**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Wednesday, May 24, 2006
Otoritas Politik


Politik makna asalnya (dalam bahasa Yunani) adalah "mengatur kota", maksud dari kota adalah Negara. Pengaturan kota di sini bisa melalui partisipasi "para warga negara" dalam jajak pendapat dan pengambilan keputusan, dalam hal ini sarana mereka adalah membalas pendapat dengan pendapat.

Makna tersebut tidak berbeda dengan makna politik saat ini. Tetapi yang jelas bahwa Negara modern lebih besar daripada "kota", sehingga tentu saja lebih kompleks bersamaan dengan tugas-tugas dan fungsi-fungsi yang lebih luas. Tidak ada salahnya kalau kita meletakkan negara pada posisi "kota", pada definisi di atas, kita bisa mengatakan: politik adalah mengatur masalah-masalah negara.

Masalah-masalah negara sangat banyak dan bercabang-cabang, di antaranya:
Masalah-masalah bangsa: menjaga batas-batas, kesatuan tanah air, rakyat dll.
Masalah-masalah umat: kepentingan-kepentingan ekonomi, independensi politik tradisi kebudayaanya dll.

Termasuk masalah-masalah negara sebagai institusi yang mewakili umat dalam menjalankan kekuasaan guna menjaga keamanan, mewujudkan keadilan, mencanangkan kemajuan, perkembangan untuk kemudian merealisasikannya, serta menjalin hubungan dengan negara-negara lain guna menjaga kepentingan-kepentingan eksternalnya, termasuk juga ekonomi, strategi dan lain sebagainya.

Melihat fungsi politik yang sedemikian banyak, dapat disimpulkan bahwa politik mempunyai peranan sangat signifikan dalam kehidupan. Politik, atau pengaturan masalah-masalah negara, merupakan aktifitas yang akan dapat terlaksana dengan baik melalui pemberian kebebasan kepada seluruh warga negara. Kebebasan yang dimaksud di sini adalah kebebasan dalam banyak hal, kebebasan berbicara, berpendapat dan kebebasan lainnya, yang tentu saja untuk kepentingan negara itu sendiri.

Dalam Islam otoritas politik dimanifestasikan dalam bentuk negara "khilafah". Sebuah bentuk negara teokrasi yang dipimpin oleh seorang khalifah yang memegang otoritas penuh, baik dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan dunia atau agama. Di sini kita perlu membahas masalah Khilafah. Masalah khilafah akan mengalihkan perhatian kita pada masalah akar kekuasaan dan sistematisasi negara Islam. Problem khilafah sudah 'merangsang' sebuah upaya yang boleh dibilang berani dari seorang pemikir Mesir Ali Abdurraziq tahun 1925, yaitu sekularisasi pemikiran Islam. Di sini saya akan memaparkan beberapa penjelasan awal. Terdapat tiga istilah yang perlu kita selidiki. Istilah pertama adalah al-khalîfah, yang dalam bahasa Prancis disebut vicaire. Istilah kedua adalah al-imâm, di mana secara definitif berarti, seseorang yang memimpin kaum Muslimin dalam shalat dengan menghadap Ka`bah. Bisa dikatakan bahwa, al-imâm adalah pemimpin rohani juga. Adapun istilah yang ketiga adalah al-sulthân, yang mempunyai arti seseorang yang menjalankan dan menangani kekuasaan dalam artian politik yang bersifat duniawi. Kita lihat, ketiga istilah ini memang jelas-jelas berbeda antara satu sama lain. Dua istilah pertama mengandung tanggungjawab-tanggungjawab spiritual dan temporal, sedangkan yang ketiga berarti menjalankan atau memainkan kekuasaan yang diperoleh melalui jalan kekuatan dan berlangsung berkat adanya kekuatan tersebut. Di sinilah letak perbedaan antara al-khilâfah (kekhalifahan) dan al-sulthanah (kesultanan, kerajaan). Kita temukan, dua hal ini seringkali bercampur aduk dan bertumpang tindih, ini dikarenakan para sultan Turki mengklaim sebagai pewaris Khilafah.

Setelah satu generasi dari wafatnya Rasulullah Saw., negara Islam telah menjadi kekaisaran yang sebenarnya, dan Khilafah menjadi warisan turun-temurun di awal masa pemerintahan Umawiyah pada tahun 660 M. Sehingga dengan otomatis Khalifah menjadi seorang kaisar seperti kaisar Persia atau kaisar Roma.

Para khalifah dan para ahli fikih "teras" berpijak pada sebuah perspektif —meskipun secara implisit— yang mengatakan bahwa khalifah merupakan pewaris hak-hak Nabi, sehingga fikih Islam nampak hanya tertarik kepada masalah khalifah berikut hak-haknya, dan sedikit sekali menaruh perhatian pada hak-hak rakyat.

Selama sejarah ke-khilafah-an Islam, penerapan politik selalu saja bertentangan dengan kepentingan-kepentingan manusia. Keadilan, harta dan otoritas keagamaan menjadi milik pribadi seorang khalifah, menjadi hak anak-anaknya dan para menterinya.

Dengan pemahaman yang salah terhadap agama dan al-Qur'an serta pandangan-pandangan tradisional dan khayalan yang tidak sebenarnya terhadap kehidupan Nabi berikut para shahabat, Khilafah kembali kepada keadaan semula, yaitu kekuasaan kabilah, di mana orang-orang Quraisy (orang-orang Umawiyah, Abbasiyah dan para pendukung Ali bin Abi Thalib) mulai masuk ke dalam konflik atas dasar bahwa Khilafah hanya merupakan hak anak-anak dan keturunan-keturunan mereka saja, sebab mereka termasuk dari kabilah Rasulullah Saw. Sehingga Khilafah hanya dikuasai oleh kabilah Quraisy selama sembilan abad, dimulai dari al-Khulafa' al-Rasyidin, kemudian dinasti Umawiyah, dinasti Abbasiyah dan setelah itu dinasti Fathimiyah.

Kendati kondisi-kondisi historis dan sosial mengalami perubahan, namun Khilafah tetap hanya dimonopoli oleh kabilah Quraisy, secara sederhana, oleh banyak orang, ini dipahami seabagi perintah agama, sunnah Nabi dan syari`at Tuhan, sehingga orang-orang non-Arab tidak diberi ruang untuk berpartisipasi dalam politik dan mengurus masalah-masalah pemerintahan. Pandangan fikih selalu menegaskan bahwa kekuasaan orang-orang non-Quraisy terhadap kaum Muslimin tidak dibenarkan. Padahal Khilafah, paling tidak menurut sunnah, bukanlah sistem keagamaan, perubahannya menjadi sistem keagamaan hanya pada perkembangan berikutnya, yang oleh para ahli fikih dianggap sebagai "penjaga agama dan pengatur masalah-masalah dunia." Hal ini telah melahirkan keyakinan di kalangan orang-orang awam bahwa para khalifah adalah ma`shum dalam ucapan dan perbuatan mereka.

Aktifitas praktis pemerintahan Islam, secara umum hanya terpusat pada satu ras tertentu, dan secara khusus pada keluarga Nabi Saw. Inilah yang mendorong upaya para khalifah untuk memerangi negara-negara lain guna melindungi hak kekuasaan atau menambah kekuatan dan mengembangkan sumber penghasilan.

Walaupun tujuan ekspansi-ekspansi yang dilakukan untuk menyebarkan Islam, akan tetapi sejarah telah membuktikan bahwa itu tidak sepenuhnya benar, orang-orang Mesir, sebagai contoh, tetap memeluk agama lama mereka selama lebih dari tiga abad setelah ekspansi Islam, kemudian di Andalusia banyak dari para penduduk yang masih memeluk agama Kristen selama pemerintahan Islam yang berlangsung selama tujuh abad.

Meskipun orang-orang non-Muslim tidak mendapat tekanan secara sebenarnya di bawah pemerintahan Islam di negara-negara taklukan, akan tetapi keadaan mereka tetap dibedakan dengan orang-orang Arab. Benar bahwa mereka bebas melakukan ritual-ritual keagamaan, namun mereka sama sekali tidak bebas melaksanakan hak-hak polilik atau sosial seperti membangun tempat-tempat ibadah atau merayakan hari besar keagamaan secara terang-terangan, yang mana ini mengakibatkan para warga tertindas membuat aliran-aliran keagamaan khusus, banyak dari mereka —setelah masuk Islam— mengaku-ngaku Nabi, ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan kekuasaan atau harapan untuk mendapat keselamatan.

Banyak dari para khalifah dengan orang-orang kepercayaan, para menteri serta para hakimnya yang anti terhadap pendidikan atau kebudayaan luhur di luar Islam. Makanya mereka melarang pendidikan, mereka lebih suka kebodohan, mereka membatasi hak para warga negara walau Muslim sekalipun hanya sekedar menghafal ayat-ayat al-Qur'an dan beberapa hadis Nabi, di samping tentunya memberangus pandangan-pandangan yang bertentangan dengan ahli fikih.

Demikianlah kita melihat bagaimana otoritas politik dalam negara Khilafah nampak bertentangan dengan al-Qur'an. Harus diakui bahwa prinsip-prinsip dasarnya memang banyak diambil dari al-Qur'an. Misalnya "La Hukma illa Allah", dari sini kemudian muncul apa yang kita kenal dengan "Hakimiyyatullah" yang seringkali diulang-ulang oleh para Khalifah —setelah masa-masa al-Khulafa' al-Rasyidin— agar menjadi bagian dari agama Islam, menjadi topeng yang menutupi tujuan-tujuan pribadi mereka, dan menjustifikasi kedhaliman-kedhaliman mereka terhadap rakyat.

Padahal kata "al-hukm" dalam al-Qur'an tidak bermakna otoritas politik (al-sulthah al-siyasiyyah), atau makna yang saat ini lagi berkembang. Kata-kata "La Hukma illa Allah" dengan makna yang politis, sebenarnya bukan dari Islam, al-Qur'an juga tidak mengenalnya. Pandangan semacam ini sama seperti pandangan yang muncul pada masa Mesir kuno, kemudian menyebar dalam masyarakat-masyarakat Kristen di abad-abad petengahan.

Kata "al-hukm" dalam bahasa al-Qur'an berarti menegakkan keadilan di antara manusia [al-Nisa' : 58]. Di ayat lain berarti menyelesaikan perselisihan [al-Zumar : 3]. Juga berarti nasehat dan hikmah [al-Syu`ara' : 21]. Sama sekali tidak ada yang mempunyai arti otoritas politik.

Al-Qur'an menyebutkan tentang otoritas politik dalam makna seperti yang populer saat ini dengan kata "al-amr". Dari kata ini kemudian muncul "al-amir", yaitu orang yang memegang kendali kekuasaan dan pemerintahan, makanya Umar bin Khatthab menyebut dirinya dengan Amir al-Mu'minin (pemimpin orang-orang beriman), ini juga dijadikan sebutan untuk dua khalifah setelahnya (Utsman dan Ali).

Sebenarnya, apapun itu bentuk negara, tidak menjadi soal. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah ketika otoritas politik dijadikan senjata ampuh untuk memeras dan menindas rakyat. Tujuan utama pendirian sistem politik bukanlah penguasaan, atau pemaksaan atau penundukan rakyat untuk kepentingan para penguasa, akan tetapi pembebasan dari rasa takut, sehingga setiap orang dapat hidup dalam keadaan damai. Tujuan dari sistem politik bukan merubah manusia menjadi sebatas hewan-hewan atau alat-alat, akan tetapi untuk mencapai keselamatan akal dan badan, artinya bahwa sebenarnya tujuan daripada sistem politik adalah kebebasan.

Dalam masyarakat munculnya kekuasaan bisa dari kelompok atau dari sebagian orang atau dari satu orang. Setiap orang mempunyai hukumya sendiri, dia boleh memasrahkan haknya kepada otoritas negara, tanpa harus melepaskan kebebasannya dalam berfikir dan mengeluarkan pendapat, tentu saja dengan syarat harus berpijak pada akal, bukan pada penipuan atau penghianatan, serta tidak didorong oleh perasaan dendam dan perasaan benci. Dengan demikian dia bisa mengutarakan apa yang dia pikirkan tanpa mengganggu keselamatan negara dan keamanan internalnya. Selama negara masih berpijak pada keadilan, dia harus menerima segala ketentuan yang telah ditetapkan, walaupun mungkin ketentuan-ketentuan tersebut berlawanan dengan pendapat pribadinya. Artinya bahwa ketika negara masih menerima kebebasan orang lain, dan keputusan-keputusan yang diambilnya muncul dari kesepakatan masyarakatnya, kendati ada beberapa orang yang tidak sepakat. Adalah hal lumrah kalau percaturan politik selalu saja dilalui dengan pertentangan pendapat yang begitu 'keras' dan 'panas', namun manakala sudah diputuskan, maka harus diikuti. Ini sama dengan sebuah kasus di masa Nabi.Ketika Nabi kalah dalam memenangkan pendapatnya.

Tetapi, adakah pendapat-pendapat yang akan mengancam keutuhan negara? Yang jelas ada, yaitu pendapat-pendapat yang mengancam dengan melepaskan ikatan yang dengannya para warga memasrahkah haknya kepada negara, misalnya seperti pendapat-pendapat anarchis yang dibarengi dengan tindakan-tindakan anarchis pula. Sedangkan pendapat-pendapat yang tidak membawa konsekuensi praktis yang mengancam keselamatan negara tidak dianggap sebagai tindak kejahatan, kecuali bila negara tersebut dipimpin oleh seorang fanatis dan bodoh yang memang hendak menteror manusia. Di sana terdapat beberapa pendapat yang timbul dari niat yang tidak tulus yang mengatas-namakan kebebasan berfikir, akan tetapi standar ketulusan sebuah kekuasaan adalah al-ihsân atau perbuatan baik. Dan sistem politik paling baik adalah yang memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk berfikir dan menjadikan kebebasan itu sebagai sebuah asas. Harus diakui memang bahwa kebebasan akan sangat merepotkan bagi negara, namun hal itu akan lebih "selamat" ketimbang kebebasan tersebut dirampas. Dan bahwa posisi kehidupan manusia jika secara keseluruhan diletakkan di bawah otoritas negara hanya akan menimbulkan aib-aib yang tidak dapat diperbaiki. Jadi lebih baiknya mentoleransi aktifitas yang bebas kalau memang kesulitan mencegahnya, sebab di sana terdapat banyak keterpengaruhan yang tidak mungkin dipadamkan.

Kebebasan merupakan unsur mendasar bagi kemajuan sebuah negara. Kebebasan merupakan syarat mendasar bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan seni. Bukankah ilmu pengetahuan dan seni tidak akan mengalami kemajuan yang signifikan melainkan di tangan orang-orang yang benar-benar bebas dari rasa takut? Jika sebuah negara dengan otoritas politiknya bisa memaksakan pemikiran-pemikirannya terhadap segenap warganya, maka ia tidak bisa menjadikan pemikiran-pemikirannya sesuai dengan pemikiran-pemikiran para warganya. Sebab dengan itu akan menyebabkan para warga menjadi hipoktrit (munafik), mereka akan mengatakan apa yang tidak mereka ketahui, menghilangkan ketulusan niat, berbagai pengkhianatan akan muncul menggerogoti kekuasaan pada sebuah negara. Ketika kebebasan sudah dirampas dari mereka, ketika itulah sebuah kekuasaan menjadi teramcam. Setiap saat mereka akan bertanya-tanya dalam batin guna memahami signifikasi kebebasan mereka, dan ketika kesadaran akan pentingnya kebebasan muncul dari jiwa mereka, pada akhirnya mereka akan menumpahkan permusuhan terhadap negara. Mereka akan menyebarkan fitnah-fitnah dan gangguan-gangguan, ini memang tabi`at manusia, penerapan hukum hanya akan menjadi bahaya terbesar yang mengancam negara, di mana rakyat akan menolaknya, sementara orang-orang oportunis akan semakin menjilat, sehingga negara akan kesulitan mengendalikan keadaan. Berapa banyak aliran dan kelompok bermunculan karena kekuasaan hendak membatasi kebebasan berfikir. Penerapan hukum ditujukan untuk menenangkan emosi atau perasaan rakyat, bukan malah mengobarkannya, jadi tidakkah lebih baik menjaga perasaan rakyat? Adalah musibah yang paling parah jika negara memperlakukan beberapa orang dari rakyatnya sebagai musuh dan menggiring mereka kepada kematian tanpa dosa atau kesalahan. Siapapun yang merasa tidak bersalah tidak akan takut mati, bagi mereka mati bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan kebebasan yang mereka perjuangkan, mereka akan menjadi pejuang-pejuang kebebasan yang anti sikap pengecut.

Jika negara hendak mengembalikan ketulusan niat rakyatnya agar bisa melaksanakan haknya pada kondisi-kondisi yang lebih baik, mau tidak mau ia harus menerima kebebasan para warganya untuk berfikir dan berpendapat, karena hal itu merupakan jalan terbaik dan lebih sesuai dengan tabi`at kemanusiaan. Di sini dapat dikatakan bahwa demokrasi merupakan sistem pemerintahan alternatif bagi sebuah negara dalam menjalankan aktifitas politiknya, di mana setiap orang berbuat dan berfikir tanpa terpenjara pada satu acuan tertentu, di sana pendapat mayoritas terbesar dengan kesepakatan dari semua dapat diterima dengan tetap menjaga hak untuk menghapusnya di kemudian hari atau di masa mendatang jika itu diperlukan, seandainya memang ada lebih baik dari itu. Jadi kebebasan para warga bukan merupakan bahaya bagi kekuasan dan tidak akan mengurangi wibawanya, namun mana kala kebebasan sudah dirampas, korbanpun akan banyak berjatuhan.

 
posted by Roland Gunawan at 11:57 AM | Permalink |


0 Comments:





"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"