Wacana keislaman di tanah air sudah menyaksikan gerakan besar-besaran. Setidaknya, hal itu ditandai dengan munculnya berbagai pemikiran liberal-progresif-transformatif yang dimotori beberapa pemikir Islam. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana sekelompok intelektual muslim muda, seperti yang tergabung dalam Komunitas Islam Utan Kayu, melahirkan Islam baru yang lebih akrab kita sebut "Islam liberal". Kemudian setelah itu, muncullah Islam-Islam lain yang tidak kalah oleh Islam liberal. Sekarang ini, Sudah zamannya Islam diberi embel-embel. Di Indonesia sendiri hampir tidak ada Islam tanpa embel-embel, Islam yang dibelakangnya terdapat segudang adjektif. Islam liberal, Islam fundamental, Islam radikal, Islam tradisional, Islam transformatif, Islam konservatif, Islam progresif, Islam militan, Islam kanan, Islam kiri, Islam emansipatoris, Islam ekstremis, Islam keras, Islam lunak, inilah Islam yang sekarang lagi marak di Tanah Air.
Tenyata gerakan pemikiran Islam tidak berhenti sampai di situ. Baru-baru ini, hadir pula "Islam komunis", yang kemunculannya membuat umat Islam terkejut, 'cemas' dan agak 'ketakutan'. Entah angin segar apa yang membawanya hadir meramaikan pasaran pemikiran. Kalau yang muncul Islam liberal atau Islam emansipatoris, masih bisa dipertimbangkan. Tapi, kalau yang muncul adalah Islam komunis, agaknya umat Islam harus berfikir sejuta kali untuk menerimanya. Sebab yang namanya komunis, dari dulu memang merupakan barang 'haram' yang tidak boleh seenaknya berkeliaran di tengah-tengah umat.
Umat Islam sepertinya memang trauma dengan peristiwa pembunuhan di Madiun terhadap sejumlah tahanan oleh laskar Pesindo yang berafiliasi dengan PKI pada tahun 1948. Peristiwa ini bisa dikatakan sebagai pukulan menyakitkan bagi umat Islam. Betapa tidak? Karena orang-orang yang terbunuh dalam peristiwa tersebut kebanyakan beragama Islam. Sehingga, sampai detik ini, orang Islam masih percaya bahwa peristiwa yang terjadi di Madiun itu merupakan pembantaian terhadap umat Islam. Di tambah lagi dengan "racun" lain berupa cerita tentang penyiksaan dan pembunuhan terhadap para jenderal di Lubang Buaya oleh "orang komunis kafir" yang melahirkan stigma bahwa komunisme identik dengan moral bejat dan atheisme. Akan tetapi cerita ini perlu dipertanyakan kembali akurasinya. Benarkah orang-orang PKI melakukan penyiksaan itu? Kalau iya, kenapa tim dokter yang melakukan autopsi melaporkan bahwa tak seorang jenderal pun yang menjadi korban mengalami siksaan?
Kita sama sekali tidak menafikan —seperti yang dijelaskan Budiawan dalam bukunya yang berjudul: Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto— adanya ketegangan antara kalangan Islam dan komunis yang dimulai sejak 1920-an. Tetapi ketegangan itu tidak pernah berkembang menjadi konflik dengan kekerasan, apalagi pertumpahan darah. Konflik terbuka baru terjadi di masa kemerdekaan, saat kekuatan-kekuatan politik mulai bertarung memperebutkan kepemimpinan republik. Jadi jelas, tidak ada sangkut pautnya dengan agama, hanya masalah politik semata, masalah duniawi. Ini saja sudah menunjukkan bahwa kaum komunis tidak seburuk apa yang selama ini meraja dalam benak kita.
Kalau dilihat dari sejarah, komunisme —menurut Jacques Leclerc— muncul pertama kali di Eropa sebagai akibat dari meluasnya paham "kiri". Kata "kiri" sendiri dalam kamus politik internasional, merupakan konsekuensi dari Revolusi Perancis; kata "kiri" seringkali digunakan dalam perempat abad XIX, yang menunjuk pada ide-ide wakil rakyat yang duduk di sebelah kiri Ketua di ruang Parlemen Perancis. Kata "kiri" juga digunakan, pada masa yang sama, di Inggris, tanpa dihubungkan dengan letak duduk anggota parlemen di ruang sidang. "Kiri" di Prancis mula-mula merupakan tuntutan "kedaulatan bangsa" untuk melawan "kedaulatan raja", mendukung demokrasi, menentang otoriterisme, memperjuangkan pemilihan umum melawan pemilihan censitaire (pemilihan yang mewajibkan para pemilih dan yang dipilih harus membayar pajak tertentu) dan menentang hak pilih yang hanya diberikan kepada orang-orang kaya.Pada saat paham "kiri" ini mulai meluas, munculah "sosialisme" dan "komunisme".
Ketiga paham tersebut saling berkaitan. Sebab ketiga-tiganya memiliki kesamaan ide yang berasal dari Revolusi Perancis, yaitu menjamin konstitusi, pengadaan lembaga-lembaga negara dan kedaulatan rakyat. Rakyat berhak memberontak pemerintahan despotis yang tidak mengakui kedaulatannya. Bila pemerintah ternyata melakukan pelanggaran terhadap hak-hak rakyat, maka pemberontakan adalah bagi rakyat dan merupakan bagian dari rakyat. Kedaulatan merupakan hak rakyat paling suci dan merupakan kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan. Komunisme juga ada kaitannya dengan doktrin politik tentang masyarakat tanpa kelas dan perjuangan yang dicetuskan oleh Karl Marx.Kalau memang demikian, apakah kita bersikeras melarang seorang muslim menganut komunisme? Dari sekian doktrin yang disebutkan tadi, saya kira tidak ada yang bertentangan dengan Islam. Kita tahu siapa itu Hasan Raid dan Achmadi Moestahal, keduanya bisa dikatakan sebagai "Muslim komunis", dibesarkan di lingkungan beragama yang kemudian condong pada komunisme tanpa meninggalkan keimanan pada agama, sebagaimana yang diceritakan oleh Budiawan dalam buku di atas.
Memang tidak mudah mengaitkan Islam dengan komunisme. Kendatipun demikian, tidak sedikit orang berpandangan —termasuk saya sendiri— bahwa Islam sama sekali tidak melarang komunisme. Dalam kaitannya dengan hal ini, sejumlah prinsip Islam harus diuraikan, ditafsirkan, untuk selanjutnya disimpulkan sehinga ruang teologis terbuka bagi komunisme.Kata komunis yang digunakan untuk memperkenalkan salah satu wacana baru dalam intelektualisme Islam memang mudah menuai kecurigaan, setidaknya, dari kalangan Islam sendiri. Dari sejumlah kritik, terutama yang bernada sinis, banyak yang lebih terpaku pada kata "komunis" sebagai adjektif dari kata "Islam". Maka wajar jika Islam komunis begitu mudah diidentikkan dengan "orang komunis" yang tidak beragama dan bermoral bejat, dalam pengertian yang peyoratif. Islam komunis, di kalangan masyarakat Islam, dipahami sebagai pemikiran dan sikap anti agama.
Berbicara mengenai sesuatu yang 'haram', termasuk masalah komunisme, memerlukan kejujuran dan keterbukaan. Kita dituntut melihat permasalahan dengan pikiran jernih, tidak asal main klaim saja. Komunisme jangan hanya direduksi menjadi faham kaum kafir yang menentang agama atau atheisme belaka. Kalau boleh berpendapat, saya katakan bahwa, pada dasarnya, semua paham yang diklaim sebagai ‘barang haram’, mulai dari sosialisme, komunisme dan isme-isme yang lainnya bukan tidak ada dalam Islam. Hanya saja Islam mempunyai sebuah prinsip yang senantiasa dipegang teguh, yaitu “khairu al-umuri ausathuha”, “sebaik-baiknya perkara adalah yang tengah-tengah, yang sedang-sedang saja”. Artinya harus ada balance dalam penerapannya, tidak terlalu condong ke kiri dan tidak pula ke kanan. Sebab umat Islam diciptakan sebagai “ummatan wasatha”. “Ummatan wasatha” ini jangan hanya diartikan sebagai umat penengah antara pemeluk agama Kristen, Yahudi dan pemeluk agama lainnya.
Akan tetapi harus juga pahami, bahwa dalam segala hal, umat Islam tidak boleh berlebih-lebihan, termasuk di antaranya dalam hal komunisme. Di era demokrasi sekarang ini, saya kira sudah waktunya membicarakan kebenaran dan rekonsiliasi untuk peristiwa 1965. Masalahnya sekarang, maukah mayoritas masyarakat Muslim memberi jaminan kultural bagi mereka penganut komunisme untuk dapat bergerak bebas. Dalam hal ini, sebenarnya, tergantung bagaimana kaum Muslimin memahami ajaran Islam apakah doktrin-doktrin teologis dicarikan kesepadanan dengan komunisme atau tidak. Tapi yang lebih signifikan dari itu adalah bagaimana kaum komunis diterima sebagai salah satu komunitas dalam masyarakat Islam. Semasa menjadi Presiden, Gus Dur pernah mengusulkan agar ketetapan MPRS tentang pelarangan PKI dicabut. Tetapi sayang, bukan hanya kecaman yang menimpa, malah menyeretnya turun dari jabatan.
*Kiyai Sepuh Afkar