Keresahan bisa menimpa siapa saja, tak terkecuali WIHDAH yang prihatin melihat kondisi interaksi lawan jenis di kalangan Masisir yang dianggap “melibas sekat pembatas”. Dari keprihatinan itu dibuatlah rekomendasi yang disampaikan pada sidang umum MPA-PPMI dua tahun lalu. Rekomendasi inilah yang sebenarnya menjadi titik tolak dibentuknya suatu tim yang khusus mengawasi interaksi antara lawan jenis yang kita kenal dengan TPIM (Tim Pemerhati Interaksi Masisir). Namun sejak awal pembentukannya, di bawah kendali BPA, sepak terjang tim ini sama sekali tidak membawa perubahan bagi pergaulan Masisir; yang dilakukan sekedar mencari data-data “kecurigaan” terhadap beberapa mahasiswa/i yang pergaulannya “sudah parah” tanpa memberikan solusi.
Sebagai sebuah tim, sebenarnya TPIM bisa dibentuk oleh siapa saja, baik BPA atau DPP. Namun, jika melihat fungsinya, DPP sebagai lembaga eksekutif nampak lebih layak menanganinya daripada BPA yang merupakan lembaga legislatif-yudikatif. Maka pada sidang pleno MPA-PPMI, DPP diserahi amanat untuk mengambil alih peran TPIM. Semula DPP ragu menerimanya, sebab konsepnya tidak jelas. BPA kemudian merumuskan undang-undang sebagai konsep dasar, yang segera diterjemahkan oleh DPP dalam bentuk riil.
Di bawah alihannya, DPP melakukan penyegaran, yang semula bernama TPIM, dirubah menjadi KPI (Komisi Peduli Interaksi). Tugas komisi ini adalah mendata atau menerima laporan tentang mahasiswa dan mahasiswi yang interaksinya terlihat melanggar syariat. Data-data yang diperoleh akan dikaji secara serius untuk dilihat sejauh mana kebenarannya. Jika terbukti benar, mahasiswa dan mahasiswi bersangkutan akan diserahkan kepada seseorang yang dianggap mumpuni (murabbî) untuk dinasehati (talaqqî), atau kalau perlu diterapi (tarbiyah).
Ada pertanyaan muncul di benak kita, benarkah interaksi Masisir sudah meresahkan sehingga perlu dibentuk TPIM atau KPI? Interaksi seperti apa yang dianggap melanggar syariat? Selama ini, interaksi Masisir tampak masih normal-normal saja. Dibandingkan dengan yang terjadi di tanah air, pergaulan Masisir belum ada apa-apanya, tidak ada yang patut diresahkan, apalagi sampai dibentuk tim atau komisi.
Harus diakui, belum lama ini kita dikejutkan oleh seorang mahasiswi yang hamil di luar nikah. Tapi ini tidak bisa dijadikan ukuran bahwa pergaulan Masisir sudah memprihatinkan. Barangkali ada yang mengatakan, “mencegah lebih baik daripada mengobati.” Malahan semboyan inilah yang bisa menjadi dalih untuk menjustifikasi aktivitas mencari-cari kesalahan orang lain.
Lagi pula, bagaimana KPI yang hanya beranggotakan segelintir orang itu akan “memata-matai” sekitar lima ribu mahasiswa/i (kira-kira bahasa apa yang pantas selain “memata-matai?”). Apakah KPI akan bekerjasama dengan kekeluargaan-kekeluargaan untuk mengorek pelbagai data. Kalau demikian, KPI itu tidak perlu dibentuk, DPP-PPMI cukup mengingatkan para pengurus kekeluargaan untuk mengawasi para anggotanya (tapi perlu diingat, kekeluargaan jangan membentuk KPI sendiri-sendiri!). Atau mungkin KPI akan bekerja sendiri sehingga memerlukan puluhan atau bahkan ratusan anggota, jika begitu maka KPI tidak perlu dibentuk, DPP-PPMI cukup mengingatkan setiap organisasi di bawahnya untuk menghimbau seluruh anggotanya.
Justru sebagai organisasi induk, DPP-PPMI harus berupaya mengembalikan Masisir kepada idealismenya sebagai penuntut ilmu. Dalam hal ini, yang perlu dibentuk sebetulnya bukanlah KPI (Komisi Peduli Interaksi), tapi KPIM (Komisi Pengembangan Intelektualitas Masisir).
Memang, di dalam struktur setiap organisasi yang ada di bawah DPP-PPMI terdapat bagian khusus yang menangani bidang keilmuan, seperti kajian, penerbitan buletin, jurnal dan buku. Bahkan, di dalam struktur DPP-PPMI sendiri juga terdapat bagian ini. Jika demikian, buat apa dibentuk KPIM segala? Justru karena tugas Masisir adalah menuntut ilmu, pembentukan KPIM lebih penting daripada KPI.
Ketika perhatian terhadap interaksi antara lawan jenis diletakkan di atas pengembangan intelektualitas, dan ini di kalangan mahasiswa, sungguh ironis sekali. Sejatinya pengembangan intelektualitas lebih diutamakan, tidak terdesak jauh ke belakang oleh perhatian terhadap interaksi. Rupanya, sejauh ini DPP-PPMI kurang menyadari bahwa membaca belum menjadi hobi Masisir; belum yakin bahwa membaca akan mampu menuntun Masisir ke arah kematangan intelektual dan emosional.
Atau lebih parah lagi kalau DPP-PPMI menganggap Masisir bisa menjadi pandai semata-mata dengan membaca secara terpaksa beberapa buku diktat kuliah. Bila para Masisir itu hanya dianggap perlu mendapat gelar sarjana, mereka tidak sedikit pun dipersalahkan. Karena sekarang ini banyak sarjana lulusan Al-Azhar yang hanya membaca sedikit buku dan lebih sedikit lagi menulis.
Kita sekarang dibenturkan pada kenyataan bahwa kebanyakan Masisir lebih suka berleha-leha daripada baca buku. Fakta ini tidak mengejutkan sekaligus tidak menggembirakan, tentunya tanpa mengurangi rasa hormat kepada kelompok minoritas yang serius menggeluti bidang kajian, kita lebih banyak tahu Masisir seperti tadi; lebih suka berleha-leha daripada menambah wawasan intelektual. Bahkan, fenomena yang akhir-akhir ini terjadi, banyak Masisir yang malah lebih suka membeli rokok daripada membeli buku.
Entahlah, kita tidak tahu kapan DPP-PPMI mampu menciptakan kondisi di mana Masisir suka membaca karena diyakini sangat signifikatif bagi masa depannya. Jawabnya, jika DPP-PPMI memiliki keyakinan bahwa banyak baca sudah berhasil menghantarkan manusia kepada kemajuan. Sayang, di lingkungan Masisir, keyakinan seperti itu ibarat api lilin yang kecil ditiup angin sangat kencang; sulit dipertahankan. Kancah persaingan di tanah air memperlihatkan bahwa minat baca Masisir masih di bawah rata-rata, makanya kita jangan heran bila Masisir ketika pulang ke tanah air tenyata banyak dipandang sinis dan dicemooh.
Untuk itu, pengembangan intelektual lebih penting daripada perhatian terhadap interaksi. Ketika DPP-PPMI mampu meningkatkan minat baca dan mampu mengembangkan kualitas intelektual Masisir, maka interaksi yang dicurigai “parah” dengan sendirinya akan teratasi. Sebaliknya, jika interaksi berjalan sesuai dengan “garis-garis yang dikehendaki” DPP-PPMI dengan KPI-nya, itu tidak menjamin intelektualitas Masisir akan maju.
Sebagai renungan, saya kutip lirik lagu Iwan Fals:
“Wahai presiden kami yang baru…
Masalah moral, masalah akhlak
biar kami urus sendiri
Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu…
akan kuangkat engkau
menjadi manusia setengah dewa.”
Sebagai sebuah tim, sebenarnya TPIM bisa dibentuk oleh siapa saja, baik BPA atau DPP. Namun, jika melihat fungsinya, DPP sebagai lembaga eksekutif nampak lebih layak menanganinya daripada BPA yang merupakan lembaga legislatif-yudikatif. Maka pada sidang pleno MPA-PPMI, DPP diserahi amanat untuk mengambil alih peran TPIM. Semula DPP ragu menerimanya, sebab konsepnya tidak jelas. BPA kemudian merumuskan undang-undang sebagai konsep dasar, yang segera diterjemahkan oleh DPP dalam bentuk riil.
Di bawah alihannya, DPP melakukan penyegaran, yang semula bernama TPIM, dirubah menjadi KPI (Komisi Peduli Interaksi). Tugas komisi ini adalah mendata atau menerima laporan tentang mahasiswa dan mahasiswi yang interaksinya terlihat melanggar syariat. Data-data yang diperoleh akan dikaji secara serius untuk dilihat sejauh mana kebenarannya. Jika terbukti benar, mahasiswa dan mahasiswi bersangkutan akan diserahkan kepada seseorang yang dianggap mumpuni (murabbî) untuk dinasehati (talaqqî), atau kalau perlu diterapi (tarbiyah).
Ada pertanyaan muncul di benak kita, benarkah interaksi Masisir sudah meresahkan sehingga perlu dibentuk TPIM atau KPI? Interaksi seperti apa yang dianggap melanggar syariat? Selama ini, interaksi Masisir tampak masih normal-normal saja. Dibandingkan dengan yang terjadi di tanah air, pergaulan Masisir belum ada apa-apanya, tidak ada yang patut diresahkan, apalagi sampai dibentuk tim atau komisi.
Harus diakui, belum lama ini kita dikejutkan oleh seorang mahasiswi yang hamil di luar nikah. Tapi ini tidak bisa dijadikan ukuran bahwa pergaulan Masisir sudah memprihatinkan. Barangkali ada yang mengatakan, “mencegah lebih baik daripada mengobati.” Malahan semboyan inilah yang bisa menjadi dalih untuk menjustifikasi aktivitas mencari-cari kesalahan orang lain.
Lagi pula, bagaimana KPI yang hanya beranggotakan segelintir orang itu akan “memata-matai” sekitar lima ribu mahasiswa/i (kira-kira bahasa apa yang pantas selain “memata-matai?”). Apakah KPI akan bekerjasama dengan kekeluargaan-kekeluargaan untuk mengorek pelbagai data. Kalau demikian, KPI itu tidak perlu dibentuk, DPP-PPMI cukup mengingatkan para pengurus kekeluargaan untuk mengawasi para anggotanya (tapi perlu diingat, kekeluargaan jangan membentuk KPI sendiri-sendiri!). Atau mungkin KPI akan bekerja sendiri sehingga memerlukan puluhan atau bahkan ratusan anggota, jika begitu maka KPI tidak perlu dibentuk, DPP-PPMI cukup mengingatkan setiap organisasi di bawahnya untuk menghimbau seluruh anggotanya.
Justru sebagai organisasi induk, DPP-PPMI harus berupaya mengembalikan Masisir kepada idealismenya sebagai penuntut ilmu. Dalam hal ini, yang perlu dibentuk sebetulnya bukanlah KPI (Komisi Peduli Interaksi), tapi KPIM (Komisi Pengembangan Intelektualitas Masisir).
Memang, di dalam struktur setiap organisasi yang ada di bawah DPP-PPMI terdapat bagian khusus yang menangani bidang keilmuan, seperti kajian, penerbitan buletin, jurnal dan buku. Bahkan, di dalam struktur DPP-PPMI sendiri juga terdapat bagian ini. Jika demikian, buat apa dibentuk KPIM segala? Justru karena tugas Masisir adalah menuntut ilmu, pembentukan KPIM lebih penting daripada KPI.
Ketika perhatian terhadap interaksi antara lawan jenis diletakkan di atas pengembangan intelektualitas, dan ini di kalangan mahasiswa, sungguh ironis sekali. Sejatinya pengembangan intelektualitas lebih diutamakan, tidak terdesak jauh ke belakang oleh perhatian terhadap interaksi. Rupanya, sejauh ini DPP-PPMI kurang menyadari bahwa membaca belum menjadi hobi Masisir; belum yakin bahwa membaca akan mampu menuntun Masisir ke arah kematangan intelektual dan emosional.
Atau lebih parah lagi kalau DPP-PPMI menganggap Masisir bisa menjadi pandai semata-mata dengan membaca secara terpaksa beberapa buku diktat kuliah. Bila para Masisir itu hanya dianggap perlu mendapat gelar sarjana, mereka tidak sedikit pun dipersalahkan. Karena sekarang ini banyak sarjana lulusan Al-Azhar yang hanya membaca sedikit buku dan lebih sedikit lagi menulis.
Kita sekarang dibenturkan pada kenyataan bahwa kebanyakan Masisir lebih suka berleha-leha daripada baca buku. Fakta ini tidak mengejutkan sekaligus tidak menggembirakan, tentunya tanpa mengurangi rasa hormat kepada kelompok minoritas yang serius menggeluti bidang kajian, kita lebih banyak tahu Masisir seperti tadi; lebih suka berleha-leha daripada menambah wawasan intelektual. Bahkan, fenomena yang akhir-akhir ini terjadi, banyak Masisir yang malah lebih suka membeli rokok daripada membeli buku.
Entahlah, kita tidak tahu kapan DPP-PPMI mampu menciptakan kondisi di mana Masisir suka membaca karena diyakini sangat signifikatif bagi masa depannya. Jawabnya, jika DPP-PPMI memiliki keyakinan bahwa banyak baca sudah berhasil menghantarkan manusia kepada kemajuan. Sayang, di lingkungan Masisir, keyakinan seperti itu ibarat api lilin yang kecil ditiup angin sangat kencang; sulit dipertahankan. Kancah persaingan di tanah air memperlihatkan bahwa minat baca Masisir masih di bawah rata-rata, makanya kita jangan heran bila Masisir ketika pulang ke tanah air tenyata banyak dipandang sinis dan dicemooh.
Untuk itu, pengembangan intelektual lebih penting daripada perhatian terhadap interaksi. Ketika DPP-PPMI mampu meningkatkan minat baca dan mampu mengembangkan kualitas intelektual Masisir, maka interaksi yang dicurigai “parah” dengan sendirinya akan teratasi. Sebaliknya, jika interaksi berjalan sesuai dengan “garis-garis yang dikehendaki” DPP-PPMI dengan KPI-nya, itu tidak menjamin intelektualitas Masisir akan maju.
Sebagai renungan, saya kutip lirik lagu Iwan Fals:
“Wahai presiden kami yang baru…
Masalah moral, masalah akhlak
biar kami urus sendiri
Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu…
akan kuangkat engkau
menjadi manusia setengah dewa.”