Suatu ketika, saya chatting dengan seorang teman cewek di yahoo.com. Kebetulan ketika itu kita chat pakai voise. Setelah ngomong panjang lebar —tanpa mempunyai maksud apa-apa— di akhir kata saya berucap, “I LOVE YOU”. Secara spontan dia marah-marah dengan nada yang tidak semestinya terjadi pada cewek. Entah kenapa ucapan saat dia marah, sampai sekarang ini masih terngiang di telinga, dan saya pun tak boleh tuk melupakannya. Dia berkata begini, “Hei, kamu kok lancang banget sich bilang cinta sama aku. Kamu tahu kan, aku ini sahabatmu, dan tidak akan pernah lebih dari itu”. Kemudian dengan perasaan tidak menentu saya balik bertanya, “Emang nggak boleh tuch bilang cinta sama seorang sahabat?”. Sebenarnya saya ingin menjelaskan duduk persoalan ini padanya, tapi dia malah pergi tanpa meniggalkan pesan. Kasarnya, dia pergi tanpa pamit. Saya tak sangka dia akan semarah itu. Padahal sebelumnya kita masih baikan, kita masih sering saling kirim email. Lagi pula kalau dilihat dari parasnya, sepertinya dia bukanlah tipe perempuan pemarah.
Kejadian itu telah membawa saya pada kesimpulan bahwa ternyata makna cinta sudah dipersempit. Dan sepertinya banyak orang yang masih terbelenggu dalam “Kesalah pahaman” tentang arti cinta itu sendiri. Seolah-olah cinta hanya identik dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Seolah-olah cinta hanya dapat berlaku ketika sedang pacaran. Seolah-olah cinta itu menuntut adanya keinginan saling memiliki. Bahkan —inilah yang paling membuat saya heran— sering kali cinta itu menjadi penyebab adanya pemaksaan. Dengan kata lain, sering kali kita mendapati seseorang yang dengan cinta begitu besar pada lawan jenisnya, dia ada keinginan untuk memiliki. Namun karena yang dicintai tidak mau, lalu dia mengambil jalan pintas. Yaitu dengan jalan pemaksaan. Maka timbullah apa yang disebut dengan “Kawin paksa”.
Nampaknya hal ini sudah menjadi trend budaya belahan Timur dunia, khususnya di Indonesia. Jadi anggapan bahwa cinta itu hanya identik dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan, yang pada akhirnya berdampak pada terciptanya rasa ingin saling memiliki, itu masih tertanam begitu kuat pada setiap hati kebanyakan orang.
Padahal makna cinta itu luas. Sementara hubungan antara laki-laki dan perempuan hanyalah sebagian saja dari cinta. Cinta itu tidak hanya harus diungkapkan oleh seseorang kepada si Do’i. Seorang ibu, ia tentu mencintai anaknya, dan itu memang sudah menjadi kewajiban setiap orang tua. Sebagai manusia, setiap kita harus mencintai sesama. Sebagai manusia pun kita wajib mencintai lingkungan sekitar kita. Antar sesama sahabat kita harus saling mencintai. Masihkah sebuah persahabatan akan disebut persahabatan kalau sudah kehilangan cinta sebagai ruh yang menggerakkannya?.
Toh meskipun harus ditafsirkan demikian, kita kan mesti tahu, sadar dan mengerti bahwa tak selamanya cinta itu harus saling memiliki. Apa lagi sampai memaksa. Dan memang tidak ada paksaan dalam bercinta. Tidak ada hak bagi kita untuk memaksakan cinta. Cinta harus bebas, sebebas burung terbang di angkasa, yang bisa hinggap di pohon mana saja sesuka hatinya. Karena cinta adalah perasaan. Maka siapakah yang dapat memaksa perasaan?. Tuhan menganugerahkan cinta bukan untuk menimbulkan pemaksaan. Kita berhak mencintai siapa saja yang kita kehendaki. Namun kalau dia tidak mencintai kita, maka tidak selayaknya kita memaksakan kehendak cinta kita padanya. Karena memaksakan sesuatu kepada orang yang sudah tak mampu lagi menerimanya, itu adalah pemerkosaan. Dan memperkosa itu dosa. Lagi pula kalau dipaksakan, boleh jadi nanti hanya badannya saja yang bersama kita. Sementara cintanya belum tentu berpihak pada kita. Bahkan Tuhan pun yang telah menganugerahkan cinta dan Dia sendiri berhak tuk memaksakannya, ternyata tak sedikitpun memaksa hamba-hamba-Nya agar mencintai-Nya. Sebagai mana Dia tidak pernah memaksa manusia untuk memeluk agama-Nya (la ikraaha fi al-dien). Seandainya Tuhan memaksa semua manusia agar mencintai-Nya, maka sesungguhnya Dia Maha Mampu atas segala sesuatu. Apalagi hanya sekedar untuk membuat semua manusia menjadi cinta pada-Nya. Itu sangat mudah sekali.
Namun, kalau semua manusia mencintai Tuhan —dalam artian mengerjakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua dilarangan-Nya— lalu buat apa pula Tuhan menciptakan neraka ? Adakah Tuhan menciptakan sesuatu yang sia-sia ? Tidak kan...........................?
Tak patut rasanya bila cinta itu dipaksa-paksakan. Tuhan menciptakan neraka bukan sebagai sarana tuk memaksa manusia agar mencintai-Nya. Namun hanya sekedar peringatan supaya manusia sadar senantiasa bahwa setiap perbuatan yang dilakukan akan mendapat imbalan setimpal. Dan hikmah diciptakannya neraka adalah sebagai wujud dari cinta Tuhan kepada semua manusia agar mereka senantiasa berusaha tuk lebih hati-hati membawa hati dalam kehidupan demi terciptanya kedamaian dan ketenangan. Dengan demikian, sesungguhnya Tuhan menciptakan cinta guna tercapainya rasa kasih sayang dan bukan tuk timbulkan pemaksaan.
Dan kalau saya boleh memilih antara Timur dengan Barat, saya malah lebih suka dengan budaya Barat— walaupun saya tahu di sana lebih sering terjadi pelanggaran, terutama yang berkenaan dengan “Free sex”. Namun saya tidak akan meniru atau mengukuti Free sex-nya. Karena itu bertentangan dengan pribadi saya sebagai seorang Muslim.
Di Barat orang bebas mengucapkan cinta pada siapa saja. Yang sangat menarik, tidak ada sedikitpun orang marah dan tersinggung, apalagi sampai menghindar. Malah disambut dengan muka yang ceria (Bi wajhin Thalqin) dan senyuman manis yang terukir di bibir, bukan dengan muka marengngok— kata orang madura. Sebab bagi mereka, cinta adalah kasih sayang. Dan setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkannya.
Sementara dalam budaya kita, cinta tak ubahnya seperti kentut, kalau disimpan bikin sakit perut. Celakanya, kalau dikeluarkan bikin orang pada ribut.
*) Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Tk II Al -Azhar University.