(Perspektif Kontemporer)
I
Dalam buku mungilnya, Hak-hak Reproduksi Perempuan, KH. Masdar F. Mas’udi menyodorkan sebuah pertanyaan sederhana: Apakah boleh orang mendiskusikan agama, dalam hal ini Islam? Pertanyaan ini timbul karena secara umum kaum muslimin berkeyakinan bahwa Islam sebagai sebuah agama ajarannya telah sempurna, tidak ada satu pun kekurangan di dalamnya; semua persoalan, besar maupun kecil, yang jelas maupun yang samar, sudah ditemukan jawabannya. Ya, Islam telah lengkap! Dalam al-Qur`an ditegaskan, “Pada hari ini telah Aku lengkapkan bagimu agamamu, dan Aku sempurnakan atasmu nikmat dari-Ku, serta Aku restui bagimu Islam sebagai agamamu.” [QS. al-Mâ`idah: 3]
Dalam ayat lain al-Qur`an menyebutkan, “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur`an) untuk menjelaskan segala sesuatu.” [QS. al-Nahl: 89]
Dengan demikian, tidak ada jalan lain bagi kaum muslimin selain melaksanakan apa yang sudah dititahkan dan ditetapkan oleh agamanya. Tidak perlu lagi dilakukan diskusi, sebab ia, sebagai sebuah proses pencarian, hanya cocok untuk permasalahan yang masih belum final. Sementara, seperti ditersurat dalam dua ayat di atas, segala hal yang berhubungan dengan agama sudah disempurnakan.
Namun, kalau memang segala sesuatu dalam agama sudah sempurna dan final, lantas kenapa para ulama setelah zaman Nabi dan para sahabat melakukan ijtihad? Apakah dengan begitu mereka dapat dianggap tidak lagi mempercayai kesempurnaan ajaran Islam?
Realitas sejarah memperlihatkan bahwa pada masa awal-awal Islam sumber hukum yang dijadikan pijakan dalam setiap permasalahan adalah figur Nabi Saw. sebagai perima wahyu secara langsung dari Tuhan. Artinya, setiap kali ada masalah, terutama yang terkait dengan agama, kaum muslimin langsung menanyakannya kepada beliau. Kala itu, masalah apapun yang terjadi hanya membutuhkan solusi yang amat sederhana. Sebab kaum muslimin masih sedikit dan tinggal di satu tempat, yaitu di Jazirah Arab. Namun, setelah Nabi Saw. wafat, yaitu ketika mereka melakukan ekspansi ke beberapa tempat di luar Jazirah Arab dan berbaur serta menjalin interaksi dengan masyarakat yang berbeda keyakinan dan budayanya, masalah-masalah yang muncul kemudian menjadi kompleks dan rumit. Hal ini menuntut para ulama untuk melakukan langkah-langkah kongkret dalam mencari solusi-solusi bagi seluruh permasalahan yang ada, terutama hal-hal yang berhubungan dengan agama, agar interaksi kaum muslimin dengan masyarakat-masyarakat lain itu berjalan secara dinamis.[1] Tentu saja langkah-langkah yang mereka lakukan itu bukan tanpa dasar, justru, meski sudah dianggap sempurna, al-Qur`an menyuruh manusia untuk terus melakukan perubahan sesuai dengan fitrahnya sebagai satu-satunya makhluk Tuhan yang dianugerahi akal, di samping juga beberapa hadits Nabi Saw.. Dengan dasar inilah para ulama klasik kemudian melakukan upaya-upaya mempersambungkan prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersifat universal (al-kulliyyât) pada kasus-kasus kehidupan yang bersifat partikular (juz`iyyât). Inilah yang populer disebut ijtihad. Dan hasil ijtihad—sebagai proses intelektual untuk menurunkan ketentuan universal pada ketentuan-ketentuan yang bersifat partikular sekaligus kerangka teknis operasionalnya—itulah yang disebut fikih.[2]
II
Ijtihad merupakan ciri khas peradaban Islam yang muncul dalam konteks zaman dan sejarah yang begitu kompleks. Secara sederhana “ijtihad” bisa diartikan sebagai upaya yang sungguh-sungguh untuk meraih sesuatu yang dimaksud.[3] Dalam istilah fikih kata ini berarti berusaha dengan tujuan melakukan suatu penalaran rasional yang bebas perihal suatu persoalan hukum. Ini sesuai dengan semangat yang terkandung dalam sebuah ayat al-Qur`an yang berbunyi: “Dan kepada mereka yang berusaha kami tunjukkan jalan kami.” Juga ayat lain yang senada: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali mereka mau merubahnya sendiri.” Ini dipertegas oleh sebuah hadits yang menceritakan tentang pengangkatan Mu’adz sebagai gubernur Yaman oleh Nabi. Diceritakan bahwa Nabi bertanya kepada Mu’adz bagaimana mestinya dia mengambil keputusan mengenai persoalan yang dihadapinya. “Saya akan menjalankan hukum berdasarkan al-Qur`an,” kata Mu`adz. “Tapi jika dalam al-Qur`an tidak ada petunjuk bagimu?” “Saya akan jalan dengan berpijak pada al-Sunnah.” “Tapi kalau dalam al-Sunnah juga tidak ada?” “Saya akan berusaha menurut penalaran saya sendiri.”[4]
Dua ayat sebelumnya, secara tidak langsung, menyuruh kita untuk senantiasa berusaha tanpa henti. Sebab, Tuhan tidak akan mengulurkan “tangan-Nya” membantu kita kecuali kalau kita berusaha. Sementara hadits setelahnya menjelaskan tentang pedoman yang harus dijadikan pijakan dasar dalam mengarungi kehidupan. Korelasi antara kedua ayat dengan hadits tersebut menjadi sangat jelas, bahwa manusia harus berusaha untuk terus berubah, bergerak ke arah yang lebih baik. Dan dalam menjalani hidupnya, manusia memerlukan pedoman yang bisa dijadikan pijakan. Pedoman tersebut bisa berupa teks-teks agama, seperti al-Qur’an dan hadits. Tetapi ini saja tidak cukup, masih diperlukan pedoman lain yang tidak kalah pentingnya dari sekedar teks-teks agama, yaitu akal (nalar). Nabi Saw. tidak akan bertanya lebih lanjut perihal apa yang harus dilakukan jika ternyata al-Qur’an dan hadits sudah mencukupi dalam proses perumusan hukum. Justru pertanyaan terakhir yang beliau ajukan itu menunjukkan bahwa al-Qur’an dan hadits masih memiliki ‘keterbatasan’. Pada titik inilah akal mempunyai peran yang sangat signifikan. Untuk mengaktivasi akal, ijtihad yang oleh banyak ulama dianggap sebagai “prinsip gerakan” (mabda’ al-harakah) dan metode berfikir (manhaj li al-tafkîr) dalam Islam[5] harus diberlakukan, tidak boleh tidak.
III
Sebenarnya apa yang dimaksud “ijtihad” menurut perspektif para ulama kontemporer? Sepenjang pembacaan saya terhadap buku-buku yang ditulis oleh para ulama atau pemikir kontemporer Islam, “ijtihad” saat ini pada dasarnya tidak jauh beda dengan ijtihad-ijtihad rumusan ulama klasik. Sumber-sumber hukum yang dipakai pun hampir sama; al-Qur’an (Kitab) masih diposisikan sebagai sumber primer dan al-Sunnah atau Hadits Nabi sebagai sumber sekunder. Meskipun memang terdapat banyak pengembangan sebagai upaya harmonisasi ajaran Islam dengan setiap tuntutan zaman.[6]
Pengembangan yang saya maksud adalah peletakan sumber-sumber lain sebagai acuan-acuan yang sewaktu-waktu dapat digunakan dalam perumusan hukum dalam Islam, yaitu: ijmâ` (konsensus), qiyâs (analogi), istishlâh (pencapaian maslahat), istihsân (kebaikan yang dicapai dengan rasio), istish-hâb (penetapan hukum yang telah berlaku sebelumnya), qawl shahâbî (pendapat sahabat), syar’ man qablanâ (syari’at agama pra-Islam), sadd al-dzarâ`i’ (tindakan preventif), ‘amal ahl al-madînah (tradisi penduduk Madinah), ‘urf (adat istiadat), istiqrâ` (observasi), al-akhdz bi aqall mâ qîla (pengambilan ukuran minimal yang dikemukakan) dan dalil al-‘aql (rasio).[7]
Sumber-sumber hukum lain tersebut diberlakukan terkait dengan ajaran-ajaran qath’î (kategoris) dan zhannî (hipotesis) dalam Islam. Ajaran-ajaran qath’î adalah ajaran-ajaran yang nilai-nilai universal dan fundamental, yang dalam al-Qur`an tercermin dalam ayat-ayat muhkamât. Adapun ajaran-ajaran zhannî adalah ajaran-ajaran yang bersifat jabaran (implementatif) dari ajaran-ajaran qath’î tadi. Ajaran-ajaran zhannî ini tidak mengandung kebenaran atau kebaikan pada dirinya sendiri. Karena itu ia terikat oleh ruang dan waktu, oleh situasi dan kondisi.[8] Dan yang harus diperhatikan, terutama dalam proses penerapan hudûd, ‘keadilan’, sebagai ajaran universal Islam, harus selalu menjadi pertimbangan utama.
Sekedar gambaran, hudûd adalah sekumpulan hukum yang secara eksplisit disebut dalam al-Qur`an. Hukum tersebut meliputi, umpamanya, hukuman bagi kasus zina dan pencurian. Penerapan hudûd ini sering dianggap sebagai sesuatu yang tetutup, artinya tidak bisa berubah, hanya melihat tekstualitas al-Qur`an. Sebagaimana dijelaskan oleh al-Syathiby dalam buku monomentalnya, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah, bahwa al-Qur`an memiliki makna zhâhirî dan bâthinî. Sebagian besar kaum Muslimin hanya melihat makna zhâhirî-nya saja, tanpa berusaha untuk menangkap makna bâthinî-nya. Sehingga yang terjadi adalah penerapan hudûd secara keras, tidak ada kontekstualisasi. Artinya tidak mau melihat konteks zaman dan tempat. Dalam al-Qur`an misalnya disebutkan bahwa, secara zhâhirî, hukuman bagi pencuri adalah potong tangan. Tapi kalau dilihat makna bâthinî-nya, tujuan Tuhan menurunkan ayat itu adalah membuat orang jera; tidak mengulang kesalahan untuk kedua kalinya. Di sinilah kontekstualisasi berlaku. Pada zaman Jahiliyah, sebelum Islam, hukum potong tangan sudah ada, dan al-Qur’an pun dalam menentukan hudûd tidak serta-merta menghapus hukum-hukum yang berlaku di masyarakat kala itu; tidak melabrak arus. Hukum potong tangan ketika itu masih relevan, mengingat watak orang Arab kala itu sangat keras, ganas dan primitif. Sehingga, mau tidak mau, al-Qur`an ikut membenarkannya.
Di negara-negara lain, hukum yang berlaku tentu saja berbeda dengan masyarakat Arab. Di Indonesia misalnya, hukuman bagi pencuri yang paling banyak diterapkan adalah kurungan penjara, atau hukuman lain yang lebih ringan.[9] Di sini yang berlaku bukan lagi makna zhâhirî —ayat yang menegaskan potong tangan—, tetapi makna bâthinî-nya berupa tujuan untuk membuat orang jera dan tidak mengulangi kesalahannya. Selama tujuan ini tercapai hukuman apapun bisa dibenarkan, asalkan tentu saja tidak memperkosa hak-hak dasar.[10] Ketika misalnya, seorang pencuri bisa jera dengan nasehat, maka hukuman seperti potong tangan atau penjara bisa saja tidak perlu diberlakukan.
Apalagi, sebagaimana dikatakan Khaled Abou el-Fadhl dalam bukunya, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, bahwa penerapan hudûd sebenarnya tidak perlu terlalu keras. Menurutnya, dalam beberapa kasus, al-Qur`an memberikan isyarat-isyarat yang menekankan hal itu. Misalnya ketika menyebutkan syarat-syarat dalam penerapan hudûd. Meskipun hudûd mencakup hukuman pidana yang keras, namun aspek kekerasan dalam hudûd ini menjadi terkurangi oleh kenyataan bahwa syarat pembuktian yang dibutuhkan untuk bisa memberlakukan hukuman sangat detail dan banyak sekali persyaratannya. Hal ini menyulitkan penerapan hukuman dan karena itu jarang terimplementasikan. Misalnya, untuk membuktikan kasus perzinahan, yang dihukum dengan seratus cambukan, empat saksi mata harus bisa membuktikan bahwa—maaf saja—mereka melihat penis si pelaku sepenuhnya dimasukkan ke dalam vagina. Jelas ini merupakan standar pembuktian yang sulit. Namun, apa yang membuat lebih sulit adalah bila beberapa dari empat saksi itu bersaksi bahwa mereka melihat peristiwa itu, sementara satu atau lebih dari empat saksi itu bersaksi bahwa mereka tidak melihat peristiwa itu, maka mereka yang mengklaim telah melihat peristiwa itu secara penuh (kelompok yang pertama) dihukum atas tuduhan memfitnah. Jadi, jika ada orang yang datang membawa pernyataan tanpa bukti yang tidak dibenarkan oleh yang lain, ia melakukan ini semua dengan penuh resiko. Tentunya, hal ini berfungsi, selain untuk menghindar dari penuduhan yang tak dibenarkan mengenai perilaku seks yang tidak sah.[11]
I
Dalam buku mungilnya, Hak-hak Reproduksi Perempuan, KH. Masdar F. Mas’udi menyodorkan sebuah pertanyaan sederhana: Apakah boleh orang mendiskusikan agama, dalam hal ini Islam? Pertanyaan ini timbul karena secara umum kaum muslimin berkeyakinan bahwa Islam sebagai sebuah agama ajarannya telah sempurna, tidak ada satu pun kekurangan di dalamnya; semua persoalan, besar maupun kecil, yang jelas maupun yang samar, sudah ditemukan jawabannya. Ya, Islam telah lengkap! Dalam al-Qur`an ditegaskan, “Pada hari ini telah Aku lengkapkan bagimu agamamu, dan Aku sempurnakan atasmu nikmat dari-Ku, serta Aku restui bagimu Islam sebagai agamamu.” [QS. al-Mâ`idah: 3]
Dalam ayat lain al-Qur`an menyebutkan, “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur`an) untuk menjelaskan segala sesuatu.” [QS. al-Nahl: 89]
Dengan demikian, tidak ada jalan lain bagi kaum muslimin selain melaksanakan apa yang sudah dititahkan dan ditetapkan oleh agamanya. Tidak perlu lagi dilakukan diskusi, sebab ia, sebagai sebuah proses pencarian, hanya cocok untuk permasalahan yang masih belum final. Sementara, seperti ditersurat dalam dua ayat di atas, segala hal yang berhubungan dengan agama sudah disempurnakan.
Namun, kalau memang segala sesuatu dalam agama sudah sempurna dan final, lantas kenapa para ulama setelah zaman Nabi dan para sahabat melakukan ijtihad? Apakah dengan begitu mereka dapat dianggap tidak lagi mempercayai kesempurnaan ajaran Islam?
Realitas sejarah memperlihatkan bahwa pada masa awal-awal Islam sumber hukum yang dijadikan pijakan dalam setiap permasalahan adalah figur Nabi Saw. sebagai perima wahyu secara langsung dari Tuhan. Artinya, setiap kali ada masalah, terutama yang terkait dengan agama, kaum muslimin langsung menanyakannya kepada beliau. Kala itu, masalah apapun yang terjadi hanya membutuhkan solusi yang amat sederhana. Sebab kaum muslimin masih sedikit dan tinggal di satu tempat, yaitu di Jazirah Arab. Namun, setelah Nabi Saw. wafat, yaitu ketika mereka melakukan ekspansi ke beberapa tempat di luar Jazirah Arab dan berbaur serta menjalin interaksi dengan masyarakat yang berbeda keyakinan dan budayanya, masalah-masalah yang muncul kemudian menjadi kompleks dan rumit. Hal ini menuntut para ulama untuk melakukan langkah-langkah kongkret dalam mencari solusi-solusi bagi seluruh permasalahan yang ada, terutama hal-hal yang berhubungan dengan agama, agar interaksi kaum muslimin dengan masyarakat-masyarakat lain itu berjalan secara dinamis.[1] Tentu saja langkah-langkah yang mereka lakukan itu bukan tanpa dasar, justru, meski sudah dianggap sempurna, al-Qur`an menyuruh manusia untuk terus melakukan perubahan sesuai dengan fitrahnya sebagai satu-satunya makhluk Tuhan yang dianugerahi akal, di samping juga beberapa hadits Nabi Saw.. Dengan dasar inilah para ulama klasik kemudian melakukan upaya-upaya mempersambungkan prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersifat universal (al-kulliyyât) pada kasus-kasus kehidupan yang bersifat partikular (juz`iyyât). Inilah yang populer disebut ijtihad. Dan hasil ijtihad—sebagai proses intelektual untuk menurunkan ketentuan universal pada ketentuan-ketentuan yang bersifat partikular sekaligus kerangka teknis operasionalnya—itulah yang disebut fikih.[2]
II
Ijtihad merupakan ciri khas peradaban Islam yang muncul dalam konteks zaman dan sejarah yang begitu kompleks. Secara sederhana “ijtihad” bisa diartikan sebagai upaya yang sungguh-sungguh untuk meraih sesuatu yang dimaksud.[3] Dalam istilah fikih kata ini berarti berusaha dengan tujuan melakukan suatu penalaran rasional yang bebas perihal suatu persoalan hukum. Ini sesuai dengan semangat yang terkandung dalam sebuah ayat al-Qur`an yang berbunyi: “Dan kepada mereka yang berusaha kami tunjukkan jalan kami.” Juga ayat lain yang senada: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali mereka mau merubahnya sendiri.” Ini dipertegas oleh sebuah hadits yang menceritakan tentang pengangkatan Mu’adz sebagai gubernur Yaman oleh Nabi. Diceritakan bahwa Nabi bertanya kepada Mu’adz bagaimana mestinya dia mengambil keputusan mengenai persoalan yang dihadapinya. “Saya akan menjalankan hukum berdasarkan al-Qur`an,” kata Mu`adz. “Tapi jika dalam al-Qur`an tidak ada petunjuk bagimu?” “Saya akan jalan dengan berpijak pada al-Sunnah.” “Tapi kalau dalam al-Sunnah juga tidak ada?” “Saya akan berusaha menurut penalaran saya sendiri.”[4]
Dua ayat sebelumnya, secara tidak langsung, menyuruh kita untuk senantiasa berusaha tanpa henti. Sebab, Tuhan tidak akan mengulurkan “tangan-Nya” membantu kita kecuali kalau kita berusaha. Sementara hadits setelahnya menjelaskan tentang pedoman yang harus dijadikan pijakan dasar dalam mengarungi kehidupan. Korelasi antara kedua ayat dengan hadits tersebut menjadi sangat jelas, bahwa manusia harus berusaha untuk terus berubah, bergerak ke arah yang lebih baik. Dan dalam menjalani hidupnya, manusia memerlukan pedoman yang bisa dijadikan pijakan. Pedoman tersebut bisa berupa teks-teks agama, seperti al-Qur’an dan hadits. Tetapi ini saja tidak cukup, masih diperlukan pedoman lain yang tidak kalah pentingnya dari sekedar teks-teks agama, yaitu akal (nalar). Nabi Saw. tidak akan bertanya lebih lanjut perihal apa yang harus dilakukan jika ternyata al-Qur’an dan hadits sudah mencukupi dalam proses perumusan hukum. Justru pertanyaan terakhir yang beliau ajukan itu menunjukkan bahwa al-Qur’an dan hadits masih memiliki ‘keterbatasan’. Pada titik inilah akal mempunyai peran yang sangat signifikan. Untuk mengaktivasi akal, ijtihad yang oleh banyak ulama dianggap sebagai “prinsip gerakan” (mabda’ al-harakah) dan metode berfikir (manhaj li al-tafkîr) dalam Islam[5] harus diberlakukan, tidak boleh tidak.
III
Sebenarnya apa yang dimaksud “ijtihad” menurut perspektif para ulama kontemporer? Sepenjang pembacaan saya terhadap buku-buku yang ditulis oleh para ulama atau pemikir kontemporer Islam, “ijtihad” saat ini pada dasarnya tidak jauh beda dengan ijtihad-ijtihad rumusan ulama klasik. Sumber-sumber hukum yang dipakai pun hampir sama; al-Qur’an (Kitab) masih diposisikan sebagai sumber primer dan al-Sunnah atau Hadits Nabi sebagai sumber sekunder. Meskipun memang terdapat banyak pengembangan sebagai upaya harmonisasi ajaran Islam dengan setiap tuntutan zaman.[6]
Pengembangan yang saya maksud adalah peletakan sumber-sumber lain sebagai acuan-acuan yang sewaktu-waktu dapat digunakan dalam perumusan hukum dalam Islam, yaitu: ijmâ` (konsensus), qiyâs (analogi), istishlâh (pencapaian maslahat), istihsân (kebaikan yang dicapai dengan rasio), istish-hâb (penetapan hukum yang telah berlaku sebelumnya), qawl shahâbî (pendapat sahabat), syar’ man qablanâ (syari’at agama pra-Islam), sadd al-dzarâ`i’ (tindakan preventif), ‘amal ahl al-madînah (tradisi penduduk Madinah), ‘urf (adat istiadat), istiqrâ` (observasi), al-akhdz bi aqall mâ qîla (pengambilan ukuran minimal yang dikemukakan) dan dalil al-‘aql (rasio).[7]
Sumber-sumber hukum lain tersebut diberlakukan terkait dengan ajaran-ajaran qath’î (kategoris) dan zhannî (hipotesis) dalam Islam. Ajaran-ajaran qath’î adalah ajaran-ajaran yang nilai-nilai universal dan fundamental, yang dalam al-Qur`an tercermin dalam ayat-ayat muhkamât. Adapun ajaran-ajaran zhannî adalah ajaran-ajaran yang bersifat jabaran (implementatif) dari ajaran-ajaran qath’î tadi. Ajaran-ajaran zhannî ini tidak mengandung kebenaran atau kebaikan pada dirinya sendiri. Karena itu ia terikat oleh ruang dan waktu, oleh situasi dan kondisi.[8] Dan yang harus diperhatikan, terutama dalam proses penerapan hudûd, ‘keadilan’, sebagai ajaran universal Islam, harus selalu menjadi pertimbangan utama.
Sekedar gambaran, hudûd adalah sekumpulan hukum yang secara eksplisit disebut dalam al-Qur`an. Hukum tersebut meliputi, umpamanya, hukuman bagi kasus zina dan pencurian. Penerapan hudûd ini sering dianggap sebagai sesuatu yang tetutup, artinya tidak bisa berubah, hanya melihat tekstualitas al-Qur`an. Sebagaimana dijelaskan oleh al-Syathiby dalam buku monomentalnya, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah, bahwa al-Qur`an memiliki makna zhâhirî dan bâthinî. Sebagian besar kaum Muslimin hanya melihat makna zhâhirî-nya saja, tanpa berusaha untuk menangkap makna bâthinî-nya. Sehingga yang terjadi adalah penerapan hudûd secara keras, tidak ada kontekstualisasi. Artinya tidak mau melihat konteks zaman dan tempat. Dalam al-Qur`an misalnya disebutkan bahwa, secara zhâhirî, hukuman bagi pencuri adalah potong tangan. Tapi kalau dilihat makna bâthinî-nya, tujuan Tuhan menurunkan ayat itu adalah membuat orang jera; tidak mengulang kesalahan untuk kedua kalinya. Di sinilah kontekstualisasi berlaku. Pada zaman Jahiliyah, sebelum Islam, hukum potong tangan sudah ada, dan al-Qur’an pun dalam menentukan hudûd tidak serta-merta menghapus hukum-hukum yang berlaku di masyarakat kala itu; tidak melabrak arus. Hukum potong tangan ketika itu masih relevan, mengingat watak orang Arab kala itu sangat keras, ganas dan primitif. Sehingga, mau tidak mau, al-Qur`an ikut membenarkannya.
Di negara-negara lain, hukum yang berlaku tentu saja berbeda dengan masyarakat Arab. Di Indonesia misalnya, hukuman bagi pencuri yang paling banyak diterapkan adalah kurungan penjara, atau hukuman lain yang lebih ringan.[9] Di sini yang berlaku bukan lagi makna zhâhirî —ayat yang menegaskan potong tangan—, tetapi makna bâthinî-nya berupa tujuan untuk membuat orang jera dan tidak mengulangi kesalahannya. Selama tujuan ini tercapai hukuman apapun bisa dibenarkan, asalkan tentu saja tidak memperkosa hak-hak dasar.[10] Ketika misalnya, seorang pencuri bisa jera dengan nasehat, maka hukuman seperti potong tangan atau penjara bisa saja tidak perlu diberlakukan.
Apalagi, sebagaimana dikatakan Khaled Abou el-Fadhl dalam bukunya, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, bahwa penerapan hudûd sebenarnya tidak perlu terlalu keras. Menurutnya, dalam beberapa kasus, al-Qur`an memberikan isyarat-isyarat yang menekankan hal itu. Misalnya ketika menyebutkan syarat-syarat dalam penerapan hudûd. Meskipun hudûd mencakup hukuman pidana yang keras, namun aspek kekerasan dalam hudûd ini menjadi terkurangi oleh kenyataan bahwa syarat pembuktian yang dibutuhkan untuk bisa memberlakukan hukuman sangat detail dan banyak sekali persyaratannya. Hal ini menyulitkan penerapan hukuman dan karena itu jarang terimplementasikan. Misalnya, untuk membuktikan kasus perzinahan, yang dihukum dengan seratus cambukan, empat saksi mata harus bisa membuktikan bahwa—maaf saja—mereka melihat penis si pelaku sepenuhnya dimasukkan ke dalam vagina. Jelas ini merupakan standar pembuktian yang sulit. Namun, apa yang membuat lebih sulit adalah bila beberapa dari empat saksi itu bersaksi bahwa mereka melihat peristiwa itu, sementara satu atau lebih dari empat saksi itu bersaksi bahwa mereka tidak melihat peristiwa itu, maka mereka yang mengklaim telah melihat peristiwa itu secara penuh (kelompok yang pertama) dihukum atas tuduhan memfitnah. Jadi, jika ada orang yang datang membawa pernyataan tanpa bukti yang tidak dibenarkan oleh yang lain, ia melakukan ini semua dengan penuh resiko. Tentunya, hal ini berfungsi, selain untuk menghindar dari penuduhan yang tak dibenarkan mengenai perilaku seks yang tidak sah.[11]
*Disampaikan pada seminar umum tentang “Ijtihad dan Fatwa dalam Perspektif Ulama Klasik dan Kontemporer” di Sekretariat KEMASS, 19 Maret 2008.
[1] Syaikh Muhammad Mahdi Syamsuddin, al-Ijtihâd wa al-Tajdîd fî al-Fiqh al-Islâmî, al-Mu`assasah al-Dauliyah, Beirut, cet. I, 1999, hlm 46
[2] KH. Masdar F. Mas’udi, Hak-hak Reproduksi Perempuan; Dialog Fikih Pemberdayaan, Mizan, Jakarta, cet. I, 1997, hlm. 28
[3] Dr. Hani al-Mara’syali, al-‘Aql wa al-Dîn, al-Maktab al-‘Ilmi li al-Nasyr wa al-Tauzi’, Alexandria, cet. I, 2001, hlm. 38
[4] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, diterjemahkan oleh Ali Audah, Taufiq Ismail, dan Goenawan Mohamad, Jalasutra, Yogyakarta, cet. I, 2002, hlm.
[5] Dr. Zaky Milad, Min al-Turâts ila al-Ijtihâd; al-Fikir al-Islâmî wa Qadhâyâ al-Islâh wa al-Tajdîd, al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, Beirut, cet. I, 2004, hal 276 - 278
[6] Mohammed Arkoun, yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai pemikir sekuler, ternyata masih menganjurkan agar para ulama mempersiapkan diri secara ilmiyah dalam upaya menguasai segala sesuatu yang berkenaan pengetahuan teks-teks kuno serta syarat-syarat teknis ijtihad klasik. Itulah yang harus dikuasai terlebih dahulu, tidak menganggapnya sebagai tradisi yang tidak berguna. Meskipun Arkoun lebih suka menggunakan istilah “Kritik Nalar Islam” daripada “Ijtihad”, namun hal itu dilakukan karena dia merasa bahwa “Ijtihad” hak para ahli fikih atau al-a‘immah al-mujtahidîn sebagai peletak pelbagai dasar mazhab-mazhab besar teologi – hukum; mereka telah menetapkan teks-teks hukum, dogma-dogma ortodoksisme, dan ilmu usul fikih: yaitu metode normatif yang digunakan untuk menyimpulkan hukum-hukum secara benar dari teks-teks suci (al-Qur`an dan hadits).
Arkoun memandang bahwa para ahli fikih menganggap ijtihad hanya sebatas “latihan-latihan otak” terhadap masalah-masalah teologis dan metodologi abstrak yang sama sekali jauh dari kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Maksudnya, di sana terdapat teknik-teknik khusus dalam proses ijtihad, yang serupa dengan teknik-teknik menghitung [dalam matematika]. Seorang ahli fikih misalnya berlatih menggunakan metode-metode qiyâs (qiyâs al-far’ ‘alâ al-ashl) sebelum melakukan ijtihad dan mengeluarkan fatwa tertentu berkaitan dengan sebuah peristiwa baru dalam masyarakat (baca: bid’ah). Ini berarti, dalam setiap keadaan, pada setiap orang yang melakukan ijtihad, terjadi semacam penyimpangan-penyimpangan ideologis yang mengiringi proses “latihan-latihan otak” ini yang ditampakkan atas dasar bahwa aktivitas tersebut merupakan “gesekan” langsung ruh manusia dengan firman Tuhan guna memahami secara benar[6] maksud-maksud final dan makna-makna dasar yang dapat menjelaskan hukum agama dan menjamin legalitas aktivitas-aktivitas manusia dan pemikirannya selama keberadaan mereka di muka bumi.
Sesuatu yang perlu kita perhatikan di sini adalah “pengakuan berlebihan” dari para ahli fikih bahwa mereka mampu bersentuhan secara langsung dengan firman Tuhan dan mampu memahami maksud-maksud transendennya, menjelaskannya dan mengkristalisasikannya dalam hukum agama (al-qânûn al-dînî), lalu setelah itu ditetapkan sebagai hukum Tuhan dan menjadi hukum-hukum legal-formal yang secara “abadi” harus mengatur setiap tindakan dan pemikiran yang dilakukan oleh seorang mukmin yang tunduk pada Tuhan. Di sinilah sakralisasi dan transendentalisasi terjadi, padahal itu bukan aktivitas langsung Tuhan, akan tetapi betul-betul aktivitas manusia.
Makanya Arkoun menghendaki adanya peralihan dari periode Ijtihad Klasik menuju periode Kritik Nalar Islam, dengan dasar bahwa ia (Kritik Nalar Islam) merupakan kelanjutan Ijtihad Klasik dan pematangan terhadapnya. Jadi dia tidak hendak memutuskan diri dari tradisi sebagaimana dilakukan oleh beberapa pemikir orientalis dalam upaya studi terhadap tradisi di wilayah Arab. Mereka dengan “progresivitas” dan “modernitas”nya meyakini kemungkinan “penghinaan” terhadap tradisi dan masa lalu, melepaskannya tanpa memasuki “dialektika kebenaran” dengannya dari dalam.
Hal itu tentunnya mengharuskan para ulama untuk mengerahkan upaya dan melangkah setapak demi setapak. Untuk saat ini, para ulama harus melakukan seperti apa yang dilakukan oleh para pendahulu mereka di masa klasik. Dengan kata lain, mereka harus melangkah dengan pasti ke arah modernitas rasional dan intelektual. Dan mereka, selain harus menguasai teknik-teknik ijtihad klasik, ilmu-ilmu, serta metode-metodenya, juga tidak boleh menutup mata terhadap ilmu-ilmu modern; tentu saja dengan tidak “melukai” kesadaran keimanan atau mempelakukannya secara tidak baik. Nah di sinilah para ulama tradisional dituntut untuk memainkan peran sebagai “penengah” yang kredibel antara kesadaran keimanan dan antara tuntutan-tuntutan pengetahuan ilmiah modern. (Untuk lebih jelasnya, silahkan baca: Mohammed Arkoun, Min al-Ijtihâd ilâ Naqd al-`Aql al-Islâmî, diterjemahkan oleh Hasyim Shaleh, Dar al-Saqi, Beirut, Lebanon, cet. II, 1993)
[7] Sumber-sumber hukum tersebut bisa diklasifikasikan menjadi tiga kelompok:
Pertama, sumber hukum transmisional (al-naql): al-Kitab, al-Sunnah, ijmâ` (yang berdasarkan teks), qawl shahâbî, syar’ man qablanâ dan istiqrâ’ (yang berkenaan dengan studi terhadap teks al-Kitab dan al-Sunnah).
Kedua, sumber hukum rasional (al-`aql): ijmâ` (dalam hal-hal yang tidak termaktub dalam Kitab dan Sunnah secara tekstual), qiyâs, istishlâh, istihsân, sadd al-dzarâ’i`, dalîl al-‘aql dan al-akhdz bi aqall mâ qîla.
Ketiga, sumber hukum realitas kontekstual (al-wâqi`): istish-hâb, ‘amal ahl al-madinah, ‘urf dan istiqrâ` (yang berkenaan dengan penelitian lapangan).
[8] KH. Masdar F. Mas’udi, Hak-hak Reproduksi Perempuan; Dialog Fikih Pemberdayaan, Mizan, Jakarta, cet. I, 1997, hlm. 31
[9] Dalam hubungannya dengan pencurian, hukuman ptong tangan hanya merupakan upaya praktis yang diduga efektif untuk membuat jera si pencuri dan sekaligus membuat orang lain berpikir seratus kali untuk berbuat kejahatan serupa. Sebagai ajaran yang bersifat teknis, hukuman potong tangan tentu saja bersifat zhannî (hipotesis). Tidak semua orang sepakat perihal kelayakan dan efektivitas potong tangan sebagai ‘cara’ mencegah pencurian. Bahkan dalam kenyataannya, seperti disebutkan di atas, dalam pemikiran Islam sendiri, tidak semua pencuri dalam keadaan apapun harus dihukum potong tangan. Namun tidak berarti bahwa hukum potong sudah usang dan tidak perlu diberlakukan lagi. Justru sewaktu-waktu, jika dianggap perlu dan memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah ditentukan dalam al-Sunnah Nabi Saw., bisa diberlakukan.
[10] Al-Syathiby menegaskan bahwa lima hak dasar (al-dharûriyyât al-khams) yang harus dijaga, dihormati, dan diperjuangkan. Lima hak dasar tersebut terindentifikasi ke dalam lima hal: agama, jiwa, keturunan, harta dan akal; syariat Islam harus memberikan perlindungan kepada manusia dalam menjalankan kewajiban agama (agama); perlindungan kehidupan manusia (jiwa); hak untuk menikah, mempunyai keturunan, dan membesarkan anak-anak (keturunan); hak memiliki harta dan untuk tidak memiliki harta yang diambil tidak sejalan dengan cara yang jujur dan adil (harta); kemampuan manusia untuk berpikir (akal). Kelima hak ini sudah mencakup semua hal yang berkaitan dengan manusia. Lima hal itu mencerminkan hak dasar yang selayaknya diakui sebagai milik manusia.
[11] Khalid Abou el-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, diterjemahkan oleh Helmi Mustofa, Serambi, Jakarta, cet. I, 2006, hlm. 235
[1] Syaikh Muhammad Mahdi Syamsuddin, al-Ijtihâd wa al-Tajdîd fî al-Fiqh al-Islâmî, al-Mu`assasah al-Dauliyah, Beirut, cet. I, 1999, hlm 46
[2] KH. Masdar F. Mas’udi, Hak-hak Reproduksi Perempuan; Dialog Fikih Pemberdayaan, Mizan, Jakarta, cet. I, 1997, hlm. 28
[3] Dr. Hani al-Mara’syali, al-‘Aql wa al-Dîn, al-Maktab al-‘Ilmi li al-Nasyr wa al-Tauzi’, Alexandria, cet. I, 2001, hlm. 38
[4] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, diterjemahkan oleh Ali Audah, Taufiq Ismail, dan Goenawan Mohamad, Jalasutra, Yogyakarta, cet. I, 2002, hlm.
[5] Dr. Zaky Milad, Min al-Turâts ila al-Ijtihâd; al-Fikir al-Islâmî wa Qadhâyâ al-Islâh wa al-Tajdîd, al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, Beirut, cet. I, 2004, hal 276 - 278
[6] Mohammed Arkoun, yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai pemikir sekuler, ternyata masih menganjurkan agar para ulama mempersiapkan diri secara ilmiyah dalam upaya menguasai segala sesuatu yang berkenaan pengetahuan teks-teks kuno serta syarat-syarat teknis ijtihad klasik. Itulah yang harus dikuasai terlebih dahulu, tidak menganggapnya sebagai tradisi yang tidak berguna. Meskipun Arkoun lebih suka menggunakan istilah “Kritik Nalar Islam” daripada “Ijtihad”, namun hal itu dilakukan karena dia merasa bahwa “Ijtihad” hak para ahli fikih atau al-a‘immah al-mujtahidîn sebagai peletak pelbagai dasar mazhab-mazhab besar teologi – hukum; mereka telah menetapkan teks-teks hukum, dogma-dogma ortodoksisme, dan ilmu usul fikih: yaitu metode normatif yang digunakan untuk menyimpulkan hukum-hukum secara benar dari teks-teks suci (al-Qur`an dan hadits).
Arkoun memandang bahwa para ahli fikih menganggap ijtihad hanya sebatas “latihan-latihan otak” terhadap masalah-masalah teologis dan metodologi abstrak yang sama sekali jauh dari kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Maksudnya, di sana terdapat teknik-teknik khusus dalam proses ijtihad, yang serupa dengan teknik-teknik menghitung [dalam matematika]. Seorang ahli fikih misalnya berlatih menggunakan metode-metode qiyâs (qiyâs al-far’ ‘alâ al-ashl) sebelum melakukan ijtihad dan mengeluarkan fatwa tertentu berkaitan dengan sebuah peristiwa baru dalam masyarakat (baca: bid’ah). Ini berarti, dalam setiap keadaan, pada setiap orang yang melakukan ijtihad, terjadi semacam penyimpangan-penyimpangan ideologis yang mengiringi proses “latihan-latihan otak” ini yang ditampakkan atas dasar bahwa aktivitas tersebut merupakan “gesekan” langsung ruh manusia dengan firman Tuhan guna memahami secara benar[6] maksud-maksud final dan makna-makna dasar yang dapat menjelaskan hukum agama dan menjamin legalitas aktivitas-aktivitas manusia dan pemikirannya selama keberadaan mereka di muka bumi.
Sesuatu yang perlu kita perhatikan di sini adalah “pengakuan berlebihan” dari para ahli fikih bahwa mereka mampu bersentuhan secara langsung dengan firman Tuhan dan mampu memahami maksud-maksud transendennya, menjelaskannya dan mengkristalisasikannya dalam hukum agama (al-qânûn al-dînî), lalu setelah itu ditetapkan sebagai hukum Tuhan dan menjadi hukum-hukum legal-formal yang secara “abadi” harus mengatur setiap tindakan dan pemikiran yang dilakukan oleh seorang mukmin yang tunduk pada Tuhan. Di sinilah sakralisasi dan transendentalisasi terjadi, padahal itu bukan aktivitas langsung Tuhan, akan tetapi betul-betul aktivitas manusia.
Makanya Arkoun menghendaki adanya peralihan dari periode Ijtihad Klasik menuju periode Kritik Nalar Islam, dengan dasar bahwa ia (Kritik Nalar Islam) merupakan kelanjutan Ijtihad Klasik dan pematangan terhadapnya. Jadi dia tidak hendak memutuskan diri dari tradisi sebagaimana dilakukan oleh beberapa pemikir orientalis dalam upaya studi terhadap tradisi di wilayah Arab. Mereka dengan “progresivitas” dan “modernitas”nya meyakini kemungkinan “penghinaan” terhadap tradisi dan masa lalu, melepaskannya tanpa memasuki “dialektika kebenaran” dengannya dari dalam.
Hal itu tentunnya mengharuskan para ulama untuk mengerahkan upaya dan melangkah setapak demi setapak. Untuk saat ini, para ulama harus melakukan seperti apa yang dilakukan oleh para pendahulu mereka di masa klasik. Dengan kata lain, mereka harus melangkah dengan pasti ke arah modernitas rasional dan intelektual. Dan mereka, selain harus menguasai teknik-teknik ijtihad klasik, ilmu-ilmu, serta metode-metodenya, juga tidak boleh menutup mata terhadap ilmu-ilmu modern; tentu saja dengan tidak “melukai” kesadaran keimanan atau mempelakukannya secara tidak baik. Nah di sinilah para ulama tradisional dituntut untuk memainkan peran sebagai “penengah” yang kredibel antara kesadaran keimanan dan antara tuntutan-tuntutan pengetahuan ilmiah modern. (Untuk lebih jelasnya, silahkan baca: Mohammed Arkoun, Min al-Ijtihâd ilâ Naqd al-`Aql al-Islâmî, diterjemahkan oleh Hasyim Shaleh, Dar al-Saqi, Beirut, Lebanon, cet. II, 1993)
[7] Sumber-sumber hukum tersebut bisa diklasifikasikan menjadi tiga kelompok:
Pertama, sumber hukum transmisional (al-naql): al-Kitab, al-Sunnah, ijmâ` (yang berdasarkan teks), qawl shahâbî, syar’ man qablanâ dan istiqrâ’ (yang berkenaan dengan studi terhadap teks al-Kitab dan al-Sunnah).
Kedua, sumber hukum rasional (al-`aql): ijmâ` (dalam hal-hal yang tidak termaktub dalam Kitab dan Sunnah secara tekstual), qiyâs, istishlâh, istihsân, sadd al-dzarâ’i`, dalîl al-‘aql dan al-akhdz bi aqall mâ qîla.
Ketiga, sumber hukum realitas kontekstual (al-wâqi`): istish-hâb, ‘amal ahl al-madinah, ‘urf dan istiqrâ` (yang berkenaan dengan penelitian lapangan).
[8] KH. Masdar F. Mas’udi, Hak-hak Reproduksi Perempuan; Dialog Fikih Pemberdayaan, Mizan, Jakarta, cet. I, 1997, hlm. 31
[9] Dalam hubungannya dengan pencurian, hukuman ptong tangan hanya merupakan upaya praktis yang diduga efektif untuk membuat jera si pencuri dan sekaligus membuat orang lain berpikir seratus kali untuk berbuat kejahatan serupa. Sebagai ajaran yang bersifat teknis, hukuman potong tangan tentu saja bersifat zhannî (hipotesis). Tidak semua orang sepakat perihal kelayakan dan efektivitas potong tangan sebagai ‘cara’ mencegah pencurian. Bahkan dalam kenyataannya, seperti disebutkan di atas, dalam pemikiran Islam sendiri, tidak semua pencuri dalam keadaan apapun harus dihukum potong tangan. Namun tidak berarti bahwa hukum potong sudah usang dan tidak perlu diberlakukan lagi. Justru sewaktu-waktu, jika dianggap perlu dan memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah ditentukan dalam al-Sunnah Nabi Saw., bisa diberlakukan.
[10] Al-Syathiby menegaskan bahwa lima hak dasar (al-dharûriyyât al-khams) yang harus dijaga, dihormati, dan diperjuangkan. Lima hak dasar tersebut terindentifikasi ke dalam lima hal: agama, jiwa, keturunan, harta dan akal; syariat Islam harus memberikan perlindungan kepada manusia dalam menjalankan kewajiban agama (agama); perlindungan kehidupan manusia (jiwa); hak untuk menikah, mempunyai keturunan, dan membesarkan anak-anak (keturunan); hak memiliki harta dan untuk tidak memiliki harta yang diambil tidak sejalan dengan cara yang jujur dan adil (harta); kemampuan manusia untuk berpikir (akal). Kelima hak ini sudah mencakup semua hal yang berkaitan dengan manusia. Lima hal itu mencerminkan hak dasar yang selayaknya diakui sebagai milik manusia.
[11] Khalid Abou el-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, diterjemahkan oleh Helmi Mustofa, Serambi, Jakarta, cet. I, 2006, hlm. 235