**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Monday, September 04, 2006
Hasil Wawancara IKBAL Averroes Comunity (IAC) dengan Gamal al-Banna (GB)

Ini adalah hasil wawancara IAC dengan Gamal al-Banna, seorang pemikir Mesir, tentang "Penerapan Syari`at Islam" yang sudah saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Selamat membaca!



“...Saudi Arabia itu bukan negara Islam...buang saja ke ‘tong sampah’.”



IAC: Sebenarnya apa makna syari`ah menurut perspektif al-Qur’an dan hadis?

GB: Syari`ah Islam hakikatnya adalah keadilan (al-`adl), ini persis seperti perkataan Ibnu al-Qayyim al-Jauzi. Artinya bahwa ketika keadilan itu tegak, itulah syari`at yang sebenarnya. Sesuatu yang bertentangan dengan keadilan harus dibuang jauh-jauh. Bila kita ingin berbicara tentang syari`at, kita harus berbicara tentang keadilan.

IAC: Saat kita lihat banyak dari kaum Muslimin yang ingin menerapkan syari`at Islam. Mungkin Anda bisa berbicara sedikit tentang penerapan syari`at Islam di masa Rasulullah dan para al-Khulafâ’ al-Râsyidîn?

GB: Apa yang kita inginkan sebenarnya, apakah kita ingin menerapkan syari`at, kalau demikian berarti kita harus menerapkan keadilan. Kalau kita menerapkan keadilan berarti tidak boleh ada orang kaya yang berduit milyaran sementara di sampingnya banyak sekali orang yang tidak makan berhari-hari. Tidak boleh ada ada seorang pemimpin yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Ini jelas-jelas bukan Islam sebab bertentangan dengan keadilan. Sama juga dengan seorang suami yang memperbudak istrinya, ini bukan Islam. Jika dalam masyarakat tidak ada orang kaya yang pelit, pemimpin yang diktator, atau suami yang kejam terhadap istrinya, berarti syari`at sudah tegak. Syari`at jangan dimaknai dengan al-hudûd seperti potong tangan bagi pencuri, hukuman cambuk bagi para pelaku zina. Ini adalah pemaknaan yang sama sekali tak berdasar.

Kalau di zaman Nabi kita tidak usah ragu lagi. Nabi itu kan utusan Allah. Penerapan syari`at ketika itu sebagai sampel, ya...pasti adil. Yang saya lihat memang demikian. Nabi sendiri pernah bilang: “Paling baiknya zaman adalah zamanku, kemudian setelahnya, kemudian setelahnya.”

Saya kira dengan melihat hadis ini saja, kita bisa membayangkan bagaimana penerapan syari`at di masa beliau. Pernah suatu hari, ketika itu bulan puasa, ada seseorang yang mengadu kepada Rasulullah Saw. karena ia melakukan hubungan seksual di siang hari. Rasulullah bertanya: “Apakah kamu mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut? Orang itu menjawab: “tidak!” Rasulullah lalu berujar: “Ya sudah, kamu cari beberapa orang miskin, beri mereka makan.” Orang itu menjawab: “Ya Rasulullah, saya tidak punya apa-apa.” Tentu saja Rasulullah terkejut, kok berani-beraninya orang ini melakukan kontak seksual ketika sedang berpuasa. Tanpa bicara beliau bergegas memasuki rumah dan mengambil semangkok kurma lalu diberikan kepada orang tersebut. “Nih, kasih kepada beberapa orang miskin.” Orang itu berkata: “Ya, Rasulullah, di sini tidak ada orang yang lebih miskin dari saya.” Mendengar ini Rasulullah tertawa, lalu berkata: “Kalau begitu berikan ini kepada keluargamu.”

Coba Anda lihat, betapa adilnya Rasulullah. Tapi sayang sekali, yang kita teladani bukan hal seperti itu, yang kita teladani hanyalah potong tangan, membunuh, mencambuk.

Demikian juga pada masa al-Khulafâ’ al-Râsyidîn. Misalnya Umar bin Khatthab yang telah kita kenal kepribadiannya. Banyak orang menyebutnya al-mustabidd al-`âdil (diktator yang adil). Tapi saya tidak setuju dengan ini, sebab bagaimana mungkin seorang diktator akan berlaku adil. Seumur-umur saya belum pernah menemukan.

IAC: Jika keadilan adalah makna syari`at yang sebenarnya, apa dasar keadilan itu sendiri?

GB: Keadilan adalah ruh-nya Islam, bukan sebatas syari`at. Setiap agama memiliki simbol (ramz), sebagaimana manusia yang memiliki tanda (bashmah). Simbol agama Yahudi adalah al-Tawhîd, Kristen adalah al-Mahabbah, Islam adalah keadilan. Karena Islam adalah agama paripurna (risâlah kâmilah) yang mencakup sisi-sisi akidah serta sisi-sisi lain, yaitu syari`at yang berkaitan erat dengan masalah duniawi. Dengan demikian, keadilan adalah keutamaan di atas keutamaan (fadhîlah al-fadhâ’il) sebagaimana dikatakan banyak ahli hikmah sekaligus sebagai ruh-nya Islam.

IAC: Kami pernah membaca beberapa buku karya Dr. Muhammad Said al-Asymawi. Di dalam setiap bukunya dia menekankan bahwa penerapan syari`at berarti penerapan manhaj, al-tharîq dan al-sabîl (metode), bukan penerapan hukum-hukum buatan para ahli fikih, bagaimana menurut hemat Anda?

GB: Secara mendasar kita memang menolak seluruh pemikiran para ahli fikih. Sekarang kita sudah melampaui masa para ahli fikih, termasuk di dalamnya Imam empat mazhab, Ibnu Taimiyah dan yang lainnya. Mereka semua manusia, bukan malaikat atau para nabi yang ma`shûm (terjaga dari kesalahan). Dan sebagai manusia mereka memiliki banyak kekurangan, mereka berpotensi untuk berbuat banyak sekali kesalahan, di samping itu mereka hidup di tengah-tengah masyarakat kuno, yang tentu saja kebutuhannya tidak sama dengan kebutuhan masyarakat kita saat ini. Jadi apa yang mengharuskan kita untuk mengikuti hukum-hukum yang mereka buat, sementara kita selalu mengucapkan: “Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasul-Nya?” Inilah sebenarnya, menurut saya, yang menyebabkan kemunduran umat Islam, mereka hanya mengikuti kata-kata para ahli fikih, tapi sama sekali tidak memperdulikan nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw.

IAC: Banyak kaum Muslimin yang menganggap bahwa penerapan syari`at merupakan solusi alternatif guna menyelesaikan seluruh masalah yang menimpa mereka saat ini, apa pendapat Anda dalam hal ini?

GB: Bagi saya yang menjadi problem umat Islam sekarang adalah ketika menganggap bahwa syari`at adalah al-hudûd, mereka tidak bisa membedakan antara syari`at dan al-hudûd. Coba apa makna al-hudûd, saya tidak menemukan selain hukum potong tangan (hadd al-sariqah) saja. Inilah hukuman yang paling orisinil dalam Islam. Itupun harus ditafsirkan secara benar agar tidak salah menerapkannya. Lebih baik memberikan maaf bagi pelaku keburukan, daripada salah memberikan hukuman bagi orang tak berdosa.

Sebenarnya banyak hukuman dalam Islam, seperti hukuman rajam bagi pezina, tapi kita tidak mengambil ini. Karena zina merupakan perbuatan yang tertutup (jarîmah mughlaqah), sehingga tidak perlu dicari-cari. Kalau kita mencari orang berzina, berarti kita harus memata-matai (tajassus), dan mematai-matai kejahatan orang lain tidak dibolehkan dalam agama. Dengan kata lain, rajam bagi pezina tidak termasuk hadd utama dalam agama. Ada juga hukum Qishâsh. Hukum Qishâsh sebenarnya berasal dari syari`at agama Yahudi. Islam yang datang setelahnya terbuka untuk menerima beberapa aspek dari agama-agama sebelumnya. Contoh Qishâsh seperti hukuman bagi orang yang membunuh secara sengaja. “Barang siapa yang membunuh secara sengaja, ia harus dibunuh.”

Yang jelas, hukuman paling orisinil dalam Islam, seperti yang saya katakan, adalah hukuman potong tangan bagi pencuri. Saya ada buku baru (sangat disayangkan buku apa yang dimaksud oleh Gamal) yang menyajikan beberapa upaya-upaya (ijtihâdât) para ulama, lama dan baru, dalam menentukan kapan hukuman potong tangan harus diterapkan. Dalam sejarah al-Khulafâ’ al-Râsyidîn kita melihat bagaimana seorang Umar bin al-Khatthab yang tidak memberlakukan hukuman potong tangan ketika masa paceklik.

Sekarang kita perlu bertanya, mungkinkah menerapkan syari`at? Syari`at yang bagaimana yang harus diterapkan? Kalau kita memaknai syari`at adalah hukum Islam (al-qânûn al-islâmî), apa sih hukum Islam itu? Adakah hukum Islam itu seperti yang ada dalam empat mazhab itu?

Ketika negara Utsmaniyah menerapkan hukum Islam, yang mereka terapkan tak lain adalah hukum-hukum hasil rumusan mazhab Hanafiyah. Sedangkan negara yang lain mempunyai mazhab yang berbeda. Di sini, kita tidak bisa menyalahkan negara ini atau itu. Sebab setiap mazhab memiliki dasarnya sendiri-sendiri. Pertanyaannya, apakah hukum-hukum rumusan setiap mazhab itu sudah mewakili Islam?

Selanjutnya, seperti disebutkan tadi, banyak orang saat ini yang ingin menerapkan syari`at sebagai hukum konstitusi negara, saya kira hampir seluruh kaum Muslimin menginginkannya. Jika ini yang mereka inginkan, syari`at akan kehilangan ciri keimanannya (al-thâbi` al-imanî) yang merupakan ciri khas syari`ah yang jauh sekali dari hukum-hukum negara.

Di masa Nabi syari`at betul-betul diterapkan secara adil. Dan kita tidak menemukannya di masa-masa setelahnya, atau bahkan sebelumnya. Kita lihat misalnya ada orang yang melakukan kejahatan dengan deraian air mata datang sendiri kepada seorang hakim untuk dihukum, sedangkan sang Hakim berusaha bagaimana agar si terdakwa tidak mengakuinya. Sang Hakim berkata: “Apakah kamu mencuri?, Katakan tidak!” Begitu seterusnya hingga tiga kali. Inilah yang terjadi di masa Rasulullah Saw. Tidak pernah terjadi pada masa-masa setelahnya. Jadi syari`at bukanlah milik para algojo seperti yang banyak terjadi di negara-negara yang dianggap sebagai Islami.

IAC: Apakah penerapan syari`at berarti harus mendirikan negara Islam, dengan asumsi bahwa pada masa Rasulullah Saw., hukum-hukum syari`at diterapkan dalam sebuah negara, apakah ini benar? Padahal pengertian negara saat ini berbeda dengan pengertian negara di masa Rasulullah.

GB: Tidak! Itu sama sekali tidak benar. Tidak ada negara Islam atau negara yang tidak Islam. Yang ada hanya negara yang menerapkan nilai-nilai Islam, di mana yang paling mendasar, seperti yang saya katakan tadi, adalah keadilan. Dan fakta yang ada di hadapan kita saat ini adalah, bahwa semua negara menginginkan keadilan. Jika ada negara yang tidak menegakkan keadilan, walaupun negara yang dianggap negara Islam sekalipun, berarti tidak menerapkan syari`at. Biasanya negara seperti ini menganggap penerapan syari`at adalah penerapan al-hudûd. Sehingga yang terjadi kemudian adalah syari`at menjadi sangat kejam, padahal tujuan syari`at adalah keadilan, rahmat dan kesejahteraan bagi umat manusia, bukan untuk menakut-nakuti manusia karena berbuat kesalahan. Penerapan syari`at semacam ini bertentangan dengan fitrah manusia yang berpotensi untuk berbuat salah. Masa manusia tidak boleh salah sama sekali, namanya saja manusia, pasti bersalah.

Bagi saya, syari`at bisa dirubah (diperbaiki), sebab ia bukan akidah. Akidah tidak bisa dirubah. Beriman kepada Allah, para Malaikat, para Rasul, Kitab, hari Akhir, ini semua adalah akidah. Adapun syari`at merupakan sistem-sistem sosial (al-nuzhûm al-ijtimâ`iyyah) yang sewaktu-waktu bisa kita rubah kalau diperlukan. Dan hukum-hukumnya pun ketika diturunkan itu berkaitan dengan masyarakat, perkembangan, dengan keadaan-keadaan yang terus berubah. Saya lihat banyak sekali hukum-hukum syari`at yang perlu dirubah karena sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang. Misalkan hukum-hukum perbudakan, ini perlu dibuang, meskipun tertulis di dalam al-Qur’an dan hadis. Saat ini mana kita lihat ada perbudakan seperti yang terjadi pada zaman Jahiliyah, di mana budak diperjual-belikan seenaknya. Atau mungkin juga hukum-hukum tentang barang rampasan (al-ghanîmah), ini hanya berlaku di masa lalu.

Maka, ketika syari`at dimaksudkan untuk menegakkan keadilan, maka hukum-hukumnya pun yang tidak lagi sesuai dengan keadilan harus diganti, harus dirubah, tidak ada tawar-menawar. Dalam hal ini yang harus kita kedepankan adalah ruh syari`at (keadilan), bukan teks-teksnya (hukum-hukum fikih).

IAC: Dari perbincangan kita sekarang, dapat disimpulkan bahwa syari`at bertujuan mewujudkan maslahat dan keadilan. Jika hukum-hukum positif dalam sebuah negara sudah cukup untuk kemaslahatan dan keadilan, apakah kita masih perlu menerapkan syari`at Islam?

GB: Kita hanya menginginkan tegaknya keadilan, sebab hanya inilah panji Islam secara keseluruhan, akidat-an wa syari`at-an. Allah sendiri yang telah menciptakan jagad raya ini sama sekali tidak pernah berbuat dhalim kepada manusia, Dia telah mewajibkan rahmat bagi diri-Nya. Maka, tidak dibenarkan jika ada seorang hakim syari`at menghakimi seenaknya.

Menyangkut pertanyaan Anda tadi, saya jawab, yang kita butuhkan adalah keadilan, bukan syari`at. Syari`at hanyalah wasilah demi terwujudnya keadilan, itu saja.

IAC: Kalau kita sepakat bahwa syari`at adalah keadilan, lalu bagaimana sikap kita terhadap kaum Muslimin yang menganggap bahwa penerapan syari`at berarti mendirikan pemerintahan Islam dan penerapan hukum-hukum?

GB: Itu adalah pemahaman yang sudah usang, bukan masanya lagi, kita harus menjauhinya.

IAC: Kami pernah membaca buku anda, Hal Yumkin Tathbîq al-Syarî`ah?, dalam buku ini Anda mengatakan bahwa di masa lalu telah ada upaya-upaya yang dilakukan oleh, seperti Umar bin Abdil Aziz, Abu Ja`far al-Manshur dll., di mana upaya-upaya mereka ini mengalami kegagalan, lalu bagaimana dengan penerapan syari`at di Iran, Saudi Arabia, serta negara-negara yang dianggap Islam?

GB: Umar bin Abdil Aziz ingin mengumpulkan hadis-hadis dan beberapa ayat dari al-Qur’an untuk dijadikan sebagai undang-undang negara (qânûn al-dawlah), Abu Ja`far al-Manshur ingin menjadikan al-Muwaththa’ karangan Imam Malik sebagai syari`at, demikian juga di tempat-tempat lain yang ingin menerapkan syari`at, seperti kata saya tadi, berdasarkan mazhab masing-masing. Dan ternyata, upaya-upaya mereka itu gagal. Sebab ketika itu penerapan syari`at ditujukan untuk menjinakkan manusia. Seolah-olah manusia adalah makhluk yang liar, buas, beringas sehingga perlu untuk dijinakkan. Para ahli fakih ketika itu dipaksa oleh negara untuk mengeluarkan fatwa-fatwa yang sesuai dengan kehendak negara. Jadi ketika itu yang berhasil adalah penerapan kehendak negara dengan justifikasi dari para ahli fikih, tapi gagal menerapkan syari`at yang sesungguhnya, gagal menerapkan keadilan, karena sama sekali tidak menyentuh ruh syari`at.

Dalam sebuah negara memang memerlukan penerapan sistem dan hukum yang kuat agar masyarakat hidup teratur. Yang terjadi pada masa-masa dinasti Islam adalah mengambil jalan pintas, artinya satu-satunya cara yang paling mudah adalah menerapkan hukum berdasarkan mazhab tertentu. Misalnya, dinasti Utsmaniyah yang menerapkan hukumnya berdasarkan mazhab Hanafiyah. Sama halnya dengan Iran yang bermazhab Syi`ah, sudah barang tentu format syari`at tidak keluar dari itu. Juga Saudi Arabia yang kita tahu dikuasai oleh mazhab Wahabi. Ini adalah problem dalam penerapan syari`at. Dalam negara-negara seperti Iran dan Saudi Arabia, cara-cara seperti itu relatif berhasil, karena masyarakatnya homogen. Tapi untuk negara-negara seperti Mesir, Indonesia, yang masyakatnya sangat heterogen, mustahil akan berhasil.

IAC: Kita lihat syari`at banyak, katakanlah syari`at Nabi Musa adalah al-haqq, Nabi Isa adalah al-Mahabbah, sedangkan Nabi Muhammad adalah al-`adl dan al-Rahmah. Ini seperti yang ditulis al-Asymawi, bagaimana menurut Anda?

GB: Bagi saya tidak seperti itu. Al-Rahmah adalah syari`at-nya Kristen, al-Tawhîd adalah syari`atnya Yahudi, tawhîd al-jins al-mukhtâr. Syari`at Islam adalah keadilan.

IAC: Apa pandangan Anda tentang Maqâshid al-Syarî`ah? Dan apa signifikansinya dalam menerapkan hukum-hukum Islam?

GB: Sederhana saja, Maqâshid al-Syarî`ah itu ditujukan untuk mengungkap hikmah dalam agama, yang tak lain adalah keadilan. Menjaga agama, harta, keturunan, akal, kehormatan. Menjaga akal tidak harus dengan menghindari minum khamr, menjaga kehormatan tidak harus dengan pernikahan seperti yang terjadi di masa lalu. Itu sudah lewat masanya. Tidak mungkin untuk diterapkan sekarang.

Jadi syari`ah adalah upaya sederhana untuk menyingkap hikmah. Yang lebih penting lagi, hikmah adalah keadilan.

IAC: Apa pendapat Anda tentang negara Saudi Arabia yang mengklaim dirinya sebagai negara Islam? Apakah negara-negara seperti Indonesia atau Malaysia bukan termasuk negara Islam?

GB: Saya mohon, tolong jauhkan, sekali lagi jauhkan kata “Islam” dari Saudi Arabia. Sudah saya katakan Saudi Arabia itu bukan negara Islam. Buang jauh-jauh negara Saudi Arabia dari wilayah Islam, buang saja ke “tong sampah”. Saudi Arabia baru bisa cocok kalau disebut sebagai negara Wahabi. Lihat saja bagaimana fanatiknya mereka terhadap Abdul Wahab, sama sekali tidak toleran terhadap perbedaan. Bahkan, hemat saya, Indonesia dan Malaysia malah justru jauh lebih Islam daripada Saudi Arabia. Sebab di sana perbedaan masih dihormati. Kita lihat dalam Islam ada ajaran yang mengatakan, “perbedaan adalah rahmat.” Di Saudi Arabia tidak seperti itu, kalau orang berfikir agak sedikit berbeda, langsung dituduh berbuat bid`ah.

IAC: Tapi bagaimana Anda melihat Saudi Arabia yang hingga saat ini banyak memberikan sumbangan kepada yayasan-yayasan Islam?

GB: Bagi saya itu positif-positif saja. Tapi Saudi Arabia itunya saja yang positif, sedangkan yang lainnya brengsek! Mereka banyak memberikan sumbangan kan hanya agar paham Wahabi mereka diterima banyak orang. Paham-paham yang mereka sebarkan justru membuat umat Islam semakin terperosok jauh ke jurang taqlîd, sehingga mereka mengalami kemunduran yang sulit disembuhkan, mereka tidak punya semangat untuk maju. Apa artinya memberi banyak sumbangan tapi malah membawa konsekuensi negatif, membuat orang tidak mau berusaha untuk maju?

IAC: Apakah mungkin kita menyebut negara-negara Eropa yang mampu menegakkan spirit keislaman (rûh al-islâm) seperti keadilan, kebebasan, persamaan dan demokrasi, sebagai negara Islam?

GB: Itu persis seperti pandangan Mohammad Abduh. Islam tanpa kaum Muslimin, kaum Muslimin tanpa Islam. Artinya bahwa syari`at Islam diterapkan di negara-negara yang menjunjung tinggi bendera Salib, tapi tidak diterapkan di negara-negara yang mengibarkan bendera Lâ Ilâha Illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh.

Saya menganggap bahwa negara-negara Eropa adalah Islam, walaupun tanpa kaum Muslimin. Sebaliknya, negara-negara seperti Saudi Arabia dan Iran itu bukan Islam, walaupun di sana dihuni oleh kaum Muslimin.

IAC: Lalu bagaimana dengan ayat al-Qur’an yang berbunyi: “Wa man lam yahkum bimâ anzal Allâh, fa’ulâ’ika hum al-kâfirûn, al-fâsiqûn”?

GB: Saya ingin tanya: “Apa gerangan yang diturunkan Allah sebenarnya? Bukankah Allah menurunkan entry kebenaran? Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa kebenaran yang dimaksud adalah keadilan, tidak ada maksud lain. Kebenaran adalah keadilan semata (baca: murni). Keadilan adalah kebenaran yang harus diterapkan. Kalau ada yang tidak setuju dengan pendapat saya, saya tanya: “Lalu apa makna kebenaran dalam al-Qur’an?”

IAC: Apakah kehendak kaum radikal untuk menerapkan hukum-hukum syari`at disebabkan oleh kesalahan mereka memahami arti syari`at yang sesungguhnya?

GB: Sekali lagi saya katakan, kalau syari`at hanya dipahami sebagai al-hudûd, ini salah besar. Saudi Arabia misalnya, kalau tidak karena kepentingannya sendiri atau sistem pemerintahannya yang sudah kadung terikat dengan paham Wahabi, tidak akan menerapkan apa yang disebut-sebut sebagai syari`at Islam itu. Lagi pula, al-hudûd yang dimaksud itu yang mana? Apakah kita akan menerapkan hukuman cambuk bagi pezina? Saya katakan pada anda, sebagaimana kata saya di atas, zina adalah perbuatan tertutup (jarîmah mughlaqah), terjadi di balik tembok. Tidak ada orang yang berbuat zina langsung terang-terangan di depan umum, lalu si pelaku mengakuinya, “Eh, nih saya berzina!” Tidak ada.

IAC: Apakah Anda mempunyai optimisme akan perkembangan kaum Muslimin dengan keberpegangan mereka terhadap syari`at berdasar pemahaman baru?

GB: Saya memang punya harapan, tapi harapan jangka panjang, bukan harapan jangka pendek. Sebab sangat sulit merubah generasi yang telah teracuni oleh taqlid selama ribuan tahun. Mereka sangat sulit mengaktifkan nalarnya agar mampu menciptakan sesuatu yang baru. Betapapun usaha dilakukan, keberhasilan akan susah diraih untuk saat ini. Kita membutuhkan lima puluh tahunan lebih untuk membuat umat Islam menggapai kesadarannya kembali secara utuh. Saya lihat upaya-upaya para pemikir Muslim saat ini sudah bagus, tapi nyatanya umat Islam belum sadar-sadar juga. Makanya optimisme saya hanya untuk harapan jangka panjang.

Mengenai pemahaman baru terhadap syari`at, saya juga telah menulis beberapa buku, seperti Nahw Fiqh Jadîd, Hal Yumkin Tathbîq al-Syarî`ah? dan lain-lain. Dalam buku-buku tersebut, secara panjang lebar saya membahas apa makna syari`ah yang sebenarnya. Dan dasar yang saya gunakan bukan hanya nalar semata, saya langsung merujuk kepada al-Qur’an dan hadis.

Namun sayang sekali saya tidak punya waktu banyak. Makanya saya berharap kepada kalian sebagai generasi muda masa depan untuk terus berjuang melakukan perubahan-perubahan berarti.

Saya tahu kalian adalah para mahasiswa al-Azhar. Tapi saya lihat, dengan datangnya kalian ke sini (maksudnya ke kantor GB), kalian mempunyai cita-cita dan semangat menggebu-gebu untuk melakukan perubahan. Sekarang kalian boleh terikat dengan al-Azhar yang seperti itu. Tapi begitu kalian lulus dan mendapat ijazah, kalian bebas. Harapan saya, kalian nanti harus mengajak umat Islam di Indonesia ke arah kebenaran yang hakiki, kepada keadilan, bukan kepada apa yang kalian pelajari di al-Azhar. [ErGe-IW-Qudsi-Zuhri]
 
posted by Roland Gunawan at 4:22 AM | Permalink |


0 Comments:





"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"