**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Sunday, October 29, 2006
Di Malam Nuzul al-Qur’an Itu

Pada suatu malam, saya shalat tarawih di sebuah Masjid. Kebetulan ketika itu adalah malam kedua tujuh belas Ramadhan, yang diyakini sebagai malam Nuzul al-Qur’an. Seperti biasa —barangkali memang menjadi tradisi di Arab—, sesudah rakaat keempat, ada seorang penceramah yang menyampaikan taushiyah atau nasehat. Pada saat ia menyampaikan orasinya, ada pernyataan menarik yang bagi saya cukup menggelikan, dengan berapi-api dia mengatakan: “ Sekarang ini banyak orang yang melakukan studi ilmiah terhadap al-Qur’an dengan menggunakan metode sejarah, mereka mengkritisi proses kodifikasi al-Qur’an, padahal mereka tahu al-Qur’an berasal dari Allah Swt., ia berada di atas sejarah. Ini berarti mereka telah merendahkan al-Qur’an, mereka meragukan eksistensi al-Qur’an sebagai kitab suci, mereka berusaha merobohkan keimanan kita terhadapnya.”

Sumpah, saya langsung ‘sumpek’ mendengarnya. Bagaimana tidak, pada zaman di mana dunia telah banyak berubah dengan segala perkembangan yang dialaminya, kok masih ada orang yang bicara seperti itu.

Andaikan pada saat itu dibuka forum dialog, saya akan acungkan tangan untuk angkat bicara. Saya ingin sekali mengatakan bahwa studi ilmiah bukan untuk menurunkan derajat al-Qur’an, justru itu merupakan upaya menyingkap kandungan-kandungan penting di dalamnya, dengan cara mengaitkannya dengan pribadi Nabi dan dinamika dakwahnya. Hal ini menuntut pengkajian teks al-Qur’an dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar kondisi-kondisi historis di mana ia diturunkan dan diriwayatkan. Studi ilmiah berangkat dari apa yang mampu dipahami oleh akal manusia. Pemahaman merupakan ‘pencernaan’ kognitif terhadap apa yang diupayakan untuk dipahami. Sesuatu yang tak terpahami, tidak bisa pula dicerna dengan instrumen-instrumen rasional. Dan ini adalah obyek keimanan. Sama halnya dengan wahyu sebagai ajaran-ajaran yang dibawa oleh manusia-manusia pilihan, yang dianggap melampaui batas kemampuan manusia, juga obyek keimanan. Sedangkan ilmu hanya melaksanakan apa yang bisa ditangkapnya dengan pemahaman. Demikian ketika ia berusaha menafsirkan fenomena kenabian dengan suatu metode, kadang tidak sesuai dengan fakta-fakta keimanan.

Di masa klasik, sebagai sebuah contoh, para filsuf Islam berupaya memahami fenomena kenabian melalui humanismenya, mereka menjelaskan munculnya kenabian dengan menggunakan konsep-konsep neo-aristotelianisme dan neo-platonisme. Demikian juga yang dilakukan para pakar, mereka mengkaji al-Qur’an melalui perspektif ilmiah dengan meletakkannya sebagai teks, dibaca dan ditulis, dan Nabi Muhammad telah menyampaikannya kepada para pengikutnya. Firman Tuhan menggunakan huruf-huruf bahasa manusia, diungkapkan dengan kata-kata manusia, jadi ia mencakup dua dimensi, dan inilah yang dikehendaki ilmu yang tidak melakukan kecuali apa yang mungkin dikuasai oleh akal, sebagaimana dijelaskan tadi. Sedangkan al-Qur’an sebagai sebuah kitab yang diturunkan secara literal kepada Nabi Muhammad adalah obyek keimanan. Dan setiap upaya ilmiah adalah benar di dalam upaya itu sendiri, meskipun barangkali hasilnya salah. Dalam salah satu karyanya, “Fashl al-Maqâl”, Ibnu Rushd mengatakan bahwa seorang alim (berpengetahuan) yang melakukan ijtihad, kalau benar ia akan mendapatkan dua pahala —satu untuk kebenaran yang ia capai, dua untuk ijtihadnya—, kalau salah ia akan mendapatkan satu pahala, karena ia berusaha.

Dalam pandangan kaum Muslimin, al-Qur’an adalah kitab samawi (turun dari langit). Namun satu hal yang boleh dilupakan, sejak awal al-Qur’an terikat dengan realita: kehidupan Nabi berikut fase-fase dahwahnya, dengan penyampaiannya [oleh Nabi] kepada kerabat dekat atau jauh, kepada kaum Musyrik dan Ahl al-Kitab, sebagai kabar gembira atau peringatan, atau juga sebagai reaksi terhadap agresi, itu semua seiring dengan kondisi-kondisi yang ada serta peristiwa-peristiwa yang menyertainya. Kaitan erat al-Qur’an dengan realitas menegaskan juga adanya peran besar al-Sunnah. Al-Sunnah merupakan ajaran-ajaran Islam, sebagaimana dijalani Rasulullah Saw. dan diterapkannya, menurut apa yang telah terekam oleh para sahabat dan tabi`in. Di mana pengkodifikasiannya berlangsung sebelum akhir abad kedua Hijriyah. Bisa dikatakan bahwa al-Sunnah adalah kesaksian hidup terhadap al-Qur’an yang ada dalam memori kolektif kaum Muslimin yang hidup di masa Nabi. Kesaksian hidup yang terjaga dalam memori kolektif ini merupakan salah satu upaya dari Nabi yang dapat mendekatkan kita pada makna-makna al-Qur’an dan menafsirkan hal-hal yang samar. Bukankah ini merupakan bukti dimensi dinamis historis firman Tuhan yang disampaikan Nabi?

Al-Qur’an disampaikan, sebagaimana diriwayatkan, dalam proses kontinyu selama kira-kira duapuluh tahun. Ketika wahyu diturunkan pertama kali telah terjadi dialog antara Nabi Muhammad dan Jibril di Gua Hira. Dialog itu tidak bisa dianggap sederhana, terputus, tetapi merupakan dialog ‘intim’ dan sehat antara manusia dan malaikat, antara bumi dan langit. Dialog tersebut memiliki dimensi-dimensi yang pengaruhnya luas; menjadi karakter seluruh ajaran Islam. Ketika diperintah malaikat Jibril untuk membaca, Nabi Muhammad tidak menjawab dengan penolakan, jawaban beliau adalah “Mâ anâ bi qâri’”. Menurut Prof. Dr. George Tamer, jawaban ini, kalau kita anggap sebagai pemberitahuan, maka itu menunjukkan sikap nyata dari suatu wujud; kalau dianggap sebagai pertanyaan, maka itu merupakan ‘tanya jawab’ sesungguhnya, yang menggambarkan ‘kebingungan’ akan wahyu yang baginya, untuk pertama kali, nampak aneh dan mengherankan. Pada dua kondisi ini kita melihat sisi ‘kemanusiaan’ yang menerima firman yang turun dari atas. Dimensi kemanusiaan, dimensi realitas historis yang menerima wahyu Tuhan, tidak ‘mati’, baik dalam dialog tersebut, juga dalam masa-masa setelahnya. Pengulangan perintah dan jawaban menunjukkan bahwa wahyu tidak datang secara otomatis (sekaligus), akan tetapi dalam proses berkelanjutan, dan dalam proses ini Nabi ikut serta dengan segenap jiwa raganya. Di kala wahyu tidak turun, Nabi gelisah dan cemas. Bahkan tak jarang beliau ingin mengakhiri hidupnya. Tidak ada yang melarangnya melainkan malaikat datang memperingatkan. Hal ini perlu direnungkan secara cermat untuk menyingkap beragam makna. Tidak cukup dengan melihat konteks sekarang bahwa sikap Nabi tersebut adalah sikap seseorang yang penuh hasrat dan rindu akan firman Tuhan yang belum diturunkan, lalu muncullah dalam jiwanya yang penuh kerinduan itu rasa sakit yang mendalam, dan dalam keadaan seperti itu tidak ada jalan lain untuk menggapai firman Tuhan kecuali kematian. Dimensi kemanusiaan, dalam posisi ini, berbicara dengan sangat kuatnya; menampakkan dirinya secara tajam dan jujur.

Unsur kemanusiaan begitu jelas terpampang dalam dialog dengan Tuhan selama turunnya wahyu. Tuhan tidak hanya berbicara dengan Nabi, Dia juga berbicara dengan kaum Mukmin, bahkan dengan para Ahl al-Kitab dan orang-orang kafir. Mereka semua adalah ‘lawan bicara’ Tuhan, mereka juga berbicara antara satu sama lain, sebagaimana yang terjadi antara para nabi dan kaumnya. Jadi bukan hanya Tuhan satu-satunya yang berbicara secara langsung dalam al-Qur’an. Di sana terdapat orang lain yang berbicara, sebagian berbicara dengan firman Tuhan, dan sebagian yang lain tidak. Ini tidak berarti bahwa al-Qur’an bukan wahyu dari Tuhan. Akan tetapi wahyu Tuhan yang memuat pembicaraan manusia.

Jadi, struktur al-Qur’an sangat dialogis, dinamis dan diskursif. Struktur ini sesuai dengan kondisi-kondisi di mana ia muncul, ketika nantinya ia merupakan wahyu yang diterima, dipindah dan dipindah-pindahkan. Studi ilmiah terhadap al-Qur’an merupakan upaya untuk menyentuh realitas historis ini, upaya mengingatnya kembali melalui studi terhadap surat-surat dan ayat-ayat, tidak terlepas dari ruang dan waktu ketika pertama kali ia diwahyukan. Studi ilmiah adalah upaya untuk kembali ke asal (al-ushûl), ke masa yang di dalamnya wahyu merupakan realitas dinamis, huruf-huruf yang berdenyut, kalimat-kalimat yang dibaca, ketika orang yang mendengarkannya pertama kali menjadi terheran-heran dengan keindahan dan keanehan isinya. Upaya untuk mencari jejak asalnya, menyingkap realitas historis yang di dalamnya al-Qur’an dikodifikasi, sekaligus juga muncul riwayat dan pembacaan yang variatif.

Upaya-upaya kritik terhadap kodifikasi al-Qur’an tidak berarti meragukan eksistensinya sebagai kitab suci. Orang-orang seperti Mohammed Arkoun, Abied al-Jabiry, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd dan beberapa pemikir Muslim lainnya, tak satupun dari mereka yang tidak percaya bahwa al-Qur’an berasal dari Tuhan. Yang saya rasakan ketika membaca karya-karya mereka, justru keimanan saya terhadap al-Qur’an menjadi semakin bertambah, dengan keimanan itu saya menjadi lebih terbuka untuk berdialog dengan orang lain.

Kritik terhadap kodifikasi al-Qur’an sebenarnya hendak menunjukkan bahwa al-Qur’an tidak lepas dari campur tangan manusia. Artinya, antara al-Qur’an dan manusia selalu terjadi dialektika; pergulatan yang terus-menerus, tidak turun dari Tuhan langsung berupa sebuah kitab seperti yang ada di tangan kita saat ini. Dari sini dapat dipahami bahwa sebenarnya Tuhan berkehendak agar manusia juga ikut berperan —walaupun hanya dalam proses kodifikasi; di samping itu tentu saja dalam penafsirannya—, sebab al-Qur’an diturunkan bukan untuk kepentingan Tuhan, tapi demi kepentingan manusia.

Kritik terhadap kodifikasi al-Qur’an tidak dimaksudkan untuk merobohkan keimanan kita terhadapnya. Hal itu dilakukan untuk menentukan metode penafsiran yang cocok. Saya sepakat, untuk saat ini, biarlah al-Qur’an kita apa adanya; sudah menjadi sebuah kitab. Yang kita butuhkan adalah metode penafsiran, agar al-Qur’an tidak hanya menjadi sekumpulan teks yang mati, akan tetapi ia tetap hidup dan dinamis serta mampu berdialektika dengan zaman.

Itulah yang ingin saya katakan. Saya ingin semua orang yang hadir ketika itu tahu, apa yang dikatakan si penceramah itu tidak benar; bahwa studi ilmiah hanya akan merendahkan al-Qur’an. Semestinya setiap kali memperingati malam Nuzul al-Qur’an, dalam diri kita harus senantiasa muncul kesadaran bahwa Tuhan menurunkan makna-makna baru al-Qur’an. Untuk mencari makna-makna baru itu tidak cukup hanya dengan mengandalkan model penafsiran ulama klasik, di samping itu diperlukan model-model lain yang tentu saja lebih cocok untuk konteks sekarang (=al-muhâfzhah `alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdz bi al-jadîd al-ashlah).

Banyak sekali cara yang bisa dipakai untuk menggali makna-makna baru dalam al-Qur’an. Misalnya dengan cara mengkritisinya dengan membaca ulang sejarah kodifikasinya. Saya menangkap bahwa apa yang selama ini digembar-gemborkan tentang kritik terhadap al-Qur’an, bukan pada teks al-Qur’an itu sendiri, tetapi lebih kepada hasil penafsiran para ulama terdahulu, itu saja. Sebagai kumpulan teks, al-Qur’an memiliki kekurangan. Kesempurnaan al-Qur’an justru, menurut saya, terletak pada “keterbukaannya” untuk ditafsirkan. Harus ada ijtihad baru sebagai upaya interpretatif terhadap teks-teks al-Qur’an. Ini sesuai dengan perkataan Imam Ali Ra., bahwa al-Qur’an tidak bisa bicara, ia hanya bicara melalui manusia dalam menjawab tantangan zamannya. Para ulama terdahulu, bahkan sejak zaman Nabi, selalu melakukan ijtihad penafsiran. Di setiap fase selalu ada ijtihad baru dalam menafsirkan al-Qur’an. Inipun sesuai dengan isyarat dari Nabi Saw. bahwa di setiap seratus tahun akan ada seorang pembaharu.

Herakleitos, seorang penyair dan filsuf Yunani sebelum Socrates, mengatakan bahwa matahari selalu baru setiap harinya, artinya ia selalu menunjukkan makna dan kesan yang berbeda; selalu berubah. Nah, kalau matahari saja bisa berubah, apalagi al-Qur’an yang kita yakini sebagai pedoman hidup.
 
posted by Roland Gunawan at 8:00 PM | Permalink |


0 Comments:





"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"