Sekarang ini, di tanah air kita, lagi marak-maraknya gerakan anti liberalisme. Hal ini ditandai dengan masuknya pemikiran-pemikiran Hizbu al-Tahrir di dunia pesantren. Nama-nama seperti Ulil Abshar Abdalla, Luthfi As-Syaukani, Mun`im A. Sirry, Zuhairi Misrawi, Guntur Romli dan beberapa tokoh pengusung liberalisme Islam di Indonesia adalah nama-nama yang sudah masuk “daftar hitam”, nama-nama yang bisa dikatakan harus diwaspadai. Ini merupakan fenomena menarik yang perlu mendapatkan perhatian serius. Dari sini nampak sekali betapa akan sangat mudahnya kita memotret masa depan liberalisme di Indonesia yang kita tahu sebagai negara besar dengan pluralitas masyarakatnya, atau bahkan di dunia Islam secara umum. Jelas bahwa masa depan liberalisme akan suram.
Bagaimanapun trend pemikiran liberal tidak akan menemukan sinar terang yang sebenarnya dalam suatu masyarakat atau pada suatu konteks kultural tertentu kecuali jika ia diakui oleh aliran politik yang banyak dan keterbukaan ekonomi yang gemilang. Kita tahu bahwa faktor-faktor ini pada masyarakat-masyarakat tertentu setelah kemerdekaan masih belum ada. Oleh sebab, banyak dari kaum intelektual liberal Muslim masih terpinggirkan dan sama sekali tidak membuahkan pengaruh terhadap masyarakat-masyarakatnya. Maka berbagai pemikiran, sikap dan mentalitas yang mereka miliki dan yang sedang dipublikasikan, dari segi psikologi masih mustahil, dari segi budaya masih nampak asing, dan dari segi politik masih bersifat soltisial (berubah-ubah). Saya mengakatakan bersifat soltisial khususnya ketika dikaitkan dengan generasi-generasi baru yang tumbuh dan berkembang di bawah naungan sistem-sistem satu partai setelah tahun lima puluhan atau emam puluhan (atau katakan sistem-sistem “negara – bangsa – partai”).
Sebenarnya sangat dimungkinkan bagi Barat untuk berperan sebagai mediator pembantu kalau tidak karena ejekannya terhadap urusan-urusan keislaman, ketidakpeduliannya akan nasib bangsa-bangsa ini dan penganutannya terhadap strategi-strategi yang hegemonik terhadap bangsa-bangsa lain. Saat ini kita semua menyaksikan betapa pemikiran liberal tengah menghadapi (bahkan di Eropa Barat dan Amerika Utara sebagai tempat kelahiran dan penyebarannya) banyak protes dan penentangan. Sebagaimana ia juga mengalami berbagai kekurangan dan berpalingnya banyak orang darinya, karena para pemikir dan penulis masih belum mendapatkan cara yang benar-benar jitu untuk menghilangkan kekurangan-kekurangan ini dan cara untuk melawan banyak penentangan terhadapnya. Dan sesuatu yang aneh dan paradoks adalah, pada saat liberalisme berhasil mendepak komunisme serta menguasai dunia tanpa ada yang memperselisihkannya serta menjadi arah setiap aktifitas sejarah manusia berikut setiap efektifitas dan efesiensi ekonomi, saya katakan pada saat itu juga, kita melihat terjadinya krisis dalam nalar politik liberal dan kebingungannya di hadapan “The End Of Hostory” atau The End dari macam sejarah tertentu. Sebagaimana kita menyaksikan ketidakmampuan Barat liberal untuk memecahkan problem-problem yang terpendam atau yang sempat ditangguhkan dalam waktu yang cukup lama, kemudian sekarang muncul kembali dengan sangat kuatnya. Sebenarnya, problem-problem ini sudah berhasil diredam oleh sistem-sistem totaliter – diktator, akan tetapi sekarang muncul kembali setelah liberalisme menduduki singgasana kepemimpinan dunia. (lihat misalnya masalah Yogoslavia, Armenia atau sebagian negara Uni Soviet yang sedang sekarat).
Efek-efek samping dari hal itu hingga sekarang masih ada. Dan Tidak mungkin bagi liberalisme Islam untuk terbebas dari efek-efek iklim baru yang dipenuhi ketidakjelasan dan dan kesekonyong-konyongan tersebut, suatu iklim yang dipenuhi kekacauan dan krisis hukum dan nilai-nilai dalam skala internasional. Bagaimana mungkin kita turut campur melakukan kritik nilai dan referensi-referensi legitimasi Islam pada saat di mana instrumen-instrumen kritik pemikiran kehilangan efektifitas praktisnya? Bagaimana mungkin kita melakukan itu pada saat di mana persoalan moral mempunyai signifikansi pasti, pada saat di mana kaum Muslimin berpijak di atas kebergantungan terhadap Islam yang tertutup dan dogmatis? Mereka melakukan itu supaya tidak tenggelam dalam lumpur kekacauan universal yang lebih berbahaya bagi masyarakat daripada kondisi yang merupakan warisan politik satu partai! (yaitu politik yang ada pada fase setelah kemerdekaan kira-kira selama tiga puluh tahun. Bagaimanapun, rakyat membutuhkan ketenangan dan keamanan, sebagaimana mereka butuh sebuah identitas sebagai sandaran yang bisa menjaga dan mempertahankannya.
Dikatakan demikian, kalau kita memperhatikan ritual-ritual keagamaan sistem republik Prancis misalnya, atau prilaku asosiasi-asosiasi buruh serta partai-partai politik atau birokrasi, tentunya ini semua akan memudahkan terjadinya ekspansi sosial – kultural positifitas baru bagi nalar. Semua revolusi, termasuk di dalamnya apa yang dilakukan oleh para pendiri agama-agama wahyu menggunakan simbol perubahan mendasar ini, akan tetapi tidak sampai berakibat pada terjadinya keterputusan absolut dengan masa lalu. Kembalinya masa lalu atau sebagian darinya merupakan sesuatu yang mungkin terjadi, hatta setelah terjadinya revolusi atau perubahan besar (lihat terjadinya revolusi Prancis yang merupakan revolusi paling radikal dalam sejarah. Selama abad kesembilan belas telah terjadi vitalisasi sistem kerajaan konservatif lebih dari satu kali. Padahal diharapkan atau diasumsikan sudah berakhir untuk selamanya. Lihat juga terjadinya revolusi sosialisme Arab pada masa Abdul Nashir. Diyakini hal itu sudah menjadi sekuler dan memutus hubungan dengan masa lalu, akan tetapi dengan tanpa disadari malah menghadirkan revolusi fundamentalisme Islam...)