Siapa yang tidak kenal Aminah Wadud, seorang tokoh wanita yang baru beberapa minggu yang lalu, tampil sebagai imam sekaligus khatib shalat jum`at yang berlangsung di Synod House, gereja Katedral St. John milik keuskupan di Manhattan, New York, Amerika Serikat.
Apa yang diperbuat Aminah Wadud, bisa dikatakan sebagai tindakan yang terlalu 'nekat' dan 'berani'. Sebab apa yang telah ia lakukan, hampir seluruhnya bertentangan dengan kebenaran aksiomatik agama yang sudah final (al-ma`lum min al-din bi al-dlarurah). Kontan saja, berbagai kritikan dan kecaman bahkan ancaman mengalir dari seluruh kalangan, tidak hanya di Amerika, akan tetapi dari segenap penjuru dunia. Sebelum kejadian, kita lihat, bagaimana Muhammad Syamsi Ali, wakil Direktur Pusat Kebudayaan Islam di New York, secara tegas menyatakan penolakannya. Tidak ketinggalan Majma' al-Fiqhi al-Islami (MFI), sebagai lembaga tertinggi dunia dalam memutuskan masalah-masalah yang berkenaan dengan hukum Fiqih Islam, mengecam keras aksi nyeleneh tersebut. Kemudian diikuti oleh sederet ulama besar sekaliber Dr. Yusuf Al-Qardhawi dan Dr. Sayyid Tantawi dan berbagai tokoh wanita seperti Dr. Su`ad Shaleh, Dr. Aminah Nashir, Dr. Mahjah Ghalib, Dr. Malakah Yusuf dan lain-lain yang juga menolak shalat Jum’at ala Aminah Wadud. Selain itu, ada juga sebagian orang yang tergabung dalam kelompok Islam radikal atau garis keras melakukan unjuk rasa mengecam keras tindakan Aminah Wadud yang teramat berani itu. Bahkan ada sebagian yang menganggapnya sebagai ‘wanita gila' dan 'tidak waras'.
Melihat banyaknya kritikan dan kecaman yang ada, paling tidak ada tiga muharramat (hal-hal yang dilarang) yang dengan gagah berani dilanggar oleh Aminah Wadud. Pertama, ia adalah seorang wanita yang menjadi imam bagi kaum laki-laki. Kedua, ia melakukan shalat Jum`at di Gereja. Ketiga, ia membolehkan bahkan membiarkan jamaah wanita dan pria yang berdiri sejajar dan berdampingan atau ber-ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan wanita)
Berbagai alasan dikemukakan untuk menguatkan penolakan terhadap pelanggaran yang dilakukan Aminah Wadud berkenaan dengan hal-hal di atas. Untuk lebih jelasnya, mari kita bahas satu-satu. Pertama, bolehkah seorang wanita menjadi imam bagi laki-laki? Terdapat dua hadits yang selama ini masih menjadi permasalahan. Hadits pertama berkenaan dengan ketidak bolehannya wanita menjadi imam. Karena al-Quran sendiri tidak menyinggung persoalan ini. Maka Hadis yang selalu dikemukakan oleh orang-orang mengharamkan wanita menjadi imam bagi laki-laki adalah hadis Ibnu Majah yang bersumber dari Jabir yang berbunyi,"Janganlah sekali-kali perempuan mengimami laki-laki, Arab Badui mengimami Muhajir (mereka yang ikut hijrah bersama nabi ke Madinah), dan pendosa mengimami mukmin yang baik." Hadis inilah yang sering dikemukakan di banyak tempat, untuk menopang argumen yang tidak membolehkan perempuan mengimami laki-laki dalam salat. Banyak orang mengimani hadis ini sedemikian rupa, tanpa melakukan kritik atas matan atau isinya. Banyak orang yang seringkali menggunakan hadis kalau sanad-nya sudah dianggap benar (shahih). Padahal, Imam Nawawi sendiri sudah mengatakan dalam kitabnya bahwa hadis ini dla`if (lemah). Hadis kedua adalah yang membolehkan wanita menjadi imam bagi laki-laki. Dalam hal ini kita bisa menunjuk pada hadis Ummi Waraqah yang lebih kuat keabsahan sanad, apalagi matannya. Hadis itu berbunyi," Nabi pernah berkunjung ke kediaman Ummi Waraqah, lalu menunjuk seseorang untuk azan, dan memerintahkan Ummi Waraqah untuk mengimami keluarganya. Di antara orang yang ada di kediaman Ummi Waraqah tersebut terdapat syaikhun kabîr wa ghulâmuhâ wajâriyatahâ atau seorang laki-laki lanjut usia dan seorang budak laki-laki dan perempuan. Hadis ini lebih sahih dari pada hadis pertama tadi dari sisi sanad, apalagi matan. Untuk dapat dicek lebih lanjut, ini dapat ditemukan di kitab Mukhtashar Sunan Abi Da’ud. (lihat wawancara Ulil Abshar Abdallah dengan KH Husein Muhammad)
Melalui hadis tadi, kita bisa mengira-ngira; mungkin saja penghuni rumah tersebut perempuan semua. Tapi menurut saya, pernyataan di dalam hadis itu sudah sangat jelas, apalagi kalau kita lihat ungkapan tekstualnya. Di situ jelas dinyatakan bahwa, yang ikut salat terdiri dari orang lanjut usia (laki-laki), seorang anak laki-laki (ghulam) dan perempuan (jariyah). Kalau kita merujuk pada ulama klasik, kita akan menemukan Imam al-Thabari yang membolehkan wanita menjadi imam bagi laki-laki dalam shalat Tarawih berdasarkan pada hadis di atas.
Bahkan ada sebuah hadis yang berbunyi "Man shahhat shalatuhu, shahhat imamatuhu". Artinya, "Barang siapa yang sah shalat, sah pula keimamannya). Di sini kata 'man' bersifat umum dan untuk siapa saja. Jadi, baik laki-laki atau pun wanita, sepanjang shalatnya benar dan memenuhi syarat, dibolehkan menjadi imam. (lihat, Masdar F. Mas`udi, Fiqih Perempuan)
Kedua, bolehkah shalat di Gereja? Saya kira, dalam masalah ini, banyak sekali hadis yang bisa dijadikan landasan. Walaupun tidak secara eksplisit menjelaskan bolehnya shalat di Gereja, akan tetapi kita bisa melihat indikasi-indikasinya. Hadis Abi Dzar bisa kita jadikan landasan, hadis itu berbunyi :….di mana saja kamu bertemu dengan shalat, shalatlah, di sana adalah masjid." Selain hadis ini, masih banyak lagi hadis yang lebih gamblang menjelaskan hal itu, misalnya hadis Ibrahim bin Zaid, Jabir bin Abdillah, Hudzaifah, Abi Hurairah dan lain-lain. Jadi, kita bisa shalat di mana saja, yang penting tempatnya suci dan bersih (bukan di kamar mandi), mau di Masjid, di Gereja atau mungkin di Kuil, sama saja. Toh sama-sama tempat ibadah. Dr. Sayyid Tanthawi malah membolehkan shalat di Gereja. Yang penting niatnya ikhlas kepada Tuhan, dan menghadap Ka`bah. (lihat Shawt al-Azhar)
Ketiga, inilah yang menurut saya kurang mengenakkan, yaitu alasan tidak dibolehkannya ikhtilath antara laki-laki dan wanita dalam shalat, bahwa tubuh wanita bisa merangsang hawa nafsu kaum laki-laki. Sedangkan shalat merupakan ibadah yang membutuhkan adanya kekhusyukan hati, ketenangan jiwa dan konsentrasi dalam berhadapan dengan Tuhan. Oleh sebab itu, wanita seharusnya tidak menjadi ber-ikhtilath dengan kaum laki-laki dalam shalat. Alasan seperti ini saya anggap sebagai penghinaan terhadap kaum laki-laki. Betapa tidak? Sebab di sini laki-laki terlalu dijelek-jelekkan, laki-laki dianggap seolah-olah memiliki 'libido' yang tidak sewajarnya, sehingga dalam suasana ibadah pun, seperti shalat misalnya, kadang-kadang bisa melonjak hendak keluar mencari tempat pelampiasan. Padahal dalam al-Qur`an, Tuhan secara tegas menyatakan bahwa, baik laki-laki dan wanita, semuanya diciptakan dari satu jiwa (min nafsi wahidah). Jika ini kita jadikan pijakan, maka jangan ada lagi anggapan yang membeda-bedakan antara laki-laki dan wanita, keduanya memiliki nafsu yang sama, besar ataupun kecil. Oleh karenanya, alasan bahwa tubuh wanita dalam shalat berjama`ah dapat merangsang 'nafsu seks' laki-laki, terkesan terlalu mengada-ada yang nampaknya memang sengaja dibuat-buat oleh sekelompok orang yang takut kedudukan yang selama ini berada dalam genggamannya dirampas kaum wanita. Apa lagi memang, tidak ada satu hadits pun dari Rasulullah yang nyata-nyata menegaskan larangan ikhtilath antara laki-laki dan wanita.
*) Direktur IKBAL Underground