**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Sunday, April 08, 2007
Belajar Dari Gajah Mada
Di tengah kesibukan melakukan aktivitas intelektual, beberapa minggu yang lalu saya sempatkan membaca tiga novel sekaligus buah karya dari Langit Kresna Hariadi, Gajah Mada. Adalah kebetulan, saya memang mempunyai hobi membaca cerita. Entah berapa jumlah novel yang menyajikan kisah-kisah kepahlawan dan kependekaran telah menjadi “santapan” otak saya; tak terhitung. Ketika dihadapkan pada buku-buku karya para penulis seperti Asmaraman S. Kho Ping Hoo, SH Mintardja dan lain-lain, semangat baca saya meluap mengesampingkan segala kepenatan. Begitu sampai pada halaman-halaman pertengahan daya baca saya bahkan kian memuncak, meski apa yang saya lakukan itu nantinya akan menghadirkan rasa kantuk luar biasa. Tidak heran, membaca tiga buku novel yang memuat rata-rata lebih dari lima ratus sampai enam ratus halaman itu bisa tuntas dalam waktu tiga malam.

Dalam tiga novel yang diracik menjadi epos tersebut, Gajah Mada ditampilkan sebagai figur yang memiliki loyalitas dan totalitas pengabdian kepada negara Majapahit yang bermuara pada keberaniaanya mengucapkan sumpah amat magis nan mencengangkan sekaligus menterjemahkan sebuah gagasan cerdas, progresif dan revolusioner, sehingga membawanya mencapai puncak keberhasilan paling mendebarkan dalam sejarah; menyatukan Nusantara.

“...Aku akan hamukti palapa (meninggalkan kesenangan hidup) sampai kapanpun, sampai Majapahit yang aku inginkan dan kita inginkan bersama menjadi kenyataan. Aku akan tetap berprihatin dalam puasa tanpa ujung, yang itulah hakikat arti dari sumpahku, Sumpah Palapa, semata-mata demi kebesaran Majapahit...jika telah berhasil menundukkan Nusantara, aku baru akan beristirahat. Jika Gurun, Serang, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasek, telah tunduk, aku baru akan beristirahat.”

Itulah Sumpah Palapa, sumpah paling gila, tidak masuk akal, terlalu muluk dan terlampau mengerikan pada zamannya; mengundang rasa kasihan. Tempat-tempat yang disebutkan Gajah Mada, untuk konteks saat itu, seperti tertera dalam salah satu novel di atas, adalah tempat-tempat yang sangat jauh, sangat luas, bahkan tidak diketahui di mana letaknya. Sekedar mengurusi wilayah Jawa sulitnya bukan kepalang, apalagi mengurusi dunia yang sedemikian luasnya, terbentang dari ujung Timur tempat matahari terbit sampai ujung Barat tempat matahari terbenam, tipis perbedaannya dengan berandai-andai memeluk gunung.

Sumpah Palapa sudah diucapkan, tidak mungkin ditarik kembali. Dan Gajah Mada bukanlah sosok yang lemah, betapapun kesulitan menghampar, ia tak bergeming dari tekadnya, tetap berdiri tegak, kekar, kukuh dan membumi; tidak mundur barang sedikitpun. Cita-cita yang diikat dengan sumpah meninggalkan segala kenikmatan hidup dan menempuh penderitaan tanpa batas itu akhirnya diraih. Untaian zamrud katulistiwa yang saat ini kita banggakan sebagai Indonesia adalah jejak prestasi gemilang warisan Gajah Mada.

Gajah Mada yang keras, kukuh, rela berkorban dan pantang menyerah, mengingatkan saya pada watak orang Madura. Walaupun tidak semua, tapi itulah potret dominan yang bisa merepresentasikan “informasi” mengenai orang Madura. Sepak terjangnya di seluruh penjuru tanah air begitu mengagetkan. Peristiwa-peristiwa berdarah di Kalimantan dan Jakarta adalah bagian dari kisah-kisah tragis ulah orang Madura.

Di sini, saya menghadirkan sketsa orang Madura dengan watak kerasnya tidak dalam kerangka yang negatif; selalu merusak. Namun lebih mengarah pada motivasi untuk melangkah jauh ke depan. Artinya mengalihkan kebiasaan keras dan pantang mundur yang nampak identik dengan pengrusakan tersebut kepada hal-hal yang lebih positif demi kemajuan Fosgama di masa-masa mendatang.

Ya, membangun masa depan Fosgama yang cemerlang membutuhkan kerja keras dan keteguhan hati, sekaligus membutuhkan cita-cita dan impian yang tinggi. Harus ada upaya sungguh-sungguh, khususnya dari para pengurus, untuk mengembalikan kejayaan Fosgama sebagaimana di masa lalu. Kegiatan-kegiatan intelektual dan akademis yang dapat menunjang kemajuan Fosgama harus dirumuskan secara matang untuk kemudian direalisasikan.

Harapan kepada para pengurus untuk tidak mencanangkan program-program yang pengaruhnya hanya dirasakan dalam ruang lingkup Fosgama semata. Harus ada langkah-langkah lebih berani dan revolusioner. Kalau Gajah Mada bercita-cita mengajak atau bila perlu memaksa negara-negara dari Onio di ujung Timur sampai Tumasek di ujung Barat untuk menjadi bagian tak terpisahkan dalam satu dan bersatu, dalam persatuan dan kesatuan, di bawah bendera gula palapa, di bawah panji-panji Majapahit, kenapa kita tidak bercita-cita menjadikan Fosgama sebagai kiblat intelektual Masisir.

Cita-cita seperti itu memang terlalu muluk, namun masih dalam taraf yang masuk akal, makanya saya utarakan di sini. Tentunya tidak dengan cara-cara perang atau paksaan seperti para prajurit Majapahit di bawah pimpinan Gajah Mada. Tetapi, sebagaimana isyarat saya tadi, dengan merancang program-program atau kegiatan-kegiatan intelektual dan akademis yang berpotensi ke arah itu. Bagi segenap pengurus kiranya ini menjadi PR besar, perlu dibicarakan lebih lanjut dengan para senior Fosgama yang memiliki kontribusi signifikatif dalam ranah dinamika Masisir.

Saya mengambil sampel Gajah Mada tidak berarti memandang sebelah mata terhadap kaum perempuan Fosgama, tidak sama sekali. Gajah Mada yang saya hadirkan di sini adalah simbol semangat belaka, terlepas dari apakah ia laki-laki atau bukan. Dan jangan salah, perempuan-perempuan Madura sering dijuluki “gelas bergoyang”, yang sebenarnya diambil dari mitos, entah sumbernya dari mana, yang kira-kira seperti ini: “Di luar Madura sendok yang bergoyang, sedang di Madura gelas yang bergoyang.” Mitos ini bermakna, katanya, dalam hubungan seksual perempuan Madura lebih agresif daripada laki-laki. Saya minta maaf bila dirasa agak ngeres, tapi begitulah yang saya dengar.

Hal yang hendak saya tampakkan di sini bukan sisi ngeres-nya, tapi sisi lain yang lebih bermakna, yang menjadi ciri khas masing-masing laki-laki dan perempuan Madura, yaitu; keras hati, kukuh, rela berkorban dan pantang menyerah (laki-laki), luapan nafsu seksual membara (perempuan), di mana masing-masing merupakan golakan kekuatan yang berkobar dalam dada. Dan dalam konteks Masisir, sesuatu yang paling pas dijadikan muara pengalihan kekuatan itu adalah “semangat” belajar untuk kemudian melangkah maju melakukan revolusi guna mencapai masa depan Fosgama yang cerah.
 
posted by Roland Gunawan at 3:43 AM | Permalink |


1 Comments:


At 7:55 PM, Blogger CulaiNyongAmbon

Ass. Ya Apa Kabarnya Rodhi?, Lama Sekali Ya Kita Tak Jumpa Semenjak Dari TMI Dulu, kangen Rasanya Ama Temen2 Semua!. MOga Tambah Sukses Aja Man! Gak Nyangke Rambut Ente Tambah GOndrong! Abis Itu Tambah Tambem Lagi ...


Culaii....

 



"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"