**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Saturday, June 10, 2006
Memahami Sekularisme
Pendahuluan
Wacana sekularisme memang merupakan wacana lama. Namun dalam perkembangan selanjutnya, bahkan sampai sekarangpun, banyak orang yang senantiasa masih tergerak untuk memberikan penilaian "kritis" serta memberikan interpretasi ulang terhadap gagasan pembaharuan tersebut.
Sebenarnya, perdebatan mengenai masalah sekularisme bukanlah soal yang sama sekali baru, setidak-tidaknya di dalam dunia Islam sendiri. Beberapa pemikir Islam terkemuka dari Dunia Arab seperti Thaha Hussein di Mesir, Malik Ben Nabi di Aljazair, Thahir al-Haddad di Tunisia, Hassan Saab di Libanon dan Fazlur Rahman di Pakistan juga mempunyai penafsiran yang beragam tentang sekularisme. Di antara mereka, ada yang terpaksa harus ‘hengkang’ dari tanah kelahirannya karena tetap kukuh mempertahankan pendapatnya, di tengah gencarnya serangan dan tekanan yang mengancam ketenangan dirinya. Hal ini terjadi misalnya pada Fazlur Rahman dan Muhammad Arkoun, dua pemikir Muslim terkemuka yang mempunyai reputasi Internasional. Persoalannya, perbedaan pendapat yang seharusnya merupakan diskursus intelektual yang sehat itu, seringkali diwarnai dengan tanggapan-tanggapan yang sifatnya terlalu personal. Sehingga terkadang bukan subtansi permasalahan yang kena ‘damprat’, tapi juga tak jarang menyentuh masalah-masalah yang terlampau bersifat pribadi dari tokoh yang mempunyai pendapat berbeda itu.

Pengertian Sekularisme
Bagi dunia Islam, istilah sekularisme nampaknya memang masih seperti ‘makhluk asing’ yang tidak pernah dikenal sebelumnya, juga mengandung konotasi yang sangat kontroversial. Dari itu kita perlu menelusuri sejauh mana konsep sekularisme bisa diterima atau bahkan ditolak dalam perspektif ilmu pengetahuan dan agama.Sebagian kaum muslimin beranggapan bahwa sekularisme bukan hanya sekedar pandangan tentang pemisahan antara agama dan negara, akan tetapi ia merupakan pandangan hidup yang mengajak untuk melepaskan nilai-nilai rohani, atau akhlak dari kehidupan manusia. Dengan demikian, sekularisme sangat bertentangan dengan ajaran agama dan nilai-nilai kemanusiaan secara umum. Dalam pandangan mereka, sekularisme hanya menyatukan manusia yang hidup dengan alam materi yang mati, serta menjadikan keduanya setingkat. Dan manusia sendiri berperan sebagai individu yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan materialnya secara tamak. Menurut pandangan mereka juga, sekularisme tidak ada bedanya dengan pandangan imprealisme Barat, bahkan sekularisme menjadi salah satu sarana untuk membelenggu dan memaksa kemanusiaan manusia (insaniyyatu al-insan). (Mahmud Amien Al-Alim, Al-Fikr Al-'Araby Baina Al-Khusushiyyah Wa Al-Kauniyyah, Darul Mustaqbal Al-'Araby, cet. ke 2, 1998, Hal, 10)
Mengingat posisi kita saat ini di dunia Arab, maka perlu kiranya saya kemukakan dalam tulisan ini pengertian sekularisme di dunia Arab. Secara garis besar, di dunia Arab, sekularisme dibagi menjadi dua pembacaan. Pertama, al-'almaniyyah (fathul 'ain) berasal dari kata ‘alam, yang mempunyai arti dunia. Kedua, al-'ilmaniyyah (kasrul 'ain) berasal dari kata ‘ilm, yang berarti ilmu.Sekularisme dengan pembacaan al-‘almaniyyah, pengertian semacam ini menurut Dr. Zaky Najib Mahmud muncul pada masa tertentu, yaitu di Eropa yang berkisar antara abad kelima sampai abad kelima belas M. Suatu masa di mana Eropa pada saat itu dikuasai oleh “rijalu al-din” yang berpandangan bahwa kehidupan yang ideal adalah kehidupan para pendeta atau rahib, zuhud terhadap dunia dan tidak menerimanya atau menolaknya. Maka kemudian “rijalu al-din” tersebut memisahkan antara kehidupan dunia dan agama (akhirat), antara bumi dan langit. (Dr. Muna Ahmad Abu Zaid, Al-Fikr Al-Diny 'Inda Zaky Najib Mahmud, Al-Muassasah Al-Jam'iyyah Li Al-Dirasat Wa Al-Nasyr Wa Al-Tauzi', Bairut, Hal 133)
Dr. Zaky Najib Mahmud menolak pemisahan semacam itu. Sebab seandainya keyakinan Kristen membolehkan untuk memisahkan antara bumi dan langit atau antara dunia dan agama, maka Islam tidak menyuruh kita untuk mengesampingkan (tidak peduli) alam, justru sebaliknya, kita disuruh berpesta di dunia, seolah-olah kita akan hidup selamanya. Kita juga disuruh berbuat untuk akhirat, seolah-olah kita akan mati besok. Dunia dalam pandangan Islam merupakan kesempatan yang diberikan untuk menguji kita, siapakah di antara kita yang paling baik perbuatannya (ayyuna ahsanu amala). (Dr. Muna Ahmad Abu Zaid, Al-Fikr Al-Diny 'Inda Zaky Najib Mahmud, Al-Muassasah Al-Jam'iyyah Li Al-Dirasat Wa Al-Nasyr Wa Al-Tauzi', Bairut, Hal 133)
Sementara sekularisme dengan pembacaan “al-‘ilmaniyyah” yang terkait dengan ‘ilm dan metode rasionalnya, berperan serta berfungsi sebagai pengontrol dalam permasalahan-permasalahan duniawi. Dengan pengertian semacam ini, maka ofensi terhadap pandangan sekularisme –dengan pembacaan "al-'ilmaniyyah" itu merupakan kesalahan besar. Sebab ofensi tersebut ditujukan kepada orang yang peduli terhadap ilmu. Seolah-olah mereka —yang melakukan ofensi— mengajak kita kepada kebodohan dan berpaling dari ilmu. (Dr. Muna Ahmad Abu Zaid, Al-Fikr Al-Diny 'Inda Zaky Najib Mahmud, Al-Muassasah Al-Jam'iyyah Li Al-Dirasat Wa Al-Nasyr Wa Al-Tauzi', Bairut, Hal, 134)
Pendapat demikian saya kira sangat benar, bahwa antara pengertian al-‘almaniyyah dan al-'ilmaniyyah, keduanya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab bagaimana mungkin kita akan membenci dunia, sementara dunia ini adalah panggung di mana kita melakukan aktivitas dan tempat kita membangun peradaban. Maka penolakan terhadap sekularisme (al-'almaniyyah) itu merupakan musibah, apalagi kalau sampai menolak sekularisme (al-'ilmaniyyah) itu lebih musibah lagi, sebab dengan begitu berarti menolak ilmu. Jadi apa yang membuat kita takut dengan sekularisme —baik itu al-'almaniyyah ataupun al-'ilmaniyyah.
Sekularisme (al-'almaniyyah) mengajak kita untuk memperhatikan dunia (peduli lingkungan) di mana kita hidup. Sementara sekularisme (al-'ilmaniyyah) mengajak kita untuk menuntut ilmu (thalabu al-‘ilm faridlah ‘ala kulli muslimin wa muslimah). Ini tidak bertentangan dengan Islam, malah dianjurkan.Senada dengan Dr. Zaky, Mahmud Amien Al-'Alim juga berpendapat bahwa tidak ada perbedaan, apakah itu dengan kasrah (al-'ilmaniyyah) ataupun dengan fathah (al-'almaniyyah), maka pemahamannya —terlepas dari terjemahan kata yang dipakai, baik itu dengan kasrah ataupun fathah— adalah pandangan terhadap dunia atau realitas dan berusaha melakukan interaksi dengannya secara positif. Dari itu, maka akan ada kesatuan paham antara ilmu dengan maknanya yang obyektif dengan dunia dengan maknanya yang pasti bagi terealisasikannya kesejahteraan manusia secara praktis. Dengan pemahaman itu pula, sekularisme tidak berarti penolakan terhadap agama, nilai-nilai, akhlak, tradisi, ataupun dimensi rohani manusia. (Mahmud Amien Al-Alim, Al-Fikr Al-'Araby Baina Al-Khusushiyyah Wa Al-Kauniyyah, Darul Mustaqbal Al-'Araby, cet. ke 2, 1998, Hal, 111)
Terlepas dari kedua pembacaan tersebut, pada masa Nabi pun sebenarnya sudah ada sekularisme. Di mana Nabi Muhammad selama 20 tahun berbicara dengan dua cara atau dua kondisi yang berbeda. Pertama, Nabi bicara dalam kapasitasnya sebagai seorang utusan (rasul) yang mengemban misi sehingga menghasilkan Al-Qur'an. Kedua, Nabi berbicara dalam kapasitasnya sebagai seorang manusia biasa dan menghasilkan hadis nabawi. Ketika Nabi melafadzkan ayat-ayat Al-Qur'an, maka sebenarnya, ketika itu beliau tak lebih dari hanya sekedar alat untuk menyampaikan wahyu, yang sama sekali terlepas dari pengaruh pribadi. Beliau hanya melafadzkan kalamullah. Jadi Nabi hanya menyampaikan kalamullah dalam bahasa Arab. (Muhammad Arkoun, Tarikhiyyah al-Fikr al-'Araby al-Islamy, penerjemah ke dalam bahasa Arab: Hasyim Shalih, Markazu al-Inma' dan Al-Markaz al-Tsaqafy al-'Araby, cet II, Beirut, 1996, Hal 288)
Mungkin ada benarnya ketika Muhammad Arkoun menyatakan bahwa sekularisme adalah posisi, kondisi dan sikap jiwa (ketika berhadapan dengan kenyataan), yaitu persaingan atau kompetisi dalam rangka penguasaan terhadap kenyataan, atau menuju kepada sebuah kenyataan. (Muhammad Arkoun, Al-'Almanah Wa Al-Din, penerjemah ke dalam bahasa Arab: Hasyim Shalih, Dar Al-Saqi, Bairut, cet III, hal 10)

Dengan pengertian semacam itu, secara sederhana, sekularisme dapat dipahami sebagai sikap kita dalam menghadapi kenyataan hidup di dunia ini. Apakah kita menerimanya dengan lapang dada ataukah kita malah menolaknya. Bila kita menerimanya, maka kita harus berani menanggung segala konsekuensi yang bakal muncul. Sebaliknya, jika kita menolaknya, itu pertanda bahwa kita telah takut menghadapi kenyataan, sehingga bisa dikatakan bahwa kita telah lari menghindarinya.

Islam dan SekularismeTerus terang, dalam mengkaji sekularisme kita masih kekurangan banyak referensi mengenai sejarah bagaimana sekularisme itu masuk ke dalam dunia Islam. Kita juga kekurangan referensi-referensi yang berkaitan dengan filsafat untuk menyelesaikan masalah ini. Hal itu terjadi karena, menurut pandangan Arkoun, Islam dalam sejarahnya tidak mengenal adanya pemikiran filosofis yang menggagas masalah sekularisme seperti apa yang kita pahami saat ini. Akan tetapi, ini bukan berarti bahwa sekularisme tidak pernah ada atau tidak pernah dikenal dalam lingkungan Islam. (Muhammad Arkoun, Tarikhiyyah al-Fikr al-'Araby al-Islamy, penerjemah ke dalam bahasa Arab: Hasyim Shalih, Markazu al-Inma' dan Al-Markaz al-Tsaqafy al-'Araby, cet II, Beirut, 1996, hal 277)
Sekarang ada pertanyaan, apakah sekularisme dimaksudkan untuk mengucilkan agama? Atau apakah sekularisme bertentangan dengan keimanan dan keimanan seseorang? Apakah sekularisme bertentangan dengan ajaran agama Islam?Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, perlu kiranya kita melihat istilah sekularisme secara lebih subtantif. Dalam artian bahwa Islam sendiri pada awalnya berarti merupakan proses sekularisasi total terhadap segala kepercayaan animistis yang menganggap benda dan alam sebagai wadah bagi sukma yang harus dihadapi dengan hormat, dan karena itu menghambat orang yang ingin mengeksploitansinya tanpa menghubungkan dengan agama.” (Majalah Ulumul Qur'an, No. 3, Vol. VI, Hal 56, 1995)
Seorang sekularis bukan berarti dia tidak mu'min/muslim (kafir). Sama halnya dengan seorang yang beragama (mu'min/muslim), tidak lantas berarti dia bukan seorang sekularis. Tidak ada hubungan dualisme yang saling berjauhan itu, antara sekularisme dan agama, nilai-nilai, akhlak atau tradisi seperti anggapan sebagian orang. (Mahmud Amien Al-Alim, Al-Fikr Al-'Araby Baina Al-Khusushiyyah Wa Al-Kauniyyah, Darul Mustaqbal Al-'Araby, cet. ke 2, 1998, Hal, 111)
Dalam tradisi Islam klasik, banyak contoh yang dapat kita jadikan sebagai gambaran. Misalnya tentang sikap dua tokoh Islam terkemuka dan dihormati berkenaan dengan masalah dunia, yaitu permasalahan meninggi/mahalnya harga barang (ghila'u al-'as'ar). Kedua tokoh yang saya maksud adalah Al-Qadly Abdul Jabbar Al-Mu'tazily dan Imam Al-Baqillany Al-Asy'ary. Al-Qadly Abdul Jabbar dalam bukunya "Al-Mughny" melihat bahwa faktor yang menyebabkan meninggi/mahalnya harga barang adalah “sedikitnya barang dengan kebutuhan yang sangat mendesak (syiddah al-hajah) terhadap barang tersebut, atau –dengan kata lain— banyaknya orang yang sangat membutuhkannya. Juga dalam menentukan harga barang (tas'ir) —kadang-kadang—terjadi kedzaliman, sehingga berimplikasi pada kerusakan yang menyusahkan kaum fuqara”, maka “dalam menentukan harga harus adil” demi terwujudnya kesejateraan masyarakat. (Mahmud Amien Al-Alim, Al-Fikr Al-'Araby Baina Al-Khusushiyyah Wa Al-Kauniyyah, Darul Mustaqbal Al-'Araby, cet. ke 2, 1998, Hal, 111)
Sementara Imam Al-Baqillany dalam bukunya "Al-Tamhid" menegaskan bahwa mahal dan murahnya barang bukan tergantung pada sifatnya, akan tetapi —menurut pendapatnya— sangat tergantung pada faktor utama, yaitu Allah. "Kalau Allah menciptakan pada diri semua manusia sifat zuhud terhadap makanan dan —menjadikan mereka— selalu ingat akan kematian, maka mereka tidak akan membeli barang-barang tersebut, baik sedikit maupun banyak”. Jadi walaupun barang itu sedikit, tidak akan mungkin dapat mengangkat harga. Sebab “sesungguhnya semua harga itu datang dari Allah”, dan Dialah yang menciptakan segala sesuatu. (Mahmud Amien Al-Alim, Al-Fikr Al-'Araby Baina Al-Khusushiyyah Wa Al-Kauniyyah, Darul Mustaqbal Al-'Araby, cet. ke 2, 1998, Hal, 112)
Contoh di atas memperlihatkan dengan jelas pada kita, betapa kedua tokoh pemikir Islam tersebut berbeda dalam menafsirkan fenomena duniawi. Al-Qadly Abdul Jabbar berangkat dengan penafsiran ilmiyyah dan sekuler. Dengan kata lain, berliau berpijak faktor obyektif alam. Sedangkan Imam Al-Baqillany menafsirkan masalah yang sama dengan penafsiran agamis (al-tafsir al-diny) dan berpijak pada faktor luar alam (kharija al-thabi'ah), yaitu Allah SWT.Dari situ, kita dapat menyimpulkan bahwa penafsiran agamis sangat berbeda penafsiran sekuler. Hanya saja, penafsiran Al-Qadly Abdul Jabbar di atas sama sekali tidak bertentangan dengan keimanan dan keislamannya. Jadi sekularisme, pada hakekatnya, merupakan ektensi dari rasionalisme, baik itu dari segi pandangan dan pendekatannya. Barang kali hadis yang berbunyi “antum a'lamu bi umuri dunyakum”, “dalam urusan dunia (profan), kalian lebih faham, lebih tahu” merupakan penegasan terhadap makna ini. Maka interaksi dengan alam, dan menafsirkannya dalam posisi realnya yang obyektif –dalam realitas kehidupan manusia— dengan metode ilmiah, sama sekali tidak bertentangan dengan agama dan keberagamaan seseorang.
Intinya adalah bahwa sekularisme tidaklah bertentangan dengan agama dan keimanan. Malah akan menjadi pendorong bagi pembaharuan agama, selaras dengan perkembangan kehidupan dan realitas yang ada. Sekularisme itu tidak hanya terkait dengan budaya Barat semata, walaupun budaya Barat juga ikut andil dalam perkembangannya, namun —seperti kata Arkoun— sekularisme merupakan tradisi (turats) manusia klasik yang terkait erat dengan sejarah manusia yang terus berkembang. Oleh karenanya, ia merupakan produk atau buah dari setiap usaha dan pengalaman manusia yang bermacam-macam tingkatannya.
Dengan pandangan demikian, semakin jelas bahwa, sekularisme tidaklah dimaksudkan untuk mengucilkan dan menindas agama seperti halnya yang terjadi di Perancis dan di Turki. Justru dengan munculnya sekularisme bisa menghentak kesadaran umat yang saat ini masih terlena dengan tradisi masa lalu, sehingga menyebabkan mereka terjerumus ke dalam jurang kemunduran.Untuk saat ini, sekularisme merupakan jalan yang tepat untuk mengembalikan esensi ajaran Islam kepada wilayahnya yang hakiki. Paling tidak menempatkan secara jelas mana wilayah-wilayah yang dipandang sakral dan mana yang temporal. Sikap ini mengandaikan bahwa dalam perjalanan sejarahnya, umat Islam sudah tidak sanggup lagi membedakan mana nilai-nilai transendental dan temporal. Bahkan, hirarki nilai itu sering terbalik: “seluruh realitas bersifat transendental”. Akibat hal itu, demikian digambarkan: Islam menjadi senilai dengan tradisi, atau Islam historis (hasil ijtihad masa lalu). (Majalah Ulumul Qur'an, No. 3, Vol. VI, hal 57, 1995)
Jadi, sekularisme —seperti apa yang dikatakan Nurcholis Majid— dimaksudkan untuk mendiniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, serta melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya. Dengan demikian, umat Islam akan terbiasa dengan sikap netral untuk selalu menguji kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan material, motal, maupun historis. Selain itu dimaksudkan untuklebih memantapkan misi duniawi manusia dalam kapasitasnya sebagai khalifatullah fi al-ardl (khalifah Allah di Bumi). Dengan kata lain, kita memahami sekularisme sebagai ‘pembumian’ ajaran-ajaran Islam sebagai yang inheren dengan misi kekhalifaan manusia. Sikap semacam ini adalah konsekuensi logis dari konsepsi tauhid Islam, yang intinya memutlakkan transendensi hanya pada Allah semata, serta melakukan desakralisasi terhadap selaga sesuatu selain hal-hal yang bersifat Ilahiyyah (transendental), yakni dunia ini. (M. Syafi’i Anwar, SH, MA, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Paramadina Jakarta, cet. ke 1, hal 52, 1995)
Seandainya dikatakan bahwa sekularisme hanya dikhususkan bagi agama Kristen Katolik, dan Islam sama sekali tidak membutuhkannya, sebab Islam sudah mencakup agama dan dunia (dinan wa dunyan), saya kira perkataan ini sama sekali tidak mendasar. Karena Kristen Katolik sepanjang abad pertengahan hingga awal abad modern juga mencakup agama dan dunia. Kemudian, kalau ada yang berpendapat bahwa sebenarnya sekularisme itu hanya ditujukan untuk menentang kaum pendeta (thabaqah kahanut), sementara dalam Islam tidak dikenal adanya kependetaan, makanya sekularisme tidak akan melahirkan dampak signifikan. Pendapat ini tidak bisa dijadikan pijakan alternatif. Sebab agama Protestan yang juga tidak mengenal adanya kependetaan seperti halnya yang terjadi dalam agama Katolik, justru mengakui sekularisme. Jadi tidak benar kalau ada pendapat bahwa dengan tidak adanya kependetaan dalam Islam, maka kita tidak boleh mengadopsi sekularisme. (Catatan kaki Muhammad Arkoun dalam bukunya Al-‘Almanah Wa Al-Din, penerjemah ke dalam bahasa Arab: Hasyim Shalih, Dar Al-Saqi, Bairut, cet III, hal 110)
Kalau dilihat dari istilah dan bentuknya, memang berbeda dengan apa yang dalam agama Katolik. Namun secara subtantif tetap sama, bahwa realitas sejarah Islam memperlihatkan perubahan mencolok pada sebagian sebagian ulama al-din yang kemudian bermetamorfosa menjadi rijal al-din, sebagaimana yang terjadi di Eropa pada abad pertengahan. Di mana mereka, para rijal al-din beranggapan bahwa hanya merekalah yang berhak untuk menghalalkan dan mengharamkan, merekalah yang paling berwenang untuk menilai mana yang benar dan mana yang salah. Maka terjadilah apa yang disebut dengan ‘memonopoli kebenaran’. (Makalah DR. Ghaly Syukry, Al-‘Ilmaniyyah Al-Mal’unah, yang ada dalam buku “Al-Tsaqafah Al-Wathaniyyah, hal 363, 1991)
Jika demikian, maka pertentangan yang terjadi sebenarnya bukan antara sekularisme dan agama, akan tetapi antara sekularisme dan rijal al-din yang merasa resah karena takut kekuasaan yang selama ini mereka genggam di tangan hilang direbut orang lain. Sehingga penolakan mereka terhadap sekularisme nampak sangat politis sekali.
Kalau boleh berpendapat, saya katakan, bahwa pada dasarnya, semua paham yang diklaim sebagai ‘barang haram’ produk Barat, mulai dari sekularisme, sosialisme, nasionalisme, komunisme dan isme-isme yang lainnya bukan tidak ada dalam Islam. Semua ada dalam ajaran Islam. Hanya saja Islam senantiasa berdiri tegak di atas sebuah prinsip “khairul umuri ausathuha”, “sebaik-baiknya perkara adalah yang tengah-tengah, yang sedang-sedang saja”. Artinya apa? Bahwa dalam penerapannya Islam tidak berlebih-lebihan, tidak terlalu condong ke kiri dan tidak pula ke kanan. Sebab umat Islam diciptakan sebagai “ummatan wasatha”. “Ummatan wasatha” ini tidak hanya berarti sebagai umat penengah antara pemeluk agama Kristen, Yahudi dan pemeluk agama lainnya. Akan tetapi harus juga diartikan, bahwa dalam segala hal, umat Islam tidak boleh berlebih-lebihan, termasuk di antaranya dalam hal sekularisme.Kita tidak menginginkan sekularisme seperti yang pernah dilakukan oleh Kamal Atatruk di Turki. Di mana Kamal Atatruk melakukan revolusi besar-besaran, dengan menerapkan sekularisme di negaranya. Sebenarnya Kamal Atatruk adalah seorang pimpinan meliter yang pernah mengenyam pendidikan di Prancis. Sekembalinya dari Prancis, dengan membawa segudang pemikiran dan pandangan sekuler, ia ingin menerapkan semua itu di Turki, sebuah negara yang kala itu masyarakatnya masih sangat fanatik dalam kepemelukannya terhadap Islam. Untuk merealisasikan kehendaknya, ia membuat seperangkat undang-undang yang di antara isinya adalah penghapusan kesultanan (al-sulthanah), yang pada saat itu menjadi bagian dari syariat Islam yang diambil dari sistem khilafah, kemudian menggantinya dengan negara republik seperti yang diterapkan di Barat. Banyak hal yang dilakukan Kamal Atatruk, misalnya, penghapusan kalender Hijriyyah, penghapusan hurup-huruf Arab dalam penulisan, penghapusan kementrian yang mengurusi masalah-masalah agama, dan yang lebih parah lagi, ia juga membubarkan semua organisasi keagamaan, serta menghapus pendidikan agama pada setiap sekolah yang ada. Kemudian yang terakhir, ia juga mewajibkan topi Eropa sebagai ganti dari Torbus. (Muhammad Arkoun, Tarikhiyyah al-Fikr al-'Araby al-Islamy, penerjemah ke dalam bahasa Arab: Hasyim Shalih, Markazu al-Inma' dan Al-Markaz al-Tsaqafy al-'Araby, cet II, Beirut, 1996, Hal 278)
Jelas, apa yang dilakukan oleh Kamal Atatruk adalah pukulan menyakitkan bagi umat Islam. Ia sudah terlalu berlebih-lebihan dalam menerapkan sekularisme. Inilah sebenarnya yang dimaksudkan oleh Muhammad Arkoun sebagai al-‘ilmanawiyyah (sekularisasian), atau sekularisme yang menyimpang, menyimpang dari apa yang sebenarnya. Bahkan Arkoun juga menentang keras penerapan semacam itu dengan menyebutnya sebagai al-'ilmanawiyyah al-shura'iyyah, yaitu sekularisme yang terlalu berlebih-lebihan hingga menolak study apapun tentang agama, hatta walaupun itu dari sisi budaya dan sejarah. Agama harus dihapus semua, bukan saja sebagai syi'ar-syi'ar atau ibadah, tapi juga sebagai materi study ilmiyah. Akhirnya yang terjadi, bukan pemisahan antara negara dan agama, akan tetapi justeru penindasan terhadap agama.Dalam pandangan Arkoun, masyarakat manapun pasti memerlukan seperangkat keyakinan, nilai-nilai dan pengetahuan, dengan harapan bahwa itu akan dapat dijadikan sebagai justifikasi (tabrir) dan perlindungan bagi sistem yang dianut. Dari dulu hingga setelah datangnya ideologi-ideologi sekuler sekalipun, agama telah melakukan tugas justifikasi dan perlindungan bagi sistem suatu kelompok masyarakat. (Muhammad Arkoun, Al-Fikr al-Islamy Qira'ah 'Ilmiyah, penerjemah ke dalam bahasa Arab: Hasyim Shalih, Markazu al-Inma' dan Al-Markaz al-Tsaqafy al-'Araby, cet II, Beirut, 1996, hal 67)

Sekularisme Sebagai “Titik Temu”Antara Islam dan Kristen
Sebagai bagian dari liberalisme, maka tema-tema yang diangkat oleh sekularisme adalah keadilan, persamaan dalam memperlakukan semua warga negara. Di samping itu adalah pembebasan manusia dari tradisi atau pemikiran keagamaan yang ‘membelenggu’ dan menghalangi manusia untuk berfikir kritis dalam memahami realitas. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan terobosan baru dalam bidang pemikiran, serta mensosialisasikan ide-ide baru yang dinamis dan berorientasi ke masa depan guna membangun solidaritas yang mampu menghubungkan seluruh pemeluk agama secara sehat.Menurut Muhammad Arkoun, ada dua hal yang bisa menjadi penghubung antara Islam dan Kristen. Dan kita harus memilih salah satu di antara keduanya, kalau kita memang dibolehkan untuk memilih. Sebab yang namanya hak selamanya tidak akan terjamin selagi ada ikatan-ikatan yang memaksa. Namun, saya tidak memaksudkan itu dengan paksaan atau ikatan politis, paling tidak di negara-negara sekuler —seperti kata Arkoun— ada dua garis penghubung yang dimaksud, yaitu :
Pertama, ikatan penghubung yang berupa garis tradisi (al-khath al-taqlidi) yang terealisasikan dalam perdebatan panjang yang hingga saat ini masih belum ada penyelesaiannya. Contoh misalnya, masalah perbandingan yang berhubungan dengan masalah teologi antara Islam dan Kristen, masalah kenabian, masalah anak Allah dsb. Semua permasalahan itu seringkali dibahas melalui cara-cara konvensional, dengan mencari kosa-kata pada kamus teologi klasik. Ketika kita masuk ke dalam perdebatan-perdebatan panas tersebut, maka sangat dimungkinkan kita tidak akan bisa keluar. Perdebatan-perdebatan itu (antara Islam-Kristen, Yahudi-Kristen dan Yahudi-Islam), terus berlangsung sejak berabad-abad yang lalu, sejak semua agama samawi tampil di pentas sejarah. Pengalaman sejarah membuktikan bahwa tidak mungkin menemukan jalan keluar dengan cara seperti itu. Semuanya berbicara masalah ‘dialog’ (dialog Islam-Kristen dsb). Dan ternyata, Arkoun sendiri kurang suka dengan kata itu. Hal ini tidak berarti bahwa ia anti ‘dialog’. Akan tetapi kata tersebut seringkali melegitimasi pihak-pihak terkait untuk terlibat secara langsung dalam clash (benturan) pada dataran konsep, ide, paham dan gambaran yang telah menjadi tradisi sejak lama. (Muhammad Arkoun, Al-'Almanah Wa Al-Din, penerjemah ke dalam bahasa Arab: Hasyim Shalih, Dar Al-Saqi, Bairut, cet III, hal 54)
Kedua, garis kedua yang dimaksud adalah garis yang bisa bergerak maju dan berfungsi sebagai petunjuk. Kalau kita mau menerimanya, maka kita harus mulai mendalami dan menggeluti ilmu antropologi, ilmu bahasa (linguistik) dan ilmu sejarah paling mutakhir yang digunakan oleh para sejarahwan kontemporer, di mana mereka mengajukan, menawarkan pandangan lain yang berbeda tentang fenomena keagamaan. Namun kita tidak boleh takut hal itu akan mengganggu keimanan kita (Makanya bagi kaum mu’min tradisionalis agar tidak perlu takut akan adanya gangguan pada keimanan mereka. Sebab mempelajari ilmu-ilmu tersebut tidak berakibat pada hilangnya keimanan, justru pada akhirnya akan sampai pada iman baru (al-iman al-jadid) yang lebih luas dan lebih lapang dari pada iman sebelumnya yang sempit. Sebab, keimanan juga mempunyai sejarah). Akan tetapi hal itu akan memberikan peluang bagi semua pemeluk agama untuk berbicara tentang dirinya masing-masing dengan bahasa yang mampu melampaui dan bisa mengatasi perdebatan-perdebatan lama. Inilah yang harus kita usahakan saat ini. (Muhammad Arkoun, Al-'Almanah Wa Al-Din, penerjemah ke dalam bahasa Arab: Hasyim Shalih, Dar Al-Saqi, Bairut, cet III, hal 55)
Dari itu, kiranya perlu bagi kita untuk lebih mementingkan penbicaraan tentang signifikansi “solidaritas”. Maksudnya setiap kita harus bisa mengembang tanggung jawab setiap tradisi, baik agama dan budaya yang kita miliki dengan bentuk saling menanggung, dari pada kita sibuk berbicara tentang ‘dialog’ yang membuat kita berpaling pada pemahaman ‘toleransi yang malas’ dan tidak peduli dengan tawaran-tawaran baru, guna menghasilkan beragam makna serta segala bentuk perubahannya.Saling mengemban tanggung jawab dalam bentuk solidaritas yang dimaksud di atas, paling tidak, bisa memaksa kita untuk berbuat sebaliknya, yaitu menawarkan, melemparkan dan mengajukan permasalahan secara lebih mendasar dari pada yang dangkal itu (dialog) yang banyak dilakukan oleh para ahli fiqih dan ulama-ulama teologi tradisional (taqlidi) dan metafisika klasik. Contoh, kalau wahyu dalam agama Islam menag berbeda dari wahyu yang terdapat dalam agama Kristen, maka yang pertama kali harus dilakukan adalah menjelaskan permasalahan tersebut, karena itu mempunyai kepentingan mendasar, yaitu dengan mengajukan dan menjelaskan permasalahan dalam kerangka epistemologi modern, bukan dengan bahasa dan istilah-istilah teologi tradisional yang cendrung menguasai setiap kelompok. (Muhammad Arkoun, Al-'Almanah Wa Al-Din, penerjemah ke dalam bahasa Arab: Hasyim Shalih, Dar Al-Saqi, Bairut, cet III, hal 55)
Garis atau ikatan penghubung kedua yang disebutkan di atas, tidak saja mencakup bidang pemikiran, akan tetapi juga memperhatikan masalah kehidupan warga negara dan hubungan antar mereka dalam sebuah komunitas masyarakat. Dari sini kita dapat menemukan arti sekularisme yang sebenarnya. Dan ini tentunya sangat terkait erat dengan model budaya yang ada pada masyarakat itu.

Penutup
Kita tidak hanya dituntut untuk pandai dalam menawarkan gagasan baru yang progresif tentang sekularisme, lebih dari itu, kita juga dituntut untuk mampu melihat jauh ke depan, dengan berusaha menemukan tantangan dan tanggung jawab yang bakal kita hadapi dalam proses sekularisasi. Untuk sekarang ini, seperti yang diungkapkan oleh Arkoun, sekularisme menghadapi dua tantangan dan tanggung jawab, yaitu:
Pertama, bagaimana mengetahui realitas dengan benar dan sesuai? Atau bagaimana kita mencapai pengetahuan yang sesuai secara intelektual dan rasio bagi setiap individu yang bergerak maju untuk sampai kepada sebuah kenyataan? Di sinilah sebenarnya fungsi/misi dan tanggung jawab sekularisme yang terus terbuka untuk dibicarakan. Ini juga merupakan pekerjaan yang tidak akan pernah berhenti dan tidak akan tertutup dan mengharuskan para pemikir untuk melintasi batasan semua kekhususan (keistimewaan) kultural, sejarah dan agama (melintasi agama di mana ia dilahirkan). Ini menunjukkan bahwa sekularisme merupakan sesuatu yang lain dan lebih besar dari pada hanya sekedar pemisahan gereja dengan negara, agar semua warga negara dapat diperlakukan sama tanpa diskriminasi. Jadi sekularisme sangat bergantung pada pengetahuan dan semangat kemanusiaan. (Muhammad Arkoun, Al-'Almanah Wa Al-Din, penerjemah ke dalam bahasa Arab: Hasyim Shalih, Dar Al-Saqi, Bairut, cet III, hal 10)
Kedua, Setelah kita berhasil menggapai pengetahuan yang sesuai dengan realitas, maka kita harus menemukan cara yang cocok untuk menyampaikannya kepada publik. Di sinilah pentingnya pendidikan sebagai tugas harian yang digeluti oleh setiap pendidik ketika mereka harus berhadapan dengan otak-otak segar, namun belum mampu menjaga diri. Ini adalah tanggung jawab yang lebih penting dari pada yang pertama tadi. Karena menuntut para pendidik untuk mengerahkan seluruh tenaga. (Muhammad Arkoun, Al-'Almanah Wa Al-Din, penerjemah ke dalam bahasa Arab: Hasyim Shalih, Dar Al-Saqi, Bairut, cet III, hal 10)

Dari dua hal di atas dapat dilihat bagaimana seharusnya kita memahami sekularisme. Bahwa sekularisme yang kita maksud adalah sekularisme yang hidup (tidak tertutup) dan bergerak terus-menerus dalam rangka penyatuan dengan alam realitas. Di mana sekularisme semacam itu bisa membantu mempublikasikan apa yang kita yakini sebagai kenyataan pada suatu komunitas masyarakat.Kalaupun ternyata dalam pelaksanaannya terjadi kesalahan, itu timbul dari kekurangan-kekurangan kita saat melakukan penelitian secara ilmiyah dalam mengetahui realitas, atau mungkin juga bisa muncul dari kekurangan-kekurangan kita dalam pendidikan ketika menyampaikan pengetahuan tersebut kepada publik (orang lain). Maka jangan heran kalau kemudian terjadi berbagai macam konflik, atau bahkan perlawanan/anti sekularisme. Konflik semacam itu pernah terjadi di Prancis, yaitu konflik yang terjadi pada tahun 1984 (di masa kaum sosialis) antara pengikut sekolah khusus (Katolik) dan sekolah umum (sekuler). Sebab pengalaman sejarah Prancis memperlihatkan bahwa orang-orang di sana dalam mencari gambaran filosofis tentang sekularisme, belum matang sepenuhnya. Akibatnya mereka tidak tahu bagaimana mengatasi konflik dan perdebatan yang sudah mengakar cukup kuat di antara mereka, baik itu bidang keagamaan maupun politik. (Muhammad Arkoun, Al-‘Almanah Wa Al-Din, penerjemah ke dalam bahasa Arab: Hasyim Shalih, Dar Al-Saqi, Bairut, cet III, hal 11)
 
posted by Roland Gunawan at 5:19 AM | Permalink |


0 Comments:





"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"