Catatan dari Seminar “Pesantren, Kepemimpinan Nasional dan Masa Depan Indonesia”, Mercure Hotel, Ancol, 30-31 Maret 2012
EKSISTENSI pondok pesantren di tengah arus modernitas saat ini tetap signifikan. Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia pesantren memiliki kontribusi penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Lembaga pendidikan ini layak dipertimbangkan dalam proses pembangunan bangsa di bidang pendidikan, keagamaan dan moral. Ditinjau secara historis, pesantren memiliki pengalaman luar biasa dalam membina, mencerdaskan dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekitarnya. Pesantren telah lama menyadari bahwa pembangunan sumber daya manusia (SDM) tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga semua komponen masyarakat, termasuk dunia pesantren sendiri.
Keberadaan pesantren sampai saat ini membuktikan keberhasilannya menjawab tantangan zaman. Kemampuan adaptatif pesantren atas perkembangan zaman memperkuat eksistensinya sekaligus menunjukkan keunggulannya. Keunggulan tersebut terletak pada kemampuan pesantren menggabungkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual.
Dalam rangka mengembangkan peran pesantren dalam pembangunan SDM yang berkualitas dan merumuskan langkah strategis pesantren dalam membangun pendidikan, pada tanggal 30-31 Maret 2012 yang lalu, Majelis Komunikasi Alumni Babakan (Makom Albab) bekerjasama dengan Yayasan Amal al-Biruni menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk “Pesantren, Kepemimpinan Nasional dan Masa Depan Indonesia”. Menurut Dr. H. Affandi Mochtar, MA, penggagas acara ini menjelaskan, di samping diselenggarakan untuk menjalin silaturrahim dan mempererat tali persaudaraan di antara para alumni Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, juga dalam rangka Haul al-Maghfurlah KH. Amin Sepuh dan KH. Muhammad Sanusi. Di masa kepemimpinan kedua tokoh kharismatik ini, menurut Affandi, Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin berada di puncak kemajuan dan berada dalam satu komando kepengasuhan yang menyatu sebelumnya akhirnya, pada periode-periode selanjutnya, berkembang menjadi beberapa pesantren yang masing-masing dipimpin oleh seorang kyai.
Dr. H. R. Agung Laksono, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, yang pada acara seminar tersebut berkesempatan hadir untuk membuka secara resmi, dalam sambutannya mengungkapkan kebanggaannya kepada Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin dan segenap alumninya yang telah menyelenggarakan seminar tersebut guna memikirkan pembangunan negara dan bangsa Indonesia. Menurutnya, pondok pesantren memiliki andil besar bagi perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia sampai sekarang, sekaligus berperan besar bagi pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan pendidikan di Indonesia. Dalam sejarah perjuangan mengusir penjajah dari Indonesia, misalnya, banyak pondok pesantren yang turut andil bahkan berhadapan langsung dengan para kolonial. Pada saat itu para kiyai, ulama dan tokoh agama mengajarkan kepada para santrinya dan masyarakat sekitar, selain pengetahuan agama, ilmu bela diri, juga doa-doa tertentu yang mampu untuk menghadapi dan mengusir para penjajah. Demikianlah pola pendidikan di pondok pesantren telah menumbuhkan semangat heroisme pada saat itu.
Tidak hanya itu, Agung juga mengatakan bahwa dari pondok pesantren telah lahir kader-kader ideal bangsa yang membawa masyarakat Indonesia mampu menapaki modernitas tanpa kehilangan akar spiritualitasnya. Sampai saat ini model pendidikan pondok pesantren masih tetap bertahan dari segala zaman, tidak pernah lapuk dimakan usia seperti buah kelapa, bahkan semakin tua semakin banyak santannya. Seluas apapun pengaruh modernisasi dan kemajuan teknologi, namun pondok pesantren tetap mampu bertahan, tetap konsentrasi dan fokus dalam mengkaji pengetahuan agama Islam. Sekalipun dalam sistem pembelajarannya menggunakan pola tradisional, seperti sorogan, bandongan, halaqah dan seterusnya. Tetapi metode-metode itu tetap unggul dan ampuh memberikan kesan sepanjang hayat para santri dalam mendapatkan ilmu pengetahuan agama di pesantren. Dalam perkembangan terakhir terbukti bahwa dari pesantren telah lahir banyak pemimpin bangsa dan masyarakat.
Sejarah telah mencatat prestasi pesantren dalam membentuk kultur benteng pertahanan bagi nilai-nilai religius yang terbentuk dari pola kehidupan antara kiyai dan santri yang memiliki karakter khusus yang mampu menghubungkan ikatan lahir-batin. Antara keduanya senantiasa saling menghormati, sehingga terwujudlah komunitas dua arah yang menyatu. Di satu sisi sebagai komunitas yang sangat patuh, dan di sisi yang lain sebagai komunitas pemimpin yang mampu mewujudkan suri tauladan yang baik. Kekhasan ini masih ditambah dengan prinsip-prinsip pesantren yang luhur, seperti kesederhaan, perjuangan tanpa pamrih, spiritualitas yang tinggi, ketekunan dan kedisiplinan.
Dengan demikian, pesantren telah terbangun secara konstruktif, benar-benar mampu membumikan nilai-nilai ilahiyah ke dalam prilaku para santrinya, dan sekaligus kepada masyarakat. Jadi sangat layak jika pesantren ini disebut sebagai “center of values” dan “center of knowledge”.
Untuk itu, dalam upaya pengembangan mutu pendidikan pesantren, menurut Menko, pemerintah memberikan perhatian yang besar dalam upaya turut membangun dan mendorong para santri yang dididik di pesantren dengan pembekalan yang berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi. Pemerintah, misalnya, telah mencanangkan program yang disebut “Program Pemberdayaan Ekonomi Pesantren” (PPEP). Program PPEP ini salah satunya dimaksudkan untuk ikut menanggulangi kemiskinan di tanah air, supaya para santri memiliki kemampuan di samping memperdalam agama juga pengetahuan tentang basis-basis ekonomi. Dengan begitu diharapkan mereka bisa mandiri dan bisa melakukan hal-hal yang juga mendidik masyarakat lingkungannya, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi kerakyatan. Memang alokasinya masih terbatas, masih berkisar 100 pesantren, dan jumlahnya dananya juga tidak terlalu besar, yaitu antara 100 atau 200 juta per pesantren. Alokasi ini dilakukan untuk membantu berbagai hal di pondok pesantren dalam rangka pengembangan ekonomi, antara lain: pertama, mengembangkan modal usaha koperasi atau kopontren; kedua, mengembangkan pos kesehatan di pesantren agar para santri betul-betul sehat baik jasmani maupun rohani, dan bisa mengetahui bahwa tindakan kesehatan tidak hanya berupa tindakan pengobatan atau kuratif, tetapi juga tindakan pencegahan atau preventif; ketiga, mengembangkan usaha ternak di pesantren, seperti ternak sapi, kambing, unggas, dsb.; keempat, mengembangkan keterampilan dalam pembangunan, misalnya hal-hal yang berkaitan dengan teknik dan sebagainya.
Itulah sasaran-sasaran yang menjadi fokus perhatian pemerintah, di samping yang sudah ada dan sudah berjalan selama ini yaitu “Bantuan Operasional Sekolah” (BOS) yang juga diberikan kepada pondok-pondok pesantren yang sudah terdaftar dan betul-betul memiliki kegiatan-kegiatan layaknya pondok pesantren. Juga ada beasiswa bagi para santri, lebih-lebih para santri yang berprestasi dan para santri yang lemah secara ekonomi. Bahkan, pada tahun 2011 yang lalu sekirat 1.8 juta santri diberi beasiswa untuk menghadapi berbagai gejolak akibat kenaikan BBM, dan untuk tahun ini sudah diduakali lipatkan menjadi 3 juta santri. Dan tentu saja pada waktunya ada beberapa program yang turut memberikan stimulasi-stimulasi dalam perbaikan infrastruktur pesantren itu sendiri.
Makanya pemerintah sangat mengharapkan kerjasama dari pesantren dengan mengupayakan membentuk semacam standarisasi, yang tentu saja bisa diciptakan dan dikelola sendiri oleh para pengasuh pesantren. Standarisasi sangat penting agar pemerintah bisa mengalokasikan bantuan yang bisa dikoneksikan dan dicantolkan karena memiliki standarisasi. Kalau tidak memiliki standarisasi tentu akan sulit bagi pemerintah melihat apa yang menjadi kewajiban dan tanggung jawabnya. Lebih-lebih saat ini di tanah air sedang marak terjadinya radikalisme yang dilakukan oleh komunitas-komunitas yang mengatasnamakan pesantren padahal bukan pesantren. Nah, di sinilah pentingnya standarisasi.
Sementara itu, sebagai salah satu nara sumber dalam seminar tersebut, Wakil Gubernur Lemhanas Letjend Tri Moeldoko, berupaya meyakinkan seluruh insan pesantren agar tidak lagi merasa termarginalkan dalam proses pembangunan nasional. Dalam konteks ini, menurutnya, pesantren justru mempunyai lima peran yang sangat stretegis: pertama, sebagai lembaga keagamaan yang mengajarkan ilmu-ilmu agama; kedua, sebagai lembaga pendidikan yang menjadi wadah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan ekonomi dan budaya; ketiga, sebagai lembaga sosial dan ketahanan moral yang menjaga harmonisasi masyarakat dan juga melakukan kontrol sosial; keempat, sebagai “agen of change” atau agen perubahan; kelima, yang lebih penting lagi, sebagai lembaga pendidikan yang menyiapkan kader-kader pemimpin masa depan. Para insan pesantren harus memikirkan bagaimana peran-peran ini kembali untuk kemanfaatan umat dan masyarakat secara lebih luas, bukan hanya untuk kelompok-kelompok tertentu saja.
Moeldoko berpandangan, pesantren mempunyai potensi besar terutama untuk melahirkan calon-calon pemimpin yang moral tinggi. Hanya saja mungkin karena belum dikelola secara baik, dan belum diberi akses yang memadai, sehingga kemudian kepemimpinan-kepemimpinan yang ada di Indonesia tidak lahir dari pesantren murni. Karena itu, saat ini sudah tiba waktunya di mana akses orang-orang pesantren sudah semakin luas, diharapkan 10 atau 20 tahun ke depan Indonesia akan dipimpin oleh santri-santri yang berkualitas dengan standar moralitas yang tinggi. Sehingga Indonesia tidak hanya subur tanah, tetapi juga subur moralitas dan kualitas masyarakatnya.
Kemudian, nara sumber berikutnya, Masdar F. Mas’udi, menegaskan bahwa Indonesia terlahir dari pesantren, dikawal dari waktu ke waktu terutama pada saat-saat genting. Tetapi ketika situasi sudah aman, ibaratnya mobil telah berjalan, pesantren selalu ditinggalkan. Sehingga bisa dikatakan bahwa negeri ini memang ada kualatnya dari pesantren.
Di antara pandangan Masdar yang sangat menarik adalah, bahwa Nusantara merupakan wilayah keislaman yang damai. Karena Islam yang dianut dari waktu ke waktu tidak ditegakkan dengan perang, tetapi—secara umum—melalui ajaran dan tradisi para guru sufi (tarekat) di zawiyah-zawiyah, yang kemudian lembaga pendidikannya disebut pesantren. Dan ini telah memberikan corak begitu besar kepada keberislaman masyarakat muslim Indonesia yang bersifat damai dan lebih menekankan prilaku yang luhur dan anti-kekerasan. Tentu saja ini berbeda dengan Islam di Timur Tengah, yang dari waktu ke waktu ditegakkan dan dikawal dengan pedang, perang dan pertumpahan darah. Apalagi Islam mutakhir yang terlahir dari negeri sana mengekspor Islam garis keras di Nusantara ini.
Terdapat banyak harapan dari eksponen pesantren yang hadir dalam seminar tersebut – yang juga menampilkan para narasumber lain yaitu Prof. Dr. Ahmad Mubarok, Endin Soefihara, Teguh Juwarno dan KH. Maman Imanul Haq, khususnya agar Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon dan pesantren-pesantren di seluruh Indonesia pada umumnya bisa menjadi lebih maju. Harapan itu di antaranya: pertama, konsisten menerapkan sistem pendidikan yang berpegang teguh kepada ajaran keagamaan yang benar sebagaimana tujuan utama pondok pesantren dalam membina dan mendidik para santri. Kedua, menciptakan kondisi pembelajaran yang tidak ta’assub atau fanatik atau ekstrem sehingga para santrinya tidak mudah menyalahkan ajaran agama atau keyakinan orang lain yang tidak sepaham. Sebab pada hakikatnya Islam adalah agama rahmat-an li al-alamin (membawa rahmat bagi semesta alam), mengajarkan berbagai kebajikan, kedamaian, hidup rukun dan harmonis.
Ketiga, mampu mengajarkan agama dengan cara pandang yang luas dan komperhensif atau yang utuh, dan diharapkan agar turut mengembangkan wawasan kebangsaan yang saat ini sedang mengalami erosi. Bangsa Indonesia yang dulu dikenal ramah, bahkan orang-orang Arab yang datang ke sini dulu sangat terkagum-kagum, tetapi sekarang hal itu sudah mulai memudar. Jangankan dengan bangsa luar, dengan bangsa sendiri saja sering ribut. Dalam hal ini, pesantren dituntut memberikan edukasi dan pendidikan terhadap masyarakat, terutama pendidikan bahwa penyelesaian apapun terkait masalah-masalah sosial-kemasyarakatan, hanya bisa diselesaikan dengan suasana tenang dan damai, bukan dalam suasana emosional, apalagi kalau sampai menggunakan cara-cara kekerasan. Pendidikan seperti ini kiranya merupakan bagian dari pendidikan karakter bangsa. Dan para santri serta alumni pesantren mempunyai kelebihan, di samping pendidikan agama yang mendalam, juga kemampuan berkomunikasi yang sangat baik. Dengan demikian pesantren akan memberikan kesejukan, menciptakan suasana yang kondusif, damai dan harmonis dalam kehidupan bermasyarakat, baik kehidupan seagama maupun antaragama. Tidak terbawa oleh paham-paham yang sesat atau sebaliknya dapat terpengaruh oleh paham-paham yang suka membuat teror terhadap sesame umat maupun para aparatur negara.
Keempat, menanamkan pendidikan agama yang mampu mempertahankan budaya masyarakat berdasarkan kearifan lokal maupun budaya nasional yang multikultural. Karena pondok pesantren merupakan salah satu benteng pertahanan budaya. Sehingga sangat tepat apabila bangsa ini kemudian meletakkan harapan kepada pesantren yang selalu didorong untuk tetap eksis yang sudah hadir di tanah air kita berabad-abad yang lalu.
Kelima, pesantren diharapkan menjadi lembaga pendidikan yang peduli dan berbudaya lingkungan, memperhatikan dan mengaplikasikan aspek kesehatan, seperti makan minum santrinya, sistem perairannya, sistem pembuangan limbah, dll.
Harapan-harapan tersebut setidaknya bisa menjadi stimulus bagi pesantren dalam mencetak pemimpin-pemimpin bangsa yang berkarakter yang mampu menghadapi tantangan-tantangan dari manapun datangnya. [Roland Gunawan]