Beberapa waktu yang lalu, untuk kesekian kalinya suasana di Kairo memanas lagi, terjadi hal-hal yang tak terduga. Dulu pernah terjadi pemboikotan terhadap beberapa pemikir Indonesia yang datang ke Kairo dengan alasan merusak Syariat. Sekarang ini lain lagi, ada oknum yang capek-capek datang ke Kairo hanya untuk menyesatkan, mengkafirkan kelompok ini dan itu. Kiranya ini merupakan sesuatu yang berlebihan. Sebab sebagai seorang manusia dia telah berani merampas otoritas Tuhan dalam hal penilaian terhadap tingkah laku hamba-hamba-Nya. Apa saja yang tidak sesuai dengan keyakinannya dianggap bid`ah, kafir dan sesat.
Fenomena pengkafiran dan penyesatan adalah hal biasa. Di Mesir bahkan di Indonesia pun serta di negara-negara Islam lainnya sering terjadi. Kalau dibiarkan, dan tidak ada upaya menghentikannya, ini saya kira akan membawa konsekuensi negatif, yaitu raibnya nilai-nilai toleransi, keterbukaan, demokrasi dan kebersamaan. Ketika nilai-nilai ini sudah hilang, kita tidak perlu heran kalau nantinya agama akan jadi menakutkan. Dikit-dikit kafir, dikit-dikit bid`ah, sesat. Kullu bid`ah dlalalah, wa kullu dlalalah fi al-nar.
Kita kadang salah memaknai bid`ah, apa saja yang tidak ada di zaman rasulullah dianggap bid`ah yang menyesatkan. Sebenarnya bid`ah yang dimaksud —meminjam istilah Shahib al-Samahah— adalah "taqyidu ma athlaqahullah wa rasuluhu, wa ithlaq ma qayyadahullah wa rasuluhu", me-muqayyad-kan apa yang di-muthlaq-kan oleh Allah dan rasul-Nya, dan me-muthlaq-kan apa yang di-muqayyad-kan oleh Allah dan rasul-Nya. Contoh sederhananya adalah shalat ashar. Shalat ashar muqayyad dari segi rakaat dan waktunya. Kalau kita tambah atau mengurangi rakaatnya dan mengerjakannya kapan saja semau kita, ini baru bid`ah yang harus dijauhi. Sebaliknya dua kalimat syahadat sebagai pondasi awal agama adalah muthlaq. Artinya tidak terikat oleh zaman dan tempat. Kapan saja kita mau, kita boleh membacanya. Sama halnya dengan dzikir (menyebut nama Tuhan). Di mana saja kita boleh berdzikir, dengan model atau bentuk apapun. Mau sambil jingkrak-jingkrak, joget (goyang inul), pakai musik, berdiri, tidur-tiduran, di bioskop, di cafe, di masjid, di rumah, di kuburan, boleh saja, tidak ada larangan. Tuhan hanya menyuruh kita untuk "udzkuru Allah katsiran".
Dan ingat, bid`ah ada dua, baik (hasanah) dan jelek (sayyi'ah). Bid`ah yang baik contohnya seperti anggur yang dibuat khamr. Perubahan anggur menjadi khamr disebut bid`ah. Dan ternyata banyak orang yang gemar dan meminumnya. Menurut syari`at, khamr kalau diminum hukumnya haram, karenanya disebut bid`ah sayyi'ah. Hingga saat ini masih banyak orang doyan, ini namanya sunnah sayyi'ah. Demikian halnya dengan anggur yang dibuat kismis. Seperti yang pertama, perubahan anggur menjadi kismis juga disebut bid`ah. Menurut banyak orang, kismis enak kalau dibuat camilan. Sedangkan menurut syari`at kismis tidak apa-apa kalau dimakan. Maka jadilah bid`ah hasanah. Sampai sekarang masih banyak orang yang menggemarinya, ini namanya sunnah hasanah. Jadi, jangan seenaknya mengatakan setiap bid`ah adalah sesat, dan setiap kesesatan di neraka.
Lalu bagaimana dengan liberalisme dan pluralisme? Kadang-kadang orang hanya terpaku melihat liberalisme sebagai produk Barat. Tanpa upaya menyelami makna atau memaknainya secara lain, liberalisme hanya dipahami sebagai sebuah paham yang sama sekali jauh dari nilai-nilai agama. Saya lebih suka memahami liberalisme sebagai sebuah paham yang berusaha melepaskan diri dari ikatan-ikatan represif terhadap hak-hak manusia sebagai makhluk yang berakal. Artinya bahwa, ada semacam belenggu yang membuat manusia tidak lagi bisa menfungsikan akalnya secara maksimal. Di sini saya tidak akan mengatakan agama sebagai sebuah belenggu. Saya selalu yakin bahwa Tuhan menurunkan agama yang tidak menyalahi kodrat manusia. Tuhan tahu bahwa manusia adalah makhluk berakal. Jadi wajar jika agama yang diturunkan pun adalah agama rasional. Agama menjadi tidak rasional disebabkan ulah segelintir orang yang sebenarnya tidak mampu menyelami maknanya secara rasional. Kemudian mereka membuat batasan-batasan yang diyakini sebagai kebenaran. Karena yakin akan kebenaran yang dimiliki, mereka hendak mempertahankannya dan menyebarkannya secara luas. Dengan kata lain, semua orang harus sama atau mengikuti. Orang-orang yang tidak sejalan harus disingkirkan. Ada benarnya juga pendapat Mohammed Arkoun bahwa ketika orang sudah yakin akan kebenaran (al-haqiqah) yang ada pada dirinya, kebenaran tersebut kemudian disucikan (al-taqdis). Untuk mempertahankan kesucian kebenaran dan menyebarkannya, kekerasan (al-`unf) adalah jalan yang tepat. Kekerasan tidak harus identik dengan pukulan fisik, bisa saja dengan bentuk lain, misalnya dengan cara takfir (pengkafiran) dan tadhlil (penyesatan). Inilah yang membuat agama tidak rasional. Makanya liberalisme harus dimunculkan sebagai upaya menempatkan agama pada posisinya semula sekaligus upaya menggugah manusia agar sadar akan fungsinya sebagai khalifatullah di muka bumi yang diberikan keistimewaan berupa akal.
Demikian halnya dengan pluralisme. Saya berani mengatakan bahwa semua agama sama-sama benar. Dalam artian bahwa semua agama benar ketika mengajarkan kebajikan. Tidak ada agama yang mengajarkan pemeluknya untuk mencuri, memperkosa. Saya di sini berbicara tentang realitas di dunia, tentang akhirat biarlah menjadi urusan Tuhan. Yang penting sekarang kita beribadah dan beramal sebanyak mungkin dengan ikhlas untuk-Nya. Kita beribadah dan beramal kebajikan bukan karena mengharap surga atau takut pada neraka. Ini bukan tujuan kita, tujuan kita adalah Tuhan. Tak soal, apa yang akan diperbuat Tuhan pada kita di akhirat. Bisa saja orang masuk surga tapi Tuhan tidak merahmatinya. Apalah artinya surga tanpa rahmat dari-Nya. Bisa saja orang masuk neraka tapi mendapat rahmat dari Tuhan. Rumah mewah bukanlah jaminan kebahagian. Lihat Nabi Ibrahim ketika dibakar hidup-hidup. Adakah beliau kepanasan? Justeru di dalam api itulah beliau menemukan kedamaian. Tuhan berkata : Wahai api, jadilah kau dingin, dan jadilah kau kedamaian atas Ibrahim.
Terakhir, nampaknya kita memang perlu memahami kembali posisi kita dalam kehidupan. Apakah kita sebagai Tuhan (Ilah), sekutu Tuhan (syarik) atau hamba (`abd). Banyak orang tidak memahami ini. Kalau posisi kita sebagai Tuhan, kita berhak mengkafirkan dan menyesatkan siapa saja. Sebab yang namanya Tuhan tahu segalanya, tahu segala apa yang bersemayam di hati hamba-hamba-Nya. Dalam al-Qur'an ditegaskan "Wa in tubdu ma fi anfusikum aw tukhfuhu yuhasibkum bihillah", jika kalian tampakkan (laksanakan) apa yang ada dalam diri kalian (atau apa yang terdetik di hati kalian), Allah akan menilainya." Demikian juga kalau posisi kita sebagai sekutu Tuhan. Tapi, ketika berposisi sebagai hamba, kita hanya dituntut untuk patuh atas perintah-Nya. Shalat, puasa, zakat dan haji, ini adalah tugas kita, biarkan Dia yang menilai. Sebab ini menyangkut hubungan Tuhan dengan hamba-Nya. Hubungan Tuhan dengan hamba-Nya adalah hubungan yang mulia dan sangat khusus, yang lain jangan ada yang ikut campur.
Sebagai penutup, saya hanya ingin bertanya pada siapa saja yang doyan menyesatkan dan mengkafirkan: Apakah anda yakin bahwa anda adalah yang paling benar dan akan masuk surga? Kalau anda merasa yakin, apa bukti yang dapat dijadikan standar ke-palingbenaran anda? Adakah Tuhan pernah memberitahu bahwa anda akan masuk surga? Jika anda tidak yakin atau masih ragu-ragu, berarti ada pihak lain yang merasa paling benar seperti anda atau malah melebihi ke-paling benaran anda. Dan anda juga bisa masuk neraka.
Saya berani mengatakan bahwa Tuhan bisa saja memasukkan orang Kristen dan Yahudi ke surga, pelacur saja bisa masuk surga. Apakah anda berani mengatakan Tuhan tidak adil kalau memasukkan orang Kristen, Yahudi dan pelacur ke dalam surga? Bukankah Tuhan Maha Mutlak yang bisa berbuat apa saja tanpa batas menurut kehendak-Nya? Nabi Muhammad memang nabi terakhir, tapi ini tidak berarti menafikan kemampuan Tuhan untuk mengutus nabi lain setelah beliau.