**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Friday, September 17, 2010
Menembus Dinding Pembatas
[Pengantar Untuk Buku "Spirit Islam Sufistik"]


I
PADA awal Januari yang lalu, sahabat karib saya, Mukti Ali el-Qum, menawarkan kepada saya untuk menyunting naskah buku ini. Ketika itu judulnya masih “Agama Sufistik Agama Mencerahkan; Tasawuf Sebagai Instrumen Pembacaan Terhadap Islam”. Tetapi KH. Husein Muhammad dan Mas Imdadun Rakhmat—keduanya adalah pemikir garda depan Indonesia—menyarankan agar judul itu diubah. Sebab, menurut keduanya, kurang mencakup keseluruhan isi buku. Untuk itu, setelah berdiskusi panjang lebar dengan Mukti Ali, akhirnya kami memutuskan untuk memberikan judul “Spirit Islam Sufistik; Tasawuf Sebagai Instrumen Pembacaan Terhadap Islam”.

Secara pribadi saya ingin segera menyelesaikan suntingan naskah buku ini agar cepat terbit dan langsung dapat dinikmati oleh para pembaca di tanah air. Namun yang menjadi persoalan adalah, dari Januari hingga Mei saya—bersama kawan-kawan—disibukkan oleh program Yayasan Rumah KitaB, yaitu menyusun “Ensiklopedi Kitab Kuning” yang memuat lebih dari tujuh ratus anotasi kitab kuning hasil survei pendahuluan di beberapa pondok pesantren tradisional di Jawa Timur.

Sebagai orang yang diberi amanah untuk menyunting, saya sudah membaca naskah buku ini dari awal sampai akhir. Saya melihat beberapa persoalan yang diangkat, seperti humanisme, demokrasi, toleransi, pluralisme agama, wihdah al-adyân, feminisme, adalah isu-isu yang sebetulnya sudah sering diwacanakan oleh para pemikir kita. Hanya saja, kaca mata yang digunakan berbeda. Bila mayoritas pemikir kita melihat persoalan-persoalan tersebut melalui fikih, atau teologi, filsafat, atau bahkan politik, maka buku ini secara khusus menggunakan tasawuf sebagai instrumen pembacaannya. Sebuah upaya yang relatif masih langka dalam dinamika pemikiran Islam saat ini.

Kenapa tasawuf? Sebenarnya, ini adalah pertanyaan pertama yang muncul di benak saya ketika pertama kali membaca judul buku ini. Dan penulis sudah memberikan jawaban panjang lebar di dalam pengantar dan di bab awal. Dia menjelaskan bahwa selama ini tasawuf dianggap sebagai ‘kambing hitam’ penyebab kemunduran peradaban manusia, khususnya Islam. Adanya sekelompok orang yang dengan sengaja menjauhkan diri dari kehidupan sosial hanya demi untuk mendalami tasawuf sebagai upaya pendekatan diri kepada Tuhan, adalah bukti paling nyata yang dapat menjustifikasi anggapan tersebut. Juga, menjamurnya majlis-majlis tarekat yang hanya diisi dengan dzikir-dzikir tanpa gerakan-gerakan konkret-signifikatif untuk menyelesaikan problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat menjadi alasan cukup kuat bagi banyak kalangan untuk mengkambinghitamkan tasawuf.

Tentu saja, anggapan negatif tersebut tidaklah sesuai dengan doktrin tasawuf sesungguhnya yang telah dibangun oleh para sufi agung atas dasar semangat untuk mengajak manusia kembali ke jati dirinya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Sejarah telah menunjukkan kepada kita kiprah mereka dalam perjuangan membangun moralitas kemanusiaan. Di masa sahabat, misalnya, kita mengenal Abu Dzar al-Ghifari, sosok sahabat yang disebut-sebut menjalani kehidupan asketik. Ketika kemewahan duniawi mewabah di Madinah karena melimpahnya hasil rampasan perang, dia dengan gagah berani mendatangi khalifah dan menasehati agar umat Muslim kembali kepada kehidupan prihatin, menjadikan dunia hanya sebagai halte pemberhentian sementara dan tidak hanyut dalam tipuan glamoritasnya.

Pada masa dinasti Bani Umayyah, ketika pergolakan politik dan kekuasaan serta perluasan wilayah kekuasaan yang diwarnai atau lebih didominasi oleh kepentingan duniawi, maka para sahabat yang benar-benar menghayati makna-makna moralitas agama menarik diri dan memfokuskan perhatian untuk mengajarkan nilai-nilai agama yang hakiki.

Kekuasaan-kekuasaan otoriter yang sewenang-wenang atau penjajahan terhadap hak dan derajat kemanusiaan adalah lawan-lawan nyata bagi kaum sufi. Berita tentang perlawanan atau kepemimpinan mereka dalam menentang kesewanang-wenangan para penguasa sudah biasa ditemui dalam buku-buku sejarah atau cerita kehidupan para sufi.

Dengan melihat itu, tidak diragukan lagi, bahwa tasawuf pada hakikatnya adalah perjuangan dan pemberontakan. Ia adalah perjuangan untuk meninggikan kehendak Tuhan, baik dalam realita kehidupan nyata secara umum, atau yang lebih diutamakan, di dalam hati manusia secara khusus. Ia adalah pemberontakan terhadap segala bentuk dan ragam kepentingan yang dipaksakan masuk, menggoda, dan menguasai hati manusia. Dari sisi ini, maka medan perjuangan tasawuf terletak dalam hati. Ia adalah pertempuran antara keinginan dan keinginan, antara kehendak dan kehendak.

Dunia kita saat ini dipenuhi dengan produk-produk eksplorasi dan evolusi keinginan dan kehendak manusia. Alam dan makhluk-makhluk lain porak-poranda oleh keinginan manusia untuk mendapatkan fasilitas kehidupan. Sains dan teknologi serta pengembangannya berjalan demi untuk memenuhi keinginan-keinginan dan cita-cita manusia menikmati kehidupan yang serba mewah di dunia ini. Permainan, informasi, prestise, kekayaan, pemuasan nafsu-syahwati yang selalu dipancing setiap saat, kekuasaan dan hak milik, menjadi santapan harian bagi manusia zaman sekarang. Penemuan baru, gaya dan style baru, penampilan baru dan bahkan kehidupan baru, selalu menggoda hati dan jiwa manusia setiap saat. Tidak ada detik yang terlewati tanpa kehadiran godaan dan keinginan-keinginan tersebut. Pikiran dan hati manusia saat ini sibuk mengikuti perkembangan-perkembangan yang merayu hatinya yang memang selalu berbolak-balik dan jiwanya yang memang memiliki tabiat ke arah keburukan. Semua itu menumpuk dan berakumulasi menjadi penghalang perhatian hati dari Sang Pencipta.

Apakah dengan demikian tasawuf bertentangan dengan semangat zaman? Atau bertentangan dengan kemajuan dan modernitas? Atau berlawanan dengan kemajuan dan perkembangan sains dan teknologi? Atau bersebrangan dengan seluruh perkembangan kehidupan manusia berikut segenap dimensi kehidupannya? Atau bermusuhan dengan pembentukan sekaligus pengembangan budaya dan peradaban manusia?

Kita menyaksikan, di masa-masa awal, tepatnya pada fase-fase benih, kelahiran dan pembentukannya, tasawuf memang menitis pada ranah-ranah zhahir dan batin secara nyata. Dalam artian, spirit, norma, dan etika tasawuf, yang berada pada wilayah batin, terejawantahkan secara faktual dalam realita kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, norma menjauhkan diri dari dunia tidak hanya tertanam dalam hati, akan tetapi juga terimplementasikan secara riil dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, generasi pertama sufi lebih identik dengan zuhud (asketisme), yaitu sebuah ajaran yang menuntun manusia untuk menjauhi dunia. Zuhud merupakan benih awal sebelum kata tasawuf dikenal di dunia Islam. Generasi pertama ini lebih cenderung memiskinkan diri mereka ketimbang berusaha mendapatkan kehidupan yang mapan. Pakaian dan baju mereka pun seadanya, dari yang dapat mereka peroleh tanpa harus menyibukkan diri dan hati mereka dengan upaya untuk memperolehnya. Kehidupan mereka tenggelam dalam ibadah, perenungan, pemahaman, dan penghayatan ajaran-ajaran agama. Kesibukan dan kebahagian mereka terletak dalam kedekatan kepada Tuhan.

Peresapan makna dan pengejewantahan moral tasawuf pada fase keterbentukannya mencakup wilayah-wilayah zhahir dan batin secara nyata sebagai sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan di dalam buku ini, tercantum cerita perdebatan pada abad pertengahan, tentang siapakah yang paling mulia atau tinggi derajatnya; orang fakir ataukah orang kaya? Dan orang fakir, dengan makna kalimat, disepakati mendapatkan derajat yang lebih tinggi dari orang kaya.

Namun hal itu kemudian diikuti dengan pergeseran-pergeseran paradigma. Frekuensi shalat dan puasa yang banyak tidak lagi menjadi jaminan untuk mendapatkan identitas jati diri sufi, namun ia didapati dengan keamanan hati dan kedermawanan jiwa. Kondisi hati, kecenderungan, kebahagiaan, ketundukan, kepatuhan, rasa takut, harapan, cinta, dan bahkan sujudnya hati kepada Tuhan, menjadi standar pencapaian derajat dan level-level spiritual.

Makna batin terkesan cenderung lebih mendominasi, di mana pengejawantahan norma dan moral tasawuf lebih dititik pusatkan di dalam hati dan batin, bukan dalam bentuk-bentuk luar. Hal ini tidak diartikan sebagai penafian atau pengabaian ibadah-ibadah mahdhah. Sebab pelaksanaan ibadah-ibadah mahdhah ini justru menjadi jalan utama menuju Tuhan yang kemudian diikuti ibadah-ibadah sunnah. Namun makna spiritual yang ada atau yang seharusnya ada di dalam ibadah-ibadah tersebut lebih ditekankan mengiringi bentuk-bentuk luar ritual itu sendiri. Demikian pula halnya di luar ibadah murni. Ragam bentuk kehidupan yang direpresentasikan dengan pakaian, makanan, minuman, kekayaan, pangkat, kedudukan, dan sebagainya, tidak lagi menjadi standar atau wajah identitas seorang sufi. Seorang sufi bisa saja menjadi seorang presiden, menteri, pejabat, pengusaha, pedagang, petani, nelayan atau apa saja selama norma-norma ajaran sufistik terejawantahkan dalam hati, etika dan moral tingkah lakunya.

Dengan melihat pergeseran-pergeseran paradigma yang terjadi, dapat dipahami bahwa tasawuf sejatinya tidak bertentangan dengan budaya dan peradaban manusia. Secara lebih konkret, tasawuf tidak berlawanan dengan kemajuan sains dan teknologi yang telah dicapai oleh kemajuan akal manusia. Tasawuf berada dalam wilayah moral dan etika yang mengarahkan manusia dalam seluruh perbuatannya. Tasawuf adalah pendidikan dan pergerakan moral yang menjadikan hati manusia lebih mengutamakan Tuhan dalam seluruh dimensi kehidupannya. Adapun pangkat, jabatan, baju, kekuasaan, hak milik, dan segala macam perangkat duniawi yang ada padanya, tidak lain hanyalah bentuk-bentuk zhahir yang dijadikan sebagai media pendekatan diri kepada Tuhan.

II
SAYA pernah membaca sebuah artikel pendek yang ditulis oleh seorang perempuan yang dimuat dalam sebuah surat kabar mengenai problem kâffah seorang muslimah. Dalam artikel itu, si penulis mengutarakan keluh-kesah dalam upayanya menjadi muslimah yang kâffah. Dia mengatakan amat susah untuk ber-Islam secara kâffah sebagaimana konsep yang diterimanya. Sejak lama dia belajar hidup Islami, tetapi betapa sulitnya. Dia dilahirkan dari keluarga yang non-agamis. Dia baru mengenal Islam ketika di SMA, itupun setelah belajar secara otodidak. Dia harus menghadapi ibunya yang berbeda pemahaman agamanya. Dari keturunan ayahnya, kebanyakan adalah non-Islam. Sementara ibunya sendiri adalah Islam Kejawen; sebuah lingkungan yang sangat sinkretis.

Dia melanjutkan, kadang dia mengalami benturan budaya dalam upayanya ber-Islam kâffah. Sebagai contoh dia menyebutkan jilbab yang dianggap wajib bagi para perempuan. Tetapi ketika dia mengenakannya, ibunya malah menentang habis-habisan. Sebab, katanya, di lingkungannya jilbab tidak umum.

Setelah membaca artikel itu, saya mencoba mereka-reka apa sebenarnya makna Islam kâffah yang ada di benak perempuan tersebut. Apakah seseorang dapat dikatakan telah ber-Islam kâffah hanya karena dia mengenakan jilbab (perempuan), atau jenggot (laki-laki)?

Dalam al-Qur`an disebutkan, “Yâ ayyuh-a al-ladzîna âmanû udkhulû fî al-silm-i kâffah.” Menurut Abu Ishaq, makna “kâffah” dalam ayat ini adalah “jamî’” (semuanya) dan “ihâthah” (pencakupan). Maka, menurutnya, ayat ini boleh diartikan, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh, atau dalam seluruh syariatnya.” (Ibn Mandur, Lisân-u al-‘Arab)

Bagi saya, makna yang disebutkan Abu Ishaq adalah sebuah ‘kemungkinan’. Sebab dia masih menyebut kata-kata “fayajûz-u an yakûn-a ma’nâh-u” yang berarti “maka boleh jadi maknanya”. Dengan kata lain, dia tidak menetapkan makna kâffah secara pasti. Itu sebabnya, kita juga bisa mencari kemungkinan-kemungkinan lain dalam memaknai kâffah.

Dalam ayat di atas ada beberapa kata yang mesti kita pahami, yaitu “al-ladzîna âmanû”, “al-silm” dan “kâffah”. Saya mengamati, al-Qur`an tidak pernah menyebut “yâ ayyuh-a al-ladzîna aslamû” (hai orang-orang yang beragama Islam), ia lebih sering menyebut “yâ ayyuh-a al-ladzîna âmanû” (hai orang-orang yang beriman). Sebab kata-kata “orang-orang yang beriman” lebih dalam maknanya ketimbang “orang-orang yang beragama Islam”. Dan Allah tidak menghendaki umat Muslim disebut ‘Muslim’ hanya karena beragama Islam, tetapi lebih dari itu Dia menghendaki keberislaman mereka dilandasi keimanan mendalam kepada-Nya. Maka di sini, yang dimaksud “orang-orang yang beriman” oleh al-Qur`an tidak lain adalah umat Muslim sendiri. Sehingga kata “al-silm” tidak perlu lagi diartikan “agama Islam”. Kata “al-silm” lebih tepat dimaknai “kedamaian” sebagaimana termaktub di dalam kamus-kamus bahasa Arab.

Lalu tentang kata “kâffah”, secara umum ia lebih populer diartikan “jamâ’ah” (kelompok), atau “jamâ’at-un min-a an-nâs” (sekelompok orang), atau “jamî’” (semua). Namun dalam konteks ayat ini, kata “kâffah” tidak menunjukkan makna “jamâ’at-un min-a an-nâs”, tetapi lebih bermakna “totalitas”. Dengan demikian, ayat itu bisa diartikan, “Hai orang-orang yang beriman (umat Muslim), masuklah kalian ‘semua’ ke dalam ‘kedamaian’ secara total.” Jelas, ini merupakan seruan kapada umat Muslim untuk selalu terlibat dalam penyebaran kedamaian secara total.

Itu hanya salah satu kemungkinan. Kemungkinan lain, bisa saja Islam kâffah lebih mengarah pada segi wawasan keislaman. Sebab “al-ladzîn-a âmanû” (keberimanan) mensyaratkan rasionalisasi seluruh aspek yang ada dalam agama, dan rasionalisasi menuntut pengayaan nomenklatur keilmuan Islam. Di sini, Islam kâffah merupakan sebuah proses pembacaan yang terus-menerus guna menciptakan inklusivitas keimanan.

Di samping kemungkinan makna yang saya paparkan di atas barangkali masih banyak yang lain. Dan bagi saya, setiap kemungkinan itu dibutuhkan menurut konteks serta tuntutan zamannya. Abu Ishaq memaknai kâffah dengan “menjalankan keseluruhan syariat [atau hukum] Islam”. Sebab, mungkin saja, wacana yang berkembang pada masanya memanglah demikian. Namun pada masa sekarang, menurut saya, kita lebih membutuhkan dua kemungkinan makna lain yang juga saya sebutkan setelahnya, yaitu “totalitas sikap dalam kedamaian” dan “totalitas semangat memperkaya wawasan keislaman”.

Ketika membaca buku yang ditulis Mukti Ali el-Qum ini, saya banyak sekali menemukan indikasi yang mengarah kepada dua kemungkinan makna di atas. Meski tidak secara langsung menyebut terma “Islam kâffah”, tetapi ajaran-ajaran para sufi agung yang tersaji di dalam buku ini sarat sekali dengan nilai-nilai kedamaian dan wawasan keislaman agar umat Muslim benar-benar menjadi umat pembawa rahmat kepada seluruh alam sebagaimana dicontohkan baginda Nabi saw. Dan inilah sebenarnya, menurut saya, model Islam kâffah yang ‘dikehendaki’ Allah melalui firman-Nya di dalam al-Qur`an.

Terkait kemungkinan makna yang pertama, harus disadari, bahwa saat ini kedamaian merupakan kebutuhan urgen umat Muslim; kedamaian di dalam diri sendiri dan kedamaian menyangkut hubungan mereka dengan orang lain (baca; non-Muslim). Umat Muslim perlu menanamkan ‘sikap jenuh’ di dalam jiwa mereka terhadap segala bentuk pertikaian di antara mereka sendiri; yang berjilbab mencela yang tidak berjilbab, dan begitu sebaliknya; yang berjenggot memandang rendah kepada orang yang tak berjenggot, dan begitu sebaliknya; yang Ahl al-Sunnah mengkafirkan yang Syi’ah, dan begitu sebaliknya. Belum lagi pertentangan-pertentangan dengan para penganut agama-agama lain, khususnya Kristen dan Yahudi. Demikianlah kondisi umat Islam dari dulu hingga sekarang.

Para sufi hadir membawa ajaran yang berbeda dengan kebanyakan ajaran pada umumnya. Perdamaian manusia adalah misi utama yang harus mereka perjuangkan tanpa peduli akan membentur otoritas yang lebih besar, baik dari kalangan para tokoh ulama atau bahkan para penguasa.

Pada masa klasik, melihat maraknya perdebatan teologis di kalangan ulama kalam sebagai upaya untuk memperjuangkan kepentingan kelompok, para sufi mengatakan, “Ketika Allah mencintai hamba-Nya, maka Dia akan membukakan pintu amal dan menutup pintu perdebatan teologis.” Perdebatan dan kefanatikan terhadap mazhab fikih tak ayal telah memunculkan kritik dari para sufi yang mencela para figur mazhab yang tidak mengajarkan dan menanamkan ajaran moral dalam tingkah laku ritual ibadah zhahir.

Abu Hayyan al-Tauhidi, misalnya, tokoh sufi terbesar pada abad ke-4, mencela para tokoh mazhab yang suka mengobarkan api perpecahan di kalangan umat Muslim. Seperti dikatakannya sendiri dalam karya besarnya, “Kitâb al-Imtâ’ wa al-Mu`ânasah”, para tokoh mazhab sudah terjangkiti virus yang menghantarkan mereka ke puncak perpecahan. Mereka saling mengeluarkan pernyataan “kafir”, saling menuduh “fasik” (menyimpang dari doktrin agama), bahkan menghalalkan darah sesama. Mulut mereka amat doyan melontarkan kata-kata menyakitkan, mencaci-maki, memfitnah, dan memutuskan tali silaturrahmi.

Ulah para ulama kalam dan mazhab-mazhab fikih itu ternyata membawa akibat sangat fatal bagi mayoritas umat Muslim yang tidak hanya mengabaikan pesan-pesan kedamaian al-Qur`an, tetapi juga telah melupakan ajaran persatuan antarsesama sebagaimana digalakkan oleh Nabi saw. semasa beliau hidup. Demi melihat kualitas pluralisme internal, sedikit sekali dari umat Muslim yang berupaya untuk hidup selaras dengan spirit inklusivisme al-Qur`an sebagai rujukan utama mereka. Perbedaan tak terelakkan terhadap rujukan ini adalah pemahaman mereka dan kondisi di mana mereka tinggal. Pengabaian ambiguitas bahasa al-Qur`an, reduksi sejarah dan pengaruhnya terhadap penafsiran membawa konsekuensi tidak adanya perbedaan efektif antara moral normatif Islam dan perspektif mereka mengenai hal itu. Dan yang pasti, masing-masing mazhab atau aliran akan mengatakan, “Kami adalah orang-orang yang memahami al-Qur`an secara benar.”

Demikian juga menyangkut hubungan dengan para penganut agama-agama lain. Sikap mayoritas umat Muslim dalam menjaga keimanan tidak pernah sekalipun tersentuh oleh rasa kemanusiaan dari orang-orang yang berbeda agama dengan mereka. Mereka, selain tidak merasa tergugah untuk menemukan ‘kelapangan’ dan ‘keluasan’ di dalam ranah eksklusif keimanan mereka sendiri, tidak mampu secara penuh ber-istiqâmah menyaksikan kemurahan dan kasih-sayang Tuhan, juga tidak mampu memahami pluralisme eksternal sehingga menimbulkan kekeliruan dalam memahami kemampuan para penganut agama lain untuk mendengarkan mereka sebagai bukti bahwa mereka benar dan para penganut agama-agama lain salah, selain tentunya kedalaman tekad mereka untuk mendengarkan para penganut agama-agama lain itu. Tak mengherankan kiranya bila kedamaian hanya menjadi ‘hiburan’ di alam mimpi!

Dan bagaimanapun, “totalitas sikap dalam kedamaian” tidak akan mungkin terwujud tanpa “totalitas semangat memperkaya wawasan keislaman”. Wawasan keislaman yang saya maksud bukan sebatas wawasan yang dihasilkan melalui pergulatan diskursif di dalam tradisi Islam, tetapi juga wawasan progresif yang dapat mendorong kita untuk mempertanyakan kembali relevansi keimanan kita secara kontekstual.

Para sufi, dalam hal ini, telah melakukan upaya-upaya yang layak untuk diteladani. Al-Hallaj, al-Tauhidi, Ibn Arabi, Jalaluddin Rumi, dll. adalah tokoh-tokoh sufi yang telah berjuang demi tegaknya perdamaian antarumat beragama. Al-Hallaj, misalnya, sebagaimana termaktub di dalam buku ini, selama pengembaraannya ke beberapa negeri, telah banyak bergaul dan belajar dari orang-orang non-Muslim. Pada 899 M., dia memulai pengembaraan spiritual pertamanya ke perbatasan laut timur, lalu menuju ke selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902 M. Dalam pengembaraannya itu, dia bertemu dengan guru-guru spiritual dari berbagai agama. Dari mereka dia mempelajari banyak terminologi yang mereka gunakan untuk kemudian dia tuangkan dalam karya-karyanya. Di India, dia menyerap ilmu pengetahuan yang sedang semarak dan sangat digandrungi oleh masyarakat di sana. Sebagai konsekuensi mempelajari dan menyerap ilmu esoteris-gnosis dari banyak tradisi dan budaya dengan berlandaskan rasa kemanusiaan yang tinggi, di dalam dirinya lahir spirit inklusif dalam menyikapi perbedaan agama.

Berbagai dialog spiritual dan tukar-menukar pengalaman spiritual pun telah dilakukan secara egaliter oleh para sufi Muslim dengan para tokoh agama-agama lain. Mereka membudayakan dialog dan saling menghargai subyektivitas spiritual masing-masing. Mereka juga saling bertukar pengalaman untuk memperkaya wawasan dan pengetahuan. Sehingga dengan sendirinya dalam diri mereka terpatri sebuah sikap yang kerapkali diabaikan oleh mayoritas umat Muslim, yaitu ‘sikap bijak’.

‘Sikap bijak’, demikianlah kira-kira—sebagaimana dipaparkan oleh Farid Esack dalam bukunya, “On Being Muslim”—kita menerjemahkan kata “al-hikmah”. Menurut sebuah hadits, al-hikmah atau sikap bijak adalah barang yang hilang dari orang beriman, barang yang perlu diambil kembali, dari mana pun ia berasal. Bila ‘sikap bijak’ itu ternyata adalah hasil dari keterlibatan dengan para penganut agama-agama lain, dalam hal ini adalah umat Kristiani dan umat Yahudi, itu jauh lebih baik daripada sesuatu yang dihasilkan oleh sebuah permainan cantik yurisprudensis para ulama di mimbar-mimbar.

Untuk itu, para sufi senantiasa mendorong kepada pencarian kebenaran secara terus menerus demi terciptanya pluralisme yang sehat. Dalam pencarian kebenaran itu mereka tidak lagi mempersoalkan apakah sebuah pemikiran berasal dari Timur atau Barat, Kristen atau Yahudi. Sebab, bagi mereka, tidak ada seorang pun yang memiliki semua kebenaran, sehingga pengalaman dari tempat-tempat, bangsa-bangsa dan agama-agama lain sangat diperlukan guna membuka perspektif-perspektif kebenaran yang variatif. Dari sini, dapat dikatakan bahwa para sufi telah melakukan semacam revolusi yang mampu menciptakan rangsangan dalam pikiran mereka untuk berupaya menghimpun kebenaran-kebenaran pihak lain dan kebenaran yang mereka yakini di bawah tenda yang sama guna memecahkan problem-problem umat.

Model keberislaman mereka itulah yang menurut saya lebih layak disebut kâffah dan sangat dibutuhkan oleh umat Muslim, terutama untuk saat ini. Dengan berpijak pada ajaran-ajaran kedamaian dan pluralisme para sufi, saya katakan bahwa Islam kâffah sejatinya adalah komitmen ‘menyeluruh’ mengenai peningkatan kualitas diri melalui keterlibatan-keterlibatan bersama orang lain, dalam upaya mewujudkan dunia damai yang lebih manusiawi dan adil.

Islam kâffah, dengan demikian, bukanlah—meminjam bahasa Abdul Karim Soroush dalam bukunya, “Menggugat Otaritas dan Tradisi Agama”—sebentuk upaya ideologisasi agama, artinya mengubah agama menjadi alat fanatisme dan kebencian. Ideologisasi agama ini merupakan penyakit pemikiran agama yang kalau dibiarkan akan menjadi virus membahayakan. Dan yang membuat kita perihatin, para ulama tidak saja merasa puas diri, tetapi bahkan secara sadar terus mempropagandakannya.

Problem ideologisasi agama mengajak kita untuk membedakan antara Islam sebagai identitas dan Islam sebagai kebenaran. Islam model pertama adalah alat ideologis untuk identitas sekaligus respon terhadap apa yang kita kenal saat ini “krisis identitas”. Sementara Islam model kedua menunjuk kepada Islam kâffah seperti yang saya paparkan tadi, yaitu Islam sebagai sumber kebenaran yang menunjukkan jalan kedamaian. Oleh karena itu, saya sangat mengamini perkataan Abdul Karim Soroush, bahwa Nabi Muhammad saw. adalah pembawa kebenaran dan kedamaian. Para nabi, seperti yang kita tahu, pada mulanya menyeru manusia kepada kebenaran yang membawa kedamaian. Mereka mengemban misi mempercepat proses evolusi spiritual manusia, menyempurnakan kebaikan moral, memudahkan dan menafsirkan pengalaman spiritual, memperbaiki akhlak, mengajarkan hikmah dan ajaran esoteris, mengingatkan manusia akan asal-usul mereka yang sebenarnya. Nah, manakala orang-orang menerima itu dan mereka ‘disetir’ oleh disiplin agama, secara bertahap mereka membangun identitas. Tetapi, perlu digarisbawahi, membangun identitas bukanlah tujuan para nabi.

Makanya, lagi-lagi kata Abdul Karim Soroush, salah satu penyakit teoritis di dunia Islam yang paling berat saat ini adalah, bahwa pada umumnya umat Muslim lebih suka memahami Islam sebagai identitas ketimbang sebagai kebenaran. Adalah benar bahwa mereka mempunyai identitas, tetapi mereka tidak boleh memperalat Islam demi kepentingan identitas. Identitas muncul sebagai konsekuensi tak terencana dari aksi-aksi sadar para pelaku sosial. Identitas adalah keseluruhan pencapaian materi dan pemikiran dari banyak generasi. Identitas tidak bisa muncul dari upaya sadar segelintir orang. Identitas adalah desain spontanitas. Upaya apa pun yang direncanakan justru akan merobohkan desain tersebut. Namun tidak berarti bahwa umat Muslim tidak mempunyai identitas, melainkan bahwa Islam jangan sampai disalahgunakan demi kepentingan identitas. Di sini dapat dikatakan, bahwa Islam kâffah adalah Islam yang mencakup segala macam kebenaran. Artinya, kebenaran apapun dapat duduk harmonis di dalamnya.

Di samping itu, Islam kâffah juga berarti pengakuan bahwa Allah menciptakan manusia dengan keragaman. Ada yang beragama Islam, Yahudi, dan Kristen. Kalau kita membaca al-Qur`an, kita akan dapati bahwa Islam telah ada sejak Nabi Adam, tetapi bukan sebagai agama. Islam dideklarasikan sebagai agama resmi sejak adanya Nabi Muhammad saw. Sebelum beliau, Islam hanya merupakan nilai-nilai universal Tuhan sebagai petunjuk kebenaran. Dan manusia sebagai makhluk, oleh Tuhan telah dikaruniai kelebihan khusus berupa akal yang berpotensi untuk berikhtilaf. Maka, Islam sebagai nilai-nilai Tuhan itu ditafsirkan beragam oleh manusia. Orang-orang Israel (keturunan Ya’qub) menafsirkan Islam itu begini, para anggota gereja menafsirkannya begitu, dan Nabi saw. juga tidak ketinggalan memberikan penafsiran berbeda.

Kemudian, mereka memilih nama-nama kesukaan masing-masing untuk disematkan kepada hasil penafsiran mereka terhadap Islam. Keturunan Ya’qub yang sangat fanatik terhadap ikatan suku Yehuda memberi nama ‘Yudaisme’. Para pengikut Isa yang tergabung dalam kelompok Messiah Yahudi memberinya nama ‘Kristiani’ yang berasal dari ‘Xristos’, terjemahan Yunani untuk ‘Meshicha’ yang merupakan istilah Aramaik yang berarti ‘yang diberi ucapan perminyakan suci’. ‘Masihi’ merupakan sebutan Arab untuk orang-orang Eropa yang disebut ‘Xristianos’. Sementara itu, Nabi Muhammad saw. nampaknya lebih menyukai nama yang mempunyai makna cukup luas dan berarti. Makanya kemudian beliau memilih nama ‘Islam’ yang berarti ‘keberserahan’. Nama tersebut diambil dari nama pertamanya sebagai jalan berserah diri kepada Tuhan demi meraih kebenaran.

Melihat kenyataan historis yang demikian menuntut kita membuang jauh-jauh keinginan untuk menghina para penganut agama-agama lain. Ketika masih menjadi mahasiswa di universitas al-Azhar Mesir, saya sering mengunjungi International Books Fair yang diselenggarakan di kota Cairo. Di beberapa stand Pemeran saya menemukan puluhan bahkan ratusan buku yang berisi penghinaan terhadap agama Kristen yang dipamerkan secara terang-terangan, buku-buku yang secara sengaja ditulis untuk menyerang agama Kristen dengan menuduhnya sebagai agama kesyirikan. Bahkan terdapat CD yang dibagikan secara cuma-cuma yang memuat puluhan naskah buku, seperti “Limâdzâ Kassarû al-Shalîb?”, “al-Ilâh al-ladzîy lâ Wujûd-a Lah-u”, “al-Nashrânîyyah min al-Wahîd Ilâ al-Muta’addid”, “Hârûnîy am Dawûdîy al-Jins”, “al-Jins fî al-‘Ahd al-Yahûdîy al-Qadîm”, “al-Kanîsah wa al-Inhirâf”, “Ummah Bilâ Shalîb”, “al-‘Aqâ`id al-Watsanîyyah fî al-Diyânah al-Nashrânîyyah”, dan beberapa buku lainnya.

Namun yang mengherankan, penerbitan buku-buku tersebut justru atas dukungan dari negara. Ini sangat kontras dengan kehidupan di Mesir sehari-hari. Kalau dilihat, Mesir terlihat sangat damai. Antara umat Muslim dan umat Kristiani terjadi toleransi yang sangat tinggi, terjalin solidaritas yang begitu kuat. Saya sering melihat masjid berhadap-hadapan atau berdampingan dengan gereja. Saya bahkan hampir tidak bisa membedakan mana yang Muslim atau Kristiani. Di Mesir banyak perempuan Muslim pakai kerudung, tetapi banyak juga yang tidak memakainya. Para perempuan Kristiani juga banyak yang memakai kerudung. Bagi mereka, pemakaian kerudung tidak murni semata-mata karena agama, akan tetapi karena kerudung merupakan pakaian tradisional yang dipakai secara turun-temurun. Jadi, siapapun boleh memakai kerudung, perempuan Muslim atau Kristiani. Tetapi kenapa masih ada saja orang yang berusaha memutus tali pengikat yang sudah sejak lama terjalin itu dengan menyebarkan buku-buku yang antipatif terhadap agama-agama lain. Tidak hanya di Mesir, di Indonesia pun kita sering melihat buku-buku yang berisi penghinaan terhadap Kristen dan agama-agama lainnya.

Jika kita menolak orang lain menghina agama kita, kenapa kita mesti menghantam keyakinan orang lain yang hidup dengan dan di tengah-tengah kita? Sebelum melemparkan tuduhan kepada orang lain, kita harus yakin terlebih dahulu bahwa kita terbebas dari tuduhan yang sama. Inilah sebenarnya makna dari hadits Rasulullah saw. yang berbunyi, “Berbahagialah bagi orang yang disibukkan oleh aibnya sendiri sehingga ia melupakan aib orang lain.” Kalau hadits ini kita tarik kepada konteks yang lebih luas, bukan sebatas hubungan manusia dengan manusia, tetapi menyangkut hubungan antarumat beragama, maka akan bermakna, “Berbahagialah bagi para pengikut suatu agama yang disibukkan dengan aib-aib mereka sendiri sehingga mereka melupakan aib-aib para pengikut agama lain.” Wajar kiranya bila umat Muslim tidak maju-maju, karena mereka selalu disibukkan dengan aktivitas mencari-cari kesalahan orang lain, tidak mau mengoreksi diri.

Kebiasaan menghina para penganut agama-agama lain yang dilakukan sebagian besar umat Muslim, tidak lain merupakan salah satu dampak negatif dari ideologisasi agama. Dan saya kira, problem ideologisasi agama itu tidak hanya terjadi di dunia Islam, agama Kristen, Yahudi dan agama-agama lainnya juga mengalami problem serupa. Para penganut dari masing-masing agama, dengan dalih menjaga kesucian agama, dengan serta-merta menolak bantuan orang lain. Akibatnya, agama menjadi terisolasi dan kaku. Ideologisasi agama selalu menuntut idealisme dan dogmatisme sehingga berlawanan dengan obyektivitas yang pada gilirannya mendorong seseorang memandang dunia melalui celah tunggal yang sempit. Hal ini menampakkan kesan adanya kecacatan dalam agama, padahal kecacatan itu justru terjadi dalam perspektif manusia. Sebab, pikiran manusia memang tidak bisa lepas dari pengaruh kebutuhan dan kecenderungan, sehingga pemahamannya menjadi tidak sama dengan pemahaman manusia lainnya.

Sebagai bahan renungan, saya ingin katakan bahwa, tidak ada agama yang ditumbuh-kembangkan dalam sebuah ‘tabung kaca’ yang tertutup dari dinamika luarnya; sejarah justru menunjukkan betapa agama merupakan sebuah pergulatan tanpa henti terhadap beragam masalah sosial dan sejumlah keterlibatan lainnya. Makanya, perbedaan pemahaman, atau lebih spesifiknya perbedaan agama, jangan sampai menjadi penghalang bagi kita untuk terlibat secara aktif bersama para penganut agama-agama lain menciptakan dunia yang damai. Sudah saatnya kita berusaha memahami para penganut agama-agama lain dengan tetap meneguhkan kepercayaan—meminjam bahasa Farid Esack—bahwa hidup yang bermakna adalah hidup yang berdasarkan pintu keyakinan sendiri sementara jendelanya terbuka lebar bagi yang lain. Sudah waktunya kita memperkuat diri dengan komitmen bersama guna mewujudkan tatanan hidup penuh keadilan di muka bumi ini.

Harus diakui, rasanya memang sangat sulit untuk menumbuhkan sikap terbuka terhadap orang lain yang berbeda agama dengan kita ketika, sekilas pandang, seolah-olah mereka hendak menghancurkan keyakinan agama kita, sementara kita berpikir bahwa agama kita adalah yang paling benar. Tetapi, akan lebih baik bila kita mengabaikan cerita-cetita menyeramkan tentang agama-agama lain dan para penganutnya, mestinya kita mendekatinya secara langsung sebagai upaya membangun sebuah ruang, meskipun kecil, yang memungkinkan orang lain ada di antara kita. Inilah makna Islam kâffah yang sebenarnya, yaitu Islam yang sejalan dengan semangat inklusivisme.

Segala bentuk permusuhan perlu segera dihindarkan. Dan kedamaian harus senantiasa ditebarkan. Sebagai umat yang secara kâffah menjalankan ajaran-ajaran Islam, kita mestinya lebih suka berdamai. Kata-kata santun yang jauh dari unsur cacian, makian dan hinaan, harus kita kedepankan demi menghormati para penganut agama-agama lain yang juga manusia seperti kita dan mempunyai hak yang sama dengan kita. Untuk saat ini, tidak relevan lagi kita memandang identitas keagamaan seseorang. Justru yang harus kita lihat adalah sisi kemanusiaannya. Sebab, masuk dan tidaknya seseorang ke dalam surga tidak ditentukan oleh agama, kelompok atau apalah namanya, melainkan ditentukan oleh kelakuan dan sepak terjangnya di muka bumi; sejauh mana kontribusinya terhadap sesama, dan apa saja yang telah diperbuatnya untuk perdamaian, ketenteraman dan kemajuan manusia. Nabi saw. pernah bersabda, “Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”

Coba kita merenungkan hadits Nabi di atas. Nabi tidak mengatakan, “Sebaik-baiknya manusia adalah yang beragama Islam.” Persis seperti di dalam al-Qur`an, di mana banyak di antara ayat-ayatnya yang menekankan “perbuatan baik” (al-‘amal al-shâlih) sebagai syarat mutlak masuk surga. Kata “iman” dan “islam” itu lebih bermakna “kepercayaan” dan “kepasrahan” kepada Tuhan semata, bukan bermakna “afiliasi” dan “kepenganutan” terhadap agama tertentu.

“Kepercayaan” dan “kepasrahan” terhadap Tuhan pun tidak memperdulikan siapa Tuhan yang disembah. Yang penting “kebertuhanan” itu menumbuhkan sifat-sifat yang luhur di dalam diri manusia untuk kemudian diejawantahkan di dalam kehidupannya sehari-hari.

Satu hal yang ingin saya tekankan di sini, bahwa model Islam kâffah yang terjebak pada simbol-simbol kesalehan—yang menurut saya sama sekali tidak signifikatif—seperti jilbab dan jenggot, di samping eksklusivitas keimanan dan kungkungan ideologisasi Islam sebagai sebuah identitas, hanyalah bentukan wacana dominan yang ditopang oleh tradisi. Sebagai realitas, keberagamaan bukanlah sesuatu yang statis dan konstan. Ibarat air, ia selalu berubah bentuk, kendatipun esensinya sama. Tidak ada satu pun yang tetap dalam proses keberagamaan.

III
MEMBACA buku mahakarya Mukti Ali el-Qum ini bagaikan menyelam ke dalam samudera dan tidak ingin muncul ke permukaan. Begitu masuk, kesejukan dan kenyamanan langsung menyambut antusiasme kita dalam membacanya. Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Cerita-cerita kehidupan para sufi yang disuguhkan dengan bahasa yang sederhana dan tidak ‘melangit’ seperti kebiasaan para pemikir pada umumnya, membuat saya ingin sekali mempelajari tasawuf secara lebih mendalam.

Membaca buku ini, sekali lagi, membuat saya mampu menembus dinding yang selama ini menghalangi saya untuk mengetahui banyak hakikat. Maksud saya, hakikat bahwa tasawuf bukan hanya ajaran dzikir, melainkan ajaran yang hendak mengembalikan manusia kepada fitrahnya yang suci sebagai khalifah Tuhan yang diberi amanah untuk menciptakan kemakmuran di muka bumi; hakikat bahwa para sufi bukanlah para pertapa ‘suci’ yang mengisolasi diri dari kehidupan manusia, melainkan orang-orang yang tulus berjuang untuk tegaknya keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan manusia secara universal; hakikat bahwa Kasih-sayang Tuhan sangat luas, lebih luas daripada langit dan bumi beserta segala isinya, bahkan menenggelamkan Murka-Nya. Bila Kasih-sayang-Nya adalah samudera tak bertepi, maka Murka-Nya adalah setetes air yang larut ke dalam samudera tersebut; hakikat bahwa keragaman aliran dan agama adalah bagian dari sunnatullâh yang tak terbantahkan, selaras dengan keragaman manusia yang hidup mewarnai kehidupan ini; hakikat bahwa segala perbedaan yang tampak di dunia dunia ini tak lain adalah satu dan bersumber dari Tuhan Yang Mahasatu; dll.

Buku ini telah menyadarkan saya dari keterlenaan akibat buaian teks-teks yurisprudensial yang cenderung membatasi antara diri saya dan hakikat-hakikat yang saya sebutkan tadi. Sekarang jiwa saya terasa lapang. Bongkahan batu eksklusivisme iman dan radikalisme sikap yang sejak lama menindih jiwa saya kini terangkat.

Seperti yang pernah saya alami sebelumnya, banyak dari umat Muslim yang menjadi eksklusif dan radikal karena hanya terpaku pada teks-teks yurisprudensial semata. Sangat jarang dari mereka yang mau mengkaji teks-teks hasil kerja keras dan eksperimentasi para tokoh sufi agung seperti al-Hallaj, Abu Yazid al-Busthami, Ibn Arabi, Jalaluddin Rumi, al-Tauhidi, Suhrawardi, al-Ghazali, Mulla Shadra, dll. Mereka adalah pewaris para nabi. Mewarisi para nabi bukan hanya ilmunya, tetapi juga penderitaannya. Lihat saja al-Hallaj dan al-Tauhidi, keduanya sengsara karena ulah para ahli fikih yang menjadi budak-budak pemerintah. Demikian juga Suhrawardi yang dipenjara hanya karena mengatakan bahwa Allah dengan Kemahamampuan-Nya bisa mengutus nabi lain setelah Nabi Muhammad saw. Para ahli fikih menentang keras pendapat tersebut dengan dalih bahwa Nabi Muhammad saw. adalah nabi terakhir. Bermodal kedekatan dengan pemerintah, mereka berhasil memenjarakannya, sampai akhirnya dia meninggal karena dibunuh.

Saya sependapat dengan Suhrawardi. Tuhan Mahamampu, hak Dia untuk mengutus nabi lain selain Nabi Muhammad saw. Hanya saja, Dia tidak akan mengingkari janji-Nya bahwa Nabi Muhammad adalah rasul yang terakhir. Namun ini tidak berarti menghilangkan Kemahamampuan Tuhan. Justru orang-orang yang menentang Suhrawardi, bagi saya, adalah orang-orang yang mengingkari Kemahamampuan Tuhan.

Bekasi, 08 Juli 2010
 
posted by Roland Gunawan at 4:18 PM | Permalink |


0 Comments:





"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"