Pendahuluan
Sekitar dua minggu yang lalu saya pernah membaca sebuah berita tentang menerapkan hukuman cambuk bagi beberapa Muslim yang tidak menunaikan shalat Jum`at, peristiwa ini terjadi di Aceh. Sebelumnya suasana di tanah air sempat panas gara-gara, dalam suatu wawancara, Gus Dur menyatakan bahwa al-Qur’an adalah kitab suci paling porno. Dan belum lama ini, di beberapa media massa, diberitakan tentang beberapa anggota DPR yang mengusulkan penghapusan perda-perda yang berbau syariat. Bahkan di kalangan Masisir, saat ini, sedang merebak isu, bahwa PPMI (Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia) telah membentuk sebuah Tim Pemerhati Interaksi Masisir. Tim ini sengaja dibentuk setelah melihat kondisi interaksi di kalangan Masisir —antara cowok dan cewek— yang kian memprihatinkan, bahkan mendekati permisivisme.
Hal-hal yang saya sebutkan tadi berkaitan erat dengan isu penerapan syariat Islam. Di negara-negara yang mayoritas masyarakatnya adalah Muslim, isu ini acapkali menjadi perbincangan menarik, bahkan tak jarang menimbulkan perbedaan pendapat, dan bahkan konflik, di kalangan ulama.
Saya kira dalam kondisi dunia yang seperti ini, tuntutan penerapan syariat adalah wajar, asalkan, tentu saja, harus diimbangi dengan pemahaman yang benar tentang makna syariat, sehingga tidak merusak tatanan sosial kemasyarakatan.
Penerapan Syari`at, Apa dan Bagaimana?
Dalam al-Qur’an, kata “syarî`ah” disebutkan satu kali, yaitu pada surat al-Jâtsiyah:18. Kemudian ada dalam bentuk kata kerja (syara`a) pada surat al-Syûrâ: 13 dan satu dalam bentuk “isytiqâq” (syir`ah) pada surat al-Mâ’idah: 48.
Kata “syarî`ah” seperti disebutkan pada ayat-ayat tersebut, menunjukkan makna “al-manhaj” (=metode atau cara), “al-sabîl” (=jalan) atau “al-tharîq” (=jalan). Dan makna yang terdapat al-Qur’an persis sama dengan apa yang ada di dalam kamus-kamus. Jadi sama sekali bukan kaidah-kaidah (al-qawâ`id) dan hukum-hukum (al-ahkâm) yang menjelaskan prihal ibadah-ibadah atau mu`âmalât.
Kalau selama ini banyak orang berkoar-koar menuntut agar syariat diterapkan, sebetulnya yang dituntut bukan penerapan syari`at itu sendiri, melainkan hukum-hukum Islam, seperti, potong tangan, penggunaan hijab, cadar, atau jilbab, penumbuhan jenggot, hukuman rajam dll. Sedangkan syari`at sendiri artinya adalah cara atau metode yang harus digunakan dalam menerapkan hukum-hukum tadi.
Syariat tidak hanya ada ketika Islam datang. Di zaman Nabi Musa as., bahkan sejak zaman Nabi Adam as. syariat sudah ada. Syariat Nabi Musa adalah syarî`ah al-haqq (=syari`at kebenaran), yaitu syari`at yang meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban berikut hukuman bagi setiap pelanggaran: memberi kewajiban-kewajiban tanpa keringanan serta menerapkan hukuman yang sangat keras. Syariat Nabi Isa as. adalah syarî`ah al-hubb (=syari`at cinta): kecintaan yang mengajak seseorang untuk tidak menuntut haknya di antara manusia, setiap orang mempunyai hak untuk membalas kejahatan yang dilakukan orang lain terhadap dirinya, tetapi ia tidak boleh berfikir untuk membalasnya. Ini sesuai dengan sebuah perkataan, “Jika ada orang menampar pipi kananmu, maka berilah pipi kirimu.”
Adapun syariat Nabi Muhammad saw. adalah syarî`ah al-rahmah (=kasih-sayang) yang menggabungkan antara al-haqq dengan al-hubb, memadukan hukuman dengan maaf, dan mengaitkan al-ta`âmul (=interaksi) dengan kebaikan, sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Baqarah: 178.
Jadi, sekali lagi, penerapan syari`at Islam adalah penerapan metode atau cara yang berlandaskan kasih-sayang dalam menjalankan hukum-hukum agama, yaitu memberikan kemudahan bagi manusia, menjaga kemaslahatan umum dan keseimbangan hak, dengan melihat kondisi atau realitas masa kini, serta tidak memberatkan bagi kaum Mu’minin.
Muhammad Syahrur dalam bukunya, al-Kitâb wa al-Qur’ân, membagi hudûd (hukum-hukum) dalam al-Qur’an, dalam penerapannya, menjadi enam:
Pertama, batas minimal (al-hadd al-adnâ). Misalnya ayat 23 dari surat al-Nisâ’ yang menjelaskan tentang al-mahârim, atau orang-orang yang tidak boleh dinikahi. Sejumlah orang yang haram dinikahi pada ayat tersebut adalah batas minimal.
Kedua, batas maksimal (al-hadd al-a`lâ). Dalam al-Qur’an terdapat ayat yang menerangkan prihal hukuman potong tangan bagi pencuri, dan ini merupakan hukuman maksimalnya. Dengan kata lain, hukuman bagi pencuri tidak boleh lebih dari itu. Hanya saja para ulama mungkin dapat menentukan, berdasarkan kondisi yang melingkupinya, obyektifitas pencurian yang layak mendapatkan hukuman tersebut. Ini sangat terkait dengan masalah waktu dan tempat yang perlu dilihat oleh para ulama dalam menentukan pencurian yang pantas dikenakan hukuman potong tangan.
Ketiga, batas minimal dan batas maksimal secara bersamaan. Contohnya adalah ayat al-Qur’an yang berbunyi, “Yushîkum’lLâh fî awlâdikum mitslu hazhzh al-untsayaîn.” Ayat ini menjelaskan tentang batas maksimal warisan untuk laki-laki serta menjelaskan batas minimal warisan untuk perempuan. Batas maksimal warisan untuk laki-laki adalah 66.6%, adapun batas minimal warisan untuk perempuan adalah 33.3%.
Keempat, batas minimal dan batas maksimal pada satu titik secara bersamaan. Misalnya surat al-Nûr ayat : 2 yang menjelaskan tentang hukuman bagi pelaku zina. Potongan dari ayat tersebut yang berbunyi, “Walâ ta’khudzû bihimâ ra’fah,” menunjuk pada batas minimal dan maksimal secara bersamaan.
Kelima, batas maksimal dengan garis lurus yang mendekati, artinya mendekati tapi tidak menyentuh. Ada ayat al-Qur’an yang berbunyi, “Lâ taqrabû al-zinâ.” Ayat ini berkaitan dengan kontak seksual antara laki-laki dan perempuan. Seorang laki-laki boleh saja berhubungan dengan seorang perempuan (=atau pacaran dalam istilah gaulnya) akan tetapi berhenti pada “garis batas” yang mendekati zina. Artinya jika seseorang mendekati zina tetapi tidak melakukannya, ia tidak mendapat hukuman. Seperti halnya ayat yang berbunyi, “Lâ taqrabû al-fawâhisya,” ayat ini melarang kita mendekati perbuatan keji, tetapi ketika kita mendekatinya dan tidak melakukannya, kita tidak berdosa.
Keenam, batas maksimal positif ekslusif (al-hadd al-a`lâ mûjab mughlaq) yang tidak boleh dilampaui, dan batas minimal negatif (al-hadd al-adnâ sâlib) yang boleh dilampaui. Ini menyangkut hubungan keuangan (al-`alâqah al-mâliyah) antara manusia. Dalam hal ini, riba merupakan batas maksimal, sedangkan zakat merupakan batas minimal yang bisa dilampaui dengan melakukan sedekah.
Yang jelas, terlepas dari pendapat Syahrur, penerapan hukum Islam harus berpijak pada kasih-sayang, bukan menyakiti. Dalam al-Qur’an disebutkan, “Maka barang siapa yang mendapatkan maaf dari saudaranya, sepantasnya ia membalasnya dengan perbuatan baik (=al-ma`rûf), dan memperlakukannya dengan ihsân.”
Penerapan Syari`at; Beberapa Contoh
Penerapan syari`at Islam sering ditandai dengan pemakaian hijab, cadar dan jilbab bagi perempuan, atau hukuman potong tangan bagi pencuri, atau hukuman cambuk bagi orang yang tidak shalat Jum`at sebagaimana yang terjadi di daerah Aceh baru-baru ini, atau juga penghancuran tempat-tempat pelacuran. Makanya di sini akan dibahas tentang hal-hal yang disebutkan tadi.
Sehubungan dengan pemakaian hijab, cadar, dan jilbab, Muhammad Syahrur, dalam menafsirkan ayat al-sitr (=penutup tubuh perempuan), menyatakan bahwa kata “al-zînah” dalam firman Tuhan yang berbunyi, “Walâ yubdîna zînatahunna illâ mâ zhahara minhâ,”—setelah membagi al-zînah menjadi dua, yaitu, zhâhirah bi al-khalq, dan ghayr zhâhirah bi al-khalq— bermakna “apa yang terlihat dari tubuh perempuan ketika penciptaannya, artinya apa yang dinampakkan oleh Tuhan pada saat ia diciptakan, seperti kepala, punggung, perut, kaki dan tangan.”
Sedangkan bagian yang ghayr zhâhirah bi al-khalq (yang tidak terlihat ketika diciptakan) adalah “al-juyûb” —jama` dari kata “jayb”. Al-juyûb pada perempuan ada dua bagian: bagian pertama yaitu, dua payudara dan bawah ketiak, sedang bagian kedua: kemaluan dan bawah bokong. Ini semua adalah juyûb, atau aurat perempuan yang harus ditutupi.
Menurut Syahrur, masalah hijab atau al-sitr termasuk pada al-hadd al-adnâ (=batas minimal), seperti dijelaskan sebelumnya. Ayat 31 pada surat al-Nur di atas menjelaskan perihal batas minimal hijab, atau penutup tubuh perempuan. Sedangkan batas maksimalnya adalah seluruh badan kecuali wajah dan kedua tangan. Dengan pemaknaan seperti ini, jika seorang perempuan menggunakan “BH” dan “CD” saja, itu sudah dianggap menutupi aurat, tidak boleh kurang, sebab inilah batas minimalnya. Dan ini tidak melangggar ketentuan syari`at. Namun, jika berkehendak, seorang perempuan boleh menggunakan pakaian yang menutupi seluruh badan, asal tidak sampai menutupi wajah dan kedua tangan, karena inilah batas maksimalnya.
Perihal hukuman potong tangan bagi pencuri, ada pendapat menarik dari Muhammad Said al-`Asymâwî. Menurutnya, sebelum datang Islam, hukum potong tangan sudah ada sejak zaman Jahiliyah, jadi masih merupakan tradisi. Orang yang pertama kali melaksanakannya dalam Islam adalah al-Walîd ibn al-Mughîrah, kemudian turunlah ayat al-Qur’an yang menyuruhnya. Ini menunjukkan bahwa dalam masalah hukuman, Islam menyesuaikan dengan tradisi setempat. Di Zaman Jahiliyah, hukuman yang pantas bagi pencuri adalah potong tangan, lalu al-Qur’an turun menyuruh demikian. Di Indonesia, sejak dulu, hukuman yang layak bagi pencuri adalah penjara, jangan samakan antara Arab dengan Indonesia, setiap daerah mempunyai hukumnya sendiri-sendiri. Hanya saja perlu ditentukan, dalam kondisi apa, dan pencurian apa yang layak dikenakan hukuman potong tangan atau penjara?
Umar bin Khatthab misalnya, salah satu khalifah yang paling keras, tidak menerapkan hukum potong tangan pada masa-masa paceklik. Sebab beliau tahu bahwa pelaksanaan hukum Islam harus didasarkan pada rahmat, tidak untuk mempersulit. “Tuhan tidak membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan kemampuannya,” begitu dalam al-Qur’an disebutkan.
Mengenai hukuman cambuk terhadap orang yang tidak shalat Jum`at, ini juga perlu ditinjau ulang. Menurut Muhammad Said al-`Asymâwî dalam bukunya, Jawhar al-Islâm, Jum`at pada awalnya adalah hari di mana orang-orang Arab berkumpul pada suatu tempat untuk membahas pelbagai persoalan, yang di zaman Jahiliyah dinamakan dengan al-`Urûbah (=harinya orang Arab). Orang yang yang pertama kali memberi nama “Jum`at” adalah Ka`ab bin Lu’ay. Setelah datang Islam, tradisi ini dilanjutkan, kaum Muslimin di Madinah berkumpulkan pada hari Jum`at. Karena mereka ingin berbeda dengan umat lainnya, Sabtu adalah harinya orang Yahudi, dan Ahad adalah harinya umat Kristiani.
Pada hari Jum`at inilah kaum Muslimin berkumpul, mereka berdzikir dan shalat bersama. Menurut Shâdeq al-Nayhûm, dalam bukunya, Mihnah al-Tsaqâfah al-Muzawwarah, di masa Nabi saw., pelaksanaan shalat Jum`at tidak seperti sekarang. Ketika itu, shalat jum`at merupakan ajang konferensi besar yang menyatukan seluruh umat Islam untuk membahas persoalan-persoalan besar yang krusial, persoalan-persoalan kontempoter pada waktu itu. Semua orang mempunyai hak yang sama untuk menyuarakan pendapatnya, sehingga ketika Nabi menyampaikan khutbah, sering terjadi dialog antara beliau dengan kaum Muslimin, jadi suasananya hidup, tidak pasif. Setiap Jum`at selalu saja ada persoalan baru yang dibahas oleh Nabi, dan ini memancing para hadirin untuk bertanya, sehingga terjadilah dialog itu. Sekarang lain lagi, shalat Jum`at hanya menjadi ajang indoktrinasi, sementara masalah yang dibahas itu-itu saja, tidak ada yang baru, hanya masalah halal-haram. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia, terutama di pedesaan atau perkampungan, khutbah Jum`at masih menggunakan bahasa Arab, padahal secara umum penduduk di sana tidak memahaminya. Tentu saja hal ini membuat orang bosan dan malas, di samping masalah yang bahas itu-itu saja —bahkan banyak khatib yang hanya membaca teks, setiap Jum`at yang dibaca itu saja, tidak ada teks lain— juga pengetahuan mereka tentang bahasa Arab sangat rendah, malah barangkali tidak paham sedikitpun. Apalagi mereka hanya disuruh duduk dan diam selama kurang lebih satu setengah jam, tidak ada dialog. Demi melihat hal ini, jangan salahkan jika kemudian ada orang yang tidak shalat Jum`at. Hukuman cambuk hanya akan melahirkan manusia-manusia munafik. Coba, apa gunanya ibadah tanpa keikhlasan?
Adapun mengenai penghancuran tempat-tempat pelacuran, saya pernah baca sebuah majalah yang memberitakan tentang protes para PSK (Pekerja Seks Komersial), dengan melakukan demo di depan kantor Wali Kota yang hendak menghancurkan —setelah didesak oleh para ulama demi tegaknya syari`at Islam— lokasi-lokasi di mana mereka beroperasi. Dalam protes itu, salah satu dari PSK tersebut berteriak, “Pak Wali, kalau lokasi kami beroperasi mau dihancurin, tolong nikahi kami, hidupi kami, beri kami makan.”
Saya katakan, bahwa penghacuran lokasi-lokasi prostitusi bukanlah solusi yang tepat. Kalaupun akhirnya lokasi-lokasi itu berhasil dihancurkan, hanya akan membuat para PSK itu menjadi tidak terkontrol, mereka akan tetap melakukan operasi di mana-mana atau di sembarang tempat. Menurut hemat saya, solusi yang tepat, jika memang sungguh-sungguh, wali kota tersebut seharusnya menyediakan banyak dana, kemudian bangun pabrik besar, dan suruh para PSK itu bekerja di sana. Ini akan lebih selamat daripada penghancuran yang tanpa tindak lanjut. Jadi sebetulnya, kita tidak perlu sibuk-sibuk melakukan pengrusakan dengan dalih penerapan syariat.
Penutup
Sebenarnya apa yang saya tulis ini merupakan salah satu upaya dari sekian banyak upaya lain dalam rangka menyegarkan kembali pemahaman terhadap syariat. Kita sering melihat orang yang ngoceh sana-sini menuntut penerapan syariat, tapi tidak jelas syariat yang mana, tahu-tahu memotong tangan pencuri, nyuruh perempuan pakai jilbab, mencambuk orang yang tidak shalat Jum`at, menghancurkan tempat-tempat prostitusi atau gedung-gedung bioskop. Apakah ini yang namanya penerapan syari`at? Kalau dikatakan bahwa penerapan syari`at dengan cara melaksanakan hukum-hukum adalah jalan dakwah guna mengajak manusia agar tetap konsisten pada keislamannya, saya kira al-Qur’an sudah dengan tegas menyatakan, “Wahai Muhammad, ajaklah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasihat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang paling baik.” Tidak ada ayat yang menyatakan, “Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan potong tangan.” Dalam al-Qur’an memang ada hukum potong tangan, rajam, cambuk, tapi itu hanya mengikuti tradisi.
Saya lihat, selama ini, penerapan syariat hanya terfokus pada hukum-hukum formal, sama sekali tidak mendidik jiwa. Di masa Nabi, ketika beliau pertama kali berdakwah, tidak langsung melarang zina, sebab beliau tahu orang-orang Quraisy sudah pasti akan mengatakan, “Kami tidak akan meninggalkan zina.” Beliau berdakwah dari hati ke hati, karena hati adalah tempat bermuaranya rahmat, dan hati hanya bisa didekati dengan hikmah.
Ibarat sebuah kerajaan, maka hati adalah raja bagi raga. Bila kita ingin menguasai sebuah kerajaan, kita harus berhasil “memegang” dan mempengaruhi sang raja. Jika kita ingin membuat seseorang menjadi tunduk, kita harus menguasai hatinya. Manakala kita sudah menguasai hatinya, potong tangan menjadi tidak berarti, sebab tangan hanyalah rakyat bagi hati.
Itulah makna penerapan syariat kasih-sayang, tidak keras hingga mudah dipatahkan, tidak lembek hingga mudah diinjak-injak. Sekian dan mohon maaf.
Sekitar dua minggu yang lalu saya pernah membaca sebuah berita tentang menerapkan hukuman cambuk bagi beberapa Muslim yang tidak menunaikan shalat Jum`at, peristiwa ini terjadi di Aceh. Sebelumnya suasana di tanah air sempat panas gara-gara, dalam suatu wawancara, Gus Dur menyatakan bahwa al-Qur’an adalah kitab suci paling porno. Dan belum lama ini, di beberapa media massa, diberitakan tentang beberapa anggota DPR yang mengusulkan penghapusan perda-perda yang berbau syariat. Bahkan di kalangan Masisir, saat ini, sedang merebak isu, bahwa PPMI (Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia) telah membentuk sebuah Tim Pemerhati Interaksi Masisir. Tim ini sengaja dibentuk setelah melihat kondisi interaksi di kalangan Masisir —antara cowok dan cewek— yang kian memprihatinkan, bahkan mendekati permisivisme.
Hal-hal yang saya sebutkan tadi berkaitan erat dengan isu penerapan syariat Islam. Di negara-negara yang mayoritas masyarakatnya adalah Muslim, isu ini acapkali menjadi perbincangan menarik, bahkan tak jarang menimbulkan perbedaan pendapat, dan bahkan konflik, di kalangan ulama.
Saya kira dalam kondisi dunia yang seperti ini, tuntutan penerapan syariat adalah wajar, asalkan, tentu saja, harus diimbangi dengan pemahaman yang benar tentang makna syariat, sehingga tidak merusak tatanan sosial kemasyarakatan.
Penerapan Syari`at, Apa dan Bagaimana?
Dalam al-Qur’an, kata “syarî`ah” disebutkan satu kali, yaitu pada surat al-Jâtsiyah:18. Kemudian ada dalam bentuk kata kerja (syara`a) pada surat al-Syûrâ: 13 dan satu dalam bentuk “isytiqâq” (syir`ah) pada surat al-Mâ’idah: 48.
Kata “syarî`ah” seperti disebutkan pada ayat-ayat tersebut, menunjukkan makna “al-manhaj” (=metode atau cara), “al-sabîl” (=jalan) atau “al-tharîq” (=jalan). Dan makna yang terdapat al-Qur’an persis sama dengan apa yang ada di dalam kamus-kamus. Jadi sama sekali bukan kaidah-kaidah (al-qawâ`id) dan hukum-hukum (al-ahkâm) yang menjelaskan prihal ibadah-ibadah atau mu`âmalât.
Kalau selama ini banyak orang berkoar-koar menuntut agar syariat diterapkan, sebetulnya yang dituntut bukan penerapan syari`at itu sendiri, melainkan hukum-hukum Islam, seperti, potong tangan, penggunaan hijab, cadar, atau jilbab, penumbuhan jenggot, hukuman rajam dll. Sedangkan syari`at sendiri artinya adalah cara atau metode yang harus digunakan dalam menerapkan hukum-hukum tadi.
Syariat tidak hanya ada ketika Islam datang. Di zaman Nabi Musa as., bahkan sejak zaman Nabi Adam as. syariat sudah ada. Syariat Nabi Musa adalah syarî`ah al-haqq (=syari`at kebenaran), yaitu syari`at yang meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban berikut hukuman bagi setiap pelanggaran: memberi kewajiban-kewajiban tanpa keringanan serta menerapkan hukuman yang sangat keras. Syariat Nabi Isa as. adalah syarî`ah al-hubb (=syari`at cinta): kecintaan yang mengajak seseorang untuk tidak menuntut haknya di antara manusia, setiap orang mempunyai hak untuk membalas kejahatan yang dilakukan orang lain terhadap dirinya, tetapi ia tidak boleh berfikir untuk membalasnya. Ini sesuai dengan sebuah perkataan, “Jika ada orang menampar pipi kananmu, maka berilah pipi kirimu.”
Adapun syariat Nabi Muhammad saw. adalah syarî`ah al-rahmah (=kasih-sayang) yang menggabungkan antara al-haqq dengan al-hubb, memadukan hukuman dengan maaf, dan mengaitkan al-ta`âmul (=interaksi) dengan kebaikan, sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Baqarah: 178.
Jadi, sekali lagi, penerapan syari`at Islam adalah penerapan metode atau cara yang berlandaskan kasih-sayang dalam menjalankan hukum-hukum agama, yaitu memberikan kemudahan bagi manusia, menjaga kemaslahatan umum dan keseimbangan hak, dengan melihat kondisi atau realitas masa kini, serta tidak memberatkan bagi kaum Mu’minin.
Muhammad Syahrur dalam bukunya, al-Kitâb wa al-Qur’ân, membagi hudûd (hukum-hukum) dalam al-Qur’an, dalam penerapannya, menjadi enam:
Pertama, batas minimal (al-hadd al-adnâ). Misalnya ayat 23 dari surat al-Nisâ’ yang menjelaskan tentang al-mahârim, atau orang-orang yang tidak boleh dinikahi. Sejumlah orang yang haram dinikahi pada ayat tersebut adalah batas minimal.
Kedua, batas maksimal (al-hadd al-a`lâ). Dalam al-Qur’an terdapat ayat yang menerangkan prihal hukuman potong tangan bagi pencuri, dan ini merupakan hukuman maksimalnya. Dengan kata lain, hukuman bagi pencuri tidak boleh lebih dari itu. Hanya saja para ulama mungkin dapat menentukan, berdasarkan kondisi yang melingkupinya, obyektifitas pencurian yang layak mendapatkan hukuman tersebut. Ini sangat terkait dengan masalah waktu dan tempat yang perlu dilihat oleh para ulama dalam menentukan pencurian yang pantas dikenakan hukuman potong tangan.
Ketiga, batas minimal dan batas maksimal secara bersamaan. Contohnya adalah ayat al-Qur’an yang berbunyi, “Yushîkum’lLâh fî awlâdikum mitslu hazhzh al-untsayaîn.” Ayat ini menjelaskan tentang batas maksimal warisan untuk laki-laki serta menjelaskan batas minimal warisan untuk perempuan. Batas maksimal warisan untuk laki-laki adalah 66.6%, adapun batas minimal warisan untuk perempuan adalah 33.3%.
Keempat, batas minimal dan batas maksimal pada satu titik secara bersamaan. Misalnya surat al-Nûr ayat : 2 yang menjelaskan tentang hukuman bagi pelaku zina. Potongan dari ayat tersebut yang berbunyi, “Walâ ta’khudzû bihimâ ra’fah,” menunjuk pada batas minimal dan maksimal secara bersamaan.
Kelima, batas maksimal dengan garis lurus yang mendekati, artinya mendekati tapi tidak menyentuh. Ada ayat al-Qur’an yang berbunyi, “Lâ taqrabû al-zinâ.” Ayat ini berkaitan dengan kontak seksual antara laki-laki dan perempuan. Seorang laki-laki boleh saja berhubungan dengan seorang perempuan (=atau pacaran dalam istilah gaulnya) akan tetapi berhenti pada “garis batas” yang mendekati zina. Artinya jika seseorang mendekati zina tetapi tidak melakukannya, ia tidak mendapat hukuman. Seperti halnya ayat yang berbunyi, “Lâ taqrabû al-fawâhisya,” ayat ini melarang kita mendekati perbuatan keji, tetapi ketika kita mendekatinya dan tidak melakukannya, kita tidak berdosa.
Keenam, batas maksimal positif ekslusif (al-hadd al-a`lâ mûjab mughlaq) yang tidak boleh dilampaui, dan batas minimal negatif (al-hadd al-adnâ sâlib) yang boleh dilampaui. Ini menyangkut hubungan keuangan (al-`alâqah al-mâliyah) antara manusia. Dalam hal ini, riba merupakan batas maksimal, sedangkan zakat merupakan batas minimal yang bisa dilampaui dengan melakukan sedekah.
Yang jelas, terlepas dari pendapat Syahrur, penerapan hukum Islam harus berpijak pada kasih-sayang, bukan menyakiti. Dalam al-Qur’an disebutkan, “Maka barang siapa yang mendapatkan maaf dari saudaranya, sepantasnya ia membalasnya dengan perbuatan baik (=al-ma`rûf), dan memperlakukannya dengan ihsân.”
Penerapan Syari`at; Beberapa Contoh
Penerapan syari`at Islam sering ditandai dengan pemakaian hijab, cadar dan jilbab bagi perempuan, atau hukuman potong tangan bagi pencuri, atau hukuman cambuk bagi orang yang tidak shalat Jum`at sebagaimana yang terjadi di daerah Aceh baru-baru ini, atau juga penghancuran tempat-tempat pelacuran. Makanya di sini akan dibahas tentang hal-hal yang disebutkan tadi.
Sehubungan dengan pemakaian hijab, cadar, dan jilbab, Muhammad Syahrur, dalam menafsirkan ayat al-sitr (=penutup tubuh perempuan), menyatakan bahwa kata “al-zînah” dalam firman Tuhan yang berbunyi, “Walâ yubdîna zînatahunna illâ mâ zhahara minhâ,”—setelah membagi al-zînah menjadi dua, yaitu, zhâhirah bi al-khalq, dan ghayr zhâhirah bi al-khalq— bermakna “apa yang terlihat dari tubuh perempuan ketika penciptaannya, artinya apa yang dinampakkan oleh Tuhan pada saat ia diciptakan, seperti kepala, punggung, perut, kaki dan tangan.”
Sedangkan bagian yang ghayr zhâhirah bi al-khalq (yang tidak terlihat ketika diciptakan) adalah “al-juyûb” —jama` dari kata “jayb”. Al-juyûb pada perempuan ada dua bagian: bagian pertama yaitu, dua payudara dan bawah ketiak, sedang bagian kedua: kemaluan dan bawah bokong. Ini semua adalah juyûb, atau aurat perempuan yang harus ditutupi.
Menurut Syahrur, masalah hijab atau al-sitr termasuk pada al-hadd al-adnâ (=batas minimal), seperti dijelaskan sebelumnya. Ayat 31 pada surat al-Nur di atas menjelaskan perihal batas minimal hijab, atau penutup tubuh perempuan. Sedangkan batas maksimalnya adalah seluruh badan kecuali wajah dan kedua tangan. Dengan pemaknaan seperti ini, jika seorang perempuan menggunakan “BH” dan “CD” saja, itu sudah dianggap menutupi aurat, tidak boleh kurang, sebab inilah batas minimalnya. Dan ini tidak melangggar ketentuan syari`at. Namun, jika berkehendak, seorang perempuan boleh menggunakan pakaian yang menutupi seluruh badan, asal tidak sampai menutupi wajah dan kedua tangan, karena inilah batas maksimalnya.
Perihal hukuman potong tangan bagi pencuri, ada pendapat menarik dari Muhammad Said al-`Asymâwî. Menurutnya, sebelum datang Islam, hukum potong tangan sudah ada sejak zaman Jahiliyah, jadi masih merupakan tradisi. Orang yang pertama kali melaksanakannya dalam Islam adalah al-Walîd ibn al-Mughîrah, kemudian turunlah ayat al-Qur’an yang menyuruhnya. Ini menunjukkan bahwa dalam masalah hukuman, Islam menyesuaikan dengan tradisi setempat. Di Zaman Jahiliyah, hukuman yang pantas bagi pencuri adalah potong tangan, lalu al-Qur’an turun menyuruh demikian. Di Indonesia, sejak dulu, hukuman yang layak bagi pencuri adalah penjara, jangan samakan antara Arab dengan Indonesia, setiap daerah mempunyai hukumnya sendiri-sendiri. Hanya saja perlu ditentukan, dalam kondisi apa, dan pencurian apa yang layak dikenakan hukuman potong tangan atau penjara?
Umar bin Khatthab misalnya, salah satu khalifah yang paling keras, tidak menerapkan hukum potong tangan pada masa-masa paceklik. Sebab beliau tahu bahwa pelaksanaan hukum Islam harus didasarkan pada rahmat, tidak untuk mempersulit. “Tuhan tidak membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan kemampuannya,” begitu dalam al-Qur’an disebutkan.
Mengenai hukuman cambuk terhadap orang yang tidak shalat Jum`at, ini juga perlu ditinjau ulang. Menurut Muhammad Said al-`Asymâwî dalam bukunya, Jawhar al-Islâm, Jum`at pada awalnya adalah hari di mana orang-orang Arab berkumpul pada suatu tempat untuk membahas pelbagai persoalan, yang di zaman Jahiliyah dinamakan dengan al-`Urûbah (=harinya orang Arab). Orang yang yang pertama kali memberi nama “Jum`at” adalah Ka`ab bin Lu’ay. Setelah datang Islam, tradisi ini dilanjutkan, kaum Muslimin di Madinah berkumpulkan pada hari Jum`at. Karena mereka ingin berbeda dengan umat lainnya, Sabtu adalah harinya orang Yahudi, dan Ahad adalah harinya umat Kristiani.
Pada hari Jum`at inilah kaum Muslimin berkumpul, mereka berdzikir dan shalat bersama. Menurut Shâdeq al-Nayhûm, dalam bukunya, Mihnah al-Tsaqâfah al-Muzawwarah, di masa Nabi saw., pelaksanaan shalat Jum`at tidak seperti sekarang. Ketika itu, shalat jum`at merupakan ajang konferensi besar yang menyatukan seluruh umat Islam untuk membahas persoalan-persoalan besar yang krusial, persoalan-persoalan kontempoter pada waktu itu. Semua orang mempunyai hak yang sama untuk menyuarakan pendapatnya, sehingga ketika Nabi menyampaikan khutbah, sering terjadi dialog antara beliau dengan kaum Muslimin, jadi suasananya hidup, tidak pasif. Setiap Jum`at selalu saja ada persoalan baru yang dibahas oleh Nabi, dan ini memancing para hadirin untuk bertanya, sehingga terjadilah dialog itu. Sekarang lain lagi, shalat Jum`at hanya menjadi ajang indoktrinasi, sementara masalah yang dibahas itu-itu saja, tidak ada yang baru, hanya masalah halal-haram. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia, terutama di pedesaan atau perkampungan, khutbah Jum`at masih menggunakan bahasa Arab, padahal secara umum penduduk di sana tidak memahaminya. Tentu saja hal ini membuat orang bosan dan malas, di samping masalah yang bahas itu-itu saja —bahkan banyak khatib yang hanya membaca teks, setiap Jum`at yang dibaca itu saja, tidak ada teks lain— juga pengetahuan mereka tentang bahasa Arab sangat rendah, malah barangkali tidak paham sedikitpun. Apalagi mereka hanya disuruh duduk dan diam selama kurang lebih satu setengah jam, tidak ada dialog. Demi melihat hal ini, jangan salahkan jika kemudian ada orang yang tidak shalat Jum`at. Hukuman cambuk hanya akan melahirkan manusia-manusia munafik. Coba, apa gunanya ibadah tanpa keikhlasan?
Adapun mengenai penghancuran tempat-tempat pelacuran, saya pernah baca sebuah majalah yang memberitakan tentang protes para PSK (Pekerja Seks Komersial), dengan melakukan demo di depan kantor Wali Kota yang hendak menghancurkan —setelah didesak oleh para ulama demi tegaknya syari`at Islam— lokasi-lokasi di mana mereka beroperasi. Dalam protes itu, salah satu dari PSK tersebut berteriak, “Pak Wali, kalau lokasi kami beroperasi mau dihancurin, tolong nikahi kami, hidupi kami, beri kami makan.”
Saya katakan, bahwa penghacuran lokasi-lokasi prostitusi bukanlah solusi yang tepat. Kalaupun akhirnya lokasi-lokasi itu berhasil dihancurkan, hanya akan membuat para PSK itu menjadi tidak terkontrol, mereka akan tetap melakukan operasi di mana-mana atau di sembarang tempat. Menurut hemat saya, solusi yang tepat, jika memang sungguh-sungguh, wali kota tersebut seharusnya menyediakan banyak dana, kemudian bangun pabrik besar, dan suruh para PSK itu bekerja di sana. Ini akan lebih selamat daripada penghancuran yang tanpa tindak lanjut. Jadi sebetulnya, kita tidak perlu sibuk-sibuk melakukan pengrusakan dengan dalih penerapan syariat.
Penutup
Sebenarnya apa yang saya tulis ini merupakan salah satu upaya dari sekian banyak upaya lain dalam rangka menyegarkan kembali pemahaman terhadap syariat. Kita sering melihat orang yang ngoceh sana-sini menuntut penerapan syariat, tapi tidak jelas syariat yang mana, tahu-tahu memotong tangan pencuri, nyuruh perempuan pakai jilbab, mencambuk orang yang tidak shalat Jum`at, menghancurkan tempat-tempat prostitusi atau gedung-gedung bioskop. Apakah ini yang namanya penerapan syari`at? Kalau dikatakan bahwa penerapan syari`at dengan cara melaksanakan hukum-hukum adalah jalan dakwah guna mengajak manusia agar tetap konsisten pada keislamannya, saya kira al-Qur’an sudah dengan tegas menyatakan, “Wahai Muhammad, ajaklah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasihat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang paling baik.” Tidak ada ayat yang menyatakan, “Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan potong tangan.” Dalam al-Qur’an memang ada hukum potong tangan, rajam, cambuk, tapi itu hanya mengikuti tradisi.
Saya lihat, selama ini, penerapan syariat hanya terfokus pada hukum-hukum formal, sama sekali tidak mendidik jiwa. Di masa Nabi, ketika beliau pertama kali berdakwah, tidak langsung melarang zina, sebab beliau tahu orang-orang Quraisy sudah pasti akan mengatakan, “Kami tidak akan meninggalkan zina.” Beliau berdakwah dari hati ke hati, karena hati adalah tempat bermuaranya rahmat, dan hati hanya bisa didekati dengan hikmah.
Ibarat sebuah kerajaan, maka hati adalah raja bagi raga. Bila kita ingin menguasai sebuah kerajaan, kita harus berhasil “memegang” dan mempengaruhi sang raja. Jika kita ingin membuat seseorang menjadi tunduk, kita harus menguasai hatinya. Manakala kita sudah menguasai hatinya, potong tangan menjadi tidak berarti, sebab tangan hanyalah rakyat bagi hati.
Itulah makna penerapan syariat kasih-sayang, tidak keras hingga mudah dipatahkan, tidak lembek hingga mudah diinjak-injak. Sekian dan mohon maaf.