Petikan dari Dialog antara Mohammed Arkoun - Frits Bolkestein
Pertanyaan Pertama
Frits Bolkestein (FB): Profesor Arkoun, Anda aktif dalam sebuah perspektif “masa panjang” seperti sejarawan terkenal Fernand Braudel. Dalam sebuah seminar yang dilaksanakan baru-baru ini tentang “Islam dan Kebebasan” di Amsterdam tahun 1989 kami mendengar pernyataan Anda tentang adanya jurang pemisah antara masa-masa awal Islam, yaitu abad-abad pertama yang telah dikaji secara baik oleh para sejarawan, dan antara dua puluh atau tiga puluh tahun terakhir yang telah dikaji oleh para peneliti ilmu-ilmu humanitas atau sosial. Antara dua sisi ini tidak ada apa-apa. Bagaimana Anda menjelaskan keberadaan jurang pemisah ini? Apakah faktor keberadaannya? Kenapa “masa panjang” di antara dua periode ini belum dikaji secara ilmiah?
Mohammed Arkoun (MA): Sebenarnya, pertanyaan Anda ini akan memunculkan masalah yang sulit dan tidak jelas, kaum sejarawan menyebutnya dengan periodisasi. Periodisasi ini berpijak pada kualitas standar yang berlaku guna menyingkap titik-titik peralihan atau masa-masa keterputusan dalam sejarah: yaitu masa-masa terjadinya perubahan besar yang menentukan laju perjalanan sejarah yang begitu panjang.
Pertama-tama kita akan melihat hal berikut: sebenarnya para sejarawan di semua negara, termasuk di antaranya para sejarawan Eropa, sudah memilih standar politik untuk melakukan periodisasi. Ini sudah biasa mereka lakukan dalam waktu yang cukup lama. Demikian kita mendapati misalnya, secara khusus berkaitan dengan konteks Islam, bahwa perubahan dinasti yang berkuasa (penguasa atau raja), itulah yang menjadi titik penentu masalah periodisasi. Katakan misalnya: periode al-Khulafa’ al-Rasyidin (632 – 661), periode dinasti Umawiyah (661 – 750), periode dinasti Abbasiyah (750 – 1258), periode dinasti atau kesultanan Utsmaniyah (1517 – 1924) dan seterusnya.
Selanjutnya kita melihat, sejarah Eropa sudah memaksakan penamaan-penamaan atau periodisasi-periodisasi yang mengarah pada pemaksaan hegemoninya terhadap masyarakat-masyarakat lain selain masyarakat-masyarakat Eropa yang memang lebih dinamis: seperti Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol dan seterusnya. Demikian misalnya mereka berbicara mengenai masa-masa kuno (yaitu Yunani dan Roma), abad-abad pertengahan, masa-masa modern atau masa-masa kontemporer. Para penulis Arab kadang-kadang menggunakan periodisasi-periodisasi, kaum orientalis juga menerapkannya terhadap bidang khusus yang memang menjadi garapan mereka, yaitu sejarah Arab – Islam.
Namun penamaan “abad-abad pertengahan” atau penerapannya terhadap tradisi Arab – Islam benar-benar akan menimbulkan masalah. Kaum Muslimin secara umum, dan orang-orang Arab secara khusus, akan merasa marah ketika penamaan “buruk” ini diterapkan untuk mengkaji masa kejayaan peradaban mereka, yaitu peradaban yang terbentang dari perbatasan China hingga perbatasan Eropa atau dalam area yang luas sekali. Yaitu periode yang biasanya disebut dengan “Islam Klasik” atau “Peradaban Islam Klasik” (La Civilisation de l’Islam Classique). Inilah judul buku yang dikarang oleh J. et D. Sourdel, terbitan Arthaud, Paris, 1976.
Periode klasik dalam Islam ini terbentang dari tahun 561 hingga 1257, dengan periode kejayaan yang berkisar kira-kira antara tahun 800 – 1100. Artinya bahwa peradaban Arab – Islam pernah mencapai puncak kejayaannya pada abad ketiga dan keempat Hijriah. Periode ini sudah menjadi fokus perhatian utama kaum orientalis. Kenyataannya, keluasaan keilmuan orientalisme itulah yang telah memberikan kontribusi melebihi yang lainnya pada abad kesembilan belas dalam membentuk konsepsi sejarah mengenai periode, di mana kaum Muslimin (baik dari orang-orang Arab, Turki dan Iran) lebih suka menganggapnya sebagai masa keemasan peradaban yang umumnya disebut (secara salah) dengan Islam.
Setelah runtuhnya kekhalifahan Baghdad tahun 1258, kerajaan ini kemudian terbagi-bagi. Inilah yang menyebabkan kebijakan-kebijakan dan kekuatan-kekuatan politik, jaringan-jaringan perdagangan, sirkulasi-sirkulasi ekonomi di dalam wilayah luas itu yang dipengaruhi oleh fenomena Islam atau yang di dalamnya Islam menyebar, kembali bertumpang-tindih. Kemudian setelah itu orang-orang Utsmaniyah kembali menata kembali struktur politik kerajaan ini yang membentang dari Irak, Aljazair, Jazirah Arab hingga Anadolu. Saya tidak mengatakan bahwa mereka kembali melakukan penataan pemikiran dan peradaban, saya hanya mengatakan bahwa mereka kembali melakukan penataan politik. Akan tetapi kekuasaan dinasti Utsmaniyah membentur kebangkitan Eropa berikut hegemoninya yang tak terlawan. Saya mengatakan demikian mengingat, pada kenyataannya, kebangkitan Eropa sudah dimulai jauh sebelum masa itu, sejak abad kedua belas. Untuk lebih jelasnya silahkan baca buku karangan J. Abu Lughod yang berjudul “Before european hegemony, The World System A. D. 1250 – 1350, Oxford University Press, 1989.
Para sejarawan (dari kaum orientalis dan yang lainnya) tertarik dengan kegemilangan peradaban klasik dan kilauan cahayanya. Oleh sebab itu, mereka sering berbicara secara panjang lebar tentang kemunduran dunia Islam sejak abad keempat belas Masehi. Akan tetapi mereka mulai merarik kembali pandangan tergesa-gesa dan glorifikatif ini yang malah memperbesar perbedaan antara dua periode sejarah Islam: periode klasik dan periode skolastik, yaitu pengulang-ulangan. Benar, antara kedua periode tersebut memang terdapat perbedaan, namun tidak sebesar ini. Sebenarnya, secara ilmiah, pengetahuan kita mengenai dua periode ini tidak sama, artinya bahwa pengetahuan kita mengenai yang pertama lebih besar daripada pengetahuan kita mengenai yang kedua. Kendati demikian, sejarah intelektualitas dan kebudayaan masyarakat-masyarakat yang disebut Islam mulai menurun dan melemah sejak abad kelima belas. Inilah fakta yang sebenarnya. Penurunan dan stagnasi ini menimpa fenomena pluralitas dogmatik yang mendominasi pada masa klasik, masa keemasan dan kreasi. Pengulang-ulangan dan pemamah-biakan (yaitu pengulang-ulangan ajaran-ajaran masa klasik dan para Imam Mujtahidin) menguasai aliran-aliran fikih yang masih tersisa. Maka sempurnalah pemberangusan terhadap filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan (ilmu-ilmu pengetahuan murni dan eksperimental), sehingga filsafat kemudian menjadi searti dengan heretodoksi dan atheisme: “Man tamanthaq-a faqad tazandaq-a,” “Barang siapa yang menggunakan logika, maka dia telah menjadi atheis.” Dan dogma-dogma atau doktrin-doktrin kuno sebelum Islam mulai mengepakkan sayapnya. Di samping itu, agama rakyat (al-dîn al-sya’bî) semakin menguat. Inilah kiranya faktor yang menyebabkan para peneliti dan kaum orientalis sangat mengabaikan kajian terhadap periode tersebut. Padahal pemahaman kita terhadap masa kini tergantung pada pemahaman kita terhadapnya. Maka, pemikiran Islam yang saat ini tengah menghegemoni di dalam masyarakat-masyarakat Islam, secara langsung, merupakan buah dari periode tersebut, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan periode di mana produktivitas dan kreativitas berkembang pesat, yaitu masa klasik. Sebagai buktinya, wacana-wacana salafisme (al-islâmawiyyah) dengan kepentingan politik dan sosial yang besar sejak tahun 1970, mulai merefleksikan pelbagai kelupaan, pemberangusan, pemotongan, keberserak-serakan dan keterputusan yang secara tiba-tiba datang menimpa pemikiran Islam dalam ruang dan waktu sejak abad kelima belas, artinya bahwa Islam saat ini merupakan kontinuitas langsung dari Islam di masa kemunduran. Kalau dikaji secara teliti, kita akan melihat bahwa masa tersebut memang stagnan, melemah dan kering, sama dengan pemikiran periode yang dikenal dengan masa kemunduran. Jadi tidak mungkin memahami masa kini tanpa terlebih dahulu memahami masa kemunduran. Dari itu saya katakan, buku-buku yang saat ini memenuhi pasar di Eropa mengenai “Islam Radikal”, “Ekstremisme Islam”, “Fundamentalisme”, “Salafisme” dan seterusnya, bagi saya—analisa-analisanya—nampak masih kurang tajam (pada umumnya hal itu merupakan hasil para peneliti dalam ilmu-ilmu politik). Dalam memahami fenomena fundamentalisme, tinjauan analitis buku-buku tersebut tidak menghujam jauh ke belakang, akan tetapi hanya berhenti pada periodisasi di tahun lima atau enam puluhan. Ini hanya bagian kecil dari waktu yang telah ada dan tidak cukup untuk memahami apa yang terjadi sekarang: maksud saya untuk memahami wacana-wacana yang saat ini sedang menghegemoni yang secara mendasar memuat esensi ideologis, dan sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan agama dalam arti transendentalnya, yakni dalam arti yang sebenarnya. Tetapi wacana-wacana tersebut muncul atas dasar sebagai wacana-wacana keagamaan atau keislaman dengan cara menggunakan sobekan-sobekan kamus kuno agama yang terpisah-pisah dan berserakan. Jadi, untuk dapat memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat-masyarakat Islam sekarang ini, kita harus mengambil bagian zaman yang lebih luas dan lebih panjang. Kita harus beroperasi di dalam bingkai “periode panjang” sejarah secara riil. Kita harus kembali ke masa skolastik yang berkuasa setelah runtuhnya peradaban klasik guna mengkaji proses sejarah yang begitu lamban yang telah menyebabkan kemerosotan nilai-nilai kebudayaan Arab – Islam dan merubah para pemikir menjadi hanya sebatas penjaga-penjaga ortodoksisme yang di satu sisi sangat sempit dan jauh dari sumber-sumber pemikiran klasik, sementara di sisi lain jauh dari instrumen-instrumen intelektualitas dan keilmuan yang dilahirkan oleh modernitas Eropa sejak abad kedelapan belas. Itu sebabnya saya akan berbicara mengenai dua keterputusan: keterputusan dari masa kreativitas tradisi Arab – Islam, dan keterputusan dari produk terbaik yang telah dihasilkan modernitas Eropa sejak empat abad yang lalu.
Saya sudah berbicara secara ringkas tentang masalah penting ini. Dan saya takut pembicaraan saya akan menyebabkan mengakarnya asumsi-asumsi negatif yang tengah berkuasa di Barat mengenai Islam sebagai alternatif penghilangan dan penghapusannya. Menurut perspektif populer di Barat, “kemunduran dunia Islam” lebih disebabkan oleh faktor-faktor abadi dan intrinsik, yaitu oleh Islam itu sendiri sebagai sebuah agama. Mereka yakin bahwa Islam, berbeda dengan agama-agama lain (khususnya agama Kristen), sangat stagnan secara dogmatis atau teologis yang menjadi penghalang bagi kebangkitan dan perkembangan kaum Muslimin. Seperti dimaklumi bahwa Ernest Renan pernah mengajukan “penafsiran-penafsiran” semacam ini, kemudian penafsiran-penafsiran itu disebar-luaskan oleh aliran ideologi yang aktif di Barat. Dalam pandangan Renan, Islam, dilihat dari watak dan esensinya, sangat bertentangan dengan filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan, bahkan sangat anti perkembangan dan perubahan, karena hal itu (filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan) merupakan bid`ah dan heretodoksi yang senantiasa dicekal oleh para ahli fikih. Dan perspektif terhadap Islam ini ternyata masih diterima oleh ilmu pengetahuan modern. Kita harus meletakkannya dalam konteks historisnya, yaitu pada abad kesembilan belas Eropa positif dan etnosentris.
Semua itu mendorong kita untuk berbicara mengenai signifikansi penulisan ulang sejarah dunia pertengahan, baik dari sisi Eropa, atau dari sisi Islam (ketika saya mengatakan Islam, secara mendasar yang saya maksudkan adalah sisi Arab, Turki dan Iran). Kita akan membicarakan kembali poin penting ini tanpa ragu-ragu pada kesempatan berikutnya, agar saat ini kita bisa membuka kemungkinan-kemungkinan baru guna membentuk sejarah seluruh bangsa laut Mediterania yang menyatu dan integral.
*) Diterjemahkan dari buku: "Islam, al-Auruba, al-Gharb", untuk lebih lengkapnya silahkan baca buku ini.