Hari Kamis siang kemarin saya datang ke rumah seorang teman. Sebenarnya tak ada maksud penting, saya hanya ingin mengantarkan file yang dimintanya pagi hari via telephon. Secara kebetulan dia baru datang kuliah, dan seperti biasa, sebagai basa-basi, saya bertanya perihal kondisi terakhir kampus. Dia bercerita, di kampus lagi ramai, hampir ribuan orang, mahasiswa-mahasiswi dan masyarakat Mesir sendiri, berjubel memenuhi halaman kampus. Saya bertanya gerangan apa di sana. Katanya, mantan presiden Iran, Khatami, menyampaikan ceramah di Auditorium Mohammad Abduh.
Meskipun tidak datang langsung, saya dapat membayangkan bagaimana keadaan kampus waktu itu; sesak. Sebab yang saya tahu, Auditorium Mohammad Abduh sempit sekali. Di samping itu teknologi yang dipakai juga jelek, sehingga suaranya agak terputus-putus. Banyak orang akan berdesak-desakan masuk, ingin tahu dan mendengar ceramah mantan presiden Iran tersebut.
Seperti yang nampak di layar televisi, sambutan masyarakat Mesir betul-betul hangat. Ketika Khatami hendak pergi, terlihat pada wajah-wajah mereka kekecewaan karena berat melepas kepergiannya. Tak pelak lagi lambaian-lambaian tangan mengiringinya, bahkan disertai kecupan-kecupan pula.
Seperti yang nampak di layar televisi, sambutan masyarakat Mesir betul-betul hangat. Ketika Khatami hendak pergi, terlihat pada wajah-wajah mereka kekecewaan karena berat melepas kepergiannya. Tak pelak lagi lambaian-lambaian tangan mengiringinya, bahkan disertai kecupan-kecupan pula.
Khatami memang "hebat". Dengan keahlian beretorika, juga pengetahuan yang luas, ia menyampaikan ceramahnya bak air sungai mengalir; tenang. Sikapnya yang santun, suaranya yang berwibawa sekaligus kata-katanya yang halus telah mampu membuat para hadirin berdecak kagum; seakan ada kekuatan sihir yang menarik pesona mereka. Dalam ceramahnya, Khatami lebih menitik beratkan pada penyelesaian konflik antaraliran dalam Islam (Ahl al-Sunnah – Syi`ah), seperti konflik di Iran, Irak dan Lebanon. Ia menghimbau kepada kaum Ahl al-Sunnah, dengan Al-Azhar sebagai lembaga pendidikan representatif, untuk tidak mempersoalkan lagi perbedaan antaraliran. Ia berjanji akan mengajak kaum Syi`ah melakukan hal serupa. Sudah saatnya umat Islam bersatu, katanya. Selain itu, ia sempat menyinggung tentang pembuatan nuklir, tetapi sayang tidak dijelaskan mengenai prospek pengembangannya.
Sebagai tokoh yang mempunyai pengaruh besar di Iran, kata-kata Khatami tidak bisa dipahami sederhana ceramahnya yang disampaikan tempo hari. Saya pribadi terus terang tidak bisa memastikan maksud kedatangannya ke Mesir, sebab informasi yang didapat masih simpang siur. Namun, kendati barangkali terlalu prematur, untuk sekedar mereka-reka, di sini bisa disebutkan kemungkinan terdekat; mencari dukungan politik. Beberapa faktor dapat dijadikan bahan renungan:
Pertama, saat ini Iran lagi semangat-semangatnya mengembangkan diri, berusaha untuk hidup secara independen, baik dari segi ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, lepas dari intervensi orang luar, terutama Amerika dan para sekutunya. Upaya pembuatan nuklir, serta ancaman embargo dari PPB yang sempat menimpanya, paling tidak, telah membuatnya merasa perlu mendapatkan dukungan politik. Demi tujuan ini, Iran mengirim beberapa tokohnya ke negara-negara "Islam". Kedatangan Khatami ke Mesir, juga Muktamar Parlemen Islam se-Dunia yang baru-baru ini dilaksanakan di Indonesia yang juga dibiayai oleh Iran, sekilas baca, berada pada konteks ini.
Seruan Khatami kepada kaum Ahl al-Sunnah untuk tidak mempersoalkan perbedaan sehingga konflik antaraliran dalam Islam akhirnya dapat diselesaikan, secara tak terduga, bisa saja menyimpan maksud lain. Ketika seruan Khatami itu benar-benar berhasil, peluang Iran untuk mendapatkan simpati dari seluruh umat Islam menjadi lebih besar.
Kedua, cita-cita penyatuan umat Islam di bawah naungan Khilafah Islamiyah. Mungkin ada yang bertanya perihal hubungan pendirian Khilafah Islamiyah dengan revolusi besar-besaran yang terjadi di Iran saat ini. Kita tahu wacana pendirian Khilafah Islamiyah sudah lama digulirkan. Namun hingga kini belum ada negara "Islam" yang benar-benar mampu merealisasikannya.
Tentu saja, untuk mendirikan Khilafah Islamiyah diperlukan negara yang kuat dalam segala bidang. Dan secara kebetulan, sekarang, Iran sedang mengerahkan segala daya-upaya untuk menjadi negara maju yang kuat, baik dari segi politik, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Menurut banyak orang, satu-satunya negara "Islam" yang paling memenuhi syarat menjadi sentral kekuatan Khilafah adalah Iran.
Pula, Muktamar Parlemen Islam se-Dunia di Indonesia, yang menghadirkan perwakilan dari lima belas negara, di antaranya adalah: Bahrain, Kuwait, Yaman, Jordan, Lebanon, Aljazair, Malaysia, Indonesia, Palestina, Maroko, Saudi Arabia, Turki, dan Iran sendiri, sumber biaya terbesar berasal dari Iran. Biaya yang dikeluarkan Iran untuk terselenggaranya acara tersebut, seperti dilansir di majalah Rosa El Yossef, mencapai 1 milyar Pound Mesir. Pada kesempatan ini perwakilan Ikhwan al-Muslimin berusaha mendeklarasikan Khilafah Islamiyah. Tapi tidak ada negara "Islam" representasi Ahl al-Sunnah yang dianggap bisa menjadi sentral Khilafah Islamiyah.
Harus diakui, dulu, ketika sedang kuat-kuatnya, kelompok Ahl al-Sunnah memang mampu memegang kendali Khilafah. Akan tetapi kali ini, setelah pelbagai kemunduran menimpa, Ahl al-Sunnah sudah tidak mampu lagi mengembalikan kejayaan Islam. Kemungkinan apapun dapat terjadi, Iran dengan kelompok Syi`ah-nya yang sudah semakin kuat bisa jadi berambisi mengambil kesempatan emas ini.
Dalam benak saya kadang terlintas kecurigaan, jangan-jangan kaum Syi`ah "merasa geram", karena sebagai kelompok mayoritas, Ahl al-Sunnah ternyata tidak memiliki kemampuan membawa Islam ke arah kemajuan. Meskipun ini dianggap terlalu mengada-ada, apalagi jika dikaitkan dengan ceramah Khatami di Auditorium Mohammad Abduh kemarin, namun kiranya perlu dipertimbangkan
Satu hal yang tidak boleh dilupakan, saat ini Syi`ah tengah menatap masa depannya yang gemilang. Sudah sekian lama mereka menunggu Imam Mahdi yang diyakini akan hadir di dunia. Untuk menyambut kedatangan "pemimpin pujaan" ini, segala persiapan perlu dilakukan secepatnya. Pendirian Khilafah Islamiyah bisa saja menjadi salah satu persiapan. Artinya, ketika nantinya Khilafah Islamiyah tersebut benar-benar terbentuk, maka mereka tinggal mendudukkan "pemimpin" yang dirindukan itu dengan mudah di atas singgasana.