Suatu ketika saya naik bus bersama seorang kawan. Di atas sebuah kursi yang nampak kumuh, dia berkata kepada saya: “Land, tanpa disadari waktu berjalan begitu cepat.” Saya bilang: “Memang, lalu kenapa?” Dia menjawab: “Ya, nggak, hanya saja aku belum merasa siap, bukankah bulan puasa makin dekat?” “Siapa bilang makin jauh.” “Kira-kira bisa nggak ya ditunda?” “Ya, nggak bisalah, coba ajach kamu minta sama Tuhan, kali ajach dikabulkan.”
Ya, puasa tudah tiba. Macam-macam orang menyambutnya. Ada yang siap, ada pula yang tidak siap seperti teman saya tadi. Ada yang bahagia; karena di bulan ini dia bisa meraup banyak pahala. Ada juga yang sedih; karena di bulan ini dia harus meninggalkan kesukaan yang biasa dia lakukan di siang hari.
Saya sih tidak terlalu peduli bagaimana orang menyambut datangnya bulan Ramadhan. Bagi saya, puasa adalah ibadah yang diwajibkan; mau tidak mau harus dilaksanakan. Toh yang namanya ibadah pasti ada signifikasinya, ada hikmah di baliknya. Tuhan tidak akan menyuruh manusia untuk mencelakai dirinya. Justru dalam ibadah itu sendiri, sekiranya kita tidak mampu melaksanakannya secara sempurna, Tuhan memberikan banyak kemudahan. Semisal shalat, kalau kita tidak bisa melakukannya dengan berdiri karena suatu halangan, bisa dengan duduk. Tidak mampu dengan duduk, bisa dengan berbaring. Tidak mampu juga, bisa dengan isyarat dalam hati.
Sama halnya dengan puasa. Bila sudah tidak mampu berpuasa di bulan Ramadhan, kita dibolehkan menggantinya di bulan-bulan yang lain, ini anjuran Tuhan. Fanatik terhadap apa yang disembah harus didahulukan sebelum fanatik terhadap ibadah itu sendiri. Tuhan berfirman: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, tidak menghendaki kesukaran bagimu.” Ayat ini mengisyaratkan makna bahwa Tuhan memaafkan orang yang tidak berpuasa karena sakit dan bepergian jauh. Tuhan menghendaki kemudahan, tidak akan menyusahkan hamba-Nya. Lihatlah juga firman-Nya: “…maka [wajib mengganti] sebanyak hari [yang dia tidak puasa itu] pada hari-hari yang lain.” Allah telah mensyariatkan ini, jangan sekali-kali menyusahkan diri.
Hikmah puasa banyak sekali, salah satunya adalah isyarat bahwa Tuhan itu Maha Adil. Kemahaadilan-Nya diperuntukkan bagi siapa saja; kaya atau miskin. Bagi orang kaya, puasa bisa menjadi peringatan betapa tidak enaknya kalau lagi lapar dan haus. Dia akan sadar bahwa di sekelilingnya banyak sekali orang yang kelaparan; merasakan penderitaan orang-orang miskin. Selama satu bulan penuh dia dituntut menahan lapar dan haus agar nantinya terbentuk suatu kesadaran berupa kepedulian terhadap sesama. Begitu kesadaran itu terbentuk, di hari akhir bulan puasa dia diwajibkan membayar zakat. Sebenarnya pewajiban zakat tidak begitu penting bila kesadaran itu sudah tertancap dalam hati manusia, mengisi setiap sudut jiwanya; tanpa diwajibkanpun dia akan melakukannya.
Sebaliknya bagi orang miskin, puasa dapat meringankan beban yang menghimpit hatinya. Bayangkan, di luar bulan Ramadhan, di siang hari, dia melihat banyak orang makan dan minum di rumah-rumah makan atau di jalan-jalan. Dan ini, setidaknya akan menimbulkan penyakit hati, yaitu perasaan iri, dengki dan penyakit hati lainnya. Atau bahkan mungkin akan melahirkan benih-benih sû’ al-zhann terhadap Tuhan; dia akan mengatakan dalam dirinya: “Tuhan tidak adil!”
Penyakit-penyakit hati bisa menimpa siapa saja. Orang kaya, penyakit hati yang biasa menggerogotinya adalah kesombongan (takabbur). Orang miskin, penyakit hati yang biasa merasukinya adalah perasaan iri atau dengki. Seperti biasa, orang kuat akan sombong dengan kekuatannya, sebaliknya orang lemah akan merasa iri karena kelemahannya. Tuhan tahu hal ini. Karena itulah Dia menyediakan satu bulan khusus yang di dalamnya manusia disuruh berlatih dan berlatih, paling tidak untuk meminimalisir segala bentuk penyakit hati tersebut; atau bahkan menghilangkannya sama sekali.
Contoh lain dari keadilan Tuhan di bulan Ramadhan adalah berkaitan dengan kontak seksual suami-istri di siang hari. Kita tahu, puasa akan batal bila ada sesuatu yang masuk ke perut melalui beberapa “lubang” di tubuh kita. Dalam kontak seksual kita lihat —maaf agak porno, tapi saya harus katakan ini: “Qul al-haqq walau kâna murr-an,” “katakanlah yang benar, walaupun pahit terasa (baca: agak ngeres).” Toh, banyak ulama fikih klasik yang bicara agak ngeres ketika membahas suatu hukum berkenaan dengan puasa dll. Tapi terserah ajach sih, setiap kita punya pikiran yang berbeda—, “sperma” suami tidak akan lari ke mana-mana, sudah pasti ke dalam “itunya” si istri. Tapi kenapa yang batal kok kedua-duanya, kok bukan si istri saja? Bukankah ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak adil? Coba perhatikan, si suami kehilangan cairan dari tubuhnya, bahkan tenaganya banyak yang terkuras, sehingga ketika “permainan” itu sudah selesai, rasa cape’ dan pegal-pegal datang menggerogoti. Sedang si istri “kandungannya” menjadi “bertambah”. Bagaimana ini?
Kita tahu puasa adalah salah satu pilar agama. Dalam agama dijelaskan, laki-laki dan perempuan diciptakan dari satu jiwa (min nafs-in wâhidah). Nabi saw. bersabda yang maknanya begini: “Barang siapa yang ingin menyempurnakan separuh dari agamanya, hendaknya ia kawin.” Hadis ini mengisyaratkan, bahwa manusia, sebelum menyatu dengan pasangannya, agamanya dianggap belum sempurna; masih ada sesuatu yang kurang. Ini berarti, suami-istri, walaupun nampak berbeda, hakikatnya adalah satu, ikatan pernikahan telah membuat keduanya menyatu dalam kesempurnaan; bersatu lahir dan batin. Ketika yang satu sakit, yang lain juga ikut sakit, ketika si istri bahagia, si suami juga ikut bahagia.
Di bulan Ramadhan, keduanya punya kewajiban yang sama; berpuasa. Ketika keduanya melakukan kontak seksual, ya, sama-sama batal. Seperti yang saya sebutkan tadi, keduanya adalah satu, ibarat satu badan. Jika yang satu adalah mulut, maka yang lain adalah tangan; tangan menuangkan air ke mulut. Karena sudah seperti satu badan, masa’ sih cuma mulutnya ajach yang batal? Ya, nggaklah, semuanya ikutan batal.
Itulah keadilan Tuhan. Kalau Tuhan tidak adil, yang batal tentu hanya si istri. Sebab “sperma” si suami masuk ke “anunya”. Tapi nyatanya yang batal malah kedua-duanya. Ini menandakan juga bahwa Tuhan tidak diskriminatif, tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan; di hadapan-Nya semua sama, tidak ada yang lebih utama dari yang lain.
Itulah keadilan Tuhan. Kalau Tuhan tidak adil, tentu si kaya saja yang disuruh puasa, biar terus berlatih agar tidak sombong; merasakan kelemahannya sebagai manusia. Kalau Tuhan tidak adil, tentu si miskin saja yang disuruh berpuasa, soalnya sudah biasa kelaparan.
Itulah keadilan Tuhan. Kalau Tuhan tidak adil, tentu orang tua saja yang disuruh puasa, biar lebih banyak beribadah, hitung-hitung persiapan menghadapi kematian. Kalau Tuhan tidak adil, tentu orang muda saja yang disuruh puasa, karena lebih kuat; staminanya masih gres. Kalau ada orang tua rajin ibadah itu biasa, ajalnya semakin dekat. Kalau ada pemuda rajin ibadah itu baru luar biasa, sebab, di saat jiwanya melonjak ingin bersenang-senang menikmati masa mudanya, ternyata itu tidak membuatnya lalai akan kewajiban-kewajibannya, malah semakin tekun. Kalau sudah tua, apa lagi yang mau dinikmati, tidak ada; hanya menunggu malaikat maut mencabut rohnya. Tapi, toh yang namanya maut tidak diketahui kapan datangnya, bisa saja yang muda lebih dulu out dari dunia. Justru inilah keadilan Tuhan, biar setiap manusia menjadi waspada.
Keadilan Tuhan juga tampak ketika memberikan pahala yang melimpah-ruah bagi orang yang berbuat baik di bulan Ramadhan. Sekecil apapun kebaikan yang kita perbuat, pahalanya akan dilipatgandakan. Bahkan tidurpun dianggap ibadah. Jadi, rasa cape’ kita tidak sia-sia. Semakin sulit, semakin banyak pula pahala yang bisa didapat. Ibarat orang kerja lembur, masa’ gaji nggak ditambah? Ya, puasa di bulan Ramadhan itu seperti orang kerja lembur; siang disuruh nggak makan dan minum, di samping harus mengerjakan ibadah lain, sedang di malam hari disuruh shalat tarawih. Tapi, sekali lagi, kita tidak perlu terlalu memaksakan diri, kalau sudah tidak mampu, karena suatu halangan, puasa boleh diganti di hari-hari yang lain. Di sinilah lagi-lagi, Tuhan Maha Adil, sehingga tidak mau menyusahkan hamba-Nya.