**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Tuesday, May 31, 2011
Martin van Bruinessen dan Kitab Kuning
MARTIN van Bruinessen adalah seorang tokoh yang di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya NU, sangat tidak asing. Bukunya yang berjudul “Kitab Kuning; Pesantren dan Tarekat” yang merupakan hasil penelitiannya di tahun 80-an sudah sangat dikenal oleh para tokoh pesantren, bahkan mungkin menjadi buku babon yang harus dibaca oleh siapa saja yang melakukan penelitian tentang kitab kuning.

Pada tanggal 20 Mei 2011 lalu, secara khusus Ibu Lies Marcoes, direktur Rumah Kitab, mengundangnya untuk memberikan kuliah perdana dalam kegiatan “Training Metode Penelitian Sosial untuk Kajian Keagamaan”. Dalam ceramahnya yang berdurasi kurang lebih 1 jam itu, Martin banyak sekali menceritakan pengalamannya dalam dunia penelitian, khususnya tentang kuning, sejak pertama kali ia bekerja di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sebagai konsultan metodologi dalam suatu proyek penelitian mengenai sikap dan pandangan hidup ulama Indonesia. Baginya, proyek LIPI itu adalah suatu kesempatan yang sangat unik yang tidak pernah diperoleh oleh para peneliti lainnya. Sebagai konsultan ia juga mendapat kesempatan untuk penelitian dalam rangka mendampingi peneliti-peneliti Indonesia. Dan untuk itu, ia mengunjungi hampir seluruh provinsi di Indonesia.

Martin—seperti dikatakannya sendiri—tidak ingat lagi kenapa ia tertarik untuk melakukan kitab kuning. Ia hanya menyebutkan salah seorang sahabat dekatnya yang juga konsultan dalam proyek ini yang merupakan peneliti senior dari Departemen Agama, Djohan Effendi, memperkenalkannya pada kajian tentang kitab kuning. Ketika itu Djohan menulis satu daftar kitab-kitab penting yang pernah dikajinya. Dari sinilah Martin kemudian berpikir dan mulai tertarik untuk melihat apakah ada perbedaan kitab-kitab yang ada di dalam pesantren. Ia berasumsi pesantren ibarat kerajaan, dan karenanya tentu punya budaya tersendiri.

Muncul pertanyaan, apakah melalui kitab-kitab yang dipakai itu ia bisa melihat perbedaan antara suatu daerah dengan daerah lain atau antara pesantren yang eksklusif dengan pesantren yang inklusif? Apakah melalui kitab-kitab itu ia bisa melihat terjadinya proses islamisasi Nusantara yang berbeda-beda misalnya antara di Aceh dengan di Sumatera Utama, dan apakah di setiap daerah mempunyai sejarah yang berbeda? Sebab terkadang Islam datang dari negara lain atau dari arah lain dan ada beberapa tokoh yang mempunyai pengaruh sangat besar di daerahnya masing-masing; di daerah-daerah itu kadang-kadang ditemukan kitab yang ditulis oleh tokoh lokal, seperti Nafis al-Banjari atau Muhammad Arsyad al-Banjari di Banjarmasin, atau beberapa kiyai Betawi yang sangat terkenal, seperti Kyai Masri Betawi. Kalau semua kitab kuning yang ada itu dikumpulkan, apakah bisa menyimpulkan tentang perbedaan budaya-budaya itu?

Pertanyaan-pertanyaan itu mendorong Martin mengumpulkan kitab-kitab kuning. Dia datangi seluruh provinsi di Indonesi, dan di setiap kota ia selalu mencari toko kitab dan membeli semua kitab yang berhuruf Arab; bahasanya bisa Arab, Melayu, Jawa, Sunda, Madura, Aceh. Dari hasil petualangannya itu terkumpul lebih dari 1000 kitab.

Menurut Martin, sekitar 100 tahun lalu, ada seorang ahli hukum asal Belanda, yaitu L.W.C. Vandenberg, yang juga mengetahui bahasa Arab dengan baik, pernah menulis artikel pendek mengenai kitab-kitab yang dipakai di pesantren. L.W.C. Vandenberg ini membuat suatu kesimpulan, setelah mengoleksi sekian banyak kitab kuning, bahwa kitab kuning yang dipakai di pesantren hanyalah kitab fikih. Di sini Martin berpikir, apakah setelah 100 tahun kemudian terjadi pergeseran atau perkembangan? Apakah kitab yang dipakai sekarang berbeda, kajiannya lebih canggih, lebih bervariasi, atau malah ada penurunan? Atau mungkin terjadi satu pergeseran dari satu ilmu keagamaan kepada ilmu yang lain?

Dari 1000 kitab kuning yang dikoleksinya, Martin kemudian membuat klasifikasi. Dan dari klasifikasi ini kesimpulan yang dia dapatkan adalah, bahwa kitab fikih masih mendominasi di pesantren. Tetapi kitab kumpulan hadits dan kitab tafsirnya justru mulai banyak dipelajari di pesantren dibandingkan 100 tahun sebelumnya. Sebagai salah satu kesimpulan sementara, ia berpendapat bahwa gerakan reformis yang menekankan “kembali ke al-Qur`an dan hadits” juga mempunyai dampak di pesantren. Tidak mengherankan jika di pesantren mulai banyak menekankan studi hadits dan studi tafsir.

Temuan lainnya, terutama di daerah Jawa, dan ini yang tidak dilihat oleh L.W.C. Vandenberg, namun sangat menonjol, adalah bahwa ternyata banyak sekali kitab fikih dari bahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Kemudian Martin juga menemukan satu kitab fikih dalam bahasa Jawa dengan huruf Honocoroko. Sebelumnya ia menyangka huruf Honocoroko hanya dipakai untuk budaya Jawa non-Islam, atau pra-Islam, atau bahkan yang Kejawen anti-Islam, tetapi ternyata ada kitab ringkasan dari “Tuhfah al-Muhtâj” karya Ibn Hajar yang ditulis dalam bahasa Jawa Honocoroko dan dicetak oleh Belanda. Adalah menarik karena Belanda mencetak kitab tersebut. Sebagai seorang antropolog, Martin curiga barangkali ada usaha untuk mempengaruhi orang Islam supaya lebih menghargai Honocoroko atau upaya mengislamkan orang Jawa yang masih dalam budaya Honocoroko.

Ia juga menemukan hal lain di daerah Sunda. Dalam pengetahuannya, kitab kuning lebih banyak ditulis dalam bahasa Jawa dengan huruf Arab (Arab Pegon). Dan katanya, dari dulu bahasa pengantar di tataran Sunda adalah bahasa Jawa; kalau ada kitab ‘jenggotan’, itu jenggotannya bukan bahasa Sunda tetapi bahasa Jawa. Tetapi dari hasil koleksinya, Martin menemukan beberapa kitab kuning yang ditulis dalam bahasa Sunda. Dan ia menduga ini merupakan sebentuk pemberontakan terhadap tradisi Sunda yang selalu takluk kepada tradisi Jawa.

Setelah selesai dengan upaya mengkoleksi kitab-kitab kuning, langkah selanjutnya adalah memahami isi dari semua kitab itu. Nah, dalam hal ini ada dua nama tokoh yang—menurutnya—sangat berjasa baginya. Pertama, adalah Carl Brockelmann, seorang ilmuan asal Jerman, yang menulis buku lima jilid bertajuk “Sejarah Sastra Arab”. Buku ini oleh Martin digunakan untuk memahami hubungan antara satu kitab dengan kitab lain yang terdapat dalam koleksinya. Dengan buku karya Carl Brockelmann ini Martin menjadi tahu tentang tradisi dalam dunia kitab kuning. Sebut saja, misalnya, tentang syarah atau komentar; ada seorang penulis, kemudian setiap orang yang menyalin merasa punya hak untuk memperbaiki atau menambah, dan kalau tambahannya banyak maka itu bisa disebut syarah. Sebagai salah satu contoh, Martin menyebutkan kitab “Tuhfah al-Muhtâj”. Di Eropa banyak sekali terdapat naskah “Tuhfah al-Muhtâj”, dan ia melihat banyak sekali syarah terhadap “Tuhfah al-Muhtâj” yang di antaranya diajarkan di beberapa pesantren di Indonesia. Dari sini, Martin kemudian paham mengenai genealogi atau silsilah dari kitab ke kitab. Misalnya kitab fikih; bahwa kitab fikih itu terdiri dari beberapa keluarga atau silsilah, yang semuanya hampir dimulai dengan “Tuhfah al-Muhtâj”.

Kedua, adalah Fuad Sezgin, seorang ilmuwan berkebangsaan Turki yang menulis buku 18 jilid tentang sejarah penulisan berbahasa Arab. Bukunya ini oleh Martin digunakan untuk mengetahui tulisan yang lebih awal, yaitu pada abad ke-1, 2, 3, 4, dan 5 Hijriyah. Namun Martin menekankan, bahwa informasi dari buku ini tidak begitu penting baginya. Sebab dia hanyalah seorang antropolog sekaligus sosiolog yang ingin memahami kitab kuning tidak dari segi pandangan seorang kyai atau pandangan seorang ahli sastra atau ahli akidah, tetapi melihat sejauh mana kitab kuning yang ada itu mencerminkan kehidupan masyarakat Indonesia. Misalnya kitab “I’ânah al-Thâlibîn” karya al-Malibari, yang di dalamnya terkandung beberapa hal yang bukan dari Arab, tetapi dari India. Tetapi ada satu kumpulan fatwa dari Syaikh Muda Wali, seorang ulama besar di Aceh, yang banyak mengutip al-Malibari. Di sini Martin melihat, bahwa memang ada kesesuaian antara isi kitab “I’ânah al-Thâlibîn” dengan adat istiadat di Aceh. Dan ini membawa indikasi bahwa antara fikih dan adat bisa ada kesesuaian; satu kitab fikih bisa lebih sesuai dengan suatu adat daripada kitab yang lain. Artinya, menurut pengamatan Martin, fikih itu tidak semua sama dari sono-nya, tetapi juga mengikuti perkembangan, mengikuti tradisi-budaya masyarakat. Dan ini tidak aneh kalau fikih dilihat sebagai sumber pemahaman, karena makna fikih adalah pemahaman dan pengertian; kita memahami budaya kita sendiri.

Pandangan Martin yang demikian itu tidak bisa dilepaskan dari pandangan Ilmuwan ternama dari Pakistan, Muhammad Khalid Mas’ud, seorang ilmuwan besar yang melakukan penelitian bertajuk “The Social Production of Syari’ah”, atau “Produksi Sosial Syariat”. Ia mengatakan bahwa syariat, dan terutama pemahaman syariat (fikih), adalah suatu produk sosial—syariat dibentuk oleh masyarakat. Artinya, syariat itu bukanlah suatu produk ilahiyah yang turun dari langit, tetapi merupakan hasil dari proses masyarakat dalam menerapkan wahyu ilahi. Jadi, di sana ada interaksi antara al-Qur`an dan hadits yang diproses dalam kitab fikih yang mencerminkan kondisi-kondisi masyarakat. Ini tentu saja membuat kitab fikih menjadi menarik bagi Martin; bahwa kitab fikih itu adalah kitab yang ditulis pada masa tertentu, oleh orang tertentu, yang hidup di dalam masyarakat tertentu, yang punya persoalan tertentu, dan itu barangkali mempengaruhi sedikit hal-hal mana yang sangat ditekankan. Ambil contoh misalnya masalah “Thahârah” (bersuci). Dalam hal ini, antara satu daerah dengan daerah lainnya, sebetulnya tidak terjadi banyak perbedaan. Katakalah walaupun mungkin di suatu daerah persediaan airnya sedikit, tetapi toh para mufti di sana akan menekankan aspek yang lain di dalam “thahârah”. Demikian juga, lebih-lebih, dalam masalah mu’amalah. Karena yang paling kontekstual adalah fikih mu’amalah sebab terkait langsung dengan kehidupan sehari-hari. Tetapi sayangnya—berdasarkan koleksi Martin tahun 80-an tentunya—, kitab-kitab fikih yang ada di Indonesia hampir-hampir tidak ada fikih mu’amalahnya, yang banyak justru fikih ubudiyah. Namun belakangan, menurut Martin, sudah terjadi perkembangan, bahwa pesantren mulai mengkaji fikih mu’amalah. Tetapi ada keluhan lain dari koleksinya di LIPI, bahwa di pesantren tidak ada fikih siyasah. Padahal siyasah (politik) adalah bagian dari tradisi Islam. Apakah karena pesantren tidak mau berpolitik? Kenapa karya-karya al-Mawardi, misalnya, kurang atau bahkan sama sekali tidak diajarkan di pesantren? Ini adalah pertanyaan yang wajar dan layak diajukan. Sebab para kiyai, khususnya belakangan ini, diketahui punya naluri politik yang sangat luar biasa tinggi. Tetapi kenapa politik yang memang merupakan bagian dari tradisi Islam itu tidak diajarkan?

 
posted by Roland Gunawan at 9:08 AM | Permalink | 1 comments
Metodologi Penelitian Agama
KENAPA penelitian menjadi penting? Inilah pertanyaan pertama yang dilontarkan Pak Anas Saidi, MA. mengawali ceramahnya dalam kegiatan “Training Metode Penelitian Sosial untuk Kajian Keagamaan” di Rumah Kitab pada tanggal 20 Mei 2011 yang lalu. Kepada para peserta Pak Anas mengatakan bahwa era ke depan ini bukanlah era advokasi, melainkan era penelitian. Di kalangan LSM-LSM, program advokasi terlihat semakin menyusut. Ia mencontohkan, sebuah lembaga dana internasional baru-baru ini memberikan dana untuk penelitian sampai 1 M, sementara untuk advokasi hanya 150 juta. Dan trend ini terjadi di hampir semua lembaga dana. Sebagai tambahan, saat ini beberapa lembaga internasional sedang menyelenggarakan reseach tentang knowledge sector. Intinya dalah meneliti tentang kemampuan lembaga-lembaga penelitian dalam memproduksi penegetahuan melalui reseach yang tujuannya adalah untuk mensuplay pengetahuan kepada para pengambil kebijakan. Jelas sekali bahwa trend untuk memperkuat lembaga riset sekarang sedang tumbuh kembali.

Belakangan ini, menurut Pak Anas, banyak program penelitian yang ditawarkan oleh founding-founding secara individual, bukan rombongan. Dalam hal ini, dia mengambil contoh, misalnya, Suaidi, seorang—yang menurutnya—cukup menarik karena mempersiapkan diri sebagai peneliti secara berjenjang. Sebelumnya Suaidi bekerja di sebuah LSM sampai akhirnya bergabung dan bekerja di TAF (The Asian Foundition). Ternyata, gaji di TAF yang lumayan besar tidak membuatnya betah. Justru, dalam pikirannya, bekerja sehari-hari di dalam sebuah ruangan yang sama adalah rutinitas yang menjenuhkan. Akhirnya dia meminta TAF membiayainya untuk kursus bahasa Inggris di Australia selama 1 tahun. Sekembalinya dari Australia, dengan bekal pengalaman tulis-menulis yang memadai dan bahasa Inggris yang bagus, dia punya keinginan untuk menjadi peneliti. Untuk itu, dia mengajukan lamaran ke sebuah lembaga penelitian, namanya API, dan langsung diterima.

Seperti yang dialami oleh Pak Anas sendiri, diterima di API berarti mempunyai kesempatan untuk meneliti di berbagai kawasan di seluruh dunia. Untuk di Jepang, misalnya, sebulan bisa mendapat gaji 6000 sampai 7000 dollar, dan kalau masih junior biasanya mendapatkan minimal 4500 dollar. Dapat dibayangkan kalau sampai setahun meneliti di sana, kalau selama melakukan penelitian hanya makan mie instan, misalnya, pulang bisa membawa kurang lebih setengah Milyar. Tentu, ini sangat menjanjikan sekali. Suaidi adalah contoh nyata dalam hal ini. Dia sudah pernah ke Jepang selama 6 bulan, bahkan sudah berkeliling Asia selama setahun. Dengan modal yang cukup besar, sekarang dia sudah membuka toko Meubel. Sementara, Pak Anas sendiri sudah pernah menjadi peneliti tamu di KYOTO University di Jepang, UPHI (Universitas Philipina), Jerman, Belanda, dll.

Itu artinya, lanjut Pak Anas, menekuni profesi sebagai peneliti dipastikan mempunyai “masa depan”—jangan hanya diterjemahkan uang, kata Pak Anas, tetapi kesempatan. Makanya dia berpesan kepada para peserta training, mumpung masih muda, untuk tekun dalam tiga hal: (1). Tulis menulis; (2) Bahasa Inggris; dan (3). Penelitian. Dengan tiga modal ini, keliling dunia menjadi hal yang amat mudah. Minclok sana, minclok sini, dan terlalu banyak beasiswa yang ditawarkan.

Namun, satu hal yang sangat ditekankan Pak Anas, bahwa menjadi peneliti itu tidak bisa instan. Membutuhkan ketekunan dan sebagian besar ditentukan oleh diri sendiri. Mengikuti berbagai kuliah dan pelatihan, itu sama sekali tidak cukup untuk bekal menjadi seorang peneliti. Penelitian, menurut Pak Anas, itu seperti belajar berenang, bukan hanya teori yang dikuasai, tetapi juga praktek; berenang, berenang, dan berenang. Sama halnya dengan seks, misalnya, yang secara teori dimulai dari pemanasan, cara membuka baju begini, cara membuka celana begitu dan seterusnya. Anehnya, begitu sampai praktek, terutama penganten baru, misalnya, teori itu langsung hilang. Tetapi, bagaimanapun praktek tanpa teori adalah nonsen. Artinya, orang yang tidak mengerti teori seks, maka yang akan terjadi adalah egoisme dan subyektivisme; selalu mengobyektivikasi istri. Istri belum panas tetapi dia sudah selesai. Ini karena dia egois.

Cerita yang disampaikan Pak Anas tersebut tidak lain hanya untuk merangsang gairah para peserta training agar lebih rajin belajar menjadi peneliti. Selanjutnya, apa dan bagaimana penelitian agama itu? Di sini, terlebih dahulu Pak Anas menjelaskan apa itu agama. Menurutnya, agama itu dibagi menjadi dua: pertama, agama wadh’îy, agama alam, agama kebudayaan, agama primitif, dll., yaitu sistem kepercayaan dan ritus yang tumbuh dari kearifan lokal, budaya tempatan, tradisi, leluhur, dsb. Kedua, agama samawîy, agama profetik, yaitu agama yang diturunkan oleh al-Khaliq melalui nabi dan rasul untuk menjadi pedoman hidup manusia. Dari sini bisa dipetakan agama sebagai obyek penelitian. Menurut perspektif ilmu agama, agama dilihat dari sudut normatifnya. Sementara menurut kaca mata ilmu pengetahuan umum/ilmu sosial, agama dilihat dari sudut empiriknya.

Dengan demikian, harus jelas apa yang dimaksud dengan penelitian agama. Tanpa kejelasan bisa menimbulkan kemarahan para penganut agama. Sebab, meneliti agama berarti meragukan kebenarannya. Bukankah penelitian itu berarti mencari kebenaran? Penelitian agama bermakna ambigu: di satu sisi penelitian agama adalah cara untuk mencari/menemukan kebenaran agama, di sisi lain penelitian agama adalah cara untuk memahami realitas empiris. Yang pertama menyangkut agama sebagai sesuatu yang diyakini dan dihayati, sedangkan yang kedua menyangkut agama sebagai subject matter penelitian.

Sebenarnya, dalam tradisi Islam, kedua makna penelitian itu sudah ada. Beberapa tokoh bisa disebutkan di sini. Imam al-Bukhari, misalnya, meneliti hadits untuk menemukan kebenaran hadits, shahîh apa tidak, dengan metode sanad; Imam al-Syafi’i meneliti sumber-sumber agama untuk menentukan dan menetapkan hukum; Imam al-Ghazali meneliti untuk menemukan sikap hidup beragama yang benar; Ibn Khaldun meneliti agama untuk menemukan realitas yang sebenarnya dari umat beragama. Nah, apa yang dilakukan oleh Imam al-Bukhari, Imam al-Syafi’i, dan Imam al-Ghazali adalah contoh usaha untuk mendapatkan pesan yang benar dari doktrin yang diyakini. Sedangkan yang dilakukan Ibn Khaldun adalah contoh dari upaya memahami realitas sosial atau sejarah dari umat yang meyakini suatu doktrin agama.

Namun pada titik tertentu, menurut Pak Anas, harus ada kesadaran dalam diri peneliti bahwa penelitian agama adalah menjadikan agama sebagai sasaran penelitian. Makanya, harus ada jarak antara peneliti sebagai subyek dan agama sebagai obyek. Agama harus dipandang sebagai fenomena yang riil, sekalipun mungkin terasa abstrak. Sebagai fenomena riil, menurut Taufik Abdullah, agama mengandung tiga kategori: pertama, agama sebagai doktrin. Apa substansi keyakinan religius itu? Apakah yang diyakini adalah kebenaran yang hakiki? Apa makna ajaran bagi para pemeluknya? Kedua, struktur dan dinamika masyarakat agama. Agama adalah dasar terbentuknya komunitas kognitif, komunitas yang dibentuk oleh pengetahuan/keyakinan yang sama. Ketiga, sikap masyarakat pemeluk terhadap doktrin, sebab dalam realitas keterikatan setiap orang terhadap agamanya tidaklah sama. Nah, dari tiga kategori ini bisa disimpulkan dua hal terkait dimensi keagamaan, seperti pernah diuraikan oleh Durkheim: (1). Biliefs, kepercayaan, ajaran, norma agama; (2). Practices, keberagamaan, yakni perilaku yang bersumber dari ajaran agama, atau disebut juga sebagai religiusitas.

Dari uraian tersebut, lanjut Pak Anas, jelaslah bahwa sebelum melakukan penelitian agama, peneliti harus terlebih dahulu menetapkan subject matter atau materi (fakta, gejala) yang dikaji, dan subject formal atau aspek apanya (segi tertentu) yang dikaji dari obyek itu. Subject matter maksudnya adalah pokok-pokok ajaran agama, sejarah perkembangan agama dan religiusitas umatnya. Adapun subject formal maksudnya adalah mengkaji masalah di atas dari sudut pandang agama itu sendiri, bukan dari segi kemasyarakatan atau psikologi, yaitu dari usaha para penganut agama mempertahankan, mengamalkan, mengembangkan agama mereka di tengah peradaban yang terus berubah dan berkembang.

Jadi, penelitian agama bukan penelitian sosiologi agama, bukan penelitian psikologi agama, bukan penelitian komunikasi agama, bukan antropologi agama dan seterusnya. Penelitian agama adalah mengkaji pokok ajaran, sejarah perkembangan, dan tingkah laku orang yang beragama menurut pandangan agama itu sendiri. Karena itu, penelitian agama tidak mungkin dilakukan oleh orang yang tidak mengerti agama itu. Dan umat beragama dipandang sebagai aktor sejarah, aktor kebudayaan, sebagai subyek yang berjuang untuk tujuan cita-cita kehidupan agamis yang diyakini kebenarannya di tengah masyarakat.

Maka, dalam penelitian agama, menurut Pak Anas, ada empat hal yang bisa dekati: (a). Pokok-pokok ajaran agama (dokrin); (b). Hasil-hasil pemikiran filosofis, yang dalam dalam agama disebut hasil-hasil ijtihad (tafsir); (c). Tingkah laku/kehidupan keagamaan umat beragama; (d). Sosial budaya yang mempengaruhi perkembangan pemikiran/kehidupan agama. Pada bagian (a), penelitian agama hanya bisa meneliti sejarah kitab suci itu dan memahami isinya/ajaran-ajarannya. Bagian (b) bisa diteliti dengan metode philosofis dan historis. Bagian (a) + (d) bisa diteliti dengan metode empiris-sosiologis. Bagian (b) dan (c), sebagai pancaran interaksi antara (a) dan (d), hanya bisa dimengerti dalam hubungan interaksi (a) dan (b).

Setelah menjelaskan sekilas tentang metodologi penelitian agama, Pak Anas kemudian menggaris bawahi, bahwa tidak ada penelitian yang tingkat kerumitannya melebihi penelitian agama sebagai pesan ilahiyah yang diyakini oleh para pemeluknya memiliki unsur kesakralan dan kemutlakan yang sifatnya paska-empiris (beyond reality), yang dibenarkan sebelum dibuktikan. Agama, selain sebagai bagian dari realitas, juga bisa menjadi produsen realitas. Maksudnya begini: orang seperti Martin, kalau datang ke Indonesia untuk memahami pesantren, mau tidak mau dia harus belajar NU. Sebab, pemahaman keagaman di pesantren yang akan ditelitinya itu sebenarnya merupakan refleksi dari NU. Demikian juga Clifford Geertz yang meneliti tentang Priyai, Santri, dan Abangan, tidak boleh tidak dia harus belajar tentang bahasa dan budaya Jawa. Karena yang ditelitinya sebenarnya adalah refleksi dari ideologi yang paling dalam, yang dalam agama itu disebut doktrin. Makanya, dalam penelitian agama, kita tidak akan pernah bisa melihat agama kecuali pemahaman terhadap doktrinnya. Kita tidak akan pernah mengerti Iran tanpa mengerti Syi’ah, kita tidak akan pernah mengerti Indonesia tanpa mengerti NU, misalnya. Syi’ah dan NU, itu hanyalah refleksi dari tafsir terhadap doktrin, tetapi bukan doktrin itu sendiri.

Agama, katakanlah Islam, diyakini sebagai kehendak Tuhan yang termaktub di dalam al-Qur`an. Tetapi apa sesungguhnya yang diinginkan Tuhan kita tidak pernah tahu kecuali melalui Nabi Muhammad saw. Ketika Nabi wafat, kita tidak bisa bertanya tentang al-Qur`an kecuali melalui mufasir—tafsir, sementara doktrin agama itu sendiri kita tidak pernah tahu. Misalnya Tuhan berfirman, “Yadullâh fawqa aydîhim”, atau ayat-ayat mutasyâbihât, kita hanya bisa mengira-ngira, dan kita tidak pernah tahu persis apa makna sesungguhnya. Karena itu, di dalam definisi yang namanya tafsir itu tidak mutlak. Nah, akibat dari tafsir itu tercermin di dalam realitas. Misalnya, penafsiran terhadap al-Qur`an yang menekan tekstualitas melahirkan kelompok Khawarij. Sementara penafsiran terhadap al-Qur`an yang menekankan rasionalitas melahirkan kelompok Muktazilah. Baik Khawarij, Muktazilah, dan lainnya, itu adalah dampak tafsir terhadap kitab suci. Karena itu, yang bisa dipahami oleh penelitian agama adalah yang kedua ini, yaitu tafsir dengan segala seluk-beluknya. Tentu saja kalau tafsir ini menggunakan ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu balaghah, maka ilmu-ilmu ini juga bisa diteliti.

Orang-orang sekuler cenderung memandang agama tidak bisa menjadi nilai atau etika universal. Sebab mereka mempunyai pikiran, bahwa agama dibenarkan atau diyakini dulu, baru kemudian dibuktikan. Berbeda dengan ilmu pengetahuan yang bersifat induktif, dibuktikan dulu, baru kemudian diyakini. Misalnya, Tuhan mengatakan bahwa setelah kita mati ada kehidupan lagi, bagaimana ini mau diteliti? Diverifikasi juga tidak mungkin, kecuali belive or not. Misalnya lagi, Tuhan mengatakan, “Berdoalah kepada-Ku niscaya aku kabulkan,” ini juga tidak bisa diteliti dan diverifikasi. Misalnya kemudian dilakukan eksperimen; yang satu disuruh berdoa selama 24 jam sampai mencret, sementara yang lain hanya disuruh belajar tanpa berdoa sama sekali. Ketika itu keduanya sedang menghadapi ujian semester. Ternyata yang berdoa malah tidak lulus. Berarti doa itu tidak ada. Ini kan tidak mungkin?

Nah, hal-hal seperti ini memberikan pengertian kepada kita bahwa hal-hal yang bersifat doktrinal tidak bisa diteliti. Inilah yang kemudian menyebabkan sekolompok orang sekuler terkadang hanya mempercayai sesuatu yang ghaib tetapi tidak mempercayai agama. Karena bagi mereka agama seringkali menjadi sumber konflik, menjadi sub-ikatan primordial, dan seterusnya. Makanya sekarang ada jargon yang sedang populer “kesalehan tanpa beragama”.


 
posted by Roland Gunawan at 8:59 AM | Permalink | 0 comments
Pelajaran Dari Negeri India*
SEBUAH mitos di India mengatakan:

Setelah menciptakan alam Tuhan duduk untuk beristirahat. Saat itu Dia mulai berpikir tentang kehidupan makhluk-makhluk-Nya, dan bagaimana kehidupan ini nantinya. Kemudian satu masalah muncul, yakni berapa umur setiap makhluk-Nya. Akhirnya Dia memutuskan umur setiap makhluk-Nya adalah 30 tahun.

Kemudian Dia memanggil para hewan satu per satu. Awalnya Dia memulai dari Keledai. Dia berkata, “Aku tetapkan umurmu 30 tahun. Bagaimana menurutmu?"

Keledai berkata, “Wahai Tuhanku, apa yang Engkau buat itu? Sungguh, itu lama sekali, pasti hanya akan aku gunakan seluruhnya untuk bekerja dan berjuang keras. Aku mohon, kurangilah, aku tidak sanggup bekerja selama itu. Aku mohon, kurangilah...”

Tuhan pun menetapkan umurnya hanya 18 tahun. Setelah itu Dia memanggil anjing. Dia berkata, “Umurmu aku tetapkan 30 tahun. Bagaimana menurutmu?” Seketika itu anjing menggonggong sambil berkata, “Wahai Tuhanku, ini banyak sekali! Alangkah sangat panjang umurku kalau begitu! Aku tidak mau. Aku tidak sanggup menanggungnya. Apakah Engkau rela aku gunakan keseluruhan umurku itu hanya untuk menggongong, menjaga dan mengusir manusia? Aku mohon, pendekkan umurku..”

Tuhan pun menetapkan umurnya hanya 12 tahun. Kemudian tiba giliran kera. Tetapi ketika mendengar umurnya 30 tahun ia langsung menangis. Katanya, “Wahai Tuhanku, ini tidak boleh! Banyak sekali! Apakah Engkau rela aku hanya untuk melompat dari satu pohon ke pohon lain dengan mengikatkan ekorku selama 30 tahun? Aku mohon, sekiranya Engkau sudi, kurangilah umurku...”

Tuhan pun menetapkan umurnya hanya 10 tahun. Terakhir, Tuhan memanggi manusia. Dia berkata, “Bagaimana pendapatmu bila Aku aku tetapkan umurmu 30 tahun? Ini banyak atau sedikit?

Mendengar itu manusia langsung menangis. Lalu katanya, “Engkau katakan 30 tahun, wahai Tuhanku? Sungguh, alangkah pendeknya kehidupanku kalau begitu! Dengan umur yang hanya sebegitu aku tidak memulai kehidupanku kecuali pada saat terakhir di mana aku belum selesai membangun rumahku, menanam pohon-pohon, dan setelah itu aku ingin sekali beristirahat. Umur 30 tahun sangat tidak cukup. Bagaimana nantinya nasib istriku? Bagaimana nasib anak-anakku ketika mereka sudah dewasa dan mereka tidak melihat ayah mereka ada di antara mereka? Apa yang akan mereka lakukan?! Aku mohon, bila Engkau sudi, berilah aku umur yang lebih panjang supaya aku bisa mendidik anak-anakku dan aku menjadi tenang akan masa depan mereka. Aku mohon...”

Tuhan berkata, “Baik, akan Aku berikan kamu 30 tahun lagi yang Aku ambil dari umur keledai dan anjing. Apakah ini cukup?”

Manusia menjawab, “Tuhanku, tidak...itu tidak cukup. Sebab anak-anakku nanti akan punya anak juga. Aku sangat ingin melihat cucu-cucuku. Aku ingin hidup bersama mereka. Aku ingin memeluk dan mengasuh mereka. Aku mohon, Tuhan...aku mohon...”

Tuhan berkata, “Aku telah memberikanmu umur yang banyak, akan tetapi kamu adalah makhluk yang sangat tamak dan tidak pernah puas. Baik, Aku kasih kamu 20 tahun lagi yang Aku ambil dari umur kera, apakah ini cukup?!”

Manusia berterima kasih kepada Tuhan. Kemudian ia kembali ke tengah-tengah hutan.

30 tahun pertama adalah kehidupannya. Di tahun-tahun ini ia merasa puas dan menikmati kehidupannya.

Setelah itu datang 12 tahun yang diambil dari umur keledai. Di tahun-tahun ini ia bekerja dan berusaha siang-malam demi keluarganya.

Setelah itu datang 18 tahun yang diambil dari umur anjing. Di tahun-tahun ini ia menjadi sosok yang menari dan bermain bersama cucu-cucunya sehingga tidak bergaul dengan manusia lainnya kecuali hanya sedikit.

Setelah itu datang 20 tahun yang diambil dari umur kera. Di tahun-tahun ini ia tampak lemah. Ia menyesali hari-hari petualangannya dari satu pohon ke pohon lain. Dari pohon-pohon itu ia tidak menemukan apa-apa selain kekasaran pada tangannya!

Dengan demikian, setiap manusia adalah campuran dari keledai, anjing dan kera.

* Diambil dari buku Hawla al-‘Âlam fî 200 Yawm” (200 Hari Keliling Dunia) karya Anis Mansur.
 
posted by Roland Gunawan at 8:48 AM | Permalink | 0 comments

"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"