Suatu ketika saya diundang menghadiri pesta Ulang Tahun Kelahiran seorang teman yang ke-20 di Daerah Jami`, di samping Masjid Syarbini. Nur Fakhruddin, itulah nama teman saya, dia kerap dipanggil dengan sebutan "Babe" oleh teman-temannya yang lain, dipanggil demikian karena mungkin, selain badannya yang besar, juga sikapnya yang nampak dewasa dalam menghadapi setiap permasalahan, serta loyalitasnya yang begitu tinggi terhadap teman, sehingga dia dianggap seperti atau sebagai orang tua.
Karena bertepatan dengan malam Jum`at, seperti biasa kami membaca surat Yasin bersama. Setelah pembacaan surat Yasin itu selesai, kemudian dilanjutkan dengan do`a yang dipimpin oleh saudara misan teman saya itu. Sebenarnya acara ketika itu bukan cuman selamatan Ulang Tahun Kelahiran, tapi juga dalam rangka memperingati Maulid Nabi Besar Muhammad Saw., sekaligus berdo`a atas meninggalnya ayah salah seorang teman kami yang ada di Indonesia.
Setelah do`a bersama selesai, kemudian dilanjutkan dengan "ceramah" --kalau boleh dibilang demikian. Semula saya mengira "ceramah" itu akan disampaikan oleh saudara misan teman saya itu, sebab menurut saya, dia lebih alim dan nampak lebih bijak, itu terbukti ketika memimpin do`a, dia nampak lebih khusyu`, lebih memahami dan menghayati do`a yang dibacakannya. Tapi ternyata dugaan saya meleset, teman saya itu malah menyuruh saya. Terus terang saya agak terkejut, sebab sebelumnya tidak ada pemberitahuan. Tapi karena tidak enak, dan karena melihat selama ini dia telah banyak berbuat baik terhadap saya, akhirnya saya pun mau juga.
Dalam "ceramah singkat" itu --di sebut singkat karena saya memang terburu-buru, bukan apa-apa, tapi karena teman-teman saya yang lain yang ketika itu hadir, perut mereka sudah pada bunyi semua, berteriak, "Lapar, lapar, lapar, cepetan ceramahnya." Dan ternyata bukan cuma perut mereka yang bunyi, perut saya pun nampak tidak dapat menahan lagi --saya mencoba menghubung-hubungkan antara Maulid Nabi, kematian, dan Ulang Tahun Kelahiran. Lho, kok bisa? Apa hubungannya? Memang sih tidak ada hubungannya, tapi dengan imajinasi, apapun --menurut Ibnu `Arabi-- bisa dihubungkan.
Semua manusia dilahirkan ke muka bumi, kemudian akan dimatikan, setelah itu Allah akan menciptakan manusia baru sebagai generasi selanjutnya, dan begitu seterusnya. Kita semua dilahirkan, dan kita akan melangkah menuju kematian. Entahlah kapan kematian itu akan menyapa kita. Kita barangkali sempat berangan-angan untuk dapat hidup seribu tahun lagi, tapi kita juga bisa tidak melihat matahari di esok hari. Ya, intinya semua akan mati, dan alangkah lebih baiknya jika dalam perjalanan menuju kematian itu kita isi dengan sesuatu yang bermakna, atau dalam bahasa kerennya "sesuatu yang signifikatif." Memang sih sama saja, berbuat atau tidak berbuat, semua akan mati. Orang yang berbuat jelek, orang yang berbuat baik, semua akan mati. Orang shaleh, pencoleng, maling dan lain sebagainya, mereka semua akan mati. Tapi orientasi hidup kita bukan hanya untuk kita sendiri saja, tapi juga demi generasi-generasi yang datang, lebih-lebih sebagai tanggungjawab kita di hadapan Tuhan kelak di akhirat. Maka mau tidak mau kita harus berkarya, agar dengan bangga kita bisa menunjukkannya kepada generasi-generasi setelah kita, dan agar kita bisa tenang nanti di alam baka.
"I'malu fauqa ma 'amilu," "Berbuatlah kamu melebihi apa yang mereka --para generasi terdahulu-- perbuat." Itulah kata-kata Kiyai saya waktu di pondok dulu, hal ini sesuai dengan semangat yang terkandung dalam beberapa ayat al-Qur'an yang memerintahkan kita untuk berbuat hal yang lebih baik dari para generasi terdahulu. Saya percaya bahwa al-Qur'an memang diturunkan di masa Nabi, tetapi bukan untuk zaman itu saja, bagi kita juga masih berlaku, dan sampai kapanpun akan tetap berlaku. Bukankah al-Qur'an itu "shâlih li kulli zamân wa makân," "relevan untuk setiap ruang dan waktu"?
Rasulullah dan para shahabat beliau telah berbuat lebih baik dari generasi-generasi Arab sebelumnya. Dan para tokoh-tokoh klasik juga telah berbuat lebih baik dari zaman sebelum mereka, mereka berhasil mengembangkan dasar-dasar yang telah dibangun pada zaman Rasulullah. Sekarang bagaimana kita yang hidup di abad duapuluh satu ini, apakah kita sudah melakukan hal yang lebih baik dari apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh klasik? Saya kira, semua akan mengatakan "belum," ya...kita masih belum melakukan yang lebih baik dari mereka. Rasulullah bersabda, "Barang siapa yang harinya sama dengan kemarin, maka dia telah merugi, barang siapa yang harinya lebih baik dari hari kemarin, maka dia telah beruntung, dan barang siapa yang harinya lebih buruk dari hari kemarin, maka dia telah celaka." Kalau berkaca pada hadis ini, berarti kita telah celaka, sebab hari-hari kita menjadi lebih buruk dari sebelumnya, bukti bahwa kita celaka adalah betapa kita sering dihina orang, ditindas dan dijajah.
Beberapa hari kemarin, kita telah merayakan Maulid Nabi Muhammad Saw., dan setiap tahun kita merayakannya. Tapi ternyata tidak membawa manfaat apa-apa, kita telah melakukan hal yang sia-sia. Rasulullah bersabda, "Min husni Islâm al-mar'i tarkuhu mâ lâ ya`nîhi," "Termasuk kualitas keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi dirinya." Kalau peringatan Maulid Nabi ternyata tidak membawa perubahan dan perkembangan apa-apa bagi kita, buat apa kita melakukan itu, buang-buang waktu saja, cape' cape'in. Kasarnya, nampaknya kita memang lebih suka melakukan hal yang sia-sia.
Kecintaan Nabi kepada kita sebagai umatnya bukan karena setiap tahun kita rutin merayakan hari kelahirannnya, tapi bagaimana kita berbuat sesuatu yang lebih baik dari zaman beliau. Rasulullah adalah seorang guru, keberhasilan seorang guru adalah kalau dia mampu menjadikan murid-muridnya melebihi dirinya, bisa berbuat lebih baik dari dirinya. Kalau ada guru yang bercita-cita ingin membuat murid-muridnya menjadi sama dengan dirinya, berarti dia telah gagal, apalagi kalau sampai di bawahnya. Relakah kita bila Rasulullah dianggap sebagai guru yang gagal? Saya yakin pasti tidak ada yang rela. Kalau tidak rela, kenapa kita masih tetap seperti ini? Kita tidak pernah mau maju, malah balik kebelakang, semua apa yang ada pada zaman Rasul mau kita ambil dan kita tiru semuanya, kita tidak pernah berfikir bahwa kita hidup pada zaman yang sama sekali lain dari zaman beliau, ini namanya kemunduran, dan kemunduran, bagaimanapun, adalah sesuatu yang buruk. Kenapa buruk? Sebab kita ini hidup di abad dua puluh satu yang sudah tentu tantangan-tantangannya lebih berat dari zaman Nabi, sehingga memerlukan upaya-upaya baru untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut. Tapi kita bukan malah melakukan upaya-upaya baru, kita bukan malah maju, justru yang kita lakukan adalah mundur kebelakang, terus ke belakang, tidak mau melihat ke depan dan melangkah ke sana. Padahal antara zaman Rasulullah dan zaman kita terdapat jarak yang begitu jauh sekali, setelah zaman Rasulullah dan sebelum zaman kita saat ini terdapat generasi-generasi lain yang hidup. Generasi-generasi itu telah berhasil menampilkan Islam sebagai peradaban yang maju. Sekarang tinggal kita yang melanjutkan dan mengembangkannya.
Saya lebih melihat peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. malah melahirkan orang-orang yang fanatik, orang-orang yang tertutup, orang-orang yang senatiasa melihat zaman ini adalah neraka yang harus dijauhi. Saya berani mengatakan bahwa Nabi tidak mungkin berkehendak seperti itu, sebab jika demikian, maka sama halnya --saya mohon maaf kalau kurang sopan-- beliau nenelan ludahnya sendiri, bukankah hadis yang berbunyi, "barang siapa yang harinya lebih baik dari kemarin, maka dia telah beruntung" adalah ucapan beliau yang secara tidak langsung menyuruh kita untuk berbuat lebih baik dari apa yang beliau dan para shahabat lakukan?
Beberapa bulan yang lalu, banyak menyebar gambar-gambar yang menghina Nabi. Coba bayangkan bagaimana Nabi yang semulia itu dihina. Tapi sebenarnya kalau dicermati, gambar-gambar itu bukanlah penghinaan terhadap pribadi Nabi atau kepada Islam, tapi lebih merupakan ejekan terhadap umat Islam --ingat, bukan Islam-- yang anti kemajuan (walaupun mungkin tidak semua). Ketika kita anti kemajuan, berarti kita celaka, celaka berarti mendapat penghinaan dari orang.
Setiap kali memperingati Maulid Nabi, sudah seharusnya kita memiliki kesadaran bahwa Nabi telah hadir kembali ke dunia dengan membawa cahaya-cahaya baru, dan kita harus mampu menangkap cahaya-cahaya itu untuk kemudian kita jadikan sebagai topangan semangat guna melakukan perubahan-perubahan, pembaharuan-pembaharuan, untuk berkarya dan berkarya, membuka cakrawala-cakrawala baru, di mana walaupun kita tidak sempat menikmatinya karena keterbatasan umur kita, tapi siapa tahu bisa berguna untuk generasi-generasi mendatang. Sehingga ketika sudah berada di tempat peristirahatan terakhir, kita dapat menyaksikan dengan tenang lautan dengan goyangan dan golakan ombak-ombaknya yang menantang menyongsong generasi yang akan melanjutkan cita-cita kita.
Sebagai penutup dari tulisan yang "ngelantur" ini, saya mengajak kepada semua, dengan semangat Maulid Nabi, mari kita songsong masa depan kita yang lebih cerah, masa yang bukan namanya saja "depan" padahal hakikatnya adalah "belakang", tetapi merupakan masa yang betul-betul "depan" yang diwarnai dengan perkembangan, kemajuan, permbaharuan, dan yang lebih penting lagi adalah kedamaian.
Karena bertepatan dengan malam Jum`at, seperti biasa kami membaca surat Yasin bersama. Setelah pembacaan surat Yasin itu selesai, kemudian dilanjutkan dengan do`a yang dipimpin oleh saudara misan teman saya itu. Sebenarnya acara ketika itu bukan cuman selamatan Ulang Tahun Kelahiran, tapi juga dalam rangka memperingati Maulid Nabi Besar Muhammad Saw., sekaligus berdo`a atas meninggalnya ayah salah seorang teman kami yang ada di Indonesia.
Setelah do`a bersama selesai, kemudian dilanjutkan dengan "ceramah" --kalau boleh dibilang demikian. Semula saya mengira "ceramah" itu akan disampaikan oleh saudara misan teman saya itu, sebab menurut saya, dia lebih alim dan nampak lebih bijak, itu terbukti ketika memimpin do`a, dia nampak lebih khusyu`, lebih memahami dan menghayati do`a yang dibacakannya. Tapi ternyata dugaan saya meleset, teman saya itu malah menyuruh saya. Terus terang saya agak terkejut, sebab sebelumnya tidak ada pemberitahuan. Tapi karena tidak enak, dan karena melihat selama ini dia telah banyak berbuat baik terhadap saya, akhirnya saya pun mau juga.
Dalam "ceramah singkat" itu --di sebut singkat karena saya memang terburu-buru, bukan apa-apa, tapi karena teman-teman saya yang lain yang ketika itu hadir, perut mereka sudah pada bunyi semua, berteriak, "Lapar, lapar, lapar, cepetan ceramahnya." Dan ternyata bukan cuma perut mereka yang bunyi, perut saya pun nampak tidak dapat menahan lagi --saya mencoba menghubung-hubungkan antara Maulid Nabi, kematian, dan Ulang Tahun Kelahiran. Lho, kok bisa? Apa hubungannya? Memang sih tidak ada hubungannya, tapi dengan imajinasi, apapun --menurut Ibnu `Arabi-- bisa dihubungkan.
Semua manusia dilahirkan ke muka bumi, kemudian akan dimatikan, setelah itu Allah akan menciptakan manusia baru sebagai generasi selanjutnya, dan begitu seterusnya. Kita semua dilahirkan, dan kita akan melangkah menuju kematian. Entahlah kapan kematian itu akan menyapa kita. Kita barangkali sempat berangan-angan untuk dapat hidup seribu tahun lagi, tapi kita juga bisa tidak melihat matahari di esok hari. Ya, intinya semua akan mati, dan alangkah lebih baiknya jika dalam perjalanan menuju kematian itu kita isi dengan sesuatu yang bermakna, atau dalam bahasa kerennya "sesuatu yang signifikatif." Memang sih sama saja, berbuat atau tidak berbuat, semua akan mati. Orang yang berbuat jelek, orang yang berbuat baik, semua akan mati. Orang shaleh, pencoleng, maling dan lain sebagainya, mereka semua akan mati. Tapi orientasi hidup kita bukan hanya untuk kita sendiri saja, tapi juga demi generasi-generasi yang datang, lebih-lebih sebagai tanggungjawab kita di hadapan Tuhan kelak di akhirat. Maka mau tidak mau kita harus berkarya, agar dengan bangga kita bisa menunjukkannya kepada generasi-generasi setelah kita, dan agar kita bisa tenang nanti di alam baka.
"I'malu fauqa ma 'amilu," "Berbuatlah kamu melebihi apa yang mereka --para generasi terdahulu-- perbuat." Itulah kata-kata Kiyai saya waktu di pondok dulu, hal ini sesuai dengan semangat yang terkandung dalam beberapa ayat al-Qur'an yang memerintahkan kita untuk berbuat hal yang lebih baik dari para generasi terdahulu. Saya percaya bahwa al-Qur'an memang diturunkan di masa Nabi, tetapi bukan untuk zaman itu saja, bagi kita juga masih berlaku, dan sampai kapanpun akan tetap berlaku. Bukankah al-Qur'an itu "shâlih li kulli zamân wa makân," "relevan untuk setiap ruang dan waktu"?
Rasulullah dan para shahabat beliau telah berbuat lebih baik dari generasi-generasi Arab sebelumnya. Dan para tokoh-tokoh klasik juga telah berbuat lebih baik dari zaman sebelum mereka, mereka berhasil mengembangkan dasar-dasar yang telah dibangun pada zaman Rasulullah. Sekarang bagaimana kita yang hidup di abad duapuluh satu ini, apakah kita sudah melakukan hal yang lebih baik dari apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh klasik? Saya kira, semua akan mengatakan "belum," ya...kita masih belum melakukan yang lebih baik dari mereka. Rasulullah bersabda, "Barang siapa yang harinya sama dengan kemarin, maka dia telah merugi, barang siapa yang harinya lebih baik dari hari kemarin, maka dia telah beruntung, dan barang siapa yang harinya lebih buruk dari hari kemarin, maka dia telah celaka." Kalau berkaca pada hadis ini, berarti kita telah celaka, sebab hari-hari kita menjadi lebih buruk dari sebelumnya, bukti bahwa kita celaka adalah betapa kita sering dihina orang, ditindas dan dijajah.
Beberapa hari kemarin, kita telah merayakan Maulid Nabi Muhammad Saw., dan setiap tahun kita merayakannya. Tapi ternyata tidak membawa manfaat apa-apa, kita telah melakukan hal yang sia-sia. Rasulullah bersabda, "Min husni Islâm al-mar'i tarkuhu mâ lâ ya`nîhi," "Termasuk kualitas keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi dirinya." Kalau peringatan Maulid Nabi ternyata tidak membawa perubahan dan perkembangan apa-apa bagi kita, buat apa kita melakukan itu, buang-buang waktu saja, cape' cape'in. Kasarnya, nampaknya kita memang lebih suka melakukan hal yang sia-sia.
Kecintaan Nabi kepada kita sebagai umatnya bukan karena setiap tahun kita rutin merayakan hari kelahirannnya, tapi bagaimana kita berbuat sesuatu yang lebih baik dari zaman beliau. Rasulullah adalah seorang guru, keberhasilan seorang guru adalah kalau dia mampu menjadikan murid-muridnya melebihi dirinya, bisa berbuat lebih baik dari dirinya. Kalau ada guru yang bercita-cita ingin membuat murid-muridnya menjadi sama dengan dirinya, berarti dia telah gagal, apalagi kalau sampai di bawahnya. Relakah kita bila Rasulullah dianggap sebagai guru yang gagal? Saya yakin pasti tidak ada yang rela. Kalau tidak rela, kenapa kita masih tetap seperti ini? Kita tidak pernah mau maju, malah balik kebelakang, semua apa yang ada pada zaman Rasul mau kita ambil dan kita tiru semuanya, kita tidak pernah berfikir bahwa kita hidup pada zaman yang sama sekali lain dari zaman beliau, ini namanya kemunduran, dan kemunduran, bagaimanapun, adalah sesuatu yang buruk. Kenapa buruk? Sebab kita ini hidup di abad dua puluh satu yang sudah tentu tantangan-tantangannya lebih berat dari zaman Nabi, sehingga memerlukan upaya-upaya baru untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut. Tapi kita bukan malah melakukan upaya-upaya baru, kita bukan malah maju, justru yang kita lakukan adalah mundur kebelakang, terus ke belakang, tidak mau melihat ke depan dan melangkah ke sana. Padahal antara zaman Rasulullah dan zaman kita terdapat jarak yang begitu jauh sekali, setelah zaman Rasulullah dan sebelum zaman kita saat ini terdapat generasi-generasi lain yang hidup. Generasi-generasi itu telah berhasil menampilkan Islam sebagai peradaban yang maju. Sekarang tinggal kita yang melanjutkan dan mengembangkannya.
Saya lebih melihat peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. malah melahirkan orang-orang yang fanatik, orang-orang yang tertutup, orang-orang yang senatiasa melihat zaman ini adalah neraka yang harus dijauhi. Saya berani mengatakan bahwa Nabi tidak mungkin berkehendak seperti itu, sebab jika demikian, maka sama halnya --saya mohon maaf kalau kurang sopan-- beliau nenelan ludahnya sendiri, bukankah hadis yang berbunyi, "barang siapa yang harinya lebih baik dari kemarin, maka dia telah beruntung" adalah ucapan beliau yang secara tidak langsung menyuruh kita untuk berbuat lebih baik dari apa yang beliau dan para shahabat lakukan?
Beberapa bulan yang lalu, banyak menyebar gambar-gambar yang menghina Nabi. Coba bayangkan bagaimana Nabi yang semulia itu dihina. Tapi sebenarnya kalau dicermati, gambar-gambar itu bukanlah penghinaan terhadap pribadi Nabi atau kepada Islam, tapi lebih merupakan ejekan terhadap umat Islam --ingat, bukan Islam-- yang anti kemajuan (walaupun mungkin tidak semua). Ketika kita anti kemajuan, berarti kita celaka, celaka berarti mendapat penghinaan dari orang.
Setiap kali memperingati Maulid Nabi, sudah seharusnya kita memiliki kesadaran bahwa Nabi telah hadir kembali ke dunia dengan membawa cahaya-cahaya baru, dan kita harus mampu menangkap cahaya-cahaya itu untuk kemudian kita jadikan sebagai topangan semangat guna melakukan perubahan-perubahan, pembaharuan-pembaharuan, untuk berkarya dan berkarya, membuka cakrawala-cakrawala baru, di mana walaupun kita tidak sempat menikmatinya karena keterbatasan umur kita, tapi siapa tahu bisa berguna untuk generasi-generasi mendatang. Sehingga ketika sudah berada di tempat peristirahatan terakhir, kita dapat menyaksikan dengan tenang lautan dengan goyangan dan golakan ombak-ombaknya yang menantang menyongsong generasi yang akan melanjutkan cita-cita kita.
Sebagai penutup dari tulisan yang "ngelantur" ini, saya mengajak kepada semua, dengan semangat Maulid Nabi, mari kita songsong masa depan kita yang lebih cerah, masa yang bukan namanya saja "depan" padahal hakikatnya adalah "belakang", tetapi merupakan masa yang betul-betul "depan" yang diwarnai dengan perkembangan, kemajuan, permbaharuan, dan yang lebih penting lagi adalah kedamaian.