**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Monday, October 08, 2007
Ibnu Rushd

Dari Purifikasi Akidah menuju Harmonisasi Agama - Filsafat

Pembentukan Pemikiran Ibnu Rushd

Pemikiran apapun, tidak terkecuali filsafat, dalam pembentukannya sangat ditentukan oleh faktor sosial dan ideologi yang melingkupinya. Kondisi sosial dan ideologi yang mempengaruhi al-Ghazali telah membuat dirinya tertuntut untuk memberangus filsafat dengan mengkafirkan para filsuf. Demikian juga faktor yang menjadi pemicu terjadinya perbedaan antara pemikiran al-Ghazali, Ibnu Sina, al-Farabi dan Ibnu Rushd adalah “payung” sosio-historis dan ideologis yang menaungi masing-masing pemikir.

Di dunia Islam belahan Timur, pemaduan filsafat dan agama sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial waktu itu. Perkembangan peradaban Islam yang begitu pesat, lebih-lebih lagi keberadaan budaya lokal yang sangat hegemonik, membuat kebutuhan akan rasionalitas guna mempercepat laju roda peradaban Islam sudah begitu mendesak. Penuaian rasionalitas hanya bisa diwujudkan dengan upaya penanaman pemikiran filsafat dalam peradaban Islam. Dengan demikian, filsafat yang hadir di dunia Islam belahan Timur merupakan filsafat yang bernuansakan keagamaan; penyatuan antara agama dengan filsafat, penyatuan yang tidak akan tercapai tanpa adanya reduksi, atau bahkan distorsi.

Apa yang terjadi di dunia Islam belahan Timur kiranya tidak sama dengan apa yang terjadi di dunia Islam belahan Barat, di mana filsafat hadir melalui jalur sains. Dunia Islam di Barat (Andalusia, Maroko dan sekitarnya) tidak disibukkan dengan perlawanan terhadap hegemoni budaya lokal yang dapat membahayakan eksistensi akidah. Tidak ada perpecahan kenegaraan yang mengharuskan dilakukannya pemaduan sistem pemikiran (nizhâm al-fikr) yang sedang bertikai. Tidak ada perang antaraliran yang memaksa dilakukannya penta’wilan terhadap teks-teks agama. Agama dipahami sebagaimana awal kemunculannya. Begitu pula filsafat yang dipelajari tanpa meleburkannya dengan agama; belum ada distorsi dalam agama maupun filsafat. Tidak ada hal apapun yang mengharuskan dilakukannya pemaduan antara agama dan filsafat.

Dari segi politik, negara Islam belahan Barat tidak masuk dalam hegemoni negara Islam belahan Timur. Konfrontasi dinasti Muwahhidin terhadap dinasti Murabithin telah memunculkan “sekat pembatas” antara dunia Barat dan Timur Islam. Keberhasilan Ibnu Tumart dalam mengkudeta dinasti Murabithin telah memaksa dirinya melakukan mobilisasi terhadap para pengikutnya dengan sebuah ajaran yang ditujukan untuk menghapus bias kesukuan yang sejak lama menodai setiap pengikutnya; berupa pembaharuan keagamaan melalui seruan untuk kembali ke asal dalam pelbagai dimensi pemikiran, baik akidah, fikih dan filsafat, dengan cara menghancurkan “taklid buta” dalam segala bidang. Dalam bidang akidah, Ibnu Tumart menentang keras pemikiran para ahli kalam yang membangun akidah dengan menggunakan qiyâs-u al-ghâ’ib `alâ al-syâhid, sebab analogi tersebut akan membuahkan indikasi adanya kesamaan antara Tuhan dengan makhluk-Nya. Sementara dalam bidang fikih, ia menentang segala bentuk qiyâs yang menyamakan antara al-furû` dengan al-ushûl, ia menyeru untuk mengembalikan segala permasalahan fikih kepada al-Qur’an dan al-Sunnah secara langsung. Adapun dalam bidang filsafat, ia berusaha membebaskan filsafat dari segala bentuk distorsi.

Kondisi perkenalan filsafat semacam itu dan revolusi Ibnu Tumart terhadap semua pemikiran Islam, di samping serangan al-Ghazali terhadap filsafat, merupakan faktor signifikan dalam merangkai dan membingkai pemikiran Ibnu Rushd.

Ibnu Rushd dan Purifikasi Akidah

Dunia Islam belahan Barat yang sama sekali tidak terancam oleh perseteruan antaragama dan aliran menjadikan akidah para shahabat mengakar begitu kokoh. Pada waktu itu, larangan mempelajari ilmu kalam semata-mata hanya strategi negara demi memperlihatkan kedigyaan eksistensinya di hadapan negara-negara lain yang sedang tenggelam dalam permasalahan ilmu kalam. Ibnu Rushd dalam kapasitasnya sebagai filsuf dinasti Muwahhidin pada akhirnya diminta memberikan konstribusi baru yang mampu membungkam segala bentuk pemikiran yang berkembang di negara-negara lain. Dua karya besarnya, al-Kasyf `an Manâhij-i al-Adillah dan Fashl-u al-Maqâl, merupakan konstribusi paling nyata terhadap penguasa saat itu. Dari penamaannya saja, al-Kasyf `an Manâhij-i al-Adillah, kita bisa melihat betapa kitab tersebut sengaja ditulis untuk menghajar kitab al-Irsyâd karangan al-Juwaynî yang ketika itu menjadi simbol legitimasi bagi pemikiran Asy`ariyah. Penamaan tersebut mengisyaratkan adanya upaya pelucutan terhadap segala bentuk bid`ah yang dilakukan oleh para ahli kalam (Mutakallimin), sekaligus memberikan format baru bagi akidah yang mesti dipegang oleh masyarakat. Dengan kitab tersebut Ibnu Rushd berusaha memurnikan akidah Islam dari “bid`ah” para ahli kalam yang selalu mengedepankan apologi tanpa berpijak pada argumentasi demonstratif. Metode yang mereka gunakan dalam membangun akidah Islam, yaitu qiyâs-u al-ghâ’ib `alâ al-syâhid, tidak bisa diaplikasikan untuk memahami “alam” Tuhan. Alam Tuhan yang tak terbatas tidak bisa disamakan dengan alam nyata yang terbatas. Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda. Penyepadanan keduanya berarti menyamakan dua sisi yang berbeda. Penyepadanan hanya bisa dilakukan pada dua hal yang memiliki kesamaan, atau dua hal yang berbeda tapi masih memiliki sisi-sisi kesamaan. Menyepadankan alam Tuhan dengan alam nyata tak ubahnya seperti menyepadankan Tuhan dengan makhluk-Nya. Dengan kata lain, metode tersebut merupakan bumerang dalam memahami akidah Islam itu sendiri; terlebih karena metode semacam itu tidak pernah digunakan oleh para shahabat maupun Nabi. Dari itu, pengkafiran para ahli kalam terhadap filsafat terkait dengan keabadian alam dan ketidaktahuan Tuhan terhadap hal-hal yang partikular (juz‘iyyât) merupakan konsekuensi logis dari penggunaan metode yang salah.

Dengan metode tersebut para ahli kalam bahkan melakukan penta’wilan secara membabi buta terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Parahnya, mereka justru mempublikasikan penta’wilan tersebut kepada masyarakat, dengan dalih sebagai doktrin agama yang harus dijalankan oleh semua orang. Mereka mengklaim diri mereka sebagai pemilik kebenaran dengan mengkafirkan pemikiran yang berseberangan. Muncullah klaim-klaim kebenaran dalam setiap aliran, yang pada tahapan selanjutnya menjadi penyebab timbulnya perpecahan dalam diri umat Islam. Alih-alih membawa perbaikan dalam masyarakat, mereka malah menanam benih-benih perpecahan.

Makna tekstual al-Qur’an lebih mampu dicerna oleh akal, dan lebih dekat dengan argumentasi demonstratif para filsuf, daripada penta’wilan para ahli kalam. Argumentasi demonstratif para filsuf lebih seiring dengan pemahaman al-Qur’an secara tekstual. Apa yang dipahami para shahabat dan al-salâf-u al-shâlih lebih argumentatif dan lebih dekat dengan teori ilmiyah dari pada pemikiran para ahli kalam. Lebih-lebih dalam mengukuhkan konstruk akidah mereka terkadang melabrak aksioma nalar manusia; seperti pengingkaran kausalitas dan teori atom. Dapat dibayangkan betapa jauh perbedaan antara para ahli kalam dan para filsuf dalam hal metode, terutama menyangkut masalah-masalah ketuhanan (ilâhiyyât).

Para ahli kalam meyakini kaidah-kaidah keimanan, mengakui kebenarannya, kemudian mereka membentuk dalil-dalil rasional untuk menjustifikasinya; sedangkan para filsuf mengkaji permasalahan secara murni, artinya bahwa nalar-nalar mereka sama sekali tidak dipengaruhi oleh keyakinan-keyakinan. Mereka memulai pencarian dengan menunggu sesuatu yang dapat diargumentasikan, melangkah setapak demi setapak hingga mencapai hasil yang kemudian mereka yakini; inilah tujuan filsafat sekaligus pijakan di dalamnya. Memang tidak mungkin melepaskan diri dari adat, lingkungan dan keyakinan secara paripurna; para filsuf Yunani banyak dipengaruhi oleh agama paganisme, para filsuf Kristen dipengaruhi oleh agama Kristen, dan para filsuf Muslim dipengaruhi oleh Islam, tetapi —bagaimanapun— itulah metode pencarian serta pijakan mereka dalam mengkaji permasalahan sebagaimana ditunjukkan oleh bukti-bukti argumentatif, sedangkan metode para ahli kalam adalah membangun argumentasi setelah mengimani kaidah-kaidah dasar dalam Islam. Posisi para ahli kalam seperti seorang “pengacara tulus” yang meyakini kebenaran suatu masalah lalu membelanya, membuat bukti-bukti yang dapat memperkuat apa yang diyakininya; sementara para filsuf dapat diposisikan seperti seorang “hakim adil” yang kepadanya diajukan suatu permasalahan. Dia tidak memberikan pendapat kecuali setelah mendengar alasan-alasan dari para terdakwa, menimbang-nimbangnya secara cermat dan tak berpihak, kemudian memberikan pendapat, dan keluarlah kebijaksanaannya.

Para ahli kalam lebih bersikap membela keyakinannya (akidah), mereka menyerang pendapat-pendapat para musuh, baik dari kaum Muslimin atau tidak, mereka banyak menyebut pendapat-pendapat yang bertentangan dan membantahnya; sedangkan para filsuf lebih kepada penentuan kebenaran-kebenaran, atau paling tidak apa yang mereka yakini sebagai kebenaran, mereka membuktikannya tanpa banyak masuk dalam penyebutan pendapat-pendapat yang bertentangan untuk kemudian balik menyerangnya.

Tersebab perbedaan metode itulah antara para ahli kalam dan para filsuf, dalam sejarah Islam, kadang terjadi pertentangan, seperti pertentangan antara Ibnu Rushd dan para ahli kalam, dan antara al-Ghazali dan para filsuf.

Pengingkaran Ibnu Rushd terhadap ta’wil para ahli kalam merupakan bukti nyata adanya pententangan tersebut. Namun perlu diingat, Ibnu Rushd sama sekali tidak menolak penggunaan ta’wil dalam memahami akidah Islam. Ta’wil merupakan keharusan yang mesti dilakukan dalam memahami redaksi al-Qur’an. Penggunaan ta’wil harus didasarkan pada argumentasi demonstratif, tidak seperti ta’wil para ahli kalam yang kental dengan aroma apologetik. Ta’wil merupakan salah satu cara dalam menghilangkan perbedaan antara agama dengan filsafat. Dengan ta’wil perseteruan akal dengan teks agama akan terselesaikan. Keharusan penggunaan ta’wil disebabkan oleh karakteristik redaksi teks itu sendiri. Teks agama tidak hanya ditujukan kepada sekelompok orang, akan tetapi kepada segenap lapisan masyarakat; masyarakat awam, kaum intelektual menengah, dan para ulama. Retorika yang digunakan dalam menyampaikan kebenaran adakalanya berupa perumpamaan, apologi, perdebatan, juga adakalanya berupa argumentasi demonstratif. Maka, apabila terjadi benturan antara teks agama dan kebenaran yang telah ditemukan melalui argumentasi demonstratif, maka teks agama harus dita’wil, sebab pemahaman terhadap teks al-Qur’an harus didahului oleh pemahaman terhadap alam. Apabila pemahaman terhadap alam harus melalui argumentasi demonstratif, maka pemahaman terhadap teks agama harus dilandaskan pula pada pijakan yang sama.

Penggunaan ta’wil dalam pemikiran Ibnu Rushd mempunyai aturan-aturan tersendiri. Ta’wil merupakan permasalahan sosial dan keagamaan. Ta’wil tidak boleh dipublikasikan kepada masyarakat umum. Memahami akidah dalam al-Qur’an secara tekstual lebih bisa diterima masyarakat umum ketimbang menawarkan sebuah ta’wil. Larangan tersebut disebabkan oleh karakteristik ta’wil itu sendiri. Ta’wil merupakan masalah ijtihâdiyyah yang sangat rentan perbedaan di antara para mu’awwil (orang yang melakukan ta’wil). Ta’wil hanya diperuntukkan bagi orang yang mampu memahaminya; al-râsikhûn fî al-`ilm. Mempublikasikan ta’wil yang berbeda-beda dan bertentangan satu sama lain akan mengakibatkan perpecahan dalam masyarakat, sekaligus pelecehan terhadap syariat dan kemanusiaan; kiranya inilah faktor pemicu munculnya pengkafiran antaraliran dalam Islam.

Dalam pandangan Ibnu Rushd, ayat-ayat al-Qur’an tak ubahnya seperti alam natural (al-`âlam al-thabî`î). Dalam alam natural, apa yang diterima oleh panca indra tidak sepenuhnya berupa kebenaran mutlak; adakalanya tidak seiring dengan pembuktian ilmiyah. Dalam konteks ini, kebenaran yang harus diterima oleh seseorang yang mampu melakukan pembuktian tersebut adalah informasi yang diperoleh melalui argumentasi demonstratif, bukan informasi yang telah diberikan secara langsung oleh panca indra. Sebab informasi yang diberikan panca indra terkadang menyesatkan dan menyeret kita pada sebuah kemungkaran. Kendati demikian, mempublikasikan informasi yang diperoleh melalui argumentasi demonstratif kepada masyarakat umum merupakan sesuatu yang menyalahi etika intelektual. Masyarakat umum tidak mampu mencerna argumentasi demonstratif dengan baik. Argumentasi demonstratif tidak akan membawa kejelasan bagi mereka, justru sebaliknya akan membawa keragu-raguan. Ketika informasi yang diberikan membawa keraguan, maka tidak akan ada hal yang dapat dipahami masyarakat umum secara benar. Hilanglah segala bentuk kenyakinan, baik bersifat sederhana maupun terperinci, tersebab ketidakmampuan mereka menerima argumentasi demonstratif dalam memahami al-Qur’an. Tidak berarti setiap apa yang tidak dijelaskan oleh syariat bisa diselidiki untuk kemudian dipublikasikan kepada masyarakat umum.

Setelah menjelaskan etika pelaksanaan ta’wil, Ibnu Rushd dalam mempurifikasi akidah Islam sangat memperhatikan aturan penta’wilan terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Ta’wil menurut Ibnu Rushd adalah upaya mengeluarkan petunjuk lingual dari dilâlah haqîqiyyah menuju dilâlah majâziyyah. Ini tidak jauh beda dengan ta’wil dalam aliran Asy`ariyah. Bedanya hanya pada keterkaitan ta’wil dalam pemikiran Ibnu Rushd dengan argumentasi demonstratif serta pembagian ruang ta’wil dalam pemikirannya. Ibnu Rushd membagi ayat-ayat al-Qur’an menjadi ayat-ayat yang menerima ta’wil dan tidak menerima ta’wil. Ayat-ayat yang tidak menerima ta’wil hanya berupa landasan aksiomatik yang akan membuat orang yang mengingkarinya menjadi kafir, misalnya, ayat-ayat yang berbicara tentang keimanan kepada Tuhan, hari akhir dan alam akhirat; ayat-ayat seperti ini tidak menerima ta’wil. Adapun hal-hal yang terkait dengan perspektif masing-masing pemikir akan keberadaan landasan-landasan tersebut masih bisa dita’wilkan. Maka, mengkafirkan sebuah pemikiran semata karena perbedaan dalam menta’wilkan ayat-ayat al-Qur’an tidak dibenarkan secara `aql dan naql. Tidak ada konsensus umum dalam melakukan penta’wilan, juga tidak ada undang-undang yang menjelaskan secara rinci ayat-ayat yang bisa dita’wil dan tidak. Pula, pengkafiran suatu aliran terhadap aliran lain, serta pengkafiran para ahli kalam terhadap para filsuf yang mengingkari kebangkitan jasad, sungguh tidak dibenarkan oleh agama, karena hal itu lebih merupakan perbedaan ta’wil belaka. Dalam konteks ini, secara tidak langsung, Ibnu Rushd telah membuktikan adanya kesatuan hakikat antara agama dan filsafat, sekaligus signifikansi rasionalitas filsafat dalam memahami akidah Islam.


Pembelaan dan Purifikasi Filsafat

Ibnu Rushd dengan purifikasi pemikiran dalam segala bidang berusaha mengkorelasikan antara agama dan filsafat tanpa meleburkan keduanya. Mengkorelasikan keduanya tidak berarti peleburan antara dua pemikiran yang berbeda. Hal pertama yang dilakukan dalam proses pengkorelasian itu adalah memisahkan antara agama dengan filsafat dengan tujuan menyelamatkan agama dan filsafat itu sendiri. Keduanya bisa dibilang saudara sesusuan dari seorang ibu yang bernama kebenaran. Keduanya mempunyai kesamaan tujuan dengan perantara yang berbeda. Adalah sesuatu yang tidak mungkin kebenaran yang ditemukan melalui pemikiran filsafat akan berseberangan dengan kebenaran wahyu Tuhan. Pertentangan tersebut hanya akan muncul ketika agama dan filsafat tidak mampu dipahami dengan baik, yaitu ketika retorika penyampaian kebenaran dalam agama tidak mampu dipahami secara tepat dengan melakukan penta’wilan, juga ketika premis dalam filsafat tidak dapat dimengerti dengan benar; keduanya mempunyai kebenarannya masing-masing. Kebenaran yang ditemukan oleh filsafat dan agama hanya bisa diketahui melalui piranti-piranti yang dibangun oleh masing-masing agama dan filsafat itu sendiri.

Dalam membela filsafat, Ibnu Rushd tidak menempuh jalur filsafat seperti Ibnu Sina, al-Kindi dan al-Farabi. Ibnu Rushd lebih cenderung menempuh jalur fikih dalam menjustifikasi signifikansi pemikiran filsafat dalam kehidupan beragama. Ibnu Rushd berusaha membuktikan bahwa filsafat bukan hanya boleh dipelajari, tetapi sudah menjadi bagian dari perintah agama. Berpikir secara filosofis tidak lebih dari sekedar memikirkan alam semesta. Bahkan demi mencapai kesempurnaan iman, secara tegas Tuhan memerintahkan kepada hamba-Nya untuk memikirkan alam semesta. Selain itu, dalam al-Qur’an, tidak sedikit Tuhan menyebut orang-orang kafir dengan sebutan-sebutan tidak berakal atau tidak mampu mempertimbangkan ciptaan-Nya. Apabila memikirkan alam semesta dengan segala isinya merupakan perintah Tuhan, sedang metode paling utama dalam memikirkan semua itu adalah argumentasi demonstratif, maka argumentasi demonstratif adalah bagian dari perintah Tuhan. Meski demikian, argumentasi demonstratif tidak mungkin digunakan secara langsung oleh manusia dengan sempurna. Ia memerlukan pembelajaran serius terhadap pernik-pernik di dalamnya, yang semuanya terangkum dalam ilmu logika.

Keilmuan manusia tidak mungkin terbentuk dari kehampaan. Salah satu karakteristik keilmuan adalah selalu mengalami komplikasi, di mana yang datang terakhir mengambil manfaat dari yang sebelumnya. Ketika ilmu logika tidak dikenal pada masa-masa pertama Islam, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk mempelajari ilmu tersebut melalui para pendahulu kita, seagama maupun tidak. Ilmu logika adalah sekumpulan sistem yang berfungsi sebagai perantara dalam memahami sesuatu. Perantara dapat diambil dari mana saja dan dari siapa saja. Tidak dikenalnya ilmu logika pada masa awal Islam bukanlah alasan yang tepat untuk melarangnya. Sama seperti ilmu usul fikih yang juga tidak dikenal pada masa itu. Jadi, ketika ilmu usul fikih tidak dianggap sebagai bid’ah, ilmu logika juga tidak bisa dianggap bid’ah. Sehingga, hukum mempelajari ilmu logika yang identik dengan filsafat adalah wajib dalam Islam, apabila, tentu saja, tujuannya sesuai dengan anjuran syariat.

Akan tetapi, kewajiban mempelajari filsafat tidak ditujukan kepada semua orang (fardh-u `ain), hanya orang-orang tertentu yang boleh mempelajari ilmu tersebut (fardh-u kifayah), yaitu mereka yang memiliki kecerdasan akal, berpegang kuat terhadap syariat (`adalah syar`iyyah) —dengan kata lain, bersikap adil dalam menjalankan syariat— serta harus mempunyai kredibilitas intelektual yang mapan. Kecerdasan akal merupakan keharusan dalam mempelajari filsafat. Artinya dia mempunyai kesiapan akal dalam menerima pengetahuan filsafat. Ketiga syarat tersebut merupakan mengejawantahan dari persyaratan melakukan persaksian dalam fikih. Orang yang mempelajari filsafat adalah orang yang sedang melakukan persaksian terhadap karya tulis para pendahulunya. Dia harus berlaku adil dalam persaksiannya sendiri; tidak menolak atau menerima sebuah pemikiran karena pengaruh hawa nafsu semata. Dari itu, kredibilitas intelektual merupakan syarat paling menentukan. Dia, di samping harus mengambil pemikiran filsafat yang dianggap benar tanpa melakukan distorsi, juga harus menempatkannya pada posisi yang semestinya. Menggunakan filsafat bukan pada tempatnya, seperti membohongi orang lain, berbangga diri dengan apa yang dimilikinya, atau dengan tujuan menopang aliran dan politik tertentu, menurut Ibnu Rushd adalah perbuatan tercela.

Dapat dilihat, Ibnu Rushd sebenarnya ingin membuktikan bahwa para penentang filsafat tidak mempunyai persyaratan tersebut. Mereka yang mampu memahami filsafat dengan benar serta menempatkannya pada posisi yang semestinya tidak akan mengharamkan filsafat. Al-Ghazali, yang dalam hal ini dianggap sebagai musuh representatif filsafat, adalah figur yang tidak memenuhi persyaratan itu. Distorsi yang dilakukannya secara berulang-ulang terhadap filsafat, serta pernyataannya yang memperlihatkan kesengajaan dalam mendistorsi pemikiran tersebut, menunjukkan tidak adanya kredibilitas intelektual dan `adâlah syar`iyyah dalam diri al-Ghazali. Apa yang dilakukan al-Ghazali sebenarnya bukan karena tuntutan kebenaran, melainkan hanya mencari kemenangan dan ketenaran, sebagaimana pengakuannya dalam kitab al-Munqidz min-a al-Dhalâl. Pengkafirannya terhadap para filsuf dengan dalih menyalahi penta’wilan dalam aliran Asy`ariyah merupakan pelanggaran terhadap tatanan syariat. Berselisih paham dengan aliran Asy`ariyah bukanlah tindakan yang menyalahi agama, akan tetapi merupakan suatu kewajaran dalam pergulatan pemikiran, karena aliran Asy`ariyah sendiri adalah salah satu aliran dalam Islam, dan seperti lainnya tidak mempunyai otoritas kebenaran yang absolut.

Dalam hal serangan terhadap filsafat al-Ghazali bukanlah orang pertama. Sebelumnya, tokoh-tokoh ahli kalam seperti al-Asy`ari dan al-Baqillani telah memulainya dengan memerangi gerakan atheisme dan filsafat secara bersamaan. Bahkan tidak hanya para ahli kalam, seorang sufi seperti Haris al-Muhasibi juga melakukannya. Dalam memerangi filsafat, ia memerankan dirinya sebagai seorang ahli kalam sekaligus sufi. Model semacam inilah yang nampaknya dikembangkan oleh al-Ghazali.

Perlawanan terhadap filsafat ternyata juga terjadi dalam pemikiran Kristen dan Yahudi. Yahya al-Nahwi adalah akademisi Kristen yang telah melakukan perlawanan terhadap filsafat jauh sebelum kelahiran al-Ghazali. Pemikiranya sedikit banyak berhasil mempengaruhi paradigma berfikir al-Ghazâlî dalam memerangi filsafat.

Meski demikian, serangan al-Ghazali tidak bisa disamakan dengan sebelumnya. Apa yang dilakukan al-Ghazali dianggap sebagai serangan paling mematikan sepanjang sejarah. Sampai saat ini belum ditemukan satupun akademisi yang mampu menyamai atau bahkan melebihinya. Salah satu kitabnya, Tahâfut-u al-Falâsifah, dinobatkan sebagai karya terbesar yang nyaris tidak bisa disamakan dengan Tahâfut-u al-Tahâfut karya besar Ibnu Rushd; tidak terbantahkan, dalam artian belum ada yang mampu mengikis pengaruhnya dalam peradaban Islam. Tahâfut-u al-Falâsifah merupakan sebuah kitab yang berisikan “fatwa pengharaman” seorang agamawan terhadap filsafat. Melalui kitab itu, upaya al-Ghazali dalam menelanjangi para filsuf cukup berhasil.

Hanya saja perlu digarisbawahi, bahwa faktor pengkafiran al-Ghazali terhadap filsafat tidak kembali pada esensi filsafat itu sendiri. Pengkafiran tersebut lebih terkait dengan tujuan ideologi tertentu, yaitu ideologi negara Saljuk yang berada di bawah naungan aliran Asy`ariyah; ini jika dilihat dari kritik al-Ghazali yang hanya ditumpahkan kepada pemikiran Ibnu Sina, padahal banyak filsuf lain yang mempunyai pemikiran lebih berbahaya dari Ibnu Sina, sebut saja misalnya Ibnu Ruwandi, yang luput dari serangan al-Ghazali. Pengkafiran tersebut lebih diakibatkan oleh adanya bahaya ideologis filsafat Ibnu Sina yang pada waktu itu dianggap akan merobohkan aliran Asy`ariyah. Pemikiran Ibnu Sina yang diusung oleh aliran Syi`ah Isma`iliyah atau Imamiyah dianggap sebagai “badai” yang akan menggoyahkan ideologi Abbasiyah, tempat al-Ghazali bernaung. Maka, pengkafiran terhadap filsafat secara menyeluruh tidak bisa dibenarkan dalam etika intelektual.

Pengkafiran terhadap filsafat, dengan mengacu pada teks-teks Ibnu Sina, menuntut Ibnu Rushd melakukan purifikasi terhadap filsafat dari distorsi penerjemahan yang tidak akurat. Upaya tersebut dimaksudkan untuk membuktikan bahwa pegangan al-Ghazali dalam mengkafirkan filsafat bukanlah representasi dari pemikiran filsafat itu sendiri, melainkan hanya filsafat Ibnu Sina atau Aristoteles yang telah mengalami distorsi. Purifikasi tersebut juga dimaksudkan untuk membuktikan adanya kebenaran yang sama antara agama dan filsafat.

Purifikasi yang dimaksud Ibnu Rushd adalah purifikasi filsafat Aristoteles yang dianggap sebagai representasi kematangan pemikiran Yunani. Aristoteles dianggap mampu meluruskan dan mengembangkan filsafat para pendahulunya. Filsafatnya merupakan penjelmaan dari komplikasi filsafat terdahulu. Keluar dari filsafat Aristoteles, dengan menjadikan filsafat pendahulunya sebagai acuan, tidak akan mampu mendesain filsafat lebih bagus dari pada filsafat Aristoteles, seperti aliran Neo-platonisme yang ditengarai jauh dari nilai ilmiyah dengan menjadikan Plato sebagai acuan dalam berfilsafat.

Dalam mempurifikasi filsafat Aristoteles, Ibnu Rushd melakukan peringkasan, komentar, harmonisasi dan sekaligus melakukan penafsiran. Itu semua dilakukannya demi membersihkan filsafat Aristoteles dari pelbagai distorsi. Ibnu Rushd berusaha membersihkan filsafat Aristoteles dari kerancuan yang ditimbulkan oleh pemikiran lain yang tidak termasuk dalam bingkai filsafat Aristoteles. Kemampuannya mengomentari filsafat Aristoteles telah menghantarkan dirinya meraih gelar sebagai komentator terbaik terhadap filsafat Aristoteles, bahkan pemikirannya menjadi pintu gerbang proses pencerahan di Eropa.


Progresivitas dalam Pemikiran Ibnu Rushd

Progresivitas dalam pemikiran Ibnu Rushd telihat dari rasionalitas dan kritisismenya dalam menyikapi setiap permasalahan. Ibnu Rushd adalah seorang filsuf yang memiliki kritisisme luar biasa, komprehensif dan mendetail. Tidak ada satu bentuk pemikiran yang berkembang di masanya yang berhasil lolos dari kritik dan analisanya; sebuah kritisisme yang dibangun di atas rasionalitas yang mapan. Munculnya pemikiran Ibnu Rushd tak ubahnya seperti “goncangan” terhadap status quo. Dia, di samping meneriakkan terbukanya pintu ijtihad dalam segala bidang, juga berupaya melakukan rasionalisasi terhadap segala bentuk keilmuan di masanya.

Rasionalitas Ibnu Rushd terlihat dari beberapa argumentasinya dalam memahami permasalahan akidah Islam. Ibnu Rushd mangakui adanya kebebasan aksi dalam diri manusia. Ibnu Rushd telah berhasil melakukan rasionalisasi terhadap permaslahan qadlâ’ dan qadr yang selama berabad-abad menjadi sentral persengketaan antaraliran dalam Islam. Keimanan terhadap qadlâ’ dan qadr Tuhan tidak akan memberedel tanggungjawab manusia, juga tidak akan memberangus otoritas Tuhan atas makhluk-Nya. Setiap perbuatan manusia, selain merupakan kehendak dirinya sendiri—bukan paksaan dari Tuhan—, juga merupakan perbuatan yang sangat bergantung pada ikatan yang ada di luarnya. Perbuatannya sangat dibatasi oleh ikatan tertentu yang ada di luar kehendaknya sendiri. Ikatan tersebut adalah ciptaan Tuhan yang lepas dari intervensi manusia. Perbuatan manusia adalah kehendaknya sendiri dengan aturan pelaksanaan yang telah ditentukan oleh Tuhan.

Rasionalitasnya dalam masalah akidah terlihat pula dalam menyelesaikan permasalahan kausalitas dalam Islam. Ketika para ahli kalam menjustifikasi kemukjizatan seorang rasul, maka mereka, secara tidak sadar, telah tergiring pada sebuah pengingkaran terhadap kausalitas di dalam alam semesta. Tidak ada ketetapan hukum di alam semesta, semuanya hanya berupa kebiasaan. Semua kejadian di alam semesta merupakan ciptaan dan kehendak Tuhan yang mampu melakukan apa saja yang Ia kehendaki. Ibnu Rushd dalam hal ini mampu memberikan argumentasi baru yang berbeda sama sekali dengan argumentasi para ahli kalam. Argumentasi tersebut tidak membuatnya mengingkari keberadaan mukjizat dalam Islam, apalagi sampai memaksanya untuk menyatakan sesuatu yang tidak rasional; seperti pengingkaran terhadap kausalitas alam semesta. Kebenaran seorang nabi tidak hanya didasarkan pada mukjizat yang dibawa, melainkan pada muatan risalah yang diemban. Mukjizat hanya sebuah pengukuh terhadap kebenaran sebuah risalah. Dari itu, pengakuan terhadap mukjizat tidak mengharuskan kita menolak sesuatu yang terjadi secara berulang-ulang di depan mata. Mengingkari karakteristik di dalam alam semesta sama saja dengan mengingkari sunnatullah. Mengingkari hal tersebut tak ada bedanya dengan mengingkari hikmah ciptaan Tuhan, lebih-lebih jika pengingkaran tersebut membawa pengaruh negatif bagi kemajuan peradaban manusia. Manusia cenderung tidak agresif dalam menemukan rahasia alam semesta. Peran akal menjadi tidak optimal dalam menyikapi setiap permasalahan. Semuanya akan dikembalikan pada kekuasaan dan kehendak Tuhan. Tuhan Maha Berkehendak atas segala hal di muka bumi ini.

Nilai progresivitas pemikiran Ibnu Rushd terlihat pula dari upayanya menyelesaikan problematika pertentangan antara agama dan filsafat melalui metode ta’wil. Penggunaan ta’wil berarti memberikan porsi seluas-luasnya kepada akal manusia untuk menyikapi semua permasalahan yang ada. Ibnu Rushd tidak risau bila metode penta’wilan harus diambil dari umat di luar Islam. Ibnu Rushd mengingatkan keberadaan komplikasi dalam setiap keilmuan; di mana yang datang belakangan mengambil manfaat dari temuan para pendahulunya. Lebih dari itu, Ibnu Rushd sangat menghargai adanya perbedaan pendapat. Perbedaan agama tidak menghalangi dirinya mengkaji filsafat Yunani. Ibnu Rushd juga menganjurkan dilakukannya interaksi keilmuan antara Islam dengan agama-agama lain. Kebenaran adalah sesuatu yang harus dicari, namun tidak untuk dimonopoli.

Pengaruh Pemikiran Ibnu Rushd di Barat

Kehadiran filsafat Ibnu Rushd ternyata tidak cukup mempu menerangi gulita peradaban Islam. Rasionalitas filsafat Ibnu Rushd justru membawa angin segar bagi bagi dunia Eropa, bahkan mampu membebaskan Eropa dari cengkraman hegemoni gereja. Kehadiran filsafat Ibnu Rushd telah mengobarkan api revolusi yang menghendaki pemisahan sains dari agama. Ibnu Rushd, dengan kemampuannya mengomentari karya-karya Aristoteles, telah membangkitkan kembali budaya berpikir yang telah lama redup dalam peradaban tersebut. Kesadaran akan urgensi rasio dalam memahami ayat-ayat Tuhan mulai berkembang subur di Eropa. Kristen dan Yahudi mulai mengenal harmonisasi antara agama dengan filsafat. Muncullah dalam sejarah Barat teolog-teolog rasionalis yang menjadi simbol perlawanan terhadap gereja yang sangat hegemonik.

Dalam hal ini, figur Musa bin Maemun merupakan teolog Yahudi yang sangat berjasa bagi perkembangan pemikiran Ibnu Rushd di Eropa. Ia adalah salah satu murid Ibnu Rushd yang sangat terpengaruh oleh pemikiran-pemikirannya. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari pemikiran Musa bin Maemun dalam memahami hubungan antara agama dan filsafat, klasifikasi derajat intelektual manusia dalam berfilsafat, dan kesamaan tujuan antara kitabnya Dilâlah Khayrin dengan Fashl-u al-Maqâl. Inspirasi pemikiran Ibnu Rushd telah menjadikan Musa bin Maemun mampu menafsirkan permasalahan-permasalahan teologis dalam Yahudi, yang dianggap tidak sejalan dengan rasio manusia. Karya-karya Musa bin Maemun yang diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani merupakan faktor terpenting bagi perkembangan filsafat Islam di Eropa.

Namun, diakui atau tidak, kehidupan memang tidak selamanya berjalan mulus. Kalangan ortodoks Yahudi ternyata tidak begitu saja membiarkan kehadiran filsafat agung tersebut. Perlawanan para rahib Yahudi maupun para pendeta agama lainnya cukup menjadi bukti ketidakcocokan para agamawan terhadap filsafat. Filsafat dianggap sebagai pemikiran yang akan mendistorsi paham keagamaan. Sebagai antisipasi, cara satu-satunya adalah melakukan penindasan terhadap para filsuf. Tetapi tak dinyana, betapapun pelbagai penindasan dilakukan, penggalian terhadap filsafat Islam tidak mengalami penyusutan dalam tradisi Yahudi. Terjadilah perpindahan etnis Yahudi, dari Andalusia menuju Profinsia, dibarengi dengan penerjemahan keilmuan Islam secara besar-besaran. Dan atas jasa filsuf Yahudi bernama Lawn Afriqi, filsafat Ibnu Rushd mendapatkan tempat yang layak dalam pemikiran Yahudi. Peran Lawn Afriqi terhadap filsafat Ibnu Rushd sama halnya dengan peran Ibnu Rushd terhadap filsafat Aristoteles. Ia mampu menjadi kementator terbaik atas filsafat Ibnu Rushd.

Pada babak selanjutnya, pengaruh filsafat Ibnu Rushd mulai melemah. Perlawanan ortodoksi Yahudi membuat prestise pemikiran Ibnu Rushd mulai menyusut dan hampir punah. Ini tidak lepas dari andil Musa al-Masneu yang menerjemahkan karya al-Ghazali, Tahâfut-u al-Falâsifah. Kesadaran akan ketidak-ampuhan kekuasaan dan kekerasan dalam memberangus sebuah pemikiran semakin membuka lebar pintu masuk khazanah keilmuan Islam. Penerjemahan karya al-Ghazali terus digalakkan. Paparan al-Ghazali dalam kitab Maqâshid-u al-Falâsifah dianggap sebagai paparan filsafat yang mudah dipahami oleh publik. Dan pada akhirnya, penerjemahan tidak hanya dilakukan terhadap keilmuan yang berlawanan dengan filsafat, bahkan tasawuf, syariat, juga sastra, turut serta menjadi bidang garapan. Krisis intelektual yang menimpa Yahudi telah memaksanya menerjemahkan semua keilmuan Arab Islam.

Tidak hanya dalam Islam dan Yahudi filsafat Ibnu Rushd mendapat perlawanan. Thomas Aquinas, sebagai representasi dari kaum agamawan Kristen, merasa resah dengan kehadiran filsafat dalam Kristen. Gagasan tentang keabadian alam, ketidaktahuan Tuhan terhadap hal-hal partikular dalam alam semesta dan lain sebagainya, merupakan faktor pemicu perseteruan antara kaum agamawan dengan para filsuf. Para agamawan tidak terbiasa mendengarkan pernyataan-pernyataan semacam itu. Di Eropa, Thomas Aquinas merupakan penentang paling dahsyat terhadap pemikiran Ibnu Rushd di Eropa. Dalam perlawanannya, Thomas Aquinas secara langsung merujuk kepada filsafat Aristoteles. Menurutnya, Ibnu Rushd telah melakukan kesalahan. Kesalahan itu terletak pada ketidakkonsistenannya dalam memegang filsafat Aristoteles, sehingga berdampak sangat fatal bagi perkembangan filsafat Aristoteles itu sendiri. Ditambah lagi kesalahan para akademisi Arab ketika mereka menerjemahkan dan mengomentari filsafat Aristoteles.

Sepeninggal Thomas Aquinas, perlawanan kaum teolog Kristen terhadap pemikiran Ibnu Rushd bukannya melemah, bahkan semakin menguat dan terorganisir. Raymun Martin dengan menggunakan pemikiran al-Ghazali melakukan perlawanan terhadap penganut Averroisme —sebutan bagi filsafat Ibnu Rushd— di Eropa, yang kemudian diteruskan oleh generasi selanjutnya. Bahkan Dante, seorang pujangga berkebangsaan Italia, juga ikut ambil bagian dalam perlawanan tersebut. Dia, dalam rangka perlawanan itu, berusaha keras mendapatkan pengukuhan secara langsung dari Kongres Gereja dengan mengusulkan tiga hal. Pertama, membentuk tentara untuk menghancurkan Islam, kedua, mendirikan universitas bahasa Arab, dan ketiga, melarang umat Kristiani mempelajari filsafat Ibnu Rushd. Tapi sayang, usulan-usulan yang diajukannya tidak mendapatkan respon positif; ditolak oleh Kongres.

Perlawanan-perlawanan telah dilakukan di Eropa, namun pemikiran Ibnu Rushd tetap tidak punah. Para rahib Farniskan—sebagai fenomena baru dalam agama Kristen—telah menyelamatkan pemikiran Ibnu Rushd. Mereka tidak tunduk kepada perintah para Baba di Roma, bahkan menganggap para Baba Roma telah keluar dari orientasi awal ajaran Jesus. Terjadilah pertikaian luar biasa antara pendeta Farniskan dengan pendeta Dominikan. Di mata Farniskan perlawanan tersebut merupakan awal dari segala kebebasan berpikir di Eropa, yaitu kebebasan yang hanya bisa terwujud melalui pengembangan filsafat Arab Islam di Eropa.

Pengaruh Ibnu Rushd kembali menguat di Eropa, tepatnya setelah Lois XI melakukan pembaharuan terhadap keilmuan filsafat. Lois XI memerintahkan pembelajaran terhadap filsafat Aristoteles yang telah dikomentari oleh Ibnu Rushd kepada semua pelajar. Pemikiran Ibnu Rushd pada akhirnya mampu menunjukkan kekuatannya setelah teraniaya pada abad ke tiga belas. Pada abad ini, posisi filsafat Ibnu Rushd yang semula berada di bawah filsafat Ibnu Sina, terlihat mulai mengungguli, bahkan juga terhadap semua bentuk aliran pemikiran yang berkembang di Eropa, filsafat maupun agama. Hal ini kembali kepada beberapa faktor. Pertama, pengakuan para teolog dan filsuf mengenai signifikansi filsafat Aristoteles, yang dengan demikian memperlihatkan bahwa perbedaan antara mereka hanya pada tataran penafsiran. Kedua, keturunan Aria yang berkembang di Eropa mempunyai kelebihan tertentu dalam membidangi dunia filsafat. Ketiga, peran Fadrik II dalam memerangi agama di Eropa melalui filsafat, telah memotivasi penerjemahan pemikiran filsafat Islam di Eropa. Keempat, serangan Kristen terhadap Islam cenderung mengabaikan etika-etika kemanusian, di mana secara tidak langsung paradigma sopan-santun Shalahuddin al-Ayyubi telah memberikan pengaruh mendalam terhadap kaum Kristiani untuk mengetahui lebih jauh pemikiran Islam; paradigma yang berfungsi sebagai falsafah hidup yang tidak lagi memerlukan penjelasan.

Pada akhirnya filsafat Ibnu Rushd mampu mengalahkan otoritas institusi gereja, bahkan berupaya memposisikan diri sebagai pengganti dari institusi gereja itu sendiri. Ia telah berhasil menjadi sebuah pemikiran sakral yang tidak tersentuh oleh dosa apapun, bagaikan agama yang manganggap suci semua pemikirannya, dan siap memberangus setiap pemikiran yang berseberangan. Inilah yang membuat para gerejawan terpaksa melakukan perdamaian dengan aliran filsafat tersebut.

Pada abad ke enam belas, muncullah anggapan baru tentang keserasian filsafat Aristoteles dengan paham gereja, yaitu dibarengi dengan pernyataan Kardianal Bill Avinsi mengenai signifikansi filsafat Aristoteles dalam teologi Kristen, yang sekaligus menganggap Ibnu Rushd sebagai komentator terbaik filsafat Aristoteles. Karya-karya Ibnu Rushd tersebar begitu luas. Mereka mampelajari filsafat Aristoteles melalui ringkasan dan penjalasan Ibnu Rushd, sehingga mampu memunculkan dua aliran besar dalam memahami pemikiran Aristoteles; yaitu aliran yang berpegang pada penjelasan Ibnu Rushd dan aliran yang berpegang pada penjelasan Alexander. Hal ini memperlihatkan bahwa perbedaan metode dalam memahami filsafat Aristoteles tidak mengakibatkan perbedaan pada signifikansi pemikirannya dalam menghadapi problematika hidup. Kesatuan persepsi dalam dua aliran tersebut melahirkan kesadaran untuk mengacu secara langsung kepada pemikiran Aristoteles, tidak melalui perantara lain.

Oleh karenanya, pemikiran Ibnu Rushd mulai ditinggalkan dan digantikan dengan pemikiran asli Aristoteles, di mana pada akhirnya pemikiran Aristoteles juga mengalami kepunahan di saat filsafat modern mulai lahir di Eropa. Filsafat modern yang sangat menekankan sisi empirik telah berhasil mengeser filsafat Aristoteles yang hanya menekanakan sisi pemikiran dan perenungan belaka. Uniknya, keberhasilan melepaskan diri dari hegemoni pemikiran Aristoteles justru merupakan buah dari pemahaman terhadap filsafat Aristoteles secara benar. Rasionalitas yang didapatkan dari pemikiran Aristoteles telah membuat para pemikir Eropa memikirkan sebuah kontinuitas dari apa yang telah diletakkan Aristoteles. Pemikiran Aristoteles merupakan pemikiran yang pernah berjaya pada masanya. Maka, Aristoteles dengan komentator terpercayanya, Ibnu Rushd, merupakan instrumen terpenting dalam membangun filsafat modern; sebuah filsafat yang telah menghantarkan Barat menuju masa cemerlang.

 
posted by Roland Gunawan at 11:27 PM | Permalink |


0 Comments:





"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"