**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Friday, October 17, 2008
Perbedaan dalam Fiqih

Pendahuluan
Perbedaan dalam masalah hukum merupakan sesuatu yang wajar terjadi pada setiap pensyari’atan (tasyrî’) yang menjadikan aktivitas-aktivitas manusia berikut adat-adat mereka sebagai sumber, di samping juga pendapat-pendapat, pemikiran-pemikiran dan pertimbangan mereka sebagai dasar pijakan. Hal itu disebabkan kerena adat-adat manusia berbeda-beda, pekerjaan-pekerjaan mereka bermacam-macam, dan pendapat-pendapat mereka beragam, sesuai dengan fitrah mereka yang diciptakan Allah SWT. Bila dasar pikiran yang digunakan berbeda, sudah tentu hasilnya pun akan berbeda pula. Itulah sebabnya seluruh syari’at positif (asy-syarî’ah al-wadh’îyyah) hingga saat ini masih saja menjadi obyek perbedaan dan pemicu perdebatan, karena itu merupakan ‘buatan’ sekaligus hasil pemikiran manusia dalam upaya mencapai maslahat-maslahat yang mereka inginkan. Dan maslahat-maslahat yang dicapai tentu saja tidak sama antara satu dengan yang lain tersebab perbedaan pandangan, tujuan, lingkungan dan zaman.

Kiranya perbedaan semacam itu tidak terjadi dalam syari’at Islam di masa Rasulullah saw hidup, yaitu ketika beliau menyampaikannya di tengah-tengah manusia dan menjelaskan signifikansinya dalam kehidupan. Hal ini disebabkan karena Allah SWT selalu ‘turut campur’ dalam menentukan mana yang termasuk wahyu dari-Nya guna mengatur manusia dan mana yang termasuk ijtihad atau upaya penalaran subyektif Nabi saw. Apapun yang berasal dari Allah SWT maka tidak ada pertentangan di dalamnya. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur`an: “Apakah mereka tidak merenungkan al-Qur`an? Dan kalau [al-Qur`an itu] berasal dari selain Allah niscaya mereka akan menemukan banyak sekali pertentangan di dalamnya.”[1]

Adapun setelah Rasulullah saw wafat, yaitu ketika pawahyuan al-Qur`an sudah terhenti, maka orang-orang setelah beliau (para sahabat) atau orang-orang setelah mereka (para tabi’in dan tabi’it tabi’in) berupaya menerapkan ajaran dari Rasulullah saw terhadap kejadian-kejadian baru. Nah di sinilah mereka dihadapkan pada kenyataan-kenyataan dengan berbagai corak dan beragam kondisi serta perbedaan tempat.[2] Dalam hal ini mereka berpijak pada pandangan dan perbandingan antara apa yang terjadi di masa Nabi saw dengan apa yang terjadi setelahnya, disertai identifikasi adanya persamaan antara kejadian-kejadian yang lalu dengan kejadian-kejadian setelahnya dan kesamaan konteks hukum berikut ‘illah-nya. Kemudian pada tahapan selanjutnya dicarilah makna-makna teks yang sesuai dan hubungan antara yang satu dengan yang lain sembari melakukan ithlâq, taqyîd, takhshîsh, ta’mîm dan naskh. Ini semua adalah hal-hal yang di dalamnya terdapat banyak sekali pola pandang sehingga melahirkan banyak perbedaan; di antaranya perbedaan kejadian-kejadian yang lalu berikut kondisi dan penentuan konteks hukum tentangnya serta pengokohan aspek-aspek persamaan antaranya dengan kejadian-kejadian yang baru; di antaranya adalah perbedaan teks yang diriwayatkan tentang hukum-hukum yang ada, baik yang diriwayatkan secara benar (shahîh) atau tidak, atau yang sudah ditetapkan atau tidak; di antaranya perbedaan dalam mengetahui konteks hukum berikut syarat-syaratnya; di antaranya perbedaan dalam menjadikan titik persamaan sebagai dasar legal yang mana hukum dapat melampaui konteks asalnya; di antaranya perbedaan dalam menghubungkan hukum yang ada dengan kesimpulan dari ‘illah-nya; dan masih banyak lagi perbedaan yang lainnya.[3]

Sebelum melangkah lebih jauh membahas perbedaan dalam fiqih, alangkah baiknya bila saya memaparkan terlebih dahulu tentang fiqih di masa Nabi saw.

Fiqih di Masa Rasulullah Saw
Di masa hidupnya Rasulullah saw menyampaikan hukum-hukum yang disyari’atkan Allah SWT kepada kaum muslimin, yaitu menyampaikan hukum-hukum yang tertera di dalam al-Qur`an dan menjelaskannya, atau menerapkannya di tengah-tengah mereka sebagai contoh, atau memberikan nasehat dalam hal-hal yang mereka selisihkan. Rasulullah saw adalah marja’ (tempat kembali) ketika di antara mereka terjadi perselihan, mafza’ (tempat berlindung) di saat mereka dirundung kesusahan, râ`id (pemimpin) dalam semua urusan, hâdî (penunjuk) di kala mereka dilanda kebingungan, dan mursyid ketika mereka terjerembab ke dalam kubang kesesatan. Jika mereka berselisih mengenai suatu perkara, maka beliau mengembalikannya kepada yang benar (ash-shawâb). Dan jika kebenaran tidak nampak kepada mereka, maka beliau segera menunjukkannya.

Sebagian dari mereka terkadang dihadapkan pada suatu perkara yang menuntut penyelesaian mendesak sehingga tidak memungkinkan untuk bertanya langsung kepada Rasulullah saw dikarenakan jauhnya tempat atau dalam perjalanan, maka mereka kemudian melakukan ijtihad untuk mengetahui hukumnya, dan ketika pada suatu kesempatan mereka hadir di majlis beliau maka mereka langsung mengadukan hasil ijtihad mereka kepada beliau, kemudian beliau menerangkan kepada mereka tentang kebenaran perkara tersebut yang segera mereka terima dengan penuh keimanan.

Pernah suatu ketika sahabat ‘Amru ibn al-‘Ash ra diutus untuk memimpin para tentara muslim dalam sebuah peperangan di tahun kedelapan Hijriyah. Dan pada suatu malam yang sangat dingin dia mimpi basah; junub! Waktu shalat shubuh pun tiba. Dia kuatir kalau memaksakan diri untuk mandi akan membahayakan bagi kesehatan fisiknya, apalagi saat itu masih dalam suasana perang. Karena kekuatiran itulah dia hanya bertayamum untuk kemudian melaksanakan shalat bersama sahabat-sahabat yang lain.

Dan pada suatu kesempatan, yaitu ketika berkumpul bersama Rasulullah saw, para sahabat menceritakan apa yang dialami oleh ‘Amru ibn al-‘Ash. Beliau pun kemudian bertanya kepadanya: “Wahai ‘Amru, apakah kau melakukan shalat bersama sahabat-sahabatmu sedang kau dalam keadaan junub?” ‘Amru ibn al-‘Ash menjawab dengan menyebutkan salah satu ayat dalam al-Qur`an yang berbunyi: “Janganlah kamu membunuh diri kamu sendiri, sesungguhnya Allah sangatlah Penyayang kepada kamu.” Mendengar itu Rasulullah hanya tertawa dan tidak mengatakan apa-apa. Maka tenanglah ‘Amru ibn al-‘Ash.[4]

‘Atha` bin Yasar juga meriwayatkan tentang dua orang yang sedang bepergian. Di tengah perjalanan keduanya tidak menemukan air, padahal waktu shalat sudah tiba. Akhirnya keduanya bertayamum dan kemudian melakukan shalat. Setelah itu keduanya melanjutkan perjalanan. Tetapi belum begitu jauh melangkah keduanya melihat air. Lalu salah seorang dari keduanya berwudhu` dan mengulangi shalatnya, sedangkan yang lain tidak melakukannya. Maka begitu bertemu Rasulullah saw keduanya langsung menceritakan hal tersebut. Kemudian beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya: “Kamu benar, shalatmu mendapat pahala.” Setelah itu beliau berkata kepada orang yang berwudhu` dan mengulangi shalatnya: “Kamu mendapat dua pahala.”[5]

Demikianlah keadaan di masa Rasulullah saw, tidak ada perbedaan hukum. Ketika beliau menetapkan hukum atas suatu perkara maka tidak ada seorang pun yang tidak mematuhinya. Tidak ada seorang pun dari para sahabat yang berselisih pendapat dengan beliau. Kalau ada orang yang berpendapat dalam masalah hukum, dan kemudian diutarakan kepada Nabi, kalau beliau menerima dan mengakuinya maka itu dengan sendirinya menjadi syari’at yang kudu dijalankan. Tetapi kalau beliau menolak, maka setelah itu tidak ada yang boleh mengerjakannya.[6]

Dengan demikian, berdasarkan paparan di atas, fiqih di masa Rasulullah sebetulnya bersifat praksis (terapan), tidak bersifat teoritis seperti sekarang ini. Kala itu sumber hukum yang dijadikan pijakan dalam setiap permasalahan adalah figur Nabi saw sebagai perima wahyu secara langsung dari Tuhan.[7] Artinya, setiap kali ada masalah, terutama yang berhubungan dengan agama, kaum muslimin langsung menanyakannya kepada beliau. Kala itu pula, masalah apapun yang terjadi hanya membutuhkan solusi yang amat sederhana. Sebab kaum muslimin masih sedikit dan tinggal di satu tempat, yaitu di Jazirah Arab.[8]

Perbedaan Pendapat di Masa Sahabat
Setelah Rasulullah saw berpulang ke rahmatullah, otomatis penurunan wahyu terhenti. Di sini para sahabat—semoga ridha Allah SWT senantiasa tercurah kepada mereka—ketika dihadapkan pada sebuah perkara yang menuntut penjelasan suatu hukum, mereka mencarinya di dalam al-Qur`an, kemudian di dalam as-Sunnah. Apabila mereka menemukannya di dalam kedua pedoman tersebut atau di salah satunya, maka dengan penuh keimanan mereka mengamalkannya.

Salah seorang dari mereka bertanya kepada yang lain ketika ia tidak mengetahui hukum dari suatu perkara. Seperti riwayat yang menyebutkan bahwa seorang nenek datang kepada Khalifah Abu Bakar ra menanyakan tentang warisan untuknya. Sang khalifah lalu mencarinya di dalam al-Qur`an namun tidak menemukannya, dan dia juga tidak mengetahui adanya suatu acuan dari Rasulullah saw yang secara eksplisit atau implisit yang membahas tentang warisan untuk nenek-nenek. Akhirnya dia bertanya kepada sahabat-sahabat yang lain, kemudian muncullah al-Mughirah ra dan Muhammad bin Salamah yang memberi kesaksian bahwa Rasulullah saw memberikan hak waris seper enam untuk seorang nenek.[9]

Akan tetapi kalau mereka benar-benar tidak menemukannya di dalam al-Qur`an maupun as-Sunnah, maka sang Khalifah akan mengumpulkan beberapa orang pilihan dari para sahabat yang dianggap mumpuni dalam masalah hukum untuk melakukan musyawarah. Kalau nantinya mereka sependapat dalam suatu hukum, maka sang khalifah akan langsung menerapkannya. Tetapi bila terjadi perbedaan di antara mereka, maka sang khalifah akan memilih yang menurutnya lebih mendekati kebenaran demi terwujudnya maslahat kaum muslimin secara umum, tanpa menganggap hal itu sebagai penghalang untuk merubah pilihannya tersebut mana kala nantinya terdapat pendapat lain yang lebih benar.[10]

Dengan demikian, pasca wafatnya Rasulullah saw, perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan sahabat tidak lain merupakan konsekuensi dari ijtihad mereka mengenai suatu perkara yang tidak ada satupun teks yang menegaskannya, baik dari al-Qur`an atau as-Sunnah. Dan Rasulullah sendiri di masa hidup beliau telah mengajarkan kepada para sahabat cara melakukan istinbâth (pengambilan kesimpulan hukum) dan cara melakukan ijtihad dalam hal yang belum mendapat ketegasan hukum secara tekstual.

Dan meskipun terjadi perbedaan dalam berijtihad di kalangan sahabat, hanya saja di dalamnya terdapat beberapa keistimewaan, di antaranya:[11]

Pertama, mereka merasa cukup dengan kenyataan yang ada. Artinya bahwa mereka tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebelum terjadi, dan tidak meletakkan jawaban-jawaban sebelum bertanya terlebih dahulu, sebagaimana juga dilakukan oleh orang-orang setelah mereka. Jika mereka bertanya tentang sesuatu, mereka berkata: “Apakah itu terjadi?” Kalau itu terjadi maka mereka kemudian melakukan ijtihad guna menemukan jawabannya. Dan kalau tidak terjadi maka mereka tidak memberikan jawaban apa-apa. Mereka hanya berkata: “Biarkan itu terjadi, kemudian kami akan memberi jawaban.” Setidaknya ini menunjukkan bahwa mereka memang tidak menyukai pendapat yang bersifat asumtif atau hipotesis.

Ya, mereka tidak suka bertanya tentang suatu hal yang tidak terjadi. Bahkan mereka mencela orang yang memaksakan diri untuk menanyakannya. Hal ini dipertegas oleh Umar bin al-Khaththab dengan perkataannya yang cukup populer di masanya: “Tidak ada seorang pun yang boleh menanyakan sesuatu yang belum terjadi. Sesungguhnya Allah SWT sudah menetapkan apa yang ada.”

Kedua, adanya kebebasan ijtihad di kalangan sahabat. Artinya bahwa orang dari mereka melakukan ijtihad dalam hal yang dianggapnya benar. Meski demikian mereka tetap menghargai pendapat-pendapat sebagian yang lain ketika terjadi perbedaan. Ini bisa dilihat dari perbedaan yang terjadi antara Ibn ‘Abbas dan Zaid bin Tsabit mengenai bagian “ibu” dari harta warisan yang mencakup suami, ayah dan ibu, atau istri, ayah dan ibu. Ibn ‘Abbas berpendapat: “Dia mempunyai hak sepertiga dari harta itu.” Berbeda dengan Zaid bin Tsabit yang berpendapat: “Dia mempunyai hak sepertiga sisa dari harta itu.” Kemudian Ibn ‘Abbas bertanya: “Adakah di dalam al-Qur`an sepertiga sisa dari harta?” Zaid menjawab: “Aku hanya mengatakan dengan pendapatku, dan kau juga mengatakan dengan pendapatmu.” Jadi keduanya tidak saling menyalahkan, justru saling menghargai.

Ketiga, mereka enggan menisbatkan pendapat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Artinya mereka sangat hati-hati menisbatkan pendapat yang mereka kemukakan kepada Allah SWT dan Rasulullah saw. Mereka lebih banyak menisbatkannya kepada diri mereka sendiri. Misalnya salah seorang dari mereka berkata: “Ini pendapat si Fulan, kalau benar maka itu dari Allah, dan kalau salah maka itu dari dirinya sendiri atau dari setan. Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya terbebas dari sesuatu yang buruk.”

Hal itu juga dicontohkan oleh Abu Bakar ra, yaitu ketika dia dihadapkan pada sebuah permasalahan yang tidak ditemukan landasan hukumnya baik di dalam al-Qur`an ataupun as-Sunnah. Dia melakukan ijtihad berdasar pendapatnya, lalu berkata: “Ini adalah pendapatku, kalau benar maka itu berasal dari Allah, tetapi kalau salah maka itu berasal dariku, dan aku memohon ampun kepada Allah.”

Di sini nampak betapa para sahabat—semoga Allah senantiasa memberikan ridha-Nya kepada mereka—melakukan ijtihad berdasar kemampuan mereka dalam merumuskan hukum yang terbentuk melalui pendidikan Rasulullah saw semasa beliau hidup. Sehingga perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan mereka tidak berlandaskan pada hawa nafsu, melainkan pada kematangan ilmu yang beriringan dengan keimanan yang menghujam kuat di dalam dada.

Latar Belakang Terjadinya Perbedaan
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa perbedaan pendapat merupakan suatu hal yang lumrah dalam kehidupan manusia. Dalam kaitannya dengan Islam, paling tidak ini menunjukkan kerealistisannya sebagai sebuah agama yang memperlakukan manusia sebagai manusia yang memiliki perbedaan antara satu dengan lainnya dalam hal tingkat kemampuan, pengetahuan dan pemahaman. Setelah masa-masa kenabian perbedaan pola pandang di kalangan sahabat acap terjadi, akan tetapi perbedaan tersebut tidak timbul dari kelemahan akidah, atau keraguan terhadap kebanaran ajaran Rasulullah saw, melainkan semata-mata karena keinginan yang kuat untuk merumuskan hukum-hukum yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.

Kita lihat berdasar kejadian-kejadian yang ada, bahwa semua faktor yang melatarbelakangi perbedaan di kalangan sahabat tidak keluar dari perbedaan pemahaman terhadap teks karena faktor-faktor lughawiyah atau ijtihadiyah, yaitu dalam manafsirkan ayat-ayat al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi saw. Namun di balik faktor-faktor tersebut sama sekali tidak ada maksud-maksud tersembunyi yang sengaja diupayakan untuk menumbuhkan benih pertentangan sebagaimana sering dilakukan oleh orang-orang munafik.

Dan secara natural ada beberapa faktor perbedaan yang berpindah-pindah dari satu masa ke masa yang lain, sehingga sulit untuk dibangun semacam pagar-pagar pemisah antara faktor-faktor satu masa dengan masa yang lainnya. Namun di sana terdapat beberapa hal baru dalam dunia Islam yang memunculkan unsur-unsur spirit perbedaan.

Sejak terbunuhnya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan ra, wilayah-wilayah Islam mengalami goncangan-goncangan amat dahsyat sehingga melahirkan peristiwa-peristiwa yang memasukkan ke dalam ‘ranah perbedaan’ banyak hal yang tadinya berada di luarnya, dan inilah yang barangkali membuat penduduk setiap wilayah ‘mengisolasi’ apa yang sampai kepada mereka dari Sunnah Rasulullah saw karena kuatir terjadi pemalsuan dan penipuan.

Kemudian lahirlah aliran Kufah dan aliran Basrah sebagai lingkungan amat subut bagi interaksi berbagai pemikiran politik, di samping muncul berbagai kelompok seperti Khawarij, Syi’ah, Murji`ah, Muktazilah dan lain-lain.

Tak ayal lagi, karena banyaknya kelompok yang bermunculan, maka metode pemikiran juga semakin banyak, yang mana setiap kelompok mempunyai pijakan-pijakan atau kaidah-kaidah tersendiri yang digunakan dalam berinteraksi dengan teks-teks agama serta menafsirkan sumber-sumber syari’at dan menyikapi berbagai problem baru yang muncul. Sehingga menjadi sangat wajar bila peletakan patokan-patokan baku menjadi sangat penting, juga perumusan metode-metode dan cara-cara penyimpulan hukum-hukum realita dari wahyu ilahi, serta pembatasan mana yang boleh masuk ke dalam ‘ranah perbedaan’ dan mana yang tidak.

Dan sungguh merupakan rahmat Allah SWT yang telah menjadikan fiqih boleh masuk ke dalam ‘ranah perbedaan’. Sebab pada dasarnya fiqih merupakan pengetahuan seorang faqih mengenai hukum realita berdasar dalil-dalil universal dan partikular (al-adillah al-kullîyyah wal juz’îyyah) yang terkandung di dalam al-Qur`an dan as-Sunnah. Bisa saja kesimpulan hukum seorang faqih sesuai dengan maksud syari’at, dan bisa juga tidak. Namun dalam dua keadaan tersebut dia tidak dituntut lebih dari upayanya mencurahkan puncak kemampuan akalnya untuk sampai pada suatu hukum. Artinya bahwa jika dia tidak benar-benar sampai pada hukum yang dimaksudkan syari’at, maka paling tidak apa yang dia capai itu mendekati kebenaran dan tujuannya. Oleh sebab itulah perbedaan menjadi sesuatu yang dibolehkan dalam agama.

Secara umum, terutama setelah masa-masa para sahabat, faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya perbedaan dalam penyimpulan hukum bisa dibagi menjadi tiga, yaitu:

1 Faktor-faktor yang menyangkut bahasa:
Terkadang dalam teks-teks syari’at terdapat “lafazh musyrarak” (kata yang mempunyai banyak makna), seperti kata “ ‘ain” yang bisa berarti “mata”, “barang”, “emas murni” dan lain sebagainya.

Jika dalam teks syari’at terdapat kata yang tidak terkait dengan konteks tertentu, maka makna-makna yang ada bisa digunakan seluruhnya, tergantung masing-masing mujtahid mau menggunakan yang mana.

Misalnya para ahli fiqih berbeda pendapat dalam memaknai kata “al-qur`” dalam ayat 228 dari surat al-Baqarah. Kata “al-qur`” bisa dimaknai “ath-thuhr” (masa suci) atau bisa juga “al-haydh” (masa haid). Di sini para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai iddah wanita yang ditalak suaminya, apakah dengan tiga kali suci atau dengan tiga kali haid? Para ahli fiqih di Hijaz berpendapat bahwa iddah wanita yang ditalak suaminya adalah tiga kali suci, sedangkan para ahli fiqih Irak berpendapat tiga kali haid. [12]

Dan terkadang ada suatu kata dalam teks syari’at yang bermakna haqîqî dan majâzî. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih, mana di antara kedua makna tersebut yang lebih bisa gunakan.[13]

Misalnya kata “al-mîzân” dalam ayat 7 dari surat ar-Rahmân. Ada sebagian yang lebih memilih makna majâzî, yaitu “keadilan”. Dan ada juga sebagian yang memilih makna haqîqî, yaitu “timbangan”.

2 Faktor-faktor yang menyangkut periwayatan as-Sunnah:
Sebagian besar perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama salaf bermuara di sini.
Terkadang sebuah hadits tidak sampai kepada mujtahid tertentu, sehingga dia berfatwa berdasar makna tekstual ayat atau hadits lain, atau dengan melakukan qiyas (analogi) terhadap kejadian yang pernah terjadi di masa Rasulullah saw hidup, atau dengan yang lain.
Terkadang sebuah hadits sampai kepada seorang mujtahid, akan tetapi dia menemukan kekurangan di dalamnya yang membuat dia enggan mengamalkannya. Misalnya dia meragukan keshahihan sanad hadits tersebut karena terdapat perawi yang majhûl, atau lemah dalam menghafal silsilah isnadnya, atau karena maqtû’ atau mursal.

Para ahli fiqih bisa saja berbeda pendapat mengenai makna-makna hadits, misalnya mereka berbeda dalam masalah “al-muzâbanah”, “al-mukhâbarah”, “al-muhâqalah”, “al-mulâmasah”, “al-munâbadzah”, dan “al-gharar” karena perbedaan mereka dalam menafsirkannya.

Terkadang ada sebuah hadits yang sampai kepada seorang mujtahid dengan suatu lafazh, dan sampai kepada mujtahid lain dengan lafazh yang berbeda. Misalnya salah satu dari keduanya menghapus sebuah kata yang mana makna hadits tersebut menjadi tidak sempurna kecuali dengan kata itu.

Kadang-kadang ada sebuah hadits sampai kepada seorang mujtahid disertai dengan asbâbul wurûd-nya, dan sampai kepada mujtahid lain tanpa disertai dengan itu sehingga membuat pemahamannya berbeda dengan yang pertama.

Terkadang ada seorang perawi yang menerima sebuah hadits secara lengkap, sementara perawi lain tidak. Maka tak nyana ini akan berpengaruh pada pemahaman keduanya.

Kadang juga seorang mujtahid menganggap sebuah hadits telah dinasakh, atau ditakhshîsh, atau ditaqyîd, sementara mujtahid lain tidak beranggapan demikian. Maka sudah tentu ini akan membuat pendapat keduanya berbeda.

3 Faktor-faktor yang menyangkut kaidah-kaidah ushuliyah dan acuan-acuan penyimpulan hukum:
Ilmu ushul fiqih merupakan sekumpulan kaidah dan acuan yang dibuat oleh para mujtahid untuk lebih mengakuratkan proses ijtihad dan penyimpulan hukum-hukum syari’at yang sifatnya furu’iyah dari dalil-dalil tafshiliyah (terperinci), yang mana para mujtahid menetapkan dalam metode-metode ushuliyah mereka dalil-dalil yang darinya dapat disimpulkan hukum-hukum, kemudian mereka menentukan cara-cara penyimpulan hukum syari’at dari setiap dalil yang ada, juga langkah-langkah yang mesti ditempuh untuk sampai kepada hukum syari’at yang dimaksud.
Setiap madzhab atau aliran mempunyai kaidah-kaidah dan acuan-acuannya masing-masing. Ada madzhab yang berpendapat bahwa fatwa seorang sahabat Nabi saw kalau sudah populer dan tidak ada satu pun yang menentangnya—dari para sahabat sendiri—bisa digunakan sebagai hujjah, karena para sahabat tidak akan mengeluarkan fatwa kecuali berlandaskan pada sebuah dalil, atau pemahaman mereka terhadapnya, atau berdasarkan apa yang mereka dengar dari Rasulullah saw.

Sebagian mujtahid ada yang menggunakan al-mashâlih al-mursalah, yaitu hal-hal yang di dalam syari’at tidak terdapat sesuatu yang menunjukkan keberadaannya, sebagaimana tidak terdapat sesuatu yang menunjukkan penghapusan terhadapnya. Jika seorang mujtahid menemukan dalam hal-hal tersebut sesuatu yang menjamin kemaslahatan, maka dia akan berpendapat berdasar maslahat tersebut dengan anggapan bahwa syari’at digariskan hanya untuk menjamin kemaslahan manusia.[14]

Ada juga beberapa hal lain yang hingga saat ini masih menjadi obyek perdebatan di kalangan ahli fiqih atau mujtahid, seperti Istishlâh (pencapaian maslahat), Istihsân (kebaikan yang dicapai dengan rasio), Istish-hâb (penetapan hukum yang telah berlaku sebelumnya), syar’ man qablanâ (syari’at agama pra-Islam), sadd adz-dzarâ`i’ (tindakan preventif), ‘amal ahl al-Madînah (tradisi penduduk Madinah), ‘urf (adat istiadat), istiqrâ` (observasi), al-akhdz bi aqall mâ qîla (pengambilan ukuran minimal yang dikemukakan), al-akhdz bil ahwath (pengambilan yang lebih hati-hati) dan lain sebagainya.

Penutup
Setelah kita membahas—meski tidak detail—mengenai faktor-faktor yang mengakibatkan timbulnya perbedaan pendapat di kalangan sahabat, ahli fiqih atau mujtahid, di sini kita bisa mengambil beberapa kesimpulan berikut:

Pertama, bahwa fiqih di masa sahabat terbentuk dengan munculnya kejadian-kejadian baru setelah wafatnya Rasulullah saw. Apabila di dalam teks-teks syari’at (al-Qur`an dan as-Sunnah) tidak ditemukan ketentuan hukumnya, maka mereka melakukan ijtihad dan mengamalkannya berdasarkan maslahat.

Kedua, bahwa al-Qur`an merupakan pedoman utama bagi para mujtahid. Artinya kalau ada suatu masalah, maka yang pertama kali mereka rujuk adalah al-Qur`an. Dan meskipun para sahabat—semoga Allah SWT senantiasa mencurahkan ridha-Nya kepada mereka—adalah orang-orang yang dianggap paling mampu memahami al-Qur`an karena mereka benar-benar mengetahui asbâb an-nuzûl-nya, akan tetapi tetap saja terjadi perbedaan pendapat di antara mereka disebabkan tingkat keilmuan dan intelektualitas mereka.

Ketiga, bahwa perbedaan tingkat kecerdasan dan keilmuan para sahabat disebabkan karena sebagian dari mereka yang selalu bersama Rasulullah saw lebih lama, sedangkan sebagian lainnya ada yang disibukkan dengan jihad, atau disibukkan dengan pekerjaan berdagang dan bercocok tanam. Sehingga apa yang didengarkan sebagian dari Rasulullah tidak didengarkan oleh yang lain. Maka wajar kiranya bila terjadi silang pendapat di antara mereka. Terlebih lagi dalam kehidupan kaum muslimin di masa-masa setelah mereka hingga masa kini.

Maka, berdasarkan kesimpulan-kesimpulan tersebut, dapat dikatakan bahwa perbedaan hakikatnya merupakan rahmat dari Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya. Kita lihat betapa kaum muslimin hidup di berbagai belahan bumi dengan kondisi dan lingkungan yang berbeda-beda. Bisa saja suatu madzhab atau aliran tertentu lebih cocok bagi lingkungan yang ini, sementara yang lain lebih sesuai dengan lingkungan yang itu. Dan satu hal yang perlu dipahami di sini, bahwa kita tidak mungkin bisa melebur-satukan madzhab-madzhab yang ada, dan itu memang bukan sesuatu yang penting. Akan tetapi yang penting adalah mengetahui faktor-faktor yang sekiranya dapat mendamaikan madzhab-madzhab tersebut, sehingga tidak ada lagi yang namanya pertikaian dan permusuhan di antara kaum muslimin.


[1] Ada beberapa hal penting mengenai perbedaan tingkat validitas antara periwayatan al-Qur`an dan as-Sunnah—yang membuat al-Qur`an lebih diutamakan ketimbang as-Sunnah—yang sebetulnya bisa dikatakan sebagai pemicu terjadinya silang pendapat dalam masalah hukum di kalangan sahabat, selain perbedaan pemahaman mereka terhadap kedua sumber hukum tersebut, yaitu:
Pertama, bahwa al-Qur`an dalam periwayatannya dari Nabi saw tidak ada yang memicu perselisihan sehingga tidak melahirkan perbedaan dalam hukum, berbeda dengan Sunnah yang tidak ‘selamat’ dari perselisihan dalam hal kebenaran (keshahihan) periwayatannya, sehingga ada satu kelompok yang mengamalkan sementara yang lain tidak.
Kedua, bahwa al-Qur`an sudah dikodifikasi dan banyak yang menghafalnya. Hal ini sangat diketahui oleh kaum muslimin. Al-Qur`an merupakan dasar agama sekaligus pedoman dan sandaran bagi mereka. Mereka semua berkewajiban mengikutinya. Sementara as-Sunnah tidaklah menyatu atau terkodifikasi layaknya al-Qur`an, akan tetapi bertebaran di antara para sahabat yang meriwayatkannya. Siapa pun dari mereka yang mengetahui maka dia akan mengamalkannya, sebaliknya yang tidak mengetahui maka dia akan langsung melakukan ijtihad, dan tentu saja ijtihadnya berbeda dengan ijtihad sahabat lain. Maka timbullah perbedaan pendapat di kalangan mereka.

Ketiga, bahwa perbedaan para sahabat dalam periwayatan as-Sunnah disebabkan oleh perbedaan mereka dalam pemahaman terhadapnya mana kala mengandung banyak kemungkinan, baik lafazh ataupun maknanya, sehingga nantinya melahirkan perbedaan di kalangan mereka dalam beberapa hukum. Berbeda dengan al-Qur`an yang memang mereka hafal lafazh-lafazhnya ‘di luar kepala’ dan terpercaya.

Keempat, bahwa perbedaan dalam penyimpulan hukum dari al-Qur`an disebabkan oleh perbedaan pemahaman mereka terhadapnya. Perbedaan semacam ini juga terjadi dalam memahami as-Sunnah.

[2] Kaum muslimin di masa Rasulullah saw masih sedikit dan tinggal di satu tempat, yaitu di Jazirah Arab. Namun, setelah beliau wafat, mereka melakukan ekspansi ke beberapa tempat di luar Jazirah Arab dan berbaur serta menjalin interaksi dengan masyarakat yang berbeda keyakinan dan budayanya, sehingga masalah-masalah yang muncul kemudian menjadi kompleks dan rumit. Hal ini menuntut para ulama untuk melakukan langkah-langkah kongkret guna mencari solusi-solusi bagi seluruh permasalahan yang ada, terutama hal-hal yang berhubungan dengan agama, agar interaksi kaum muslimin dengan masyarakat-masyarakat lain itu berjalan secara dinamis. Tentu saja langkah-langkah yang mereka lakukan itu bukan tanpa dasar, justru, meski sudah dianggap sempurna, al-Qur`an menyuruh manusia untuk terus melakukan perubahan sesuai dengan fitrahnya sebagai satu-satunya makhluk Tuhan yang dianugerahi akal, di samping juga beberapa hadits Nabi saw. Dengan dasar inilah para ulama klasik kemudian melakukan upaya-upaya mempersambungkan prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersifat universal (al-kullîyyât) pada kasus-kasus kehidupan yang bersifat partikular (juz`îyyât). Inilah yang populer disebut ijtihad. Dan hasil ijtihad—sebagai proses intelektual untuk menurunkan ketentuan universal pada ketentuan-ketentuan yang bersifat partikular sekaligus kerangka teknis operasionalnya—itulah yang disebut fikih.

[3] Syaikh ‘Ali al-Khafif, Asbâb-u Ikhtilâfil Fuqahâ`, Darul Fikr al-‘Arabi, Cairo, cet. II, 1996, hlm. 8

[4] HR. Ahmad dan Abu Daud.

[5] Syaikh ‘Ali al-Khafif, Asbâb-u Ikhtilâfil Fuqahâ`, Darul Fikr al-‘Arabi, Cairo, cet. II, 1996, hlm. 10 - 11

[6] Ibid. 11

[7] Di masa Rasulullah saw hukum-hukum tidak memiliki sumber selain al-Qur`an dan Sunnah. Al-Qur`an adalah sumber primer yang hanya menjelaskan dasar-dasar hukum yang bersifat umum tanpa menyentuh hukum-hukum secara detail. Sedangkan Sunnah merupakan sumber sekunder yang menjelaskan secara detail hal-hal yang bersifat umum di dalam al-Qur`an.

[8] Syaikh Muhammad Mahdi Syamsuddin, al-Ijtihâd wa al-Tajdîd fî al-Fiqhil Islâmî, al-Mu`assasah al-Dauliyah, Beirut, cet. I, 1999, hlm. 46

[9] Dr. Abu Sari’ Muhammad Abdul Hadi, Ikhtilâf ash-Shahâbah, Maktabah Madbuli, Cairo, cet. I, 1991, hlm. 15

[10] Hal ini menegaskan bahwa sumber-sumber fikih di masa sahabat adalah al-Qur`an, as-Sunnah, Ijma’ dan Ra`y. Hanya saja “Ra`y” yang dimaksud di sini adalah pendapat yang membuat hati tenang setelah melalui proses berpikir dan perenungan yang mendalam, disertai upaya pencarian terhadap relevansi pada suatu perkara yang mencakup dalil-dalil yang bertentangan, atau suatu perkara yang memang tidak ada satu pun teks yang menegaskannya. Makanya bagi mereka “Ra`y” itu mencakup ijtihad dalam memahami makna teks yang bertentangan atau tidak ada. Sebagaimana juga mencakup qiyâs, istihsân, sadd adz-dzarâ`i’, al-mashâlih al-mursalah, dan hal-hal lain yang pada masa-masa berikutnya menjadi kaidah-kaidah dasar yang digunakan oleh para imam untuk merumuskan hukum-hukum fiqih.

[11] Dr. Abu Sari’ Muhammad Abdul Hadi, Ikhtilâf ash-Shahâbah, Maktabah Madbuli, Cairo, cet. I, 1991, hlm. 20 – 26

[12] Ibid. hlm. 87

[13] Syaikh ‘Ali al-Khafif, Asbâb-u Ikhtilâfil Fuqahâ`, Darul Fikr al-‘Arabi, Cairo, cet. II, 1996, hlm. 126

[14] Ibid. hlm. 231



 
posted by Roland Gunawan at 4:10 PM | Permalink |


0 Comments:





"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"