suatu masyarakat yang tidak memerlukan state. Artinya, ada suatu masyarakat yang dengan sengaja dan sadar membentuk sebuah komunitas yang mana state (negara) itu tidak penting—masyarakat tanpa negara. Tetapi pada sisi yang lain, tentu Jama’ah Tabligh juga tidak terlalu utopian, dalam arti mereka tidak berpandangan bahwa manusia tidak perlu bekerja untuk bisa meneruskan hidup. Kita lihat di Temboro, misalnya, masih ada toko-toko dan para petani yang bekerja. Jadi, mereka adalah suatu masyarakat yang—menurut hemat saya—mungkin hampir agrarian dengan sistem kapital yang lebih marketylist dan bukan kapitalis, di mana bisnis itu hanya merupakan kehendak minimal masyarakat tanpa tujuan untuk menjadi kaya raya. Dalam sejarah modern Indonesia saat ini, yang pasar bisnisnya sudah didominasi oleh Adidas, Mc’Donald, Cocacola, dll., saya kira sangat menarik karena masih ada masyarakat seperti itu.


Di Malaysia pada tahun 90-an dengan ekonomi yang begitu pesat perkembangannya, masih ada komunitas Darul Arqam yang berpandangan bahwa umat Muslim tidak perlu naik mobil tetapi naik kuda. Di Kuala Lumpur, misalnya, saat itu ada orang naik kuda dengan alasan bahwa itu adalah alternatif terbaik. Jama’ah Tabligh menurut saya punya perspektif seperti ini dalam kehidupan keseharian mereka. [Roland Gunawan]


 
posted by Roland Gunawan at 6:10 AM | Permalink |


0 Comments:





"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"