**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Friday, September 01, 2006
Kritik Otoritas Fikih
(Upaya Revitalisasi Nalar Jurisprudensi Islam)

Oleh: M. Aunul Abied Shah & Roland Gunawan


I
Konsep Otoritas


OTORITAS (=al-Sulthah) secara etimologis bahasa Arab berarti “pengaturan, penguasaan, kemampuan dan kewenangan”.[1] Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa Otoritas adalah: 1. Kekuasaan sah yang diberikan kepada suatu lembaga dalam masyarakat yang memungkinkan para pejabatnya menjalankan fungsinya; 2. Hak untuk bertindak; 3. Kekuasaan; wewenang; 4. Hak melakukan tindakan atau hak untuk membuat peraturan untuk memerintah orang lain.[2]

Dan pengertian Otoritas secara terminologis (dengan O kapital) terkadang menimbulkan kesalah-pahaman, sebagaimana tersurat dalam makna etimologis bahasa Indonesia di atas. Seperti ditekankan oleh Michel Foucault, meskipun terlihat secara tegas dalam praktek-praktek politik kenegaraan, tetapi Otoritas —dalam prakteknya— tidak terbatasi oleh ketundukan satu pihak terhadap pihak tertentu (dalam hal ini adalah penguasa); sebagaimana tidak termanifestasikan dalam sebuah bentuk praktek tertentu, misalnya: kekerasan fisik dan atau non fisik. Otoritas menyebar ke dalam seluruh unsur dan tataran masyarakat: dari penguasa kepada rakyatnya, dari bapak kepada anaknya, dari guru kepada muridnya, dan akhirnya dari agamawan kepada pengikutnya. Otoritas adalah tatanan yang mengatur hubungan strategis antara sebuah pihak dengan pihak lain dalam proses produksi sikap dan pikiran, atau dengan bahasa lain: memproduksi realitas. Sedangkan hubungan strategis yang dimaksudkan di sini adalah hubungan kuasa dan ketundukan, yang membuat pihak lain harus menerima realitas yang digariskan, dengan atau tanpa adanya perlawanan.[3]

Bertolak dari pengertian di atas kita bisa melihat adanya tiga kutub otoritas dalam pemikiran Islam, termasuk di dalamnya pemikiran hukum yang menjadi pembahasan kita sekarang. Ketiga kutub tersebut adalah: otoritas ilmiyah, otoritas politik dan otoritas publik. Ketiga otoritas itu bisa ditelisik lebih jauh, antara lain, dilihat dari hubungan ketundukan manusia terhadap kuasa Tuhan yang menjadi substansi sebuah pemikiran keagamaan.

Meskipun demikian, treatise ini akan melepaskan diri dari tafsir “metafisik” (dalam pengertiannya yang terbatas: berkenaan dengan sakralitas dan selanjutnya berkenaan dengan legitimasi) terhadap sebuah Otoritas. Karena treatise ini akan mengangkat semua Otoritas yang secara de facto ada dalam praktek-praktek pengambilan hukum Islam dan selanjutnya memberikan justifikasi kepada sebentuk relasi kuasa-ketundukan timbal balik. Selanjutnya, treatise sederhana ini juga akan mengkaji hubungan yang berlangsung antara semua Otoritas dalam kerangka pemikiran hukum Islam.


II
Konstruksi Otoritas

OTORITAS dalam hukum Islam, pada mulanya, terpersonifikasi dalam figur. Kalau sebutan ini dibenarkan, figur itu adalah Allah dan Rasul-Nya saw..[4] Sepeninggal Rasul terakhir, secara de jure (menurut para ulama) hanya terletak pada dalil atau sumber hukum, dalam kapasitasnya sebagai sebuah pengejawantahan “ketentuan” Tuhan. Manusia hanya bertugas sebagai penerima (=reciever) “pancaran”-nya, untuk kemudian diterjemahkan ke dalam sikap dan pemikiran, atau realitas kehidupannya. Pada yang terakhir ini (penerjemahan ke dalam realitas) unsur subyektif manusia dan unsur obyektif kontekstual di seputarnya mempunyai peran penting. Meskipun ada perbedaan gradualistik —dalam besarannya— di antara berbagai aliran pemikiran Islam.

Karena itu, tidak mengherankan kalau dalam jurisprudensi Islam terdapat apa yang dinamakan sebagai sumber pertama dan kedua, kemudian sumber-sumber yang debatable, bukan sekedar dalam sejauh mana relevansi pemakaiannya, melainkan juga dalam keabsahan substansialnya.

Menurut para ulama, sumber hukum pertama yang secara absolut mewakili ‘kehendak Tuhan adalah al-Qur’an (Kitab), diikuti Sunnah atau Hadis Nabi sebagai sumber sekunder. Keduanya adalah pilar utama Otoritas Ilmiyah dalam Islam. Masih ada beberapa sumber hukum lain dalam istilah para ulama Ushul Fikih, yaitu: Ijmâ` (=konsensus), Qiyâs (=analogi), Istishlâh (=pencapaian maslahat), Istihsân (=kebaikan yang dicapai dengan rasio), Istish-hâb (=penetapan hukum yang telah berlaku sebelumnya), Qawl Shahâbî (=pendapat sahabat), Syar` Man Qablanâ (=syari`at agama pra-Islam), Sadd al-Dzarâ’i` (=tindakan preventif), `Amal Ahl al-Madînah (=tradisi penduduk Madinah), `Urf (=adat istiadat), Istiqrâ’ (=observasi), al-Akhdz bi Aqall Mâ Qîla (=pengambilan ukuran minimal yang dikemukakan), Ijtihad dan Dalil al-`Aql (Rasio).

Analisis strukturalistik terhadap sumber-sumber hukum Islam yang telah dikemukakan menjurus kepada klasifikasi berikut:

a. Sumber hukum transmisional (=al-naql): Kitab, Sunnah, Ijmâ` (yang berdasarkan teks), Qawl Shahâbî, Syar` Man Qablanâ dan Istiqrâ’ (yang berkenaan dengan kajian terhadap teks Kitab dan Sunnah).

b. Sumber hukum rasional (=al-`aql): Ijmâ` (dalam hal-hal yang tidak termaktub dalam Kitab dan Sunnah secara tekstual), Qiyâs, Istishlâh, Istihsân, Sadd al-Dzarâ’i`, Dalîl al-`Aql, al-Akhdz bi Aqall Mâ Qîla dan Ijtihâd.

c. Sumber hukum realitas kontekstual (=al-wâqi`): Istish-hâb, `Amal Ahl al-Madinah, `Urf dan Istiqrâ’ (yang berkenaan dengan penelitian lapangan).

Tentu saja analisis struktural seperti ini telah melompati adanya inkoherensi (=idhthirâb dâkhilî) yang melekat dengan klasifikasi ini: apakah sebuah sumber hukum tertentu termasuk bagian yang pertama, kedua atau ketiga? Apa yang terjadi pada Ijmâ` dan Istiqrâ’, seperti disinggung di atas, telah memperlihatkannya. Kalau ditelisik lebih jauh, inkoherensi ini juga akan berlanjut pada berbagai sumber hukum lain, seperti Qawl Shahâbî: termasuk yang manakah pendapat seorang sahabat dalam masalah keagamaan yang dilahirkan melalui proses kontemplasi rasional? Begitu juga Qiyâs yang menurut sebagian orang —pada hakikatnya— adalah pengertian lanjutan yang diambil dari sebuah teks. Begitu juga dengan `Amal Ahl al-Madînah: bagaimana kalau tradisi tersebut merupakan terapan tekstual daripada yang terdapat dalam Kitab dan Sunnah? Begitu juga dengan Istish-hâb: apakah termasuk realitas ataukah sumber hukum rasional? Bagaimana kalau dilandaskan pada syariat pra-Islam? Demikian dan seterusnya.

Analisis strukturalistik yang lain baru-baru ini dicetuskan oleh para pemikir Islam kontemporer. Di antaranya adalah Jamal `Athîyah yang membedakan antara “sumber hukum” dan “metode penyimpulan hukum”. Karena itu, pemikir Mesir ini membagi sumber-sumber hukum Islam tersebut sebagai berikut:
a. Al-Naql: Kitab, Sunnah, Syar` Man Qablanâ.
b. Otoritas Ulama (=Ûlu al-Amr): Ijmâ` dan Ijtihâd.
c. Realitas (=al-awdhâ` al-qâ’imah): `Urf dan Istish-hâb.
d. Rasio
e. Al-Barâ’ah al-Ashlîyah (pandangan bahwa semua orang pada asalnya terbebas dari tuduhan atau beban, dan bahwasanya semua perbuatan adalah diperbolehkan, selama tidak ada dalil yang menunjukkan kebalikannya).

Sementara, hal-hal lain yang disebut sebagai sumber hukum oleh para ulama ushul fikih, sejatinya harus disebut sebagai “metode penyimpulan hukum”.[5]

Klasifikasi ini juga tidak terlepas dari persoalan. Sebagian di antaranya sudah disinggung dalam menyikapi klasifikasi terdahulu. Apalagi kalau persoalan tersebut sudah ada (menjadi bawaan) dari pluralitas pemikiran yang terjadi di kalangan ulama masa lalu. Seperti Ijtihad misalnya, sebagai sebuah proses berpikir, seharusnya Ijtihad bisa diklasifikasikan ke dalam dua bagian yang saling berhubungan: ijtihad sebagai sebuah proses berpemikiran yang dilakukan oleh ulama yang memenuhi kualifikasi dan produk pemikiran itu sendiri. Sementara para ulama dahulu terkadang memandang semua “sumber hukum” yang mengandung unsur kontemplasi rasionalistik —sedikit atau banyak— sebagai ijtihad; sebagaimana ada pula kelompok lain yang membahasakannya sebagai sumber hukum independen yang terlepas sepenuhnya dari teks.


Kritik Otoritas Fikih

Dan analisis strukturalistik seperti ini memang mempunyai kelemahan mendasar karena menjadikan sebuah diskursus sebagai sebuah “dunia ideal” yang cenderung homogen dan melupakan nuansa-nuansa berbeda yang bisa mendistruksi imajinasi ideal tersebut. Dengan bahasa lain, strukturalisme terpuruk pada kecenderungan generalisasi membabibuta yang menafikan kebhinnekaan dalam setiap unit bangunan. Meskipun demikian, model analisis strukturalistik seperti ini telah berjasa besar dalam menyingkap logika internal sebuah pemikiran atau diskursus, di samping juga membeberkan struktur yang mengontrol komponen-komponennya tanpa memperdulikan konteks historis dan realitas-realitas kecil yang menyelimuti bagian-bagian penyusunnya.[6]

Kembali ke awal bagian ini, pada mulanya Otoritas hukum Islam dipegang oleh Allah dan Rasul-Nya. Kemudian bermetamorfosa menjadi sebuah ajaran dan atau atau katakanlah: nilai. Melalui perjalanan sejarah yang panjang, ajaran dan nilai tersebut tereduksi kembali dan dianggap mengejawantah dalam figur tertentu. Awalnya adalah kelompok besar yang hidup dalam tiga masa berturut-turut: sahabat, tâbi`în dan tâbi` al-tâbi`în. Kemudian mengerucut dalam dikotomi: Ahl al-Hadîts dan Ahl al-Ra’yi. Tak lama kemudian Otoritas itu berdiaspora dalam bentuk mazhab-mazhab yang merepresentasikan apa yang disebut sebagai ortodoksi dan meniscayakan adanya penyederhanaan proses berfikir, keberpihakan dan fanatisme.

Sekarang, Ortodoksi tersebut diasumsikan ada dalam figur para ulama (=agamawan) yang mempunyai penguasaan memadai terhadap sumber hukum dan data-data keilmuan Islam. Kadangkala, dalam sebagian masyarakat, penampakan spiritualitas (=kezuhudan) dan keturunan sudah cukup membuat seseorang dianggap mempunyai Otoritas di sini. Dan demikianlah, ajaran dan nilai tereduksikan ke dalam figur-figur tertentu, yang sungguhpun tidak ma`shûm (=terbebas dari kesalahan dan dosa), tetapi dianggap mempunyai kapasitas sebagai “wakil Tuhan” dalam menentukan hukum segala sesuatu secara final dan absolut; sebuah fenomena yang –bagi sebagian orang— tidak bisa dihindarkan di masa kini yang meniscayakan spesialisasi keilmuan saat persoalan keduniaan semakin kompleks. Dan kepelikan persoalan hidup membuat banyak manusia yang terjerat dalam klimaks materialisme mencari pegangan spiritual melalui tuntunan para “wakil Tuhan” itu; sebuah fenomena lanjutan yang meniscayakan timbulnya (fenomena) kultus individu.

Dari sini, bisa disimpulkan perlunya mengembalikan situasi dari kultus terhadap figur menjadi pengembalian Otoritas itu kepada ajaran dan nilai seperti dulu lagi. Kembali dari Otoritas pribadi menjadi Otoritas yang berorientasi seutuhnya kepada ajaran dan epistema. Itulah substansi dari sabda Rasulullah saw.: “Saya tinggalkan untuk kalian dua hal, kalian tidak akan pernah tersesat selama berpegang pada keduanya: Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.”[7]


III
Otoritas Ilmiyah: Nilai, Teks dan Figur

BAGIAN terdahulu telah menunjukkan bahwa Otoritas Ilmiyah berdifusi dalam tiga strata yang bertingkat: pada landasannya adalah nilai atau ajaran; kemudian mengejawantah pada tingkatan kedua dalam bentuk Teks, dan lalu terlihat dari atas pada penampakan ketiga, yang menjadi bagian terluar dari Otoritas Ilmiyah itu sendiri, yaitu figur seorang ulama atau agamawan.

Sebagai sebuah penampakan duniawi (=profan) terhadap sebuah ajaran yang sakral, dan sebagai sebuah manifestasi yang nisbi terhadap sebuah nilai yang absolut, akan selalu terjadi gradasi reduksionis yang semakin bertambah dalam setiap tingkatan. Kalau pada tingkatan kedua (penampakan tekstual) reduksi dan perubahan bisa diminimalisir —bahkan diasumsikan tidak ada oleh umat yang beriman karena perangkat `ishmah seorang Nabi, `adâlah para sahabat, konsensus dan konsep tawâtur yang disodorkan dalam Ideologi Islam—, maka pada tingkatan ketiga yang terjadi adalah sebaliknya: ketika kolektivitas berubah menjadi individualitas, ketika `ishmah dan `adâlah sebagai sebuah privelese sakral hilang, dan ketika tawâtur tidak ada lagi karena kebaharuan pemikiran dan persoalan yang dihadapi, pada saat itulah gradasi reduksionis dan bahkan manipulasi menjadi fenomena umum yang tidak bisa disangkal.

Kalau boleh digambarkan, maka bentuk hubungan antara ketiga tingkatan ini adalah seperti bagan berikut:

Strata I>Strata II>Strata III

bukan

Strata I=Strata II=Strata III


Strata I (nilai dan ajaran absolut) dengan sendirinya tereduksikan saat mengalami pembumian atau penduniaan pada Strata II (Teks). Karena “kalimat” Allah tidak bisa diwakili sepenuhnya di antara dua sampul Kitab,[8] yang bisa dianalogikan dengan realitas yang diakui bahwa “kalimat” Nabi Muhammad saw. tidak seluruhnya terdapat dalam kitab-kitab Hadis. Dan keabsolutan yang terdapat pada Strata II menjadi berkurang, bahkan tergantikan oleh relativitas pada Strata III (figur ulama). Memang benar, bahwa secara materi/data ada perluasan dan penambahan pada Strata Ketiga ini —karena disebabkan oleh keterbatasan teks yang “ada” dan kesinambungan peristiwa historis yang terus berlangsung dan bertambah—; tetapi —di sisi lain— terjadi penyempitan kebenaran, dalam arti bahwasanya relativitas yang sekarang kuat menyelimuti telah mencabut hak para agamawan pada Strata Ketiga untuk mengklaim kebenaran. Karena bisa jadi posisi “kebenaran” saat itu tidak bisa ditentukan, sebagaimana “kebenaran” itu bisa berdifusi ke beberapa pihak (tidak tunggal). Oleh sebab itu, seorang figur ulama —siapapun dia— tidak bisa mengklaim bahwa pemikirannya sama dengan nilai dan ajaran Tuhan yang absolut.[9]

Di sisi lain, kajian terhadap Otoritas Ilmiyah sebagai sebuah fenomena, bukan sebagai sebuah hakikat metafisik di luar sejarah mengharuskan kita untuk memfokuskan diri pada Strata Ketiga dalam kapasitasnya sebagai bagian terluar yang tampak kasat mata. Para ulama di Strata Ketiga inilah yang menjadi “pembawa” hukum Islam di setiap tempat dan waktu, khususnya di masa kini. Sehubungan dengan hal ini, Mohammed Arkoun mengatakan:

Hal lain yang perlu dibahas juga adalah tentang Fenomena Islam. Sebenarnya istilah fenomena Islam —yang kita gunakan dengan maksud sebagai pengganti dari istilah Islam yang populer pada setiap bibir dan lidah— memudahkan kita untuk mencapai beberapa sasaran dalam satu tepuk. Pertama, memudahkan kita untuk meng-akar-kan Islam dalam historitas daripada hanya menjadi pemahaman ideal di luar zaman dan tempat. Kedua, memudahkan kita untuk membersihkan pemahaman Islam dari segala akumulasi, tambahan tambalan dan berbagai macam ketumpang-tindihan yang menimpanya dalam perjalanan masa. Islam apa yang kita bicarakan: Apakah Islam masa klasik, atau Islam masa kemunduran? Ketiga, menghindari intuisi spontan mengenai pengertian Islam yang kita yakin memahami apa itu Islam dengan hanya sebatas melafalkan kata Islam. Siapa yang tidak tahu apa itu Islam? Mungkinkah seorang Muslim tidak tahu apa itu Islam? Akan tetapi di sana terdapat perbedaan antara pengetahuan historis, dan pengetahuan referensial dan tradisional yang ada. Ketumpang-tindihan dan kekacauan ini menjadi bertambah dalam penggunaan kata Islam sejak sistem-sistem negara mapan setelah kemerdekaan menguasai sistem simbolik tertinggi yang menitis dalam Islam. Negara mapan ini kemudian mengaku-ngaku dirinya sebagai negara Islam supaya mendapatkan legitimasi di mata publik. Kemudian timbullah gerakan fundamentalisme yang sekarang dan mulai menambah peniruan terhadap konsep Islam serta berusaha memonopolinya untuk kemaslahatannya sendiri dan menghapus sifat atau legalitas keislaman apapun. Meningkatnya fenomena ini mencapai puncaknya pada tahun-tahun terakhir ini dalam konfrontasi langsung antara gerakan-gerakan perlawanan (=protes) fundamentalisme dan antara sebagian besar sistem-sistem yang ada di dalam dua dunia, Arab–Islam. Tak ayal lagi, konflik terjadi seputar unsur tertinggi dalam eksistensi: unsur legalitas dan legitimasi. Oleh karena Islam merupakan modal simbolis terbesar bagi legitimasi pada negara-negara ini, maka konflik yang terjadi untuk memperebutkan dan memonopolinya menjadi keras dan berbahaya. Konflik ini bersembunyi di baliknya secara langsung, konflik memperebutkan kekuasaan. Realitanya bahwa tradisi repetisi yang terus memuncak terhadap Islam sebagai sebuah fenomena sudah sempurna sejak waktu yang cukup lama, yaitu sejak al-fitnah al-kubrâ (=bencana besar di masa Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib). Setiap kelompok mengaku sebagai Islam yang benar tanpa yang lain. Banyak darah mengalir dalam memperebutkan legitimasi. Peningkatan konstelasi konflik ini masih terus berlangsung sampai kini dan masih nampak dalam berbagai konteks historis dan sosial. Kita beri contoh misalnya dari sekian banyak contoh-contoh lain yang tidak terhitung: serangan para pengikut kelompok Druze di Maroko terhadap kaum Murâbithîn guna merampas kekuasaan politik dari tangan mereka (Ibn Tumart). Mereka, para pengikut kelompok Druze itu, sudah melakukan konfrontasi terhadap kaum Murabithin atas nama Islam supaya dapat merampas kekuasaan dari tangan mereka. Sebenarnya konsep fenomena Islam memudahkan kita dalam memahami proses monopoli agama dan nasionalisasinya untuk pertama kali oleh orang-orang dinasti Umawiyah. Proses nasionalisasi dan monopoli ini semakin membesar di bawah naungan orang-orang Abbasiyah, akan tetapi pada saat itu, proses tersebut disertai gerakan kultural, ilmiyah dan filsafat yang kaya sekali. Seperti diketahui bahwa orang-orang Abbasiyah juga telah melakukan konfrontasi terhadap orang-orang Umayah atas nama Islam untuk menjatuhkan mereka. Setelah itu orang-orang Utsmaniyah menerima bendera, kemudian bendera tersebut diterima oleh negara-negara sekarang setelah jatuhnya kerajaan Utsmaniyah. Akan tetapi sudah jelas sejak masa Utsmaniyah bahwa peradaban pemikiran dan intelektual yang menyertai Islam pada masa Abbasiyah sudah pudar dan berakhir. Mulailah menejemen politik kerajaan ini lebih memperhatikan agama populis (yang bersifat ritualistik) dan mengabaikan perdebatan-perdebatan pemikiran dan dogmatik besar yang menjadi keistimewaan masa klasik. Dan para pemuka agama (=rijâl al-dîn) atau para ulama yang bertanggung-jawab dalam memudahkan urusan-urusan pensucian (=al-taqdîs) menjadi hanya sebatas pegawai-pegawai, untuk tidak mengatakan sebagai pelayan bagi kekuasaan politik, sejak masa Utsmaniyah hingga sekarang. Maka bertambahlah sudut-sudut keagamaan (=zâwiyah) atau lembaga-lembaga kesufian di tempat-tempat terperncil yang tidak tunduk pada kekuasaan pemerintah pusat. Dua hal ini menjadi seakan-akan sebagai keistimewaan terbesar bagi fenomena Islam, paling sedikitnya, sejak abad ketiga belas. Pada saat itu Islam sudah memasuki fase pengulang-ulangan yang menjemukan dan masa kediaman tanpa aktivitas yang berkepanjangan.[10]

Ya, tidak ada jalan lagi selain melihat bagaimana Otoritas Ilmiyah ditegakkan dalam bagian terbesar sejarah Islam, kalau bukan keseluruhannya, dengan melihat kiprah seorang ulama: figur terpandang yang mempunyai penguasaan yang memadai terhadap materi-materi Islamologi dan metodologi penerapannya. Di sini, perlu ditelusuri: bagaimana proses pembentukan (=takwîn, genesis) seorang ulama, bagaimana seorang ulama menerapkan ilmunya ke dalam realitas dan bagaimana independensi seorang ulama dalam hubungannya dengan pihak luar (Otoritas Politik dan Publik).

Dan melihat Otoritas sebuah nilai dan ajaran melalui manifestasinya dalam figur penyandangnya mendapatkan relevansinya dari kenyataan bahwa obyektivitas mutlak pada hakikatnya tidak ada dan tidak bisa direalisasikan. Dalam penelitian ilmu-ilmu kealaman setelah runtuhnya ide tentang determinisme universal,[11] obyektivitas seorang ilmuwan akan selalu terpengaruhi oleh subyektivitas dirinya. Apalagi dalam ilmu-ilmu non-eksak seperti Islamologi.

a. Unit-unit pembentuk seorang ulama

APA saja unit-unit keilmuan yang secara bersama-sama menyusun bangunan pemikiran seorang ulama atau agamawan dalam tradisi Islam Ortodoks? Karena derajat “Mujtahid Mutlak” dianggap tertinggi dalam tradisi ini, ada baiknya kita mengambil sampel seorang Muhammad bin Idrîs al-Syâfi`î sebagai representasi. Khususnya karena beliau diakui sebagai salah seorang di antara pemangku derajat ini. Penelusuran historis terhadap biografi Imam salah satu mazhab Fikih ini menunjukan bahwa beliau menguasai, bahkan menghafal di luar kepala, pelbagai data materiil yang berkenaan dengan:

1. Bahasa Arab: ilmu, sastra dan rahasia-rahasianya
2. Al-Qur’an, tafsir dan ilmu-ilmunya
3. Sunnah Nabi saw., baik riwâyat-an (=teks dan jalur transmisinya) dan maupun dirâyat-an (=kritik pengetahuannya)
4. Pengetahuan yang mendalam tentang metode optimalisasi data hukum dan rasio dalam proses penyimpulan hukum (manhaj istinbâth al-ahkâm, atau yang dikenal belakangan sebagai ilmu Ushul Fikih)
5. Akidah yang benar
6. Budi pekerti
7. Pengetahuan yang memadai tentang realitas lingkungan, berikut kebiasaan sosial dan kecenderungan manusia
8. Pengetahuan yang memadai tentang pendapat sahabat dan fatwa-fatwa/hukum pengadilan yang dikeluarkan oleh para ulama sebelumnya
9. Dan lain-lain.[12]

Di sisi lain, seorang teoritikus jurisprudensi Islam yang sangat terkenal, yaitu al-Badr al-Zarkasyî, menggariskan bahwa seorang mujtahid adalah manusia mukallaf (baligh dan berakal) yang mempunyai kemampuan mekanistik (mendarah-daging, malakah) untuk menyimpulkan sebuah keputusan hukum. Kemampuan tersebut tidak akan bisa dicapai kecuali dengan memenuhi persyaratan-persyaratan berikut:

1. Menghafal teks-teks al-Qur’an dan Sunnah, terutama ayat-ayat yang berkenaan langsung dengan hukum jurisprudensial.
2. Mengetahui hadis-hadis yang berkenaan dengan hukum. (Menurut al-Mâwardî ada 500 hadis, sementara menurut Ibn al-`Arabî ada 3000 hadis, di lain pihak, Ahmad bin Hanbal bersikap lebih memberatkan di sini).
3. Mengetahui Ijmâ` para ulama agar tidak mengeluarkan fatwa yang berlawanan dengannya.
4. Mengetahui metode penerapan Qiyâs.
5. Mengetahui proses berfikir yang benar dan metodologinya (=kayfîyât al-nazhar).
6. Menguasai bahasa Arab dan rahasia-rahasia yang terkandung dalam dialog-dialog mereka.
7. Mengetahui ayat-ayat yang menghapuskan (=al-nâsikh) dan ayat-ayat yang tidak diberlakukan lagi (=al-mansûkh).
8. Dan mengetahui kondisi para periwayat hadis di lihat dari kekuatan dan kelemahannya.[13]

Itulah beberapa unit pembangun pemikiran hukum yang diharuskan ada dalam diri seorang ulama fikih. Yang menarik perhatian kita, bahwa syarat-syarat yang dikemukakan di atas tidak seberat atau semustahil yang dikemukakan oleh sebagian kalangan “pro-stagnasi” di belakang hari.

b. Proses penyimpulan hukum di tangan Otoritas Ilmiyah

KALAU dipaparkan menurut kacamata normatif, kita bisa merujuk kepada kisah sahabat Mu`âdz bin Jabal ra. yang pernah ditanya Rasulullah saw. saat akan diutus sebagai gubernur Yaman: “Dengan apa kamu memutuskan hukum?” Dia menjawab: “Dengan berdasarkan Kitab Allah.” Ditanya lagi oleh Rasulullah saw.: “Kalau kamu tidak mendapatkan di dalamnya?” Dia menjawab: “Dengan berdasarkan Sunnah Rasulullah.” Ditanya lagi: “Kalau tidak mendapatkan lagi?” Dia menjawab: “Saya berijtihad dengan pendapat saya dengan bersungguh-sungguh dan tidak mengurangi daya-upaya.”[14]

Dan bisa dikatakan bahwa hampir tidak ada persoalan baru pada awal masa sahabat, kecuali sudah ada sebelumnya atau padanannya pada zaman Nabi. Setelah itu, khususnya di kawasan-kawasan yang jauh dari Madinah dan pada masa pra-Islam sempat menjadi pusat peradaban klasik, muncul persoalan-persoalan yang sulit dicari padanannya dengan prosedur penyimpulan hukum yang sederhana. Karena itu, para fuqaha —sejak Imam al-Syâfi`î— berusaha merumuskan menerapkan teks-teks suci ke dalam realitas (=min al-nashsh ilâ al-wâqi`), yang bisa digambarkan secara sederhana sebagai berikut:

1. Apabila ada sebuah kejadian atau persoalan hukum baru, maka dicari apakah masalah tersebut termaktub dalam al-Qur’an. Jika memang ada, dilihat apakah teksnya atau hukumnya sudah di-nasakh atau tidak. Jika tidak di-nasakh, dilihat sebab-sebab penurunannya (=asbâb al-nuzûl): apakah relevan atau tidak. Kalau masih bisa dianggap relevan, dilihat apakah ada pengkhususan (=takhshîsh) atau pembatasan (=taqyîd) terhadapnya.
2. Kalau dalam al-Qur’an ada tetapi masih perlu penjelasan atau penguatan lebih jauh maka dilihat di Sunnah. Di sini dilakukan kajian komparatif-kritis kalau disinyalir ada pertentangan.
3. Kalau ternyata tidak ada, baru dilihat di Sunnah. Kalau didapatkan dalam Sunnah, maka dilakukan proses yang serupa dengan al-Qur’an. Kemudian dilakukan kritik sanad dan kritik matan terhadap hadis tersebut, untuk dilihat validitas dan relevansinya.
4. Dalam hal-hal tertentu, para ahli fikih (=fuqaha’) juga merujuk kepada pendapat sahabat, kalau bisa diasumsikan bahwa pendapat tersebut berdasarkan petunjuk Rasulullah saw.. Adapun kalau pendapat tersebut berdasarkan ijtihad pribadi mereka, maka pendapat mereka sama statusnya dengan pendapat pribadi para ulama sendiri.
5. Selanjutnya, digunakan Ijmâ` untuk memperkuat ketentuan yang sudah ada dan atau menyimpulkan hukum baru yang tidak didapatkan dalam Kitab, Sunnah dan Atsâr (pendapat sahabat) yang didasarkan atas petunjuk Rasul.
6. Kalau ada beberapa pendapat yang berbeda, maka diuji melalui perangkat Qiyâs. Kalau memang tidak ada sama sekali pendapat yang dimaksud, maka Qiyâs dilakukan dengan menganalogikan persoalan baru tersebut dengan persoalan serupa yang termaktub dalam teks.
7. Jika persoalan yang dicari hukumnya tidak bisa diselesaikan dengan langkah-langkah terdahulu, maka dilakukan perangkat penyimpulan hukum lainnya, seperti Istishlâh, Istihsân, Istish-hâb, Istiqrâ’, dan lain-lain.
8. Kalau tetap tidak ditemukan juga pada semua yang telah disebutkan di depan, maka digunakanlah perangkat al-Barâ’ah al-Ashlîyah.[15]

Itulah langkah-langkah yang biasa dilakukan dalam Ushul Fikih konvensional. Langkah-langkah tersebut berlaku khususnya pada persoalan yang pernah ada pada saat Ushul Fikih tersebut dikodifikasi (mulai `Ashr al-Tadwîn sampai sekitar awal abad 18 M.). Apalagi kalau ditilik, bahwa persoalan-persoalan yang muncul pada masa itu mempunyai kemiripan atau keserupaan yang bisa digabungkan.

Sedangkan pada saat ini, persoalan baru yang timbul semakin kompleks dan multi-dimensi, hingga mempersulit proses persepsi yang dilakukan terhadapnya. Di sini, ijtihad tidak hanya dilakukan untuk menyimpulkan hukum, melainkan: terlebih dahulu harus dilakukan untuk mengetahui hakikat persoalan yang membutuhkan hukum itu. Apalagi kalau memang persoalan itu berbeda sepenuhnya dengan persoalan-persoalan lama yang pernah muncul sebelumnya. Tidak mengherankan, kalau model pergerakannya kemudian berubah: dari realitas kepada teks (=min al-waqî` ilâ al-nashsh). Dan di sini, peran rasio dan eksperimentasi manusia mempunyai peran yang lebih besar dibandingkan dengan kedua model yang terdahulu. Adapun langkah-langkah yang harus diambil dalam penyimpulan hukum bisa digambarkan sebagai berikut:

1. Dengan bersungguh-sungguh diupayakan seutuh mungkin mengetahui hakikat persoalan yang terjadi dengan mempelajarinya dari berbagai sisi secara komprehensif. Di sini penggunaan pelbagai perangkat keilmuan yang terkait menjadi keniscayaan. Masalah yang berkenaan dengan kesehatan tubuh pastilah harus menggunakan ilmu kedokteran, begitu juga masalah antarnegara menggunakan ilmu Hubungan Internasional, begitu dan seterusnya.
2. Penggunaan teknologi modern juga dianjurkan apabila dipandang efektif dalam menyingkap hakikat sesuatu yang menjadi obyek pembahasan.
3. Pertimbangan ilmiyah dari bidang ilmu yang terkait tersebut paling menentukan: apakah sebuah keputusan hukum membawa maslahat atau madharat, baik dalam konteks individual maupun masyarakat luas.
4. Dalam keputusan-keputusan yang mempunyai kekuatan hukum oleh Otoritas Ilmiyah yang menyangkut hajat hidup orang banyak atau membawa dampak langsung kepada pihak lain, maka harus memperhatikan Fikih Prioritas dalam merumuskannya. Dalam artian, mengedepankan Dharûriyât (=kebutuhan pokok), Hâjiyât (=kebutuhan sekunder) dan baru Tahsînîyât (=kebutuhan tersier). Pengkajian yang mendalam terhadap ketiga tingkatan kebutuhan tersebut perlu dilakukan, ditambah dengan kajian-kajian baru untuk merevisi konsep-konsep itu apabila diperlukan.
5. Apapun keputusan yang diambil, pada masalah-masalah seperti ini, tidak bisa dianggap sebagai keputusan final yang pasti (=qath`î). Karena itu ruang toleransi diperluas dan perbedaan pendapat yang terjadi harus dihormati sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam (=al-mabâdî’ al-kulliyah) dan tujuan-tujuan penyari`atan (=maqâshid al-syarî`ah).
6. Kitab, Sunnah dan tradisi Fikih klasik menjadi inspirator bagi upaya perumusan hukum dalam masalah seperti ini, bukan teks a-historis yang diterapkan secara membabibuta. Teks yang sakral harus dipahami dan ditempatkan secara bijaksana dan proporsional.

c. Dialektika Otoritas Ilmiyah dengan pihak lain

OTORITAS Ilmiyah sebagai sebuah figur adalah anak zamannya yang pasti berinteraksi dengan pihak lain, dalam hal ini adalah sesama ulama, masyarakat luas (publik) dan kekuatan-kekuatan politik yang mempunyai kuasa pada dimensi ruang dan waktu dimanapun dia berada. Pada saat itu, seorang ulama akan dianggap mempunyai Otoritas Ilmiyah apabila dia bisa menjalankan perannya dalam memberikan penyelesaian bagi sebagian besar persoalan yang baru timbul dan merasakan denyut nadi masyarakatnya; tidak terasing dalam dunia utopia yang berada di puncak menara gading.

Mengingat kompleksitas persoalan hidup kontemporer, maka menjadi keniscayaan untuk mengintensifkan kerjasama kolektif antar spesialisasi keilmuan (baik dalam kerangka Islamologi dan maupun dalam kerangka yang lebih luas meliputi semua ilmu-ilmu keduniaan). Dengan intensifikasi kerjasama kolektif berbalut etika interaksi ilmiyah yang mapan, maka diharapkan bahwa missing link yang tadinya menghubungkan pelbagai ilmu bisa ditimbulkan kembali untuk menghasilkan analisis dan kesimpulan hukum yang lebih komprehensif.

Sudah tidak masanya pula hidup dalam perseteruan yang berlarut-larut antar aliran pemikiran dalam sistem hukum Islam; sebuah perseteruan yang di masa lalu sempat diwarnai ketegangan, bahkan pertumpahan darah yang mengorbankan para pengikutnya. Apalagi setelah akses informasi terbuka lebar pada masa sekarang, sehingga perbedaan yang ada bisa dijembatani, atau paling tidak dimaklumi.

Terbukanya akses informasi di dunia yang mengglobal juga menciptakan semacam pemasyarakatan ilmu, sehingga ilmu-ilmu jurisprudensi Islam tidak lagi elitis: hanya bisa diraih oleh segelintir orang yang berkesempatan untuk mempelajarinya. Pada saat itulah, publik umum juga menuntut dibukanya pintu bagi akselerasi aspirasi mereka berkenaan dengan hukum-hukum terapan, khususnya yang berkenaan dengan pengetahuan yang umum terjadi (=al-`âdiyât) dan hal-hal yang berkenaan dengan nasib hidup mereka.

Dalam hubungannya dengan kekuatan-kekuatan politik (Otoritas Politik), selalu ada dialektika tarik-menarik antara upaya Otoritas Ilmiyah untuk menjaga independensinya di tengah keinginan pihak lain untuk menariknya ke pihak mereka. Bahkan, keterjauhan seorang ulama dari politik dan kekuasaan menjadi salah satu ukuran kredibilitasnya.

Seorang Hujjat al-Islâm Abû Hâmid al-Ghazâli —setelah menggariskan bahwa ulama terbagi ke dalam dua golongan: ulama yang buruk dan ulama yang baik (atau ulama akhirat)— menyatakan bahwa Otoritas Ilmiyah hanya terdapat pada seorang ulama yang menjauhi dunia, mensinergikan ilmunya dengan amal perbuatan, menjauhi kemewahan dan kenikmatan dunia, menjauhkan diri dari lingkaran kekuasaan, berupaya untuk memperkuat keyakinan, bersikap independen dalam pencarian kebenaran sesuai dengan nuraninya (bukan sekedar berdasarkan buku dan berita, dan bukan pula dilakukan dengan cara bertaklid pada orang lain), dan ditambahkan dengan beberapa kriteria lainnya.[16]

Sungguhpun demikian, hubungan dengan Otoritas Politik di masa kini tidak bisa dihindarkan kecuali dengan tindakan pengasingan diri yang hampir-hampir tidak mungkin lagi dilakukan sekarang. Karena itu, sejauh fasilitasi politik terhadap proses ijtihad tidak sampai mempengaruhi kemandirian Otoritas Ilmiyah, maka hal itu barangkali bisa ditolerir, meskipun kalau dihindarkan sepenuhnya akan lebih baik.


IV
Otoritas Publik

DARI ketiga Otoritas yang sempat disinggung pada bagian terdahulu, Otoritas ketiga yang notabene adalah Otoritas Publik adalah pihak yang paling tersisihkan dari panggung sejarah. Khususnya setelah masyarakat terpisahkan oleh kelas-kelas yang rigid, mulai zaman dinasti Umayah yang memisahkan antara kelas penguasa (Bani Umayah dan para kroninya), kelas masyarakat elit borjuis (orang Arab asli non Bani Umayah) dan para Mawâlî (masyarakat kebanyakan dari kalangan muslim anyar). Stratifikasi ini yang masih berlaku sampai sekarang di berbagai dunia muslim, hanya saja kelas elit borjuis kemudian ditempati oleh para agamawan dan para tuan tanah atau pedagang besar yang mempunyai kekuatan ekonomi.

Padahal, di jaman Islam Awal (masa Nabi, sahabat dan al-Khulafâ’ al-Râsyidîn), masyarakat Islam bersifat egaliter. Tidak ada perbedaan antara sahabat yang fuqaha’ dan sahabat biasa dalam proses penyimpulan hukum. Al-Shâdeq al-Nayhûm menggambarkan bahwasanya prosesi shalat jamaah lima kali sehari adalah ajang konferensi rutin untuk membahas persoalan-persoalan kecil yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sementara shalat Jum`at merupakan ajang konferensi besar yang menggabungkan (=jâmi`) seluruh umat Islam untuk membahas persoalan-persoalan besar yang krusial. Semua orang, di samping mempunyai hak yang sama untuk menyuarakan pendapatnya, juga mempunyai tanggung-jawab yang sepadan dalam menjalankan konsekuensinya: pergi berperang misalnya. Dan selanjutnya akan mendapatkan bagian yang adil saat musuh dikalahkan dan kejayaan berhasil diraih. Semua umat saat itu adalah “mujâhidîn” yang bersama-sama menegakkan agama dan negara Allah, bukan “tentara” (=`askarî) yang diperalat oleh Otoritas Politik untuk mengekalkan kekuasaannya.[17] Karena itu, di saat al-Jâmî` berubah menjadi sekedar tempat shalat biasa (=al-masjid), al-Shâdeq al-Nayhûm menegaskan bahwa Islam sekarang sedang tertawan oleh kedua Otoritas di atas. Dia bertanya pula: “Man sariqa al-jâmi` wa ayna dzahaba yawm al-Jum`ah?”[18]

Elitis minded yang menjangkiti Otoritas Ilmiyah telah membuat mereka menafikan hak partisipasi publik dalam menentukan sebuah hukum. Karena ilmu-ilmu agama sudah semakin kompleks dan hanya bisa dimonopoli oleh para spesialis di dalamnya. Sampai perangkat konsensus (=Ijmâ`) yang seharusnya bisa menjadi celah yang dapat digunakan sebagai akses partisipasi publik dimodifikasi sedemikian rupa dan direduksi menjadi konsensus para mujtahid semata.

Despotisme Otoritas Politik yang memonopoli sumber-sumber daya ekonomi juga menjadikan publik semakin tersisih. Tidak ada lagi sistem pertahanan rakyat semesta dalam Islam sejak adanya tentara reguler yang digaji dan tunduk kepada majikannya. Konsekuensinya, sejarah menunjukkan bahwa di belakang hari tentara reguler itu berubah muka menjadi tentara bayaran yang terdiri dari para budak (Mameluk) dan kemudian balik berkuasa di atas para majikannya. Sejarah juga menunjukkan bahwa di tangan para mameluk yang “uncivilized” tersebut, peradaban Islam semakin mundur di tengah hegemoni logika kekuatan bersenjata, bukan logika rasional.

Tidak mengherankan pula bahwa konsep penduduk atau warga negara yang mendarah-daging dalam sejarah Islam adalah konsep berkelas. Penduduk (=al-muwâthin) pada hakikatnya adalah “penumpang” di tanah kekuasaan raja atau kepala suku. Hubungannya dengan tanah air hanyalah sebatas kependudukan, hak guna yang harus dibayar dengan ketundukan, bukan kebersamaan dalam status sebagai warga-negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang. Padahal banyak sekali teks-teks normatif Islam yang seharusnya bisa diangkat dalam masalah ini. Seperti konsep “yad’lLâh fawqa al-jamâ`ah”, yang kalau dilihat dari kondisi sosiologis pada sabab al-wurûd-nya akan tersirat jelas bahwa di dalamnya terdapat muatan kesetaraan yang kuat.

Kesetaraan itu akan terus ada dan bertahan sepanjang ada kebebasan bagi Otoritas Publik untuk mengkritisi Otoritas Politik dalam posisi yang adu kuat. Sebenarnya, apapun itu bentuk negara, tidak menjadi soal. Akan menjadi persoalan ketika otoritas politik dijadikan senjata represif. Tujuan utama pendirian sistem politik bukanlah penguasaan, atau pemaksaan atau penundukan rakyat untuk kepentingan para penguasa, akan tetapi pembebasan dari rasa takut, sehingga setiap orang dapat hidup dalam keadaan damai. Tujuan dari sistem politik bukan merubah manusia menjadi sebatas hewan-hewan atau alat-alat, akan tetapi untuk mencapai keselamatan akal dan badan, artinya bahwa sebenarnya tujuan daripada sistem politik adalah kebebasan.

Dalam masyarakat, munculnya kekuasaan bisa dari kelompok atau dari sebagian orang atau dari satu orang. Setiap orang mempunyai hak hukumnya sendiri, dia boleh memasrahkan haknya kepada otoritas negara, tanpa harus melepaskan kebebasannya dalam berfikir dan mengeluarkan pendapat, tentu saja dengan syarat harus berpijak pada akal, bukan pada penipuan atau pengkhianatan, serta tidak didorong oleh perasaan dendam dan perasaan benci. Dengan demikian dia bisa mengutarakan apa yang dia pikirkan tanpa mengganggu keselamatan negara dan keamanan internalnya. Selama negara masih berpijak pada keadilan, dia harus menerima segala ketentuan yang telah ditetapkan, walaupun mungkin ketentuan-ketentuan tersebut berlawanan dengan pendapat pribadinya. Artinya bahwa ketika negara masih menerima kebebasan orang lain, dan keputusan-keputusan yang diambilnya muncul dari kesepakatan masyarakatnya, kendati ada beberapa orang yang tidak sepakat.[19]


V
Otoritas Politik

LEBIH khusus berbicara tentang politik, berarti juga tentang negara. Sebab, seperti sudah dimaklumi, politik merupakan sebuah sistem atau kumpulan kebijakan dasar dalam mengatur negara.

Secara etimologis, politik (dalam bahasa Yunani) berarti “mengatur kota”, maksud dari kota adalah negara. Pengaturan kota di sini bisa melalui partisipasi “para warga negara” dalam jajak pendapat dan pengambilan keputusan, dalam hal ini sarana mereka adalah membalas pendapat dengan pendapat.

Makna tersebut tidak berbeda dengan makna politik saat ini. Tetapi yang jelas bahwa negara modern lebih besar daripada “kota”, sehingga —tentu saja— lebih kompleks, bersamaan dengan tugas-tugas dan fungsi-fungsinya yang lebih luas. Tidak ada salahnya kalau kita meletakkan kata “negara” pada posisi “kota”, pada definisi di atas, kita bisa mengatakan: politik adalah mengatur masalah-masalah negara.[20]
Masalah-masalah negara sangat banyak dan bercabang-cabang, di antaranya:
- Masalah-masalah bangsa: menjaga batas-batas, kesatuan tanah air, rakyat dll.
- Masalah-masalah umat: kepentingan-kepentingan ekonomi, independensi politik tradisi kebudayaanya dll.

Termasuk masalah-masalah negara sebagai institusi yang mewakili umat dalam menjalankan kekuasaan adalah menjaga keamanan, mewujudkan keadilan, mencanangkan kemajuan, perkembangan untuk kemudian merealisasikannya, serta menjalin hubungan dengan negara-negara lain guna menjaga kepentingan-kepentingan eksternalnya, termasuk juga ekonomi, strategi dan lain sebagainya.

Melihat fungsi politik yang sedemikian banyak, dapat disimpulkan bahwa politik mempunyai peranan sangat signifikan dalam kehidupan. Politik, atau pengaturan masalah-masalah negara, merupakan aktivitas yang akan dapat terlaksana dengan baik melalui pemberian kebebasan kepada seluruh warga negara. Kebebasan yang dimaksud di sini adalah kebebasan dalam banyak hal, kebebasan berbicara, berpendapat dan kebebasan lainnya, yang tentu saja untuk kepentingan negara itu sendiri.

Dalam Islam otoritas politik dimanifestasikan dalam bentuk negara “khilafah”. Sebuah bentuk negara teokrasi yang dipimpin oleh seorang khalifah yang memegang otoritas penuh, baik dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan dunia atau agama. Di sini kita perlu membahas masalah Khilafah. Masalah khilafah akan mengalihkan perhatian kita pada masalah akar kekuasaan dan sistematisasi negara Islam. Problem khilafah sudah “merangsang” sebuah upaya yang boleh dibilang berani dari seorang pemikir Mesir Ali Abd. al-Râziq tahun 1925, yaitu sekularisasi pemikiran Islam. Di sini akan dipaparkan beberapa penjelasan awal. Terdapat tiga istilah yang perlu kita selidiki. Istilah pertama adalah “al-khalîfah”, yang dalam bahasa Prancis disebut vicaire. Istilah kedua adalah “al-imâm”, di mana secara definitif berarti, seseorang yang memimpin kaum Muslimin dalam shalat dengan menghadap Ka`bah. Bisa dikatakan bahwa, al-imâm adalah pemimpin rohani juga. Adapun istilah yang ketiga adalah “al-sulthân”, yang mempunyai arti seseorang yang menjalankan dan menangani kekuasaan dalam artian politik yang bersifat duniawi. Kita lihat, ketiga istilah ini jelas-jelas berbeda antara satu sama lain. Dua istilah pertama mengandung tanggungjawab-tanggung-jawab spiritual dan temporal, sedangkan yang ketiga berarti menjalankan atau memainkan kekuasaan yang diperoleh melalui jalan kekuatan dan berlangsung berkat adanya kekuatan tersebut. Di sinilah letak perbedaan antara al-khilâfah (=kekhalifahan) dan al-sulthanah (kesultanan=kerajaan). Kita temukan, dua hal ini seringkali bercampur aduk dan bertumpang tindih, ini dikarenakan para sultan Turki mengklaim sebagai pewaris Khilafah.[21]

Setelah satu generasi dari wafatnya Rasulullah saw., negara Islam telah menjadi kekaisaran yang sebenarnya, dan Khilafah menjadi warisan turun-temurun di awal masa pemerintahan Umayah pada tahun 660 M. Sehingga dengan otomatis Khalifah menjadi seorang kaisar seperti kaisar Persia atau kaisar Roma.

Para khalifah dan para ahli fikih “teras” berpijak pada sebuah perspektif —meskipun secara implisit— yang mengatakan bahwa khalifah merupakan pewaris hak-hak Nabi, sehingga fikih Islam nampak hanya tertarik kepada masalah khalifah berikut hak-haknya, dan sedikit sekali menaruh perhatian pada hak-hak rakyat.

Selama sejarah ke-khilafah-an Islam, penerapan politik selalu saja bertentangan dengan kepentingan-kepentingan manusia. Keadilan, harta dan otoritas keagamaan menjadi milik pribadi seorang khalifah, menjadi hak anak-anaknya dan para menterinya.

Dengan pemahaman yang salah terhadap agama dan al-Qur’an serta pandangan-pandangan tradisional dan khayalan yang tidak sebenarnya terhadap kehidupan Nabi berikut para sahabat, Khilafah kembali kepada keadaan semula, yaitu kekuasaan kabilah, di mana orang-orang Quraisy (orang-orang Umayah, Abbasiyah dan para pendukung Ali bin Abi Thalib) mulai masuk ke dalam konflik atas dasar bahwa Khilafah hanya merupakan hak anak-anak dan keturunan-keturunan mereka saja, sebab mereka termasuk dari kabilah Rasulullah saw.. Sehingga Khilafah hanya dikuasai oleh kabilah Quraisy selama sembilan abad, dimulai dari al-Khulafâ’ al-Râsyidîn, kemudian dinasti Umayah, dinasti Abbasiyah dan setelah itu dinasti Fathimiyah.

Kendati kondisi-kondisi historis dan sosial mengalami perubahan, namun Khilafah tetap hanya dimonopoli oleh kabilah Quraisy, secara sederhana, oleh banyak orang, ini dipahami sebagai perintah agama, sunnah Nabi dan syari`at Tuhan, sehingga orang-orang non-Arab tidak diberi ruang untuk berpartisipasi dalam politik dan mengurus masalah-masalah pemerintahan. Pandangan fikih selalu menegaskan bahwa kekuasaan orang-orang non-Quraisy terhadap kaum Muslimin tidak dibenarkan. Padahal Khilafah, paling tidak menurut Sunnah, bukanlah sistem keagamaan, perubahannya menjadi sistem keagamaan hanya pada perkembangan berikutnya, yang oleh para ahli fikih dianggap sebagai “penjaga agama dan pengatur masalah-masalah dunia”. Hal ini telah melahirkan keyakinan di kalangan orang-orang awam bahwa para khalifah adalah ma`shûm dalam ucapan dan perbuatan mereka.

Aktivitas praktis pemerintahan Islam, secara umum hanya terpusat pada satu ras tertentu, dan secara khusus pada keluarga Nabi saw.. Inilah yang mendorong upaya para khalifah untuk memerangi negara-negara lain guna melindungi hak kekuasaan atau menambah kekuatan dan mengembangkan sumber penghasilan.

Walaupun tujuan ekspansi-ekspansi yang dilakukan untuk menyebarkan Islam, akan tetapi sejarah telah membuktikan bahwa itu tidak sepenuhnya benar, orang-orang Mesir, sebagai contoh, tetap memeluk agama lama mereka selama lebih dari tiga abad setelah ekspansi Islam, kemudian di Andalusia banyak dari para penduduk yang masih memeluk agama Kristen selama pemerintahan Islam yang berlangsung selama tujuh abad.[22]

Meskipun orang-orang non-Muslim tidak mendapat tekanan secara sebenarnya di bawah pemerintahan Islam di negara-negara taklukan, akan tetapi keadaan mereka tetap dibedakan dengan orang-orang Arab. Benar bahwa mereka bebas melakukan ritual-ritual keagamaan, namun mereka sama sekali tidak bebas melaksanakan hak-hak polilik atau sosial seperti membangun tempat-tempat ibadah atau merayakan hari besar keagamaan secara terang-terangan, yang mana ini mengakibatkan para warga tertindas membuat aliran-aliran keagamaan khusus. Banyak dari mereka —setelah masuk Islam— mengaku-ngaku Nabi, ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan kekuasaan atau harapan untuk mendapat keselamatan.

Banyak dari para khalifah dengan orang-orang kepercayaannya, para menteri serta para hakimnya yang anti terhadap pendidikan atau kebudayaan luhur di luar Islam. Makanya mereka melarang pendidikan, mereka lebih suka kebodohan, mereka membatasi hak para warga negara, walau Muslim sekalipun, hanya sekedar menghafal ayat-ayat al-Qur’an dan beberapa hadis Nabi, di samping tentunya memberangus pandangan-pandangan yang bertentangan dengan ahli fikih.[23]

Demikianlah kita melihat bagaimana otoritas politik dalam negara Khilafah nampak bertentangan dengan al-Qur’an. Harus diakui bahwa prinsip-prinsip dasarnya memang banyak diambil dari al-Qur’an. Misalnya “La Hukma illâ Allah”, dari sini kemudian muncul apa yang kita kenal dengan “Hakimiyyatullah” yang seringkali diulang-ulang oleh para Khalifah —setelah masa-masa al-Khulafâ’ al-Râsyidîn— agar menjadi bagian dari agama Islam, menjadi topeng yang menutupi tujuan-tujuan pribadi mereka, dan menjustifikasi kedhaliman-kedhaliman mereka terhadap rakyat.

Padahal kata “al-hukm” dalam al-Qur’an tidak bermakna otoritas politik (=al-sulthah al-siyâsîyah), atau makna yang saat ini lagi berkembang. Kata-kata “La hukma illa Allah” dengan makna yang politis, sebenarnya bukan dari Islam, al-Qur’an juga tidak mengenalnya. Pandangan semacam ini sama seperti pandangan yang muncul di masa Mesir kuno, kemudian menyebar dalam masyarakat-masyarakat Kristen di abad-abad pertengahan.

Kata “al-hukm” dalam bahasa al-Qur’an berarti menegakkan keadilan di antara manusia [al-Nisâ’ : 58]. Di ayat lain berarti menyelesaikan perselisihan [al-Zumar : 3]. Juga berarti nasehat dan hikmah [al-Syu`arâ’ : 21]. Sama sekali tidak ada yang mempunyai arti otoritas politik.[24]
Al-Qur’an menyebutkan tentang otoritas politik dalam makna seperti yang populer saat ini dengan kata “al-amr”. Dari kata ini kemudian muncul “al-amîr”, yaitu orang yang memegang kendali kekuasaan dan pemerintahan, makanya Umar bin Khatthab menyebut dirinya dengan Amîr al-Mu’minîn (=pemimpin orang-orang beriman), ini juga dijadikan sebutan untuk dua khalifah setelahnya (Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib).[25]

Lalu apa kaitan antara politik dengan fikih? Ini merupakan pertanyaan yang perlu mendapatkan jawaban. Politik dan fikih sama sekali tidak sama. Politik, sebagaimana yang dijelaskan tadi merupakan sebuah sistem dalam pemerintahan. Sedangkan fikih mempunyai makna sekumpulan hukum agama. Namun dalam sejarah kita melihat, bagaimana peran politik dalam menentukan hukum-hukum agama dan penerapannya. Kita bisa berikan contoh misalnya pada masa berkuasanya rezim khilafah dalam Islam. Di mana kekuasaan politik dijadikan media paling ampuh demi terlaksananya hukum-hukum agama.

Sebelum melangkah lebih jauh, alangkah baiknya kalau kita membahas masalah lain yang memang berhubungan erat dengan masalah fikih. Masalah yang dimaksud adalah apa yang oleh kaum Muslimin disebut: Syari`ah, yaitu —dalam makna etimologis— jalan lurus menuju Tuhan. Terdapat pemahaman tradisional terhadap syari`at yang ada pada sebagian negara seperti halnya di Jazirah Arab. Syari`at merupakan sekumpulan prinsip-prinsip yang mencakup sisi-sisi peraturan (=hukum), baik hukum sipil, institusional dan hukum pidana, yang diterapkan dalam masyarakat tertentu. Kaum Muslimin menerima aturan-aturan ini dan menjalankannya seolah-olah memang berasal dari Tuhan. Aturan-aturan ini kemudian mengakar pada kesadaran keimanan (=al-wa`y al-îmânî) dan seakan-akan —melalui sebagian sarana deduktif yang diterapkan secara tegas— lahir dari teks-teks al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi. Demikianlah misalnya ketika seorang Muslim pergi ke Mahkamah —mahkamah keadilan— seakan-akan ia sedang berada dalam pengadilan Tuhan!! Selama berabad-abad, seperti inilah yang terjadi pada seluruh masyarakat Islam, di perkotaan dan pedesaan yang tersentuh oleh syari`at semacam ini yang menampakkan dirinya seolah-olah berasal dari Tuhan. Di sini kita perlu memberikan catatan sebelum membicarakan syari`at, bahwa ternyata syari`at tidak diterapkan di seluruh negara Islam, sebab dunia yang terdiri dari masyarakat penggembala-agrikultural senantiasa tidak tersentuh oleh syari`at Islam. Pada dasarnya syari`at terkait dengan negara sentral (=al-dawlah al-markaziyyah), yaitu negara dengan kekuasaan khalifah yang dianggap sebagai seorang hakim terbesar (hakimnya para hakim [Qâdhî al-Qudhât]), dengan kedudukannya ini seorang khalifah dapat menentukan para hakim di setiap daerah dan seterusnya. Jadi sebenarnya, penerapan syari`at dan perluasannya secara geografis tergantung pada sejauh mana kekuasaan negara sentral itu menyebar. Ada suatu masa di mana kekuasaan ini tidak menyebar secara menyeluruh dan komprehensif. Misalnya di Aljazair sebelum kemerdekaan, yaitu hingga tahun 1962, ada bagian penting negara yang di dalamnya tidak diterapkan syari`at tetapi yang diterapkan justru adalah hukum lokal (=qânûn mahallî) atau hukum adat (=qânûn `urfî) yang lahir sebelum Islam. Ini juga terjadi di daerah kabilah-kabilah besar misalnya. Namun sejak tahun 1962 hukum disatukan berdasarkan syari`at, di mana dalam penerapannya mencakup seluruh penjuru negara.

Tetapi pertanyaan yang muncul kemudian adalah: bagaimana jutaan manusia bisa percaya bahwa syari`at berasal dari Tuhan? Di sini kita memerlukan metodologi dekonstruktif dan analitis–ilmiyah yang membebaskan dalam penulisan sejarah untuk menjawab pertanyaan ini. Dalam tradisi disebutkan bahwa syari`at terbentuk secara bertahap berkat peran para hakim yang bertugas mencarikan solusi bagi masalah-masalah kaum Muslimin. Metode yang mereka gunakan adalah mencari jawaban dalam al-Qur’an guna mencari dan menarik solusi, yaitu hukum atau keputusan final dengan salah satu bentuk yang disimpulkan dari al-Qur’an. Hukum-hukum ini nantinya akan dikumpulkan supaya menjadi sekumpulan hukum peradilan dalam jumlah yang cukup besar selama tiga abad pertama Hijriah. Teks-teks fikih–peradilan (=al-nusûsh al-fiqhiyyah - al-qadlâ’iyyah) ini dinisbatkan kepada empat pendiri mazhab: Malik bin Anas, Abu Hanîfah, al-Syâfi`î dan Ahmad bin Hanbal. Hukum-hukum ini telah dijaga oleh tradisi dari generasi ke generasi hingga saat ini. Dari sini kemudian lahir empat aliran fikih, yaitu Malikiyah, Hanafiyah, Syâfi`îyah dan Hanbaliyah. Di samping itu, tentu saja aliran-aliran Syi`ah.[26]

Berdasarkan uraian di atas, kita bisa melihat bagaimana proses percampuradukan antara Syari`at dan Fikih. Syari`at yang pada awalnya, bahkan menurut teks al-Qur’an sendiri, mempunyai makna metode (=al-manhaj), atau jalan (=al-sabîl, al-tharîq). Makna ini juga kita bisa dilihat di kamus-kamus bahasa Arab (=ma`âjim al-lughah al-`arabiyyah), namun lama-kelamaan kata syari`at lalu meluas dan mencakup hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi. Kemudian mengalami perubahan makna dan meluas lagi sehingga mencakup pendapat-pendapat para ahli fikih, malah kadang-kadang terjadi semacam pertentangan atau benturan antara satu ulama dan ulama lainnya dalam masalah yang sama.
Sedangkan fikih merupakan pendapat-pendapat manusia yang tidak suci dan sama sekali jauh dari unsur `Ishmah. Mendalami fikih berarti mendalami pendapat-pendapat manusia yang cukup beragam betapapun posisi atau kedudukan orang yang menyatakan pendapat tersebut. Percampuran adukan antara keduanya tentu saja tidak bisa lepas dari ulah para pemuka agama atau para ulama yang bertanggung-jawab dalam memudahkan urusan-urusan pensucian (=umûr al-taqdîs) yang rela menjadi hanya sebatas pegawai-pegawai yang tunduk di bawah Otoritas politik para penguasa.[27]

Ada sebuah hadis yang kerap kali dijadikan rujukan dalam melegitimasi otoritas politik penguasa. Dalam hadis ini disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: Khilafah dalam umatku adalah tiga puluh tahun, kemudian setelah itu menjadi raja. Dan masih banyak riwayat lain dengan makna yang sama tapi matannya berbeda. Hadis ini oleh kalangan Ahl al-Sunnah dimaksudkan untuk melegitimasi pemerintahan Mu`awiyah sebagai raja pertama dalam Islam, sekaligus juga untuk melegitimasi para khilafah setelahnya, baik dari orang-orang dinasti Umayah, Abbasiyah dan lainnya. Padahal hadis ini banyak yang meragukan. Bahkan para ahli fikih dan ahli hadis melihat bahwa hadis-hadis yang berhubungan dengan politik merupakan hadis yang dla`îf dan mawdlû`. Akan tetapi kalau kita membaca beberapa referensi, Ahl al-Sunnah tidak hanya cukup menerimanya sebagai sebuah hadis yang benar-benar terjadi, malah dianggap termasuk dalam bingkai tanda-tanda nubuwwah yang menegaskan kenabian Muhammad saw. yang menceritakan tentang hal-hal ghaib, maksudnya perubahan khilafah menjadi raja setelah tiga puluh tahun. Jadi Mu`awiyah merupakan raja pertama dalam Islam yang mendapat legalitas keagamaan, tidak saja dengan “bai`at” melalui ijmâ` (=konsensus), sehingga tahun pengangkatannya sebagai ‘raja’ dan mundurnya Hasan dari panggung politik disebut `âm al-jamâ`ah (=tahun rekonsiliasi), akan tetapi juga sebagai tashdîq terhadap apa yang telah dikabarkan Nabi saw. melalui hadis di atas.[28]

Namun yang perlu dicatat, bahwa hal di atas tak lain hanyalah merupakan ideologi resmi negara Mu`awiyah dan negara kaum Ahl al-Sunnah secara umum, dan bahwa Ahl al-Sunnah sebenarnya melakukan hal tersebut untuk menghadapi Syî`ah dan Khawârij yang pada saat itu memang tidak mengakui legalitas pemerintahan Mu`awiyah juga pemerintahan yang datang setelahnya. Ini bisa dilihat ketika pada enam tahun terakhir kaum Khawârij menentang kekhilafahan Utsman dan `Alî setelah terjadinya arbitrasi (=al-tahkîm), sebagaimana juga kaum al-Râfidhah sebagai salah satu golongan dari Syî`ah yang menentang kekhilafahan Abu Bakar, `Umar dan `Utsmân.[29]

Demikianlah proses ketundukan agama pada otoritas politik dalam Islam. Maka, ketika para pemuka agama sudah terjerat dalam lingkaran kekuasaan, secara otomatis politik menduduki otoritas tertinggi yang dengan sangat mudah akan memperalat dan memperbudak para pemuka agama guna menentukan hukum-hukum yang sesuai dengan kehendak-kehendak politik penguasa. Al-Juwaynî sebagai seorang ulama masa klasik menyatakan bahwa otoritas politik bisa dijadikan sebagai “wasîlah” untuk jalb al-mashâlih dan daf`al-mafâsid, dan bahwa setiap muslim, secara riil, diperintah dengan apa yang diperintahkan penguasa (=rajul al-sulthah).

Hal ini bisa dipahami mengingat kata “al-sulthân” (=penguasa) sebagai pemengang otoritas politik mempunyai makna al-tasalluth, al-istibdâd, al-`unf, dan istighlâl al-ra`iyyah. Maka sifat apapun yang dimiliki seorang penguasa atau raja, mulai dari fashâhah al-lisân (=kefasihan berbicara), al-talaththuf `alâ al-ra`iyyah (=bersikap lembut pada rakyat), jahârah al-sawt (=kejelasan suara), sebenarnya ini tak lain hanyalah sekedar sentaja untuk mempengaruhi rakyatnya. Ketundukan rakyat, berarti ketaatan kepada para penguasa berikut kehendak politik mereka.[30]


VI
Otoritas Fikih: Difusi dan Penguatan

SETELAH pemaparan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa revitalisasi Nalar Islam tidak akan bisa terlaksana tanpa ada difusi (=penyebaran) dan penguatan aspek-aspek tertentu dalam Nalar tersebut, yang selama ini agak terkesampingkan.

Secara personal (ditilik dari pemegang otoritas), difusi otoritas mutlak diperlukan karena agama –dalam konsepsi Islam— bukan hak monopoli satu atau sekelompok orang. Meskipun harus diakui adanya beberapa persoalan “pelik” dalam agama yang membutuhkan komprehensivitas keilmuan yang perlu ditekuni lebih serius. Yang perlu ditekankan bahwa setiap orang mempunyai privelese yang spesifik atau bahkan meluas tergantung pada penguasaannya terhadap perangkat-perangkat pemahaman keagamaan. Setiap orang seharusnya mempunyai otoritas spesifik untuk memilih pemahaman agama yang paling sesuai untuk dirinya sendiri. Orang lain hanya bisa mengkritisi pemahaman pribadi tersebut sesuai dengan pandangan spesifiknya pula, tanpa harus menerimanya begitu saja.

Difusi dan penguatan yang dimaksudkan di atas juga sangat diperlukan dalam hirarki dalil atau mashâdir al-ahkâm (=sumber-sumber hukum). Otoritas yang tadinya menjadi milik sumber hukum primer dan sekunder (al-Qur’an dan Sunnah) sudah saatnya berdifusi kepada sumber-sumber hukum lain. Sumber-sumber hukum tersier (semacam rasio/ma`qûl, mashlahât, maqâshid, istiqrâ’ dan aqall mâ qîla) sebaiknya dikuatkan posisinya. Terutama dalam menyikapi persoalan-persoalan baru. Bukankah “saat ini kita lebih memerlukan berbagai dalil tersier itu di masa sekarang?”[31]

Pelbagai persoalan baru tersebut memerlukan pola pendekatan baru. “Keserupaan” (=al-syibh) yang menggabungkannya dengan persoalan-persoalan lama semakin pudar. Seiring dengan difusi otoritas dan penguatan dalil tersier, titik tolak penyikapan terhadap sebuah persoalan baru juga berubah. Kompleksitas yang menyelimuti persoalan baru menghalangi kita untuk bertolak langsung dari teks untuk menyikapi sebuah realitas. Realitas yang merepresentasikan persoalan baru tersebut juga perlu dipahami. Dengan bahasa lain, tampaknya kita perlu mengubah prosedur “istinbât” hukum-hukum agama dari teks suci untuk menyikapi realitas, menjadi prosedur yang bertolak dari “istiqrâ’” (=penelitian kuantitatif-kualitatif) terhadap realitas untuk mengetahui hukum agama yang berkenaan dengannya.

Dan pemahaman yang memadai terhadap realitas kadangkala meniscayakan digunakannya perangkat-perangkat keilmuan baru, semacam metodologi penelitian dalam ilmu sosial-politik dan lain-lain.[32] Penerapan ilmu-ilmu sosial, ekonomi, politik, kedokteran dan ilmu-ilmu lain yang relevan dengan persoalan yang dihadapi oleh seorang fakih tentunya akan memperkaya nuansa berpikir dan memperkuat argumentasinya. Bahkan dalam berbagai persoalan tertentu, faktor medis —misalnya— bisa sangat menentukan sikap hukum yang diambil oleh seorang fakih.

Tidak berarti bahwa seorang fakih harus menguasai secara mendalam semua bidang ilmu. Spesialisasi jamak yang dianut sekarang menuntutnya untuk menguasai bidang inti (=core-fields) yang membekalinya dengan kualifikasi yang memadai untuk berijtihad sebagaimana disebutkan di bagian-bagian terdahulu. Tidaklah ada artinya seorang fakih yang menguasai banyak pengetahuan kontemporer, tetapi hubungannya dengan legasi klasik hampir-hampir terputus.[33] Yang ingin ditekankan di sini, tanpa pengetahuan yang memadai terhadap ilmu-ilmu kemodernan yang dibutuhkannya, tentunya penyikapan yang dilakukan oleh seorang fakih akan diragukan validitasnya. Barangkali saja, untuk mengantisipasinya, seorang fakih bisa diberi asistensi oleh para pakar yang dipercaya integritasnya.

Dan karena seorang fakih tidak hidup dalam situasi yang steril dari pengaruh-pengaruh eksternal (di luar pribadinya), maka hubungan antara sebuah produk hukum fikih dengan varian-varian “al-ittishâl wa al-infishâl” (=kompatibilitas dan inkompatibilitas) yang berkaitan dengan faktor luar (situasional dan kondisional, politik dan kemasyarakatan) juga menentukan seberapa lama dan sejauh mana produk hukum ini berlaku. Sebuah produk hukum yang timbul karena kebutuhan sesaat akan habis masa berlakunya sesaat kemudian. Sementara produk hukum yang didasarkan kepada maslahat universal yang berkesinambungan akan lebih dekat kepada absolusitas Teks Suci hingga mendapatkan legitimasi untuk berlaku lebih lama.

--------------------------------------------------------------------------------------------


[1] Majma` al-Lughah al-`Arabiyah, al-Mu`jam al-Wasîth, Maktabah al-Syurûq al-Dawliyah, Cairo, cet. IV, 2004, hal. 443

[2] Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Ed. III, cet. II, 2002, h. 805. Terlihat di sini adanya kecenderungan untuk mensinonimkan Otoritas dengan kekuasaan negara. Dari sini bisa dipahami kenapa Foucault berbuat demikian, dan karena itu mengaitkan Otoritas dengan kekerasan, sebagaimana yang akan diperlihatkan kemudian oleh Baghurah. Apalagi dia menggunakan terma ‘Power’ atau ‘Pouvoir’, bukan ‘Authority’. Latarbelakang Markis-nya juga terlihat. Bandingkan dengan Gerard Bensussan dan George Labica, Mu`jam Marksiyyah al-Naqdî, Dâr Muhammad `Alî li al-Nasyr, Shafaqis-Tunis, cet. I, 2003, hal. 761-767

[3] Al-Zawâwî Baghurah, Mafhûm A-Khithâb fî Falsafât Maysyail Foûkoû, al-Majlis al-A`lâ li al-Tsaqâfah, Cairo, 2000, hal. 231-238

[4] Proses pewahyuan atau pembumian sebuah nilai dari “Langit” ke “Manusia” bisa dijabarkan sebagai berikut:

a. Allah telah mengkomunikasikan kehendak-Nya kepada umat manusia (makhluk manusia-Nya) melalui para nabi. Untuk melakukan ini, Ia memakai bahasa-bahasa manusia supaya orang dapat memahaminya, tetapi Ia menyampaikan kalimat-kalimat dalam sintaksis, retorika, dan kosakata-Nya sendiri. Tugas para nabi, seperti Musa, Isa, dan Muhammad, hanyalah untuk mengucapkan wacana yang dinyatakan Allah kepada mereka sebagai bagian dari kalam-Nya yang tidak diciptakan, tidak tebatas, dan abadi.
b. Di sini malaikat Jibril berperan sebagai alat penghubung antara Allah dan Nabi Muhammad.

c. Wahyu yang diberikan dalam al-Qur’an melalui Muhammad adalah yang terakhir; ia melengkapi wahyu-wahyu terdahulu yang diberikan kepada Musa dan Isa, dan ia memperbaiki teks yang telah diubah (tahrîf) dalam Taurat dan Injil. Wahyu berisi semua yang harus dilakukan manusia guna menata hidupnya di dunia dalam perspektif hidup kekal (norma-norma etis dan hukum, pengetahuan yang benar, ritual dan upacara, perwujudan kosmos, dan lain-lain).

d. Wahyu yang dimanifestasikan dalam al-Qur’an memuat semua kebutuhan orang-orang beriman (secara potensial ini berarti seluruh umat manusia), tetapi tidak mewakili seluruh firman Allah yang tersimpan dalam Umm al-Kitâb (Kitab yang paling pertama) dan al-Lawh al-Mahfûzh (Daftar yang tersimpan)

e. Pengumpulan al-Qur’an menjadi satu buku yang nyata dan yang dipakai secara umum (Mushaf), dipengaruhi seluruhnya oleh prosedur manusia yang tidak sempurna (misalnya, penyampaian secara lisan; penggunaan bentuk gambar yang tidak sempurna; konflik antara marga dan golongan; kedudukan Sahabat; dan bacaan yag tidak dilaporkan), tidak menjadi halangan untuk menjabarkan teori Kalam Allah yang tidak diciptakan, dan adanya jalan langsung yang autentik bagi manusia menuju Kalam Ilahi yang transendental ini. (Lebih jauh, lihat: Mohammed Arkoun, Gagasan Tentang Wahyu: Dari Ahl al-Kitâb Sampai Masyarakat Kitab, dalam buku Studi Islam Perancis: Gambaran Pertama, INIS, Jakarta, seri XV, cet. I, 1993)

[5] Lihat: `Alî Jum`ah Muhammad, Qadhîyah Tajdîd Ushûl al-Fiqh, Dar al-Hidayah, Cairo, 1993, hal. 21-23

[6] Mengenai analisis terhadap berbagai metode kajian kontemporer, antara lain, bisa dilihat pada: Hassan Hanafî, Min al-Nashsh ilâ al-Wâqi`, Markaz al-Kitâb li al-Nasyr, Cairo, cet. I, 2004, vol. I: Takwîn al-Nashsh (Muhawalah li I`âdat Binâ’ `Ilm Ushûl al-Fiqh), hal. 11

[7] Hadis yang diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa’-nya, hadis no. 1661, kitab al-Jâmi`, bab al-Nahy `an al-Qawl bi al-Qadr. Diterbitkan oleh Dâr Ihyâ’ al-`Ulûm, Beirut, 1988.

[8] Qs. Al-Kahfi: 109

[9] Dalam diskursus jurisprudensi Islam, hampir ditemukan kata sepakat akan konsep difusi kebenaran ini. Meskipun secara metafisik, mayoritas ahli fikih meyakini bahwa seyogyanya kebenaran itu hanya ada di satu pihak. (Masalah ini, antara lain bisa dilihat dalam: Abu al-Hussayn ibn Thayyib al-Bashrî, al-Mu`tamad, Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, Beirut, t.t, vol. II, hal. 370 et.seqq.; al-Juwayni, al-Burhân, Dâr al-Wafa, al-Manshûrah, cet. II, 1997, vol. II, hal. 978 et. Seqq dan Ibn `Aqîl al-Hanbalî, al-Wâdhih fî `Ilm Ushûl al-Fiqh, Mu’assasat al-Risâlah, Beirut, 1999, vol. V, hal. 351 et. Seqq). Adapun kalau terjadi perbedaan pendapat di antara para fuqaha, yang semuanya telah mencapai kualifikasi untuk berijtihad, maka para fuqaha memberikan beberapa alternatif yang menyiratkan aspek "kelapangan" dalam hukum Islam. Yang pertama adalah melakukan konvergensi antara berbagai/dua pendapat yang berbeda itu. Kedua, atau mengikuti yang terberat dan paling sesuai dengan langkah preventif. Ketiga, mengikuti yang dianggap paling kuat dalilnya. Keempat, atau mengikuti yang paling mudah dan paling sedikit kadarnya. (Antara lain bisa dilihat dalam: al-Khathîb al-Baghdâdî, Kitâb al-Faqîh wa al-Mutafaqqih, al-Maktabah al-`Ilmiyah, Beirut, vol. II)

[10] Mohammed Arkoun, al-Islâm, al-Awrûbâ wa al-Gharb, diarabkan oleh: Hasyim Shaleh, Dar al-Sâqî, Beirut, Lebanon, cet. II, 2001, hal. 11 - 12

[11] Badawî `Abd al-Fattâh Muhammad, Falsafah al-`Ulûm, Dar Qubâ’, Cairo, 2001, hal.351

[12] Disusun secara acak, tanpa sistematisasi kronologis ataupun hirarkis. Lebih jauh bisa dilihat dalam: Abû Bakr Ahmad Al-Bayhaqî, Manâqib al-Syâfi`îe, Muhammad Nur Al-Dîn Marbû (ed.), Majlis al-Banjarî, Cairo, cet. I, 1996, passim, khususnya pada bagian akhir vol. I dan keseluruhan vol. II

[13] Diikhtisarkan dari: Badr al-Dîn Muhammad bin Bahâdir al-Zarkasyî, al-Bahr al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqh, Dr. Muhammad Tâmir (ed.), Dâr al-Kutub al-`Ilmîyah, Beirut, cet. I, 2000, vol. IV, hal. 489-495

[14] HR. al-Tirmidzî, Abû Dâwud dan Ahmad. Lihat: Sunan al-Tirmidzî, hadis no. 1327, kitab al-Ahkâm, bab Mâ jâ’a fî al-qâdhî kayfa yaqdhî. Sunan Abî Dâwûd, hadis no. 3592, kitab al-Aqdhiyah, bab Ijtihâd al-ra’yi fî al-qadhâ’. Dan Musnad Ahmad, hadis no. 21502, kitab Musnad al-Anshâr, bab Hadîts Mu`âdz bin Jabal ra.

[15] Antara lain bisa dilihat pada: `Alî Jum`ah Muhammad, Âliyât al-Ijtihâd, al-Risâlah, Cairo, cet. I, 2004, hal. 68-69

[16]Lebih jauh, lihat: Abû Hâmid al-Ghazâlî, Ihyâ’ `Ulûm al-Dîn, Maktabah al-Îmân, Manshurah, cet. I, 1996, vol. I, hal. 89-123
[17] Al-Shâdeq al-Nayhûm, Mihnah al-Tsaqâfah al-Muzawwarah, Riad el-Rayyes Books, Beirut, cet. III, 2000, hal. 35-75

[18] Al-Shâdeq al-Nayhûm, al-Islâm fî al-`Asr, Riad el-Rayyes Books, Beirut, cet. IV, 2000, passim.

[19] Pengantar Hassan Hanafi dalam buku Risâlah fî al-Siyâsah wa al-Lâhût, Dâr Wahdan, t.p, t.t, hal 104.

[20] Muhammad `Âbid al-Jâbirî, Qadlâyâ fî al-Fikr al-Mu`âshir, Markaz Dirasat al-Wihdah al-`Arabiyyah, Beirut – Lebanon, cet. I, 1997, hal. 150.

[21] Muhammed Arkoun, Târîkhiyyah al-Fikr al-`Arabî al-Islamî, Dâr al-Sâqî – Beirut, passim.

[22] Walîd Thûghân, Mudda`uw al-Nubuwwah fî al-Târîkh al-Islâmî, Dâr el-Khayâl – Egypt, cet. I, 2004, hal. 76

[23] Ibid.

[24] Walîd Thûghân, Mudda`uw al-Nubuwwah fî al-Târîkh al-Islâmî, Dâr el-Khayâl – Egypt, cet. I, 2004, hal. 53

[25] Ibid.

[26] Muhammed Arkoun, Târîkhiyyah al-Fikr al-`Arabî al-Islamî, diterjemahkan oleh Hasyim Shaleh, Dâr al-Sâqî, Beirut, cet. II, 1996, hal. 296

[27] Muhammad Said `Asymâwî, Ma`âlim al-Islâm, Sayna li al-Nasyr, Cairo, Mesir, cet.I, hal. 267

[28] Muhammad `Âbid al-Jâbirî, al-`Aql al-Siyâsî al-`Arabî, Muhaddadatuhu wa Tajaliyyâtuhu, Markaz Dirâsât al-Wihdah al-`Arabiyyah, Beirut, Lebanon, cet. III, hal. 232

[29] Ibid.

[30] Abdul Majid al-Shaghîr, al-Fikr al-Ushûlî wa Isykâliyyah al-Sulthah al-`Ilmiyyah fî al-Islâm, Qirâ’ah fî Nasy’ah `Ilm al-Ushûl wa Maqâshid al-Syarî`ah, Dâr al-Muntakhab al-`Arabî, Beirut, Lebanon, cet. I, hal. 98

[31] Muhammad Ahmad Sarraj, al-Fiqh al-Islâmî bayn al-Nazhariyyah wa al-Thathbîq, Dâr al- Mathbû`ât al-Jâmi`îyah, Alexandria, 1997, hal. 195

[32] Alî Jum`ah, Qadhiyyah Tajdîd Ushûl al-Fiqh, dalam Nashr M. Arîf (ed.), Qadhâyâ Manhajiyyah fî al-`Ulûm al-Islâmiyah wa al-Ijtimâ`iyah, IIIT, Herndon-Virginia, cet. I, 1996, hal. 291
[33] Lihat pembahasan masalah ini dalam pengantar Sulaiman Dunya terhadap buku Ibn Sînâ, al-Isyârât wa al-Tanbîhât, Dar al-Ma`ârif, Cairo, 1985, vol. I, passim
 
posted by Roland Gunawan at 5:05 AM | Permalink |


0 Comments:





"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"