**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Tuesday, May 31, 2011
Martin van Bruinessen dan Kitab Kuning
MARTIN van Bruinessen adalah seorang tokoh yang di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya NU, sangat tidak asing. Bukunya yang berjudul “Kitab Kuning; Pesantren dan Tarekat” yang merupakan hasil penelitiannya di tahun 80-an sudah sangat dikenal oleh para tokoh pesantren, bahkan mungkin menjadi buku babon yang harus dibaca oleh siapa saja yang melakukan penelitian tentang kitab kuning.

Pada tanggal 20 Mei 2011 lalu, secara khusus Ibu Lies Marcoes, direktur Rumah Kitab, mengundangnya untuk memberikan kuliah perdana dalam kegiatan “Training Metode Penelitian Sosial untuk Kajian Keagamaan”. Dalam ceramahnya yang berdurasi kurang lebih 1 jam itu, Martin banyak sekali menceritakan pengalamannya dalam dunia penelitian, khususnya tentang kuning, sejak pertama kali ia bekerja di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sebagai konsultan metodologi dalam suatu proyek penelitian mengenai sikap dan pandangan hidup ulama Indonesia. Baginya, proyek LIPI itu adalah suatu kesempatan yang sangat unik yang tidak pernah diperoleh oleh para peneliti lainnya. Sebagai konsultan ia juga mendapat kesempatan untuk penelitian dalam rangka mendampingi peneliti-peneliti Indonesia. Dan untuk itu, ia mengunjungi hampir seluruh provinsi di Indonesia.

Martin—seperti dikatakannya sendiri—tidak ingat lagi kenapa ia tertarik untuk melakukan kitab kuning. Ia hanya menyebutkan salah seorang sahabat dekatnya yang juga konsultan dalam proyek ini yang merupakan peneliti senior dari Departemen Agama, Djohan Effendi, memperkenalkannya pada kajian tentang kitab kuning. Ketika itu Djohan menulis satu daftar kitab-kitab penting yang pernah dikajinya. Dari sinilah Martin kemudian berpikir dan mulai tertarik untuk melihat apakah ada perbedaan kitab-kitab yang ada di dalam pesantren. Ia berasumsi pesantren ibarat kerajaan, dan karenanya tentu punya budaya tersendiri.

Muncul pertanyaan, apakah melalui kitab-kitab yang dipakai itu ia bisa melihat perbedaan antara suatu daerah dengan daerah lain atau antara pesantren yang eksklusif dengan pesantren yang inklusif? Apakah melalui kitab-kitab itu ia bisa melihat terjadinya proses islamisasi Nusantara yang berbeda-beda misalnya antara di Aceh dengan di Sumatera Utama, dan apakah di setiap daerah mempunyai sejarah yang berbeda? Sebab terkadang Islam datang dari negara lain atau dari arah lain dan ada beberapa tokoh yang mempunyai pengaruh sangat besar di daerahnya masing-masing; di daerah-daerah itu kadang-kadang ditemukan kitab yang ditulis oleh tokoh lokal, seperti Nafis al-Banjari atau Muhammad Arsyad al-Banjari di Banjarmasin, atau beberapa kiyai Betawi yang sangat terkenal, seperti Kyai Masri Betawi. Kalau semua kitab kuning yang ada itu dikumpulkan, apakah bisa menyimpulkan tentang perbedaan budaya-budaya itu?

Pertanyaan-pertanyaan itu mendorong Martin mengumpulkan kitab-kitab kuning. Dia datangi seluruh provinsi di Indonesi, dan di setiap kota ia selalu mencari toko kitab dan membeli semua kitab yang berhuruf Arab; bahasanya bisa Arab, Melayu, Jawa, Sunda, Madura, Aceh. Dari hasil petualangannya itu terkumpul lebih dari 1000 kitab.

Menurut Martin, sekitar 100 tahun lalu, ada seorang ahli hukum asal Belanda, yaitu L.W.C. Vandenberg, yang juga mengetahui bahasa Arab dengan baik, pernah menulis artikel pendek mengenai kitab-kitab yang dipakai di pesantren. L.W.C. Vandenberg ini membuat suatu kesimpulan, setelah mengoleksi sekian banyak kitab kuning, bahwa kitab kuning yang dipakai di pesantren hanyalah kitab fikih. Di sini Martin berpikir, apakah setelah 100 tahun kemudian terjadi pergeseran atau perkembangan? Apakah kitab yang dipakai sekarang berbeda, kajiannya lebih canggih, lebih bervariasi, atau malah ada penurunan? Atau mungkin terjadi satu pergeseran dari satu ilmu keagamaan kepada ilmu yang lain?

Dari 1000 kitab kuning yang dikoleksinya, Martin kemudian membuat klasifikasi. Dan dari klasifikasi ini kesimpulan yang dia dapatkan adalah, bahwa kitab fikih masih mendominasi di pesantren. Tetapi kitab kumpulan hadits dan kitab tafsirnya justru mulai banyak dipelajari di pesantren dibandingkan 100 tahun sebelumnya. Sebagai salah satu kesimpulan sementara, ia berpendapat bahwa gerakan reformis yang menekankan “kembali ke al-Qur`an dan hadits” juga mempunyai dampak di pesantren. Tidak mengherankan jika di pesantren mulai banyak menekankan studi hadits dan studi tafsir.

Temuan lainnya, terutama di daerah Jawa, dan ini yang tidak dilihat oleh L.W.C. Vandenberg, namun sangat menonjol, adalah bahwa ternyata banyak sekali kitab fikih dari bahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Kemudian Martin juga menemukan satu kitab fikih dalam bahasa Jawa dengan huruf Honocoroko. Sebelumnya ia menyangka huruf Honocoroko hanya dipakai untuk budaya Jawa non-Islam, atau pra-Islam, atau bahkan yang Kejawen anti-Islam, tetapi ternyata ada kitab ringkasan dari “Tuhfah al-Muhtâj” karya Ibn Hajar yang ditulis dalam bahasa Jawa Honocoroko dan dicetak oleh Belanda. Adalah menarik karena Belanda mencetak kitab tersebut. Sebagai seorang antropolog, Martin curiga barangkali ada usaha untuk mempengaruhi orang Islam supaya lebih menghargai Honocoroko atau upaya mengislamkan orang Jawa yang masih dalam budaya Honocoroko.

Ia juga menemukan hal lain di daerah Sunda. Dalam pengetahuannya, kitab kuning lebih banyak ditulis dalam bahasa Jawa dengan huruf Arab (Arab Pegon). Dan katanya, dari dulu bahasa pengantar di tataran Sunda adalah bahasa Jawa; kalau ada kitab ‘jenggotan’, itu jenggotannya bukan bahasa Sunda tetapi bahasa Jawa. Tetapi dari hasil koleksinya, Martin menemukan beberapa kitab kuning yang ditulis dalam bahasa Sunda. Dan ia menduga ini merupakan sebentuk pemberontakan terhadap tradisi Sunda yang selalu takluk kepada tradisi Jawa.

Setelah selesai dengan upaya mengkoleksi kitab-kitab kuning, langkah selanjutnya adalah memahami isi dari semua kitab itu. Nah, dalam hal ini ada dua nama tokoh yang—menurutnya—sangat berjasa baginya. Pertama, adalah Carl Brockelmann, seorang ilmuan asal Jerman, yang menulis buku lima jilid bertajuk “Sejarah Sastra Arab”. Buku ini oleh Martin digunakan untuk memahami hubungan antara satu kitab dengan kitab lain yang terdapat dalam koleksinya. Dengan buku karya Carl Brockelmann ini Martin menjadi tahu tentang tradisi dalam dunia kitab kuning. Sebut saja, misalnya, tentang syarah atau komentar; ada seorang penulis, kemudian setiap orang yang menyalin merasa punya hak untuk memperbaiki atau menambah, dan kalau tambahannya banyak maka itu bisa disebut syarah. Sebagai salah satu contoh, Martin menyebutkan kitab “Tuhfah al-Muhtâj”. Di Eropa banyak sekali terdapat naskah “Tuhfah al-Muhtâj”, dan ia melihat banyak sekali syarah terhadap “Tuhfah al-Muhtâj” yang di antaranya diajarkan di beberapa pesantren di Indonesia. Dari sini, Martin kemudian paham mengenai genealogi atau silsilah dari kitab ke kitab. Misalnya kitab fikih; bahwa kitab fikih itu terdiri dari beberapa keluarga atau silsilah, yang semuanya hampir dimulai dengan “Tuhfah al-Muhtâj”.

Kedua, adalah Fuad Sezgin, seorang ilmuwan berkebangsaan Turki yang menulis buku 18 jilid tentang sejarah penulisan berbahasa Arab. Bukunya ini oleh Martin digunakan untuk mengetahui tulisan yang lebih awal, yaitu pada abad ke-1, 2, 3, 4, dan 5 Hijriyah. Namun Martin menekankan, bahwa informasi dari buku ini tidak begitu penting baginya. Sebab dia hanyalah seorang antropolog sekaligus sosiolog yang ingin memahami kitab kuning tidak dari segi pandangan seorang kyai atau pandangan seorang ahli sastra atau ahli akidah, tetapi melihat sejauh mana kitab kuning yang ada itu mencerminkan kehidupan masyarakat Indonesia. Misalnya kitab “I’ânah al-Thâlibîn” karya al-Malibari, yang di dalamnya terkandung beberapa hal yang bukan dari Arab, tetapi dari India. Tetapi ada satu kumpulan fatwa dari Syaikh Muda Wali, seorang ulama besar di Aceh, yang banyak mengutip al-Malibari. Di sini Martin melihat, bahwa memang ada kesesuaian antara isi kitab “I’ânah al-Thâlibîn” dengan adat istiadat di Aceh. Dan ini membawa indikasi bahwa antara fikih dan adat bisa ada kesesuaian; satu kitab fikih bisa lebih sesuai dengan suatu adat daripada kitab yang lain. Artinya, menurut pengamatan Martin, fikih itu tidak semua sama dari sono-nya, tetapi juga mengikuti perkembangan, mengikuti tradisi-budaya masyarakat. Dan ini tidak aneh kalau fikih dilihat sebagai sumber pemahaman, karena makna fikih adalah pemahaman dan pengertian; kita memahami budaya kita sendiri.

Pandangan Martin yang demikian itu tidak bisa dilepaskan dari pandangan Ilmuwan ternama dari Pakistan, Muhammad Khalid Mas’ud, seorang ilmuwan besar yang melakukan penelitian bertajuk “The Social Production of Syari’ah”, atau “Produksi Sosial Syariat”. Ia mengatakan bahwa syariat, dan terutama pemahaman syariat (fikih), adalah suatu produk sosial—syariat dibentuk oleh masyarakat. Artinya, syariat itu bukanlah suatu produk ilahiyah yang turun dari langit, tetapi merupakan hasil dari proses masyarakat dalam menerapkan wahyu ilahi. Jadi, di sana ada interaksi antara al-Qur`an dan hadits yang diproses dalam kitab fikih yang mencerminkan kondisi-kondisi masyarakat. Ini tentu saja membuat kitab fikih menjadi menarik bagi Martin; bahwa kitab fikih itu adalah kitab yang ditulis pada masa tertentu, oleh orang tertentu, yang hidup di dalam masyarakat tertentu, yang punya persoalan tertentu, dan itu barangkali mempengaruhi sedikit hal-hal mana yang sangat ditekankan. Ambil contoh misalnya masalah “Thahârah” (bersuci). Dalam hal ini, antara satu daerah dengan daerah lainnya, sebetulnya tidak terjadi banyak perbedaan. Katakalah walaupun mungkin di suatu daerah persediaan airnya sedikit, tetapi toh para mufti di sana akan menekankan aspek yang lain di dalam “thahârah”. Demikian juga, lebih-lebih, dalam masalah mu’amalah. Karena yang paling kontekstual adalah fikih mu’amalah sebab terkait langsung dengan kehidupan sehari-hari. Tetapi sayangnya—berdasarkan koleksi Martin tahun 80-an tentunya—, kitab-kitab fikih yang ada di Indonesia hampir-hampir tidak ada fikih mu’amalahnya, yang banyak justru fikih ubudiyah. Namun belakangan, menurut Martin, sudah terjadi perkembangan, bahwa pesantren mulai mengkaji fikih mu’amalah. Tetapi ada keluhan lain dari koleksinya di LIPI, bahwa di pesantren tidak ada fikih siyasah. Padahal siyasah (politik) adalah bagian dari tradisi Islam. Apakah karena pesantren tidak mau berpolitik? Kenapa karya-karya al-Mawardi, misalnya, kurang atau bahkan sama sekali tidak diajarkan di pesantren? Ini adalah pertanyaan yang wajar dan layak diajukan. Sebab para kiyai, khususnya belakangan ini, diketahui punya naluri politik yang sangat luar biasa tinggi. Tetapi kenapa politik yang memang merupakan bagian dari tradisi Islam itu tidak diajarkan?

 
posted by Roland Gunawan at 9:08 AM | Permalink |


1 Comments:


At 8:48 PM, Blogger silvia

mas, dimana saya bisa mendapatkan buku ini?
mohon pencerahannya, terima kasih

 



"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"