Dr. Amina Wadud, siapa yang mengenalnya? Sedikit sekali dari kita yang tahu akan keberadaannya di dunia ini, bahkan mungkin bisa dihitung dengan jari. Hanya orang-orang yang bergelut dalam dunia pemikiran sajalah yang dipastikan dapat mengenalnya lebih jauh. Akan tetapi siapa sangka, siapa kira, siapa duga, beberapa minggu yang lalu, Aminah Wadud yang jarang dikenal banyak orang ini, seorang wanita yang memiliki fisik lemah nan lembut, tampil sebagai tokoh kontroversial di atas panggung sejarah, tampil sebagai imam sekaligus khatib shalat jum`at yang berlangsung di Synod House, gereja Katedral St. John milik keuskupan di Manhattan, New York, Amerika Serikat. Gebrakan revolusioner yang dilakukannya ini, oleh banyak kalangan, tidak hanya dianggap sebagai kunci pembuka kembali pintu gerbang perdebatan fikih tentang kepemimpinan perempuan dalam salat disertai makmum laki-laki yang akhir-akhir ini tertutup dikarenakan telah sampai pada titik kelesuannya, tapi lebih dari itu, juga menuai banyak kecaman, bahkan, ini yang sangat memprihatinkan, yaitu ancaman mati.
Aminah Wadud adalah seorang warganegara Amerika Serikat keturunan Afrika. Ia adalah gurubesar sejarah Islam di Virginia Commonwealth University. Sebenarnya, nama Aminah Wadud bukan hanya muncul baru-baru ini, tapi sebelum-sebelumnya juga sudah pernah mengisi 'kursi kosong' kelas para pemikir. Namanya mencuat setelah bukunya yang berjudul Woman in the Qur'an (Wanita di dalam al-Qur'an) menjadi best seller di Amerika. Banyak hal yang dibahas Aminah dalam buku tersebut, di antaranya adalah tentang posisi wanita dalam Islam, termasuk bolehnya seorang wanita menjadi imam shalat bagi kaum laki-laki. Untuk mendukung pendapatnya, Aminah Wadud dengan segenap kemampuan yang dimilikinya melakukan upaya-upaya interpretatif, yaitu mengolah ayat-ayat al-Qur'an sedemikian rupa dengan kemasan-kemasan yang lebih progresif sebagai justifikasi terhadap gagasan kontroversialnya.
Apapun yang dilakukannya, Aminah Wadud dapat dikatakan sebagai seorang wanita 'tangguh' dalam berpendirian, berani melawan arus yang berusaha menyeretnya ke sebuah muara yang bertentangan dengan kehendaknya sebagai seorang wanita yang mempunyai martabat sama dengan laki-laki. Dikatakan 'tangguh' dan 'berani', ini bukan hanya isapan jempol belaka. Terbukti, selama empat belas abad sejak lahirnya Islam, dari seluruh wanita Muslimah yang ada di seluruh Negara di Dunia, dari zaman ke zaman, tidak pandang bulu aliran fikih, teologi, bahkan keyakinan, untuk pertama kalinya baru Aminah Wadud, seorang wanita, yang menjadi Imam sekaligus khatib shalat Jum'at. Amina Wadud —meminjam bahasanya KH Husein Muhammad— sudah berani melakukan perlawanan simbolik terhadap tradisi yang sudah mapan dalam konstruksi hukum Islam. Baginya, dalam masalah apapun yang menyangkut agama, tidak ada perpedaan antara laki-laki dan wanita, baik hak, tugas maupun kewajibannya, yang membedakan hanyalah ketakwaan pada Tuhan. Dia sadar bahwa selama ini, kaum wanita pada umumnya, dalam hal kepribadian, bukan lagi manusia suci bentukan Tuhan melalui ayat-ayat-Nya, akan tetapi lebih merupakan bentukan tradisi sosial yang menjadi warisan turun-temurun. Baginya, agama bukan merupakan ikatan pembelenggu, Tuhan Yang Maha Kasih senantiasa memberikan peluang-peluang kebebasan bagi manusia guna mempertahankan wujudnya sebagai makhluk yang berfikir. Hanya tradisilah yang memberikan ikatan-ikatan. Perjuangan Nabi Muhammad dalam membebaskan kaum wanita masih belum final. Dari itu, estafeta perjuangan beliau harus dilanjutkan untuk mencapai titik paripurna, sehingga nantinya tidak ada lagi aksi-aksi diskriminatif dan subordinatif terhadap kaum wanita.
Aminah Wadud adalah seorang wanita yang benar-benar gigih dalam mempertahankan ide-ide yang dianggapnya sebagai sebuah kebenaran. Dia tidak ingin gagasan-gagasan segarnya hanya menjadi wacana yang ditarik ke sana ke mari, atau hanya sekedar wacana kosong dan tidak ada gunanya, yang setelah bosan nanti, dicampakkan begitu saja ke 'tempat sampah'. Dia tidak ingin hanya menjadi orang yang pandai ngomong saja seperti kebanyakan tokoh lainnya. Untuk membuat orang percaya pada pemikirannya, tidak cukup hanya dengan mempresentasikan bukti argumentatif, tapi harus dibuktikan dengan perbuatan. Di sinilah sesungguhnya tantangan berat seorang pemikir. Makanya harus ada sebuah keberanian sebagai konsekuensi logis dari pemikiran progresif.
Karena merasa tertantang, maka harus berani berbuat, tentunya bukan berbuat dengan membabi buta tanpa dasar dan pertimbangan yang kuat. Berangkat dari hal itu serta tanggung jawab sebagai seorang intelektual pengobar feminisme, Aminah Wadud kemudian melangkah dengan penuh kepastian menjadi imam shalat Jum’at. Lebih 100 jama’ah pria dan wanita yang nampaknya menaruh simpati padanya dengan suka rela menjadi makmumnya tanpa ada tirai atau hijab yang memisahkan mereka sebagaimana biasanya. Semuanya lebur dalam kesatuan menghadap Tuhan.
Aminah Wadud bukannya tidak tahu dan tidak menyadari bahwa apa yang dilakukannya itu akan menuai banyak kecaman dan ancaman. Dia tidak peduli apa kata orang-orang disekelilingnya, yang penting adalah bahwa sebuah kebenaran harus diejawantahkan. Sebelum kejadian itupun, Muhamamd Syamsi Ali, wakil Direktur Pusat Kebudayaan Islam di New York, secara tegas menyatakan ketidak setujuannya. Tidak ketinggalan pula Majma' al-Fiqhi al-Islami (MFI), rujukan tertinggi dalam masalah hukum Fiqih Islam di dunia, mengecam keras aksi nyeleneh tersebut. Kemudian diikuti oleh sederet ulama besar lainnya seperti, Dr. Yusuf Al-Qardhawi dan Dr. Sayyid Tantawi dan sederet tokoh wanita yang juga menolak shalat Jum’at versi Aminah Wadud. Di samping itu, ada juga sebagian orang yang tergabung dalam kelompok Islam militan melakukan unjuk rasa mengecam keras tindakan Aminah Wadud yang teramat berani menjadi imam shalat Jum’at di di Synod House di Gereja Besar Episcopal St John di Manhattan. Bahkan ada sebagian yang menganggapnya sebagai ‘wanita gila' dan 'tidak waras'. Malah ada semacam kecurigaan dari beberapa pemuka Islam bahwa apa yang dilakukan Aminah Wadud merupakan konspirasi yang dilakukan AS untuk mengubah Islam tradisional menjadi agama yang sekular. Sebab persamaan hak antara lelaki dan perempuan bukanlah perjuangan yang dituntut oleh para Nabi maupun pejuang-pejuang wanita Islam yang lalu, akan tetapi merupakan produk feminisme Barat yang kecewa akibat wanita tidak diberi porsi memuaskan.
Melihat kritikan dan kecaman yang sudah mengalir dengan sangat derasnya dari berbagai kalangan yang ada, paling tidak ada tiga batasan yang telah berani dilanggar Aminah Wadud. Pertama, ia adalah seorang wanita. Kedua, ia melakukan shalat Jum`at di Gereja. Ketiga, ia membolehkan dan membiarkan jamaah wanita dan pria yang berdiri sejajar dan berdampingan atau ber-ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan wanita)
Berbagai alasan dikemukakan untuk menguatkan penolakan terhadap pelanggaran yang dilakukan Aminah Wadud berkenaan dengan hal-hal di atas. Namun dari sekian alasan yang diajukan, ada satu yang terlihat ganjil, yaitu alasan tidak dibolehkannya ikhtilath antara laki-laki dan wanita dalam shalat, bahwa tubuh wanita bisa membangkitkan hawa nafsu bagi laki-laki. Padahal shalat merupakan ibadah yang menuntut adanya kekhusyukan hati, ketenangan jiwa dan konsentrasi dalam bermunajat kepada Tuhan. Oleh sebab itu, wanita seharusnya tidak menjadi imam dalam jamaah yang ada kaum lelakinya. Alasan seperti ini bisa dianggap sebagai penghinaan terhadap kaum laki-laki. Betapa tidak? Sebab di sini laki-lakilah yang dipojokkan, laki-laki digambarkan seolah-olah memiliki nafsu birahi yang melampaui batas, sehingga dalam keadaan shalat pun kadang-kadang bisa kumat. Padahal dalam al-Qur`an, Tuhan menegaskan bahwa, baik laki-laki dan wanita, semuanya diciptakan dari satu jiwa. Jika ini dijadikan patokan, maka tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita, keduanya memiliki nafsu yang sama. Oleh karenanya, alasan bahwa tubuh wanita dalam shalat berjama`ah dapat merangsang 'nafsu seks' laki-laki, terkesan terlalu mengada-ada yang sengaja dibuat oleh orang-orang yang takut kedudukan yang selama ini berada ditangannya dirampas oleh kaum wanita. Apa lagi memang, tidak ada satu hadis pun dari Rasulullah yang secara tegas menyatakan larangan ikhtilath antara laki-laki dan wanita.
Dari itu, apresiasi yang setinggi-tingginya kita haturkan kepada Dr. Aminah Wadud sebagai pejuang emansipasi wanita pada Tahun ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa menerima amal perbuatannya di akhirat kelak. Amien…….