“Wahai segenap manusia, telah datang kepada kalian bulan agung yang penuh berkah, bulan yang di dalamnya terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Allah menjadikan puasa di siang harinya sebagai kewajiban, dan qiyam di malam harinya sebagai sunnah. Barangsiapa yang menunaikan ibadah yang difardhukan, maka pekerjaan itu setara dengan orang yang mengerjakan 70 kewajiban. Ramadhan merupakan bulan kesabaran, dan balasan kesabaran adalah surga. Ramadhan merupakan bulan santunan, bulan yang di dalamnya Allah melapangkan rizki setiap hamba-Nya. Barangsiapa yang memberikan hidangan buka puasa bagi orang yang berpuasa, maka akan diampuni dosanya, dibebaskan dari belenggu neraka, serta mendapatkan pahala setimpal dengan orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut,” [HR. Khuzaimah]
SUATU siang di pinggir jalan raya, penulis bersama seorang kawan sedang menunggu taksi. Kebetulan saat itu kami hendak menuju ke Warung Daun di jalan Cikini untuk mengikuti rapat Yayasan Rumah Kitab. Terasa lama sekali! Tidak ada taksi kosong yang lewat. Semuanya penuh dengan penumpang. Sungguh, ini tidak seperti biasanya, bisik penulis dalam hati.
SUATU siang di pinggir jalan raya, penulis bersama seorang kawan sedang menunggu taksi. Kebetulan saat itu kami hendak menuju ke Warung Daun di jalan Cikini untuk mengikuti rapat Yayasan Rumah Kitab. Terasa lama sekali! Tidak ada taksi kosong yang lewat. Semuanya penuh dengan penumpang. Sungguh, ini tidak seperti biasanya, bisik penulis dalam hati.
Akhirnya kawan penulis yang ketika itu bersandar ke sebuah pohon sedikit bergumam, “Wah, penuh semua nih! Maklumlah, besok kan puasa. Malam ini shalat tarawih.” Seketika penulis tersadar bahwa besok adalah hari pertama puasa. Pantas saja bila orang-orang hilir-mudik berpacu dengan waktu kembali ke tempat tinggal masing-masing agar dapat menikmati malam pertama Ramadhan bersama keluarga.
Penulis sendiri merasa waktu memang melaju begitu cepatnya. Ia bergerak mengiringi titian takdir jalan kehidupan kita di muka bumi, kendatipun kita tidak menyadarinya karena lebih sering terlena dan mabuk oleh alunan iramanya sembari terus mengikuti ke mana saja arah perginya sang waktu yang sedemikian bengis itu.
Kalau dilihat dari bawah, awan-awan yang mengambang antara langit dan bumi itu seakan-akan diam saja tak bergerak. Tetapi bila diperhatikan dengan cermat dan mata yang jeli, kita menjadi terkejut dan heran, betapa tiba-tiba ia sudah jauh meninggalkan kita yang duduk terpaku dan terbuai dalam pelukan hangat angin senja.
Waktu terus berjalan menggiring kita menuju suatu keadaan di masa depan yang tidak pernah kita ketahui. Ia terus saja memaksa kita, meski terkadang kita mengelaknya. Di suatu saat, ketika tengah dilanda kecemasan akan suatu kejadian buruk yang bakal berlangsung, kita mencoba untuk melawan waktu dengan seluruh kekuatan yang kita miliki. Tetapi, apalah arti besar kekuatan kita di hadapannya?
Gunung-gunung yang selama ini kita sangka diam ternyata bergerak mengikuti awan-awan kelabu. Hal ini dibuktikan dengan adanya pernyataan dari Badan Riset di Amerika Serikat setelah mengadakan penelitian bahwa gunung-gunung yang terdapat di kawasan kota Makkah bergerak beberapa mm pertahunnya. Tuhan sendiri menegaskan dalam firman-Nya yang berbunyi, “Dan kamu lihat gunung-gunung yang kamu kira mati (diam), ternyata dia bergerak sebagaimana awan [bergerak].”
Ketika bulan Ramadhan tiba, kita pun terkadang tidak menyadarinya. Wajar kiranya bila dalam penyambutannya umat Muslim tidaklah sama. Ada yang siap, ada pula yang tidak siap. Ada yang bahagia; karena di bulan ini dia bisa meraup banyak pahala. Ada juga yang sedih; karena di bulan ini dia harus meninggalkan kesukaan dan kesenangan yang biasa dilakukannya di siang hari pada bulan-bulan sebelumnya.
Namun bagaimanapun, harus diakui, bahwa di antara dua belas bulan dalam tahun Hijriyah—selain bulan haji—mungkin hanya bulan Ramadhan saja yang sangat ditunggu-tunggu kehadirannya oleh mayoritas umat Muslim di seluruh penjuru dunia. Jauh-jauh hari berbagai aktivitas penyambutan sudah digelar. Di jalan-jalan raya sudah terpampang baliho-baliho dan spanduk-spanduk besar bertuliskan “Selamat Menunaikan Ibadah Puasa” dan “Marhaban Ya Ramadhan”. Seluruh stasiun televisi tidak henti-hentinya menyuguhkan berbagai iklan dan menu program khusus Ramadhan. Beberapa artis, khususnya kalangan penyanyi, berlomba-lomba membuat lagu-lagu religi dan menyebarkannya di media-media elektronik atau sebagai RBT handphone. Para bintang sinetron sibuk menandatangani kontrak dengan para produser untuk pembuatan film serial Ramadhan. Tak ketinggalan, beberapa da’i kondang juga tak kuasa menolak tawaran untuk tampil di layar televisi.
Itulah serba-serbi masyarakat Muslim Indonesia dalam menyemarakkan datangnya bulan suci Ramadhan yang mempunyai nilai-nilai tersendiri dan sebagai motivasi awal demi terwujudnya reformasi jiwa yang menjadi angan-angan setiap orang yang berpuasa. Tibanya kita di bulan suci ini menyiratkan tanda bahwa Tuhan masih memberikan kita umur panjang. Kita masih diberi kesempatan oleh-Nya untuk memperbaiki tingkah laku kita di dunia yang berlumur noda dan dosa.
Bulan ini adalah momen yang tepat di mana kita harus melakukan instrospeksi dan merenungi setiap cuil kesalahan yang pernah kita lakukan, baik sadar atau tidak sadar. Dikatakan momen yang tepat, karena di bulan ini setiap kebaikan sekecil apapun pasti memiliki arti dan nilai yang tinggi, sebanding dengan cobaan dan godaan yang menyemburat dari segala penjuru untuk menguji sejauh mana kita konsisten melaksanakan ibadah puasa yang teramat berat ini.
Meski para ulama mengatakan bahwa pada bulan ini setan-setan dibelenggu agar tidak mengganggu orang-orang yang berpuasa, tetapi kenyataannya tidaklah seperti itu. Di saat kita sedang khusyuk berpuasa, di sana-sini masih ditemukan pengaruh-pengaruh setan, bahkan lebih besar dan lebih banyak. Kita melihat para pendusta, para penipu, orang-orang munafik, serta orang-orang yang dengan sengaja dan secara terang-terangan makan dan minum sehingga mengganggu ketenangan orang-orang yang berpuasa. Semua ini menjadi isyarat bahwa setan-setan masih bersemayam di dalam setiap jiwa. Ini artinya, hadits Rasulullah saw. yang berbunyi, “Jika Ramadhan telah tiba, pintu-pintu surga dibuka, sedangkan pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu,” tidak serta-merta bermaksud bahwa setan-setan diikat sehingga mereka tidak bisa bergerak atau tidak bisa melakukan aktivitas apapun untuk menghalang-halangi menyebarnya kebaikan di tengah-tengah manusia.
Demi melihat kenyataan itu, lantas apa sebenarnya maksud pembelengguan setan-setan sebagaimana tersurat dalam hadits tersebut? Sebagian ulama mengatakan bahwa terdapat jenis setan tertentu yang dibelenggu, sementara yang lainnya tidak dibelenggu. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa maksud dari hadits Nabi saw. tersebut sebenarnya adalah bahwa seluruh setan memang dibelenggu, hanya saja orang-orang yang gemar berbuat keji sudah menjadi seperti setan, bahkan sudah menjadi teman-temannya, sehingga tidak lagi memerlukan setan untuk menggoda dan mengajak mereka berbuat keburukan dan melanggar ketetapan-ketetapan Tuhan.
Bagi penulis sendiri, hadits tersebut bagaimanapun tetaplah sebuah kalâm (ucapan). Dalam bahasa Arab kalâm biasanya terbagi menjadi dua macam. Pertama, kalâm khabarîy (ucapan informatif) yang menceritakan tentang suatu realitas. Kedua, kalâm khabarîy yang diucapkan untuk menciptakan sebuah realitas. Misalnya firman Tuhan tentang al-Bayt al-Harâm, “Barang siapa yang memasukinya, amanlah ia.” Ayat ini, di samping boleh jadi merupakan informasi dari Tuhan perihal realitas yang sesungguhnya, bahwa di al-Bayt al-Harâm tidak akan mungkin ada aksi-aksi kejahatan, juga boleh jadi dimaksudkan untuk menciptakan realitas, yang menyiratkan perintah agar manusia tidak berbuat onar demi terciptanya keamanan dan kenyamanan di tempat suci tersebut. Dari itu, kalau kita mendapatkan realitas yang tidak sesuai, misalnya kita temukan di sana tindakan-tindakan yang menyimpang, berarti ini kembali kepada manusianya yang tidak mau berjalan pada jalur yang telah Tuhan gariskan.
Sama halnya dengan firman Tuhan yang berbunyi, “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji [pula]. Sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik [pula].” Namun apa yang kita lihat, adakah kenyataan yang nampak di hadapan kita selalu demikian? Ternyata tidak! Kita melihat perempuan baik-baik justru mendapatkan suami bejat yang berperilaku bajingan, atau sebaliknya lelaki baik-baik mendapatkan istri kejam yang berperangai buruk.
Sehubungan dengan itu, maka hadits yang menjelaskan pembelengguan setan-setan itu hakikatnya merupakan kalâm yang ditujukan untuk menciptakan sebuah realitas atau keadaan. Kalau kita mentaati seluruh perintah Tuhan, maka setan-setan akan terbelenggu dengan sendirinya. Sebaliknya kalau kita tidak mentaatinya, setan-setan tidak akan terbelenggu. Dan kita diperintahkan untuk menciptakan realitas yang demikian di bulan Ramadhan ini.
Memang ada baiknya bila kita menyambut Ramadhan dengan segala kemegahan dan acara-acara besar sebagaimana kita menyambut momen-momen akbar lainnya. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah kesiapan mental dan kepribadian kita untuk ditempa. Sesuai dengan namanya—yang berasal dari kata “ramdhâ`” (terik panas)—bulan Ramadhan merupakan bulan workshop guna melatih diri dengan berbagai ritual dan amal kebajikan sebagai persiapan menghadapi sebelas bulan berikutnya. Bulan Ramadhan adalah bulan pendadaran jiwa dengan menceburkan diri ke dalam panasnya kobaran api semangat yang menyala-nyala untuk tidak melakukan perbuatan maksiat.
Puasa yang kita lakukan di bulan mulai ini harus dapat membuat kita terhindar dari perbuatan dan ucapan yang keji. Nabi saw. bersabda, “Puasa itu adalah perisai. Jika salah seorang di antara kalian berpuasa, maka janganlah berkata keji. Dan jika ada yang mencaci maki, katakanlah, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa,’” [HR. al-Bukhari]. Selain itu, juga harus bisa menumbuhkan kesadaran dalam diri kita untuk gemar memberi bantuan dan pertolongan kepada mereka yang membutuhkan. Nabi saw. bersabda, “...barangsiapa yang memberikan hidangan buka puasa bagi orang yang berpuasa, maka akan diampuni dosanya, dibebaskan dari belenggu neraka, serta mendapatkan pahala setimpal dengan orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut,” [HR. Khuzaimah].
Terlalu banyak berkah yang akan didapatkan oleh orang-orang yang berpuasa, baik di dunia dan di akhirat kelak. Berkah di dunia paling tidak adalah kegembiraan saat berbuka. Sedangkan berkah di akhirat adalah kegembiraan saat bertemu Allah SWT. Dalam hal ini Nabi saw. bersabda, “Orang yang berpuasa itu akan mendapatkan dua kegembiraan, yaitu kegembiraan saat berbuka dan kegembiraan saat bertemu Tuhannya,” [HR. al-Bukhari]
Maka, tiada kata yang lebih pantas kita ucapkan dengan penuh kerendahan hati di bulan yang sangat mulia ini kecuali rasa terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Tuhan Yang Mahaagung atas segala nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada kita. Sehingga untuk yang kesekian kalinya kita bisa menginjakkan kaki di bulan suci Ramadhan yang penuh dengan rahmah dan berkah ini. Marhaban ya Ramadhan...