**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Monday, March 27, 2006
Karikatur Rasulullah dan Kebebasan

Pendahuluan
Kenapa kita membutuhkan kebebasan? Begitu pentingkah kebebasan buat kita? Tidak dapat dipungkiri bahwa kita — manusia— diciptakan sebagai makhluk yang bebas, bebas dari segala macam ikatan. Manusia ketika lahir sama sekali tidak menggunakan apa-apa, baju, hiasan dan segala bentuk pakaian lainnya. Kebebasan adalah anugerah Tuhan bagi manusia sebagaimana air dan udara, semua manusia sama dalam kebebasan. Kebebasan dibutuhkan karena memungkinkan kita untuk memperoleh apa yang kita inginkan. Kebebasan akan melindungi kita dari pemborosan, perspektif tunggal, penyimpangan dan kesalahan-kesalahan penerapan yang merupakan tempat-tempat bahaya di mana segala macam klaim bisa saja tergelincir selama tidak ada kebebasan yang bisa mengungkap dan memperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut. Kebebasan dapat mengaktifasi akal untuk sampai pada keputusan-keputusan yang benar, tanpa kebebasan segala bentuk khurafat akan semakin meraja lela, para penguasa diktator akan semakin berbuat sewanang-wenang. Mungkin kita masih ingat ketika putra `Amru bin `Ash memukul salah satu dari penduduk Mesir. Peristiwa ini dilaporkan ke khalifah Umar bin Khatthab, kemudian khalifah berkata: "Kenapa kalian memperbudak manusia, sementara kalian tahu bahwa semua manusia dilahirkan dalam keadaan bebas?"

Itulah manusia, manusia selalu bebas dalam bertindak, bebas berpendapat, bebas berfikir, bahkan berfikir dalam hal akidah pun juga boleh, Islam tidak diturunkan untuk memaksa dan mengekang manusia. Ketika mengutus Nabi, Tuhan berkata padanya: "Wahai Muhammad, serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang baik, debatlah mereka dengan cara yang lebih halus." Tuhan tidak mengutus Rasulullah dengan tentara untuk menjaga dakwahnya, atau fanatisme untuk memelihara syari`atnya.

Kalau demikian, lalu bagaimana dengan karikatur Rasulullah seperti yang dimuat dalam Jyllands Posten, salah satu koran Denmark, apakah itu juga termasuk dalam kerangka kebebasan? Adakah agama melarang menggambar Rasulullah? Mari kita bahas sama-sama.

Karikatur Rasulullah
Pada prinsipnya setiap gambar asalnya adalah mubah atau boleh. Menghina atau tidak, itu soal lain. Memang ada sebuah hadis yang melarang untuk menggambar, hadis itu berbunyi: "al-mushawwirun fi al-nar," "Orang-orang yang menggambar tempatnya di neraka." Oleh sebagian orang hadis ini digunakan untuk mengharamkan semua jenis gambar. Sebab, kata "al-shurah" dalam bahasa Arab mempunyai makna yang banyak, bisa lukisan, photo atau bentuk, dalam artian seperti patung atau hasil pahatan lainnya. Akan tetapi siapakah yang dimaksud dengan "al-mushawwirun fi al-nar" itu? Jelas, kalau hadis ini hanya ditelan mentah-mentah, akibatnya akan sangat fatal sekali. Segala jenis gambar atau lukisan yang merupakan hasil kreasi manusia akan menjadi tidak boleh, sebab, dengan bukti hadis tadi, agama telah melarang. Maka, sebelum melangkah lebih jauh membahas gambar Rasulullah, alangkah lebih baiknya kalau kita membahas masalah ini.

Maksud dari "al-mushawwirun fi al-nar" dalam hadis di atas adalah orang-orang yang berkeyakinan bahwa Tuhan mempunyai bentuk atau gambaran (shurah), walaupun dalam hati, lalu mereka menyembahnya. Misalkan orang-orang yang berkeyakinan bahwa Tuhan sama seperti sapi betina (al-baqarah) lalu mereka mensucikannya. Atau orang-orang yang berkeyakinan bahwa Tuhan sama seperti matahari, lalu mereka mengganggap matahari adalah Tuhan. Atau orang-orang yang berkeyakinan bahwa Tuhan sama seperti bintang, bulan, ular atau makhluk-makhluk-Nya yang lain. Membuat gambar atau patung dengan tujuan untuk disembah, dalam kaca mata agama, jelas hukumnya haram. Orang-orang yang melakukan itu akan dimasukkan ke neraka. Mereka lupa bahwa Tuhan adalah "laisa kamitslihi syai'un." Tetapi kalau orang menggambar dimaksudkan untuk tujuan keindahan sebagai kreasi seni, itu tidak apa-apa. Makanya hadis Nabi yang menyatakan bahwa sebuah rumah yang di dalamnya terdapat patung tidak akan dimasuki para Malaikat, jangan dimaknai secara sederhana. Patung atau gambar dalam sebuah rumah yang disembah sebagai Tuhan, rumah inilah yang tidak akan dimasuki para Malaikat. Jadi ketidakbolehan gambar atau patung jika dimaksudkan untuk ibadah. Namun kalau hanya sekedar hiasan agar rumah nampak lebih indah, agama tidak melarangnya, bahkan akan mengundang para Malaikat untuk mengunjungi rumah tersebut. Sebab Tuhan itu indah dan menyukai keindahan. (Baca: "Mata Yakunu al-Mushawwirun fi al-Nar?")

Untuk selanjutnya, mengenai gambar Rasulullah Saw., hingga saat ini kita belum menemukan teks yang secara tegas melarang gambar Nabi. Motif dilarangnya gambar Nabi adalah takut disembah oleh umat Islam, selain itu tidak ada. Maka, sepanjang tidak ada unsur penghinaan, kita boleh menggambar Nabi. Katakanlah seorang pelukis, dengan kecintaannya yang begitu mendalam kepada Nabi Saw., bisa saja dia mengambar Nabi dengan segala macam keindahan. Makanya ada ungkapan dari seorang Sufi: "Seandainya kita menyaksikan keelokan Nabi Yusuf, maka kita akan tahu penderitaan yang dialami oleh Nabi Ya`kub." Ada juga ungkapan lain, "Seandainya Nabi Yusuf hidup pada masa Nabi Muhammad, maka keindahan Yusuf akan redup karena kalah oleh keindahan Nabi Muhammad." Jadi dengan kecintaannya kepada Nabi, seseorang pelukis bisa melakukan imajinasi membayangkan keindahan Nabi untuk kemudian dituangkan dalam bentuk gambar indah, sebab kita lihat banyak hadis yang menggambarkan diri Nabi, rambutnya, wajahnya, tangannya, cara berjalannya, cara memandangnya dan lain sebagainya...

Dan menyangkut gambar-gambar penghinaan terhadap Nabi, di mana gambar-gambar tersebut mula-mula dimuat oleh koran Jyllands-Posten, edisi 30 September 2005, terbitan Denmark, yang kemudian disiarkan kembali oleh sejumlah suratkabar Eropa baru-baru ini, tak ayal hal ini memicu kemarahan masyarakat Islam seluruh dunia. Sebab seperti dimaklumi, tradisi masyarakat Islam memang melarang pembuatan gambar Nabi Muhammad, apalagi kalau sampai menghina.

Siapapun, kalau orang yang dianggap simbol agamanya dihina, pasti akan marah. Kita tidak keberatan dengan gambar apapun, tetapi tentu saja gambar-gambar yang elegan dan layak. Karena gambar adalah bagian dari seni, dan kita bebas dalam berseni, bebas dalam berkreasi, asalkan tidak menyinggung perasaan orang lain. Maka adalah hal wajar jika umat Islam marah ketika Nabi-nya dihina. Marah dalam artian tidak merusak, sepanjang masih dalam taraf kewajaran.

Sebenarnya, kita tidak usah terlalu risau dengan gambar-gambar yang dikatakan menghina Nabi, menghina Islam, biarlah Tuhan yang membelanya, Ka'bah yang terbuat dari batu saja Tuhan mau membela, apalagi Nabi Muhammad yang kita tahu adalah manusia. Lebih tinggi mana derajat batu dengan manusia? Apalagi kita sendiri tidak pernah marah ketika orang Barat menggambar Nabi Isa As., bukankah dia adalah Nabi kita juga? Kita harus bersikap adil, Tuhan saja berfirman: "La nufarriqu baina ahadin min rusulihi...," Tuhan tidak membeda-bedakan para utusan-Nya. Jika kita marah melihat gambar-gambar Nabi Muhammad, kenapa kita tidak marah ketika melihat gambar Nabi Isa yang dibuat oleh orang Barat, sedang kalau dilihat, Nabi Isa patungnya telanjang bulat, sama sekali tidak pakai baju, bahkan —maaf— celana dalam pun tidak pakai, bermata biru, ada juga yang bermata coklat, disalib lagi, padahal al-Qur'an jelas-jelas mengatakan bahwa Nabi Isa tidak pernah disalib. Demi melihat gambar-gambar Nabi Muhammad, apakah patung Nabi Isa yang dipampang di Gereja, di jalan-jalan, atau bahkan film-film yang menafikan kesuciaannya sebagai utusan Tuhan, bukankah ini juga salah satu bentuk penghinaan terhadap Nabi Isa yang kita anggap sebagai Nabi suci dalam Islam, bukankah ini juga menghina Islam?

Kalau kita melihat Rasulullah sendiri, beliau dalam menyikapi orang-orang yang menghinanya, selalu mengedepankan akhlak yang luhur. Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa ada seorang lelaki buta, yang istrinya senantiasa mencela dan menjelek-jelekkan Nabi. Lelaki itu telah berusaha melarang dan memperingatkan istrinya. Sampai pada suatu malam, (seperti biasanya) istrinya itu mulai lagi mencela dan menjelek-jelekkan Nabi. Karena mungkin sudah dianggap keterlaluan, lelaki itu kemudian mengambil kampak dan langsung dia tebaskan ke perut istrinya sehingga membuat istrinya mati. Pada keesokan harinya, turun pemberitahuan dari Allah kepada Rasulullah yang menjelaskan kejadian tersebut. Lantas (hari itu juga) Beliau Saw. mengumpulkan kaum Muslimin dan bersabda: "Dengan menyebut asma Allah, aku minta orang yang melakukannya, yang sesungguhnya tindakannya itu adalah hakku; mohon ia berdiri."Lelaki buta itu kemudian berdiri dan berjalan dengan meraba-raba sampai ia turun di hadapan Rasulullah Saw.

Sebagian riwayat menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan "hakku" dalam hadis di atas, adalah hanya hak Rasulullah yang bisa memberi hukuman pada si pencela itu, bukan haknya tiap Muslim. (Baca: Karikatur Rasulullah)

Bahkan pernah suatu saat Rasulullah datang ke suatu daerah untuk berdakwah, tetapi orang-orang di daerah itu malah menolaknya, bahkan melemparinya dengan batu. Lalu bagaimana sikap Rasul? Ternyata beliau tidak marah, malah berdo'a: "Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku, sesungguhnya mereka tiada mengetahui." Inilah sikap Rasulullah Saw., beliau senantiasa sabar dan penyantun.

Lalu Kita Harus Bagaimana?
Bagaimanapun, kita semua sepakat dengan kebebasan pers, kebebasan berekspresi, kebebasan berfikir, kebebasan berpendapat, kebebasan berkreasi dan berseni. Namun pada saat yang sama kita tidak sepakat dengan penghinaan terhadap agama manapun. Apa yang dilakukan oleh Jyllands Posten, koran Denmark, yang telah menyebarkan karikatur-karikatur yang menghina Rasulullah Saw. sehingga mengobarkan kemarahan kaum Muslimin, jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan. Tetapi, dalam menyikapi hal ini kita harus mengutamakan kebijaksanaan, sehingga nantinya kita tidak salah dalam mengambil tindakan.

Pertama, kita jangan lagi mengulangi stereotipe; mengulangi klise bahwa Barat, dalam hal ini Amerika, selamanya akan memusuhi Islam. Ini saya kira adalah sebuah kesalahan. Padahal yang menyebarkan karikatur itu adalah salah satu koran Denmark, Jyllands Posten, dan beberapa media di Eropa. Antara Barat dan Eropa itu berbeda. Anehnya, banyak orang menganggap hal ini sebagai salah satu bagian dari benturan Barat dan Islam yang tak akan kunjung usai. Membandingkan antara terma "Barat" dan "Islam" juga tidak benar. "Islam" adalah agama, sedangkan "Barat" adalah aliansi ekonomi dan politik tujuh negara yaitu Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Kanada, Prancis, Italia dan Inggris. (baca: Mohammed Arkoun: "Qadlaya fi Naqd al-`Aql al-Dini" atau "al-Islam, Auruba, al-Gharb"). Kita lihat masyarakat Barat itu bermacam-macam, ada Kristen, Yahudi, Islam dan lain-lain. Sedangkan masyarakat Islam juga bermacam-macam, tidak satu. Jadi, kalau kita menyimpulkan masing-masing seolah-olah bertentangan, itu salah. Tidak mungkin misalnya negara Barat seperti Amerika mengusir warga aslinya hanya karena beragama Islam. Sebaliknya, tidak mungkin Islam menolak seseorang yang mau mengikuti ajarannya hanya karena berkewarganegaraan Amerika. Ini perlu dipahami.

Kedua, tidak disangkal lagi bahwa reaksi keras akan berdampak negatif bagi kita sendiri. Banyak orang akan menganggap bahwa kita, umat Islam, adalah bangsa-bangsa yang liar, tidak mengenal peradaban. Reaksi-reaksi emosional seperti menghacurkan gedung-gedung kedutaan Denmark, di samping merupakan hal yang tidak dapat diterima, juga akan mencerminkan bahwa kita adalah umat yang tidak dewasa. Lebih jauh lagi, ini akan semakin memperbesar jurang permusuhan dan membawa konsekuensi buruk terhadap hubungan kita dengan masyarakat dunia. Kita tidak boleh menghukum suatu bangsa atau negara hanya karena kesalahan beberapa orang, kita tahu bahwa yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah Jyllands Posten, salah satu media di Eropa. Kalau kita men-generalisasi kesalahan, maka dengan ini kita hanya akan memperbanyak daftar musuh. Kita harus ingat bahwa kaum Muslimin juga terdapat di negara-negara Eropa dan Amerika, bahkan di Prancis, agama Islam merupakan agama kedua terbesar; lebih besar daripada Protestan. Makanya tidak bijak rasanya kalau kita menimpakan kesalahan pada seluruh masyarakat Eropa dan Barat.

Kita sudah bertindak terlalu jauh, sehingga melampaui batas-batas kewajaran. Dalam salah satu wawancara dengan JIL, Goenawan Mohamad menceritakan tentang restoran milik orang Islam di Singapura atau Filipina yang menulis bahwa “warga Denmark tidak diterima!” Tetapi bagaimana dengan warga Denmark yang Muslim? Bukankah di sana juga banyak yang Muslim? Karena itu, adalah kesalahan besar kalau kita menggebyah-uyah negeri-negeri Barat atau Eropa bertanggungjawab atas karikatur itu. Kalau pemerintah Denmark mendukung publikasi karikatur itu, juga salah, apalagi pemerintah-pemerintah lain. Tapi sebagaimana diberitakan, Menteri Luar Negeri Inggris menghargai pers Inggris yang tidak memuat karikatur itu.

Di samping itu, beberapa koran Eropa juga tak berminat memuat karikatur itu. Kita lihat misalnya The Age di Australia, yang tidak mau memuat, karena karikatur itu tidak layak. Malah, pemerintah Amerika Serikat —yang kita anggap sebagai Barat, musuh bebuyutan Islam— menyusul reaksi luas ummat Islam di seluruh dunia terhadap publikasi gambar yang menghina Nabi, pada akhirnya juga ikut bersuara. Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat secara terpisah mengeluarkan pernyataan kecaman terhadap aksi publikasi yang melukai hati umat Islam itu.

Apalagi, pemerintah Denmark sendiri tidak bertanggung jawab atas terbitnya karikatur itu. Oleh karenanya, mengapa kita harus merusak kedutaan Denmark? Kita juga harus berempati pada kaum Muslimin Denmark. Lebih dari itu, tak semua warga Denmark setuju dengan karikatur itu. Justru, reaksi-reaksi yang berlebihan itu akan menyebabkan kehidupan umat Islam di Eropa menjadi tambah repot.

Ketiga, menyangkut kerukunan antar agama, jika kita menolak orang lain menghina keyakinan kita, maka sudah seharusnya kalau kita juga menghormati keyakinan orang lain. Memusuhi gereja seperti sering terjadi di negara-negara yang mayoritas penduduknya adalah kaum Muslimin, merupakan sesuatu yang tidak relevan pada saat sekarang. Ini jelas-jelas melanggar kesucian agama lain. Apa artinya kita membuat semacam huru-hara memusuhi gereja dengan alasan tidak diizinkan? Apakah hak beribadah membutuhkan izin yang diberikan manusia ke manusia yang lain? Bukankah ini jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap kesucian agama lain? Demikian juga, kalau kita marah pada Jyllands Posten yang telah menyebarkan gambar-gambar penghinaan terhadap Rasulullah, maka apa artinya kita menerbitkan buku-buku yang tidak kalah sengitnya menghina agama lain?

Salah seorang penulis Mesir, Rif`at Fikri Sa`id, menceritakan pengalamannya ketika mengunjungi Pameran Buku Internasional (International Books Fair) di Mesir pada bulan yang lalu. Di beberapa stand Pemeran dia menemukan puluhan bahkan ratusan buku yang berisi penghinaan terhadap agama Kristen yang dipamerkan secara terang-terangan, buku-buku yang secara sengaja ditulis untuk menyerang agama Kristen dengan menuduhnya sebagai agama kesyirikan dan paganisme. Bahkan terdapat CD yang dibagikan secara cuma-cuma yang memuat puluhan buku seperti "Limadza Kassaru al-Shalib?", "al-Ilah Alladzi La Wujuda Lahu", "al-Nashraniyyah Min al-Wahid Ila al-Muta`addid", "Haruni am Dawudi al-Jinsi", "al-Jins fi al-`Ahd al-Yahudî al-Qadim", "al-Kanisah wa al-Inhiraf", "Ummah Bila Shalib", "al-`Aqa`id al-Watsaniyyah fi al-Diyanah al-Nashraniyyah", dan beberapa buku lain.

Namun yang mengherankan, penerbitan buku-buku tersebut disetujui oleh negara. Ini sangat kontras dengan kehidupan di Mesir sehari-hari. Kalau dilihat, Mesir nampak damai, antara kaum Muslimin dan umat Kristiani terjadi toleransi yang sangat tinggi, terjalin solidaritas yang begitu kuat. Kita sering melihat Masjid berhadap-hadapan atau berdampingan dengan gereja. Kita bahkan hampir tidak bisa membedakan mana yang Muslim atau Kristen. Di Mesir banyak kaum Muslimah pakai jilbab, tapi banyak juga yang tidak pakai jilbab. Para perempuan Kristen juga banyak yang pakai jilbab. Jadi dapat disimpulkan bahwa penggunaan jilbab bukan murni semata-mata karena agama, akan tetapi karena jilbab merupakan pakaian tradisional yang dipakai secara turun-temurun. Makanya siapapun boleh menggunakan jilbab, perempuan Muslimah atau Kristen. Tapi kenapa masih ada saja orang yang berusaha memutus tali pengikat yang sudah sejak lama terjalin itu dengan menyebarkan buku-buku yang antipatif terhadap agama-agama lain. Tidak hanya di Mesir, di Indonesia pun kita sering melihat buku-buku yang berisi penghinaan terhadap Kristen dan agama-agama lainnya.

Jika kita menolak orang lain berbuat buruk terhadap agama kita, kenapa kita mesti menghantam keyakinan orang lain yang hidup dengan dan di tengah-tengah kita? Sebelum melemparkan tuduhan terhadap orang lain, kita harus yakin terlebih dahulu bahwa kita terbebas dari tuduhan yang sama. Inilah sebenarnya makna dari hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi: "Berbahagialah bagi orang yang disibukkan oleh aibnya sendiri sehingga ia melupakan aib orang lain." Kalau hadis ini kita tarik kepada konteks yang lebih luas, bukan sebatas hubungan manusia dengan manusia, tapi menyangkut hubungan antar umat beragama, maka hadis itu mestinya akan berbunyi: "Berbahagialah bagi para pengikut suatu agama yang disibukkan dengan aib-aibnya sendiri sehingga mereka melupakan aib-aib para pengikut agama lain." Itulah sebabnya kenapa umat Islam tidak maju-maju, karena selalu saja sibuk mencari-cari kesalahan orang lain, tidak mau mengoreksi diri.

Penutup
Untuk mengakhiri tulisan sederhana ini, saya mengajak semuanya untuk melakukan introspeksi diri. Seperti yang telah saya katakan di atas, sebelum menuding-nuding orang, terlebih dahulu kita harus yakin bahwa kita harus terbebas dari tuduhan yang sama. Tidakkah kita pernah menghina Nabi? Bukankah kita mengatakan bahwa Nabi adalah Ummi, tidak bisa membaca dan menulis? Bukankah ini juga termasuk penghinaan? Bagaimana mungkin seorang Nabi semulia Rasulullah Saw. kita katakan tidak bisa membaca dan menulis, atau buta huruf. Bukankah ini sama halnya dengan menganggap bahwa Rasulullah bodoh. Padahal jelas-jelas Tuhan berfirman: "Wa `allamaka ma lam takun ta`lam," "Dan Dia telah mengajarkan kamu, wahai Muhammad, apa yang tidak kamu ketahui." Kata "ma" di sini berarti "sesuatu", Tuhan tidak menjelaskan "sesuatu" apa yang diajarkan kepada Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian, "sesuatu" dalam ayat tersebut bersifat umum, sesuatu apapun. Kepada Nabi Adam As. Tuhan telah mengajarkan seluruh nama, ini terlihat firman-Nya: "Wa`allama Adam al-asma'a kullaha." Kalau kepada Nabi Adam saja Tuhan mengajarkan seluruh nama, maka sudah sepantasnya kalau Nabi Muhammad Saw., sebagai Nabi terakhir, diajarkan apa-apa yang pernah diajarkan kepada para nabi sebelumnya. Kita tahu antara Nabi Adam dan Nabi Muhammad terdapat nabi-nabi lain. Coba bayangkan, betapa luasnya pengetahuan Nabi Muhammad kalau begitu, apalagi hanya membaca dan menulis.

Banyak orang berdalih bahwa Nabi Muhammad dikatakan tidak membaca dan menulis, untuk menunjukkan kemukjizatan al-Qur'an, bahwa al-Qur'an benar-benar berasal dari Tuhan. Artinya, dengan ketidakbisa-an Nabi membaca dan menulis, al-Qur'an benar-benar terlepas dari campur tangan beliau. Sebab kalau Nabi bisa membaca dan menulis, ada kemungkinan besar beliau membaca atau mempelajari ajaran-ajaran Yahudi atau Kristen, lalu beliau menulis sebuah kitab atau "al-Qur'an" untuk kemudian dikatakan berasal dari Tuhan. Sehingga ada kemungkinan al-Qur'an terpengaruh oleh tradisi agama-agama sebelumnya. Ini saya kira alasan yang dibuat-buat. Untuk meyakinkan bahwa al-Qur'an adalah wahyu dan mukjizat dari Tuhan, hemat saya tidak perlu mengatakan bahwa Rasulullah tidak bisa membaca dan menulis alias buta huruf. Terdapat kaidah klasik yang menyatakan, "al-dlararu la yuzâlu bi al-dlarari," "Bahaya tidak dihilangkan dengan bahaya yang lain." Kalau kita menolak bahaya —sebagaimana anggapan sebagian orientalis— bahwa al-Qur'an dipengaruhi oleh tradisi agama-agama sebelumnya, Kristen dan Yahudi misalnya, kita tidak boleh melawannya dengan bahaya lain, yaitu mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. tidak bisa membaca dan menulis atau buta huruf. Coba lihat, betapa kita sudah menghina Nabi kita sendiri. Ini lebih berbahaya dari anggapan bahwa al-Qur'an dipengaruhi oleh tradisi Kristen dan Yahudi. Makanya jangan marah kalau ada orang menghina Nabi, sebab ternyata kita juga menghina dengan mengatakan Nabi buta huruf alias bodoh. Kita saja sebagai umatnya menghina apalagi orang lain. Adalah wajar kalau kemudian Nabi —yang kita anggap sebagai orang yang buta huruf atau bodoh— dihina orang. Sudah menjadi kaidah umum, bahwa orang bodoh akan dicemooh.

Nampaknya kita memang perlu menafsir ulang kata "ummi". Kata "al-umm" sendiri bisa berarti "al-jam`u" atau kumpulan. Dengan makna seperti ini, maka, Nabi yang Ummi berarti Nabi yang Jâmi` atau sempurna, sempurna karena menguasai ilmu-ilmu dari Tuhan (Wa `allamaka ma lam takun ta`lam) sehingga dia kemudian menjadi mashdar al-din (sumber agama). Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa seorang shahabat bertanya kepada Rasulullah: "Ya Rasulallah, siapakah yang harus saya diutamakan dalam pergaulan? Rasulullah menjawab: "Ummuka." "Kemudian siapa? Lalu dijawab: "Ummuka." Kemudian siapa? Rasulullah menjawab jawab: "Ummuka." Saya kira tidak mungkin Rasulullah menjawab "ummuka" sampai tiga kali dengan makna yang sama. Sekali saja sudah cukup. Kata "ummuka" yang diucapkan sampai tiga kali tentunya mempunyai makna yang berbeda-beda. Yang dimaksud dengan "ummuka" yang pertama adalah Nabi sendiri, sebab beliau adalah sumber agama. Kita mengetahui Islam, selain dari al-Qur'an, juga dari hadis-hadis Nabi. Makanya Rasulullah bersabda: "Tidaklah seorang di antara kalian beriman kecuali menjadikan Aku sebagai orang yang paling dicintai." "Ummuka" kedua yang dimaksud adalah para ulama', sebab mereka adalah pewaris para Nabi (al-`ulama' waratsah al-anbiya'). Nah, baru "ummuka" ketiga itu yang dimaksudkan adalah ibu, karena ibu adalah orang yang telah melahirkan kita.

Namun yang jelas, karikatur yang dimuat pada koran Denmark memang benar-benar penghinaan, karena, apapun alasannya, telah menanamkan bibit-bibit permusuhan. Menurut saya, itu adalah bentuk kebebasan pers yang tak layak pakai, karena telah menyebar kebencian. Bagaimana mungkin seorang Nabi digambarkan seperti sedemikian hina. Jadi, kita boleh dan memang layak marah pada karikatur itu, tapi juga harus bersikap adil kepada orang-orang yang tidak terlibat. Bukankah ini sesuai dengan prinsip al-Qur'an?

Dan karikatur itu, bagaimanapun menghinanya, kiranya tidak akan membahayakan atau menggoyahkan umat Islam di Eropa. Perlu diketahui, saat ini kita tengah menyaksikan pertumbuhan kaum Muslimin yang sedemikian pesatnya. Oleh karena itu kita jangan terlalu khawatir bahwa Islam akan hancur. Kira-kira 25 tahun lagi —seperti dikatakan oleh Goenawan Mohamad— umat Islam paling sedikit akan menjadi 30 persen penduduk dunia, atau bahkan lebih.

Salam Perdamaian.....
 
posted by Roland Gunawan at 5:47 AM | Permalink |


0 Comments:





"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"