Dr. Ahmad Syauqie al-Fanjary**
Di Saat badai politik baru seputar Islam dan kaum Muslimin menderu, Mr. Jack Streo, menteri urusan parlemen Inggris, yang sebelumnya adalah menteri luar negeri, kembali membahas masalah kaum perempuan berniqab di Inggris. Dia menunjukkan adanya sejumlah besar dari kaum Muslimin di daerah pemilihannya, mayoritas mereka berasal dari Saudi Arabia dan beberapa negara Teluk yang kaya dengan minyak, yang secara mengejutkan membeli kewarganegaraan Inggris.
Pada waktu diadakan pertemuan pemilihan umum, dia dikejutkan oleh hadirnya perempuan-perempuan berniqab. Setiap orang dari mereka bersikeras untuk tidak menampakkan wajahnya ketika petugas kepolisian memintanya untuk mengetahui kewarganegaraan dan identitasnya.
Ketika menteri mengetahui hal itu, kehadiran mereka ditolaknya. Sang menteri memberi mereka dua pilihan, melepaskan niqab atau keluar dari gedung pertemuan. Peristiwa ini terjadi di saat persaingan politik sedang memanas antara partai-partai Inggris yang sebagian besar adalah para buruh dan kaum konservatif yang lebih memperhatikan perolehan suara dari para pemilih tanpa melihat agama dan bajunya. Tentu saja masalah ini memancing munculnya statemen-statemen kontradiktif serta dialog terbuka di media-media informasi, pers, dan televisi tentang fenomena niqab dan Islam. Inggris adalah negara yang demokratis, bebas dan berpendidikan, sehingga masalah apapun yang secara langsung menyentuh masa kini dan masa depan negara, tidak akan lewat begitu saja tanpa didiskusikan secara bebas dan dipelajari dimensi-dimensi berikut akibat-akibatnya. Sebagai hasil pertamanya, Dewan Kementerian Inggris memutuskan memecat pengajar Muslimah Inggris, Aisyah Azmi, yang bersikeras menggunakan niqab ketika menyampaikan pelajaran kepada para siswa.
Semua orang Eropa menyaksikan dan melihat dengan mata kepala sendiri berita yang dipublikasikan oleh media-media informasi dunia seputar beberapa siswi sekolah di kota Riyadh ketika terjadi kebakaran di ruang ganti pakaian sekolah. Kebetulan di ruangan tersebut terdapat beberapa siswi. Karuan saja para siswi itu terkejut, mereka berusaha lari keluar untuk menyelamatkan diri dari ganasnya api, dan mereka lupa menggunakan niqabnya kembali. Ketika melihat mereka keluar tanpa menggunakan niqab, beberapa orang Wahabi memukuli mereka dan memaksa mereka untuk masuk kembali ke dalam ruangan, padahal api sudah semakin ganas mengamuk. Begitu mereka masuk, orang-orang Wahabi itu kemudian menutup dan mengunci pintunya. Berteriaklah mereka meminta pertolongan, tapi sayang, tidak ada yang memperdulikan, tidak ada yang tersentuh hatinya untuk menolong. Maka api yang kian ganas itu pun melahap, merekapun terpanggang, menggelepar menghadapi maut yang tak terlawan. Akhirnya 37 siswi meninggal dengan cara yang mengenaskan; mati penasaran. Menurut pandangan orang-orang Wahabi lebih baik para siswi itu mati terbakar api daripada keluar menampakkan wajahnya!! Para pemadam kebakaran dan petugas kepolisian tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali setelah siswi-siswi itu menjadi arang.
Tentu saja dialog di antara partai-partai Inggris terpusat pada Islam, ketika orang-orang Wahabi mengklaim bahwa Islam memerintahkan menggunakan niqab dan menganggapnya sebagai kewajiban bagi setiap perempuan Muslimah. Menurut mereka, perempuan yang melepaskan niqab atau berkeliaran di jalan-jalan tanpa niqab dan hijab adalah pezina, tidak ada hukuman yang lebih pantas kecuali neraka. Perempuan, kendati hanya bersalaman dengan laki-laki dianggap telah berbuat zina, demikian juga perempuan yang menggunakan Farfum. Suatu ketika saya pernah diundang oleh sekelompok perempuan Muslimah di New York untuk berbicara tentang Islam, ketika itu saya ditemani oleh dua orang kawan yang menjadi dokter di Amerika. Dua orang kawan saya ini juga mempunyai antusiasme dalam mempelajari Islam. Ketika salah satu dari kawan saya ini menjulurkan tangan untuk bersalaman, dengan gerakan histeris perempuan-perempuan menyembunyikan tangan mereka di balik punggung. Kemudian salah seorang dari mereka berkata: “Agama Islam melarang perempuan bersalaman atau bersentuhan tangan dengan laki-laki.” Ini adalah permulaan yang hanya akan membuat Islam semakin buruk, baik di antara mereka sendiri, ataupun di antara para tamu yang hadir ketika itu. Terpaksa saya katakan kepada mereka: “Ini adalah pemikiran-pemikiran yang salah. Orang-orang Wahabi sengaja menyebarkannya untuk memperburuk Islam. Tidak ada perintah atau teks dalam al-Qur’an dan hadis shahih tentang masalah seperti ini.”
Kembali pada masalah niqab dan bagaimana Islam menyikapinya. Dalam Islam tidak ada satupun perintah menggunakan niqab, baik dalam al-Qur’an dan hadis. Orang-orang Wahabi dengan kebodohannya telah berusaha menafsirkan firman Tuhan dalam surat al-Nur: “Hendaklah mereka [kaum perempuan] menutupkan kain kudung ke dadanya.” Ayat ini mereka artikan “menutupkan kurung ke wajah.” Jelas ini adalah penafsiran yang menyimpang dan menyesatkan. Dalam buku “al-Sunnah Bayn al-Fuqaha' wa al-Ushuliyyin”, Syaikh Muhammad al-Ghazali menanggapi penafsiran mereka dengan berpendapat, kalau memang maksudnya seperti yang mereka klaim, maka ayat tersebut akan berbunyi: “Hendaknya mereka [kaum perempuan] ke wajahnya.” Sedangkan kata “`alâ juyûbihinna”, di sini makna “jayb” adalah permukaan dada di antara dua gundukan (=dua payudara). Kalau ini, menurut kesepakatan ulama, adalah aurat yang harus ditutupi demi mencegah timbulnya rangsangan seksual (al-ighrâ’ al-jinsî), bisa ditutupi dengan pakaian modern tanpa harus menggunakan niqab.
Sunnah Nabi telah menegaskan hal ini. Rasulullah Saw. menerima istri-istri para sahabat sedang wajah-wajah mereka terbuka (kâsyifât al-wujûh). Nabi berbicara kepada mereka tentang masalah agama, masalah-masalah kehidupan secara umum dan masalah-masalah yang bersifat khusus. Mereka hadir shalat jama`ah langsung di belakang beliau di Masjid, dan beliau sama sekali tidak mencegah mereka melakukan itu karena wajah mereka terbuka. Rasulullah berkata: “Lâ tanqib al-muhrimah, walâ talbas al-qafâzîn,” “janganlah perempuan yang [sedang] melakukan ihram berniqab, dan jangan pula menggunakan kaos tangan.” Demikianlah, di tempat paling suci, yaitu Masjid Haram, niqab diharamkan, barang siapa yang sengaja menggunakannya, maka hajinya menjadi batal, dan barang siapa menggunakan karena lupa atau tidak tahu, maka dia diharuskan membayar kaffârah dan fidyah (denda). Inilah sikap Islam sebagai agama terhadap niqab, sama sekali tidak memerintahkannya, bahkan memakruhkan dan mengharamkannya.
Kalau kita lihat dari peradaban manusia, niqab adalah bukti keterbelakangan, kebodohan dan tidak manusiawi. Menyembunyikan wajah manusia, manusia apapun, perempuan atau laki-laki, lebih buruk daripada dipenjarakan seumur hidup, tak jauh beda dengan membunuhnya tanpa dosa. Kalau niqab hanya dikhususkan bagi perempuan saja tanpa laki-laki, maka ini merupakan sebentuk diskriminasi rasial dan anti persamaan. Jelas, ini adalah kedhaliman.
Perempuan berniqab hidup terasing dari peradaban, ilmu pengetahuan dan kehidupan. Dapatkan kita bayangkan seorang perempuan berniqab belajar di Universitas kemudian menjadi dokter atau arsitektur atau pengacara. Adakah manusia berakal dan terpelajar mau pergi ke dokter perempuan berniqab untuk berobat atau mengobati istrinya sementara dia tidak melihat wajahnya atau tidak mengetahui identitasnya. Adakah manusia berakal datang ke arsitektur perempuan yang berniqab untuk memintanya membuat rancangan bangunan. Atau adakah manusia berakal yang meminta pengacara perempuan berniqab untuk membelanya di pengadilan. Niqab adalah bid`ah Wahabiyah yang dipaksakan oleh orang-orang bodoh. Tidak ada perintah menggunakan niqab kecuali di Saudi Arabia, tidak pada dunia Islam secara keseluruhan. Tujuannya jelas, agar perempuan tetap dalam kebodohan; tidak dapat mengalahkan laki-laki.
Dalam sejarah terdapat kisah terkenal tentang niqab. Di masa Rasulullah Saw., kaum perempuan ikut berperan bersama kaum laki-laki dalam masalah-masalah kehidupan dan masyarakat. Di antara mereka ada yang jadi dokter seperti Rafidah, ada ahli perang seperti Ummu Haram yang kemudian mati syahid dalam perang Qabrash. Mereka hadir di Majlis Rasulullah Saw. dengan wajah terbuka (sâfirah al-wajh), mereka [dibolehkan] menyampaikan pendapat dalam masalah politik, peperangan dan perdamaian, contohnya seperti Ummu Salamah. Pernah suatu ketika Rasulullah memujinya dengan berkata: “Alangkah bagusnya pendapatmu, hai, Ummu Salamah, denganmu Allah telah menyelamatkan kaum Muslimin dari azab yang besar.”
Di masa-masa keemasan Islam, baik pada masa dinasti Umawiyah atau Abbasiyah, perempuan mempunyai peranan penting dalam masalah-masalah kehidupan, khususnya dalam masalah agama, fikih dan dakwah. Siti Aisyah bahkan menjadi guru agama bagi para tokoh agamawan dan ulama.
Namun, di masa dinasti Mamalik berkuasa, Islam dilanda krisis; Islam menjadi terbelakang. Para pasukan yang seharusnya menjaga rakyat, ketika melihat perempuan cantik di jalan, mereka langsung menculiknya dan memperkosanya. Ini banyak terjadi di jalan-jalan Baghdad, Cairo dan Damaskus. Hal ini tentu saja membuat para perempuan kuatir dan ketakutan, sehingga terpaksa mereka menutupi wajah dengan niqab. Niqab menjadi ‘tempat’ pelarian dan persembunyian, bukan sebagai perintah atau kewajiban agama. Kondisi seperti ini terus berlangsung hingga masa dinasti Utsmaniyah dan imperialisme Inggris dan Prancis. Tetapi fenomena kemudian meredup bersamaan dengan munculnya para tokoh reformer dan pejuang di Mesir, termasuk di antara pelopornya adalah Qasim Amien, Huda Sya`rawi, dan para agamawan tercerahkan seperti Muhammad Abduh dan Syaikh Muhammad al-Ghazali. Sehingga pemerintahan Mesir dan partai nasional dituntut untuk membentuk undang-undang yang melarang niqab, dimulai dari sekolah-sekolah serta pelayanan-pelayanan umum.
Munculnya niqab di London, Paris juga Amerika disebabkan oleh Wahabisme yang merupakan aliran ekstrem dan menyimpang dari ajaran Islam. Para tokoh agamanya adalah orang-orang bodoh. Kurangnya orang-orang terpelajar telah membuat mereka tidak bisa melampaui fase al-Kitab (artinya mereka masih terjebak pada penafsiran terhadap al-Qur’an secara literal). Akan tetapi nasib buruk nampaknya menjadi takdir bagi Islam, orang-orang Wahabi memiliki kekayaan yang tak terhitung, terutama kekayaan minyak. Alih-alih menggunakan harta itu untuk kebaikan dan proyek-proyek yang bermanfaat, mereka malah menggunakannya sebagai ‘propaganda’, mereka membagi-bagikan hartanya hanya kepada orang yang mau mengikuti aliran mereka; menjadi Wahabi!!
Propaganda ini tidak hanya terbatas di dunia Arab – Islam, bahkan sudah sampai pada para imigram Muslim di Eropa dan Amerika yang jumlahnya mencapai 37 juta jiwa. Untuk memenuhi hak aliran ini, saya telah memberikan penjelasan cukup gamblang yang tak butuh penjelasan lain dalam buku, “Mafâhîm Khâthi’ah Tu’akhkhir al-Muslimîn” terbitan Madbouli.
Serangan terhadap Islam di Eropa tak lain hanyalah konsekuesi logis dari apa yang selama ini mereka lihat sebagai tindakan-tindakan dan prilaku-prilaku sebagian kaum Muslimin yang tereprentasikan dalam Wahabisme.
Serangan terhadap Islam diawali dengan dimuatnya karikatur yang merupakan penghinaan terhadap Rasulullah Saw. di salah satu koran Denmark. Dan baru-baru ini Paus Patikan mengatakan bahwa Islam adalah agama pedang, teroris. Setelah itu beberapa partai kanan di Eropa membuat film lucu (komedi) tentang Rasulullah. Dalam film tersebut Rasulullah digambarkan sebagai laki-laki yang memakai sorban besar dengan pedang di pinggang, di dadanya terdapat bom-bom, sementara di belakangnya berjalan empat orang istrinya yang berniqab.
Kita berharap setelah peristiwa niqab, tidak akan terjadi lagi serangan terhadap Islam di Inggris. Kalau itupun terjadi, maka sebab sebenarnya ada dalam diri kita, dan kita tidak bisa menyalahkan atau mencela kecuali diri kita sendiri selama orang-orang Wahabi yang ekstrem itu berbicara atas nama kita; Islam.
Belakangan ini Islam telah menjadi agama yang paling cepat menyebar dan dihormati di seluruh dunia. Sesuatu yang perlu dicermati, bahwa orang-orang yang memeluk Islam adalah para ilmuan, peneliti dan sejarahwan yang telah melakukan studi dan penelian selama bertahun-tahun untuk menggapai kebenaran.
Kalau saat ini banyak orang yang terlihat anti terhadap Islam, itu disebabkan oleh apa yang mereka lihat dari tindakan dan prilaku orang-orang Wahabi. Pemanfaatan kekayaan minyak serta pemahaman-pemahaman bodoh mereka telah membuat Islam tak ubahnya seperti tempat yang gelap dan menyeramkan. Makanya reformasi Islam tidak harus dilakukan dengan memutus hubungan dengan Barat, demonstrasi-demonstrasi dan membakar gedung-gedung kedutaan. Reformasi harus dilakukan dari dalam dengan melarang Wahabisme dan menghapusnya.
Saya berharap Mesir menjadi pelopor dalam pembaharuan dan kemajuan di dunia Islam seluruhnya, menjadi teladan dan contoh ideal dalam merumuskan undang-undang pelarangan niqab, sehingga tidak hanya Islam yang terselamatkan, kaum perempuan Muslimah juga akan terselamatkan. Langkah pertama yang perlu segera dilakukan adalah melarang niqab di sekolah-sekolah dan pelayanan-pelayanan umum.
Dan yang lebih penting lagi, al-Azhar harus mempunyai keberanian untuk mengeluarkan penjelasan yang tegas bahwa Islam tidak pernah, dan tidak akan pernah memerintahkan niqab, bahkan melarangnya dalam haji dan umrah. Perempuan berniqab hajinya tidak diterima Tuhan, bahkan dianggap batal.
* Diterjemahkan dari Majalah Rosa El Yossef, Edisi 4088, 14 Oktober 2006
** Peneliti dan Pemikir Islam Mesir
Di Saat badai politik baru seputar Islam dan kaum Muslimin menderu, Mr. Jack Streo, menteri urusan parlemen Inggris, yang sebelumnya adalah menteri luar negeri, kembali membahas masalah kaum perempuan berniqab di Inggris. Dia menunjukkan adanya sejumlah besar dari kaum Muslimin di daerah pemilihannya, mayoritas mereka berasal dari Saudi Arabia dan beberapa negara Teluk yang kaya dengan minyak, yang secara mengejutkan membeli kewarganegaraan Inggris.
Pada waktu diadakan pertemuan pemilihan umum, dia dikejutkan oleh hadirnya perempuan-perempuan berniqab. Setiap orang dari mereka bersikeras untuk tidak menampakkan wajahnya ketika petugas kepolisian memintanya untuk mengetahui kewarganegaraan dan identitasnya.
Ketika menteri mengetahui hal itu, kehadiran mereka ditolaknya. Sang menteri memberi mereka dua pilihan, melepaskan niqab atau keluar dari gedung pertemuan. Peristiwa ini terjadi di saat persaingan politik sedang memanas antara partai-partai Inggris yang sebagian besar adalah para buruh dan kaum konservatif yang lebih memperhatikan perolehan suara dari para pemilih tanpa melihat agama dan bajunya. Tentu saja masalah ini memancing munculnya statemen-statemen kontradiktif serta dialog terbuka di media-media informasi, pers, dan televisi tentang fenomena niqab dan Islam. Inggris adalah negara yang demokratis, bebas dan berpendidikan, sehingga masalah apapun yang secara langsung menyentuh masa kini dan masa depan negara, tidak akan lewat begitu saja tanpa didiskusikan secara bebas dan dipelajari dimensi-dimensi berikut akibat-akibatnya. Sebagai hasil pertamanya, Dewan Kementerian Inggris memutuskan memecat pengajar Muslimah Inggris, Aisyah Azmi, yang bersikeras menggunakan niqab ketika menyampaikan pelajaran kepada para siswa.
Semua orang Eropa menyaksikan dan melihat dengan mata kepala sendiri berita yang dipublikasikan oleh media-media informasi dunia seputar beberapa siswi sekolah di kota Riyadh ketika terjadi kebakaran di ruang ganti pakaian sekolah. Kebetulan di ruangan tersebut terdapat beberapa siswi. Karuan saja para siswi itu terkejut, mereka berusaha lari keluar untuk menyelamatkan diri dari ganasnya api, dan mereka lupa menggunakan niqabnya kembali. Ketika melihat mereka keluar tanpa menggunakan niqab, beberapa orang Wahabi memukuli mereka dan memaksa mereka untuk masuk kembali ke dalam ruangan, padahal api sudah semakin ganas mengamuk. Begitu mereka masuk, orang-orang Wahabi itu kemudian menutup dan mengunci pintunya. Berteriaklah mereka meminta pertolongan, tapi sayang, tidak ada yang memperdulikan, tidak ada yang tersentuh hatinya untuk menolong. Maka api yang kian ganas itu pun melahap, merekapun terpanggang, menggelepar menghadapi maut yang tak terlawan. Akhirnya 37 siswi meninggal dengan cara yang mengenaskan; mati penasaran. Menurut pandangan orang-orang Wahabi lebih baik para siswi itu mati terbakar api daripada keluar menampakkan wajahnya!! Para pemadam kebakaran dan petugas kepolisian tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali setelah siswi-siswi itu menjadi arang.
Tentu saja dialog di antara partai-partai Inggris terpusat pada Islam, ketika orang-orang Wahabi mengklaim bahwa Islam memerintahkan menggunakan niqab dan menganggapnya sebagai kewajiban bagi setiap perempuan Muslimah. Menurut mereka, perempuan yang melepaskan niqab atau berkeliaran di jalan-jalan tanpa niqab dan hijab adalah pezina, tidak ada hukuman yang lebih pantas kecuali neraka. Perempuan, kendati hanya bersalaman dengan laki-laki dianggap telah berbuat zina, demikian juga perempuan yang menggunakan Farfum. Suatu ketika saya pernah diundang oleh sekelompok perempuan Muslimah di New York untuk berbicara tentang Islam, ketika itu saya ditemani oleh dua orang kawan yang menjadi dokter di Amerika. Dua orang kawan saya ini juga mempunyai antusiasme dalam mempelajari Islam. Ketika salah satu dari kawan saya ini menjulurkan tangan untuk bersalaman, dengan gerakan histeris perempuan-perempuan menyembunyikan tangan mereka di balik punggung. Kemudian salah seorang dari mereka berkata: “Agama Islam melarang perempuan bersalaman atau bersentuhan tangan dengan laki-laki.” Ini adalah permulaan yang hanya akan membuat Islam semakin buruk, baik di antara mereka sendiri, ataupun di antara para tamu yang hadir ketika itu. Terpaksa saya katakan kepada mereka: “Ini adalah pemikiran-pemikiran yang salah. Orang-orang Wahabi sengaja menyebarkannya untuk memperburuk Islam. Tidak ada perintah atau teks dalam al-Qur’an dan hadis shahih tentang masalah seperti ini.”
Kembali pada masalah niqab dan bagaimana Islam menyikapinya. Dalam Islam tidak ada satupun perintah menggunakan niqab, baik dalam al-Qur’an dan hadis. Orang-orang Wahabi dengan kebodohannya telah berusaha menafsirkan firman Tuhan dalam surat al-Nur: “Hendaklah mereka [kaum perempuan] menutupkan kain kudung ke dadanya.” Ayat ini mereka artikan “menutupkan kurung ke wajah.” Jelas ini adalah penafsiran yang menyimpang dan menyesatkan. Dalam buku “al-Sunnah Bayn al-Fuqaha' wa al-Ushuliyyin”, Syaikh Muhammad al-Ghazali menanggapi penafsiran mereka dengan berpendapat, kalau memang maksudnya seperti yang mereka klaim, maka ayat tersebut akan berbunyi: “Hendaknya mereka [kaum perempuan] ke wajahnya.” Sedangkan kata “`alâ juyûbihinna”, di sini makna “jayb” adalah permukaan dada di antara dua gundukan (=dua payudara). Kalau ini, menurut kesepakatan ulama, adalah aurat yang harus ditutupi demi mencegah timbulnya rangsangan seksual (al-ighrâ’ al-jinsî), bisa ditutupi dengan pakaian modern tanpa harus menggunakan niqab.
Sunnah Nabi telah menegaskan hal ini. Rasulullah Saw. menerima istri-istri para sahabat sedang wajah-wajah mereka terbuka (kâsyifât al-wujûh). Nabi berbicara kepada mereka tentang masalah agama, masalah-masalah kehidupan secara umum dan masalah-masalah yang bersifat khusus. Mereka hadir shalat jama`ah langsung di belakang beliau di Masjid, dan beliau sama sekali tidak mencegah mereka melakukan itu karena wajah mereka terbuka. Rasulullah berkata: “Lâ tanqib al-muhrimah, walâ talbas al-qafâzîn,” “janganlah perempuan yang [sedang] melakukan ihram berniqab, dan jangan pula menggunakan kaos tangan.” Demikianlah, di tempat paling suci, yaitu Masjid Haram, niqab diharamkan, barang siapa yang sengaja menggunakannya, maka hajinya menjadi batal, dan barang siapa menggunakan karena lupa atau tidak tahu, maka dia diharuskan membayar kaffârah dan fidyah (denda). Inilah sikap Islam sebagai agama terhadap niqab, sama sekali tidak memerintahkannya, bahkan memakruhkan dan mengharamkannya.
Kalau kita lihat dari peradaban manusia, niqab adalah bukti keterbelakangan, kebodohan dan tidak manusiawi. Menyembunyikan wajah manusia, manusia apapun, perempuan atau laki-laki, lebih buruk daripada dipenjarakan seumur hidup, tak jauh beda dengan membunuhnya tanpa dosa. Kalau niqab hanya dikhususkan bagi perempuan saja tanpa laki-laki, maka ini merupakan sebentuk diskriminasi rasial dan anti persamaan. Jelas, ini adalah kedhaliman.
Perempuan berniqab hidup terasing dari peradaban, ilmu pengetahuan dan kehidupan. Dapatkan kita bayangkan seorang perempuan berniqab belajar di Universitas kemudian menjadi dokter atau arsitektur atau pengacara. Adakah manusia berakal dan terpelajar mau pergi ke dokter perempuan berniqab untuk berobat atau mengobati istrinya sementara dia tidak melihat wajahnya atau tidak mengetahui identitasnya. Adakah manusia berakal datang ke arsitektur perempuan yang berniqab untuk memintanya membuat rancangan bangunan. Atau adakah manusia berakal yang meminta pengacara perempuan berniqab untuk membelanya di pengadilan. Niqab adalah bid`ah Wahabiyah yang dipaksakan oleh orang-orang bodoh. Tidak ada perintah menggunakan niqab kecuali di Saudi Arabia, tidak pada dunia Islam secara keseluruhan. Tujuannya jelas, agar perempuan tetap dalam kebodohan; tidak dapat mengalahkan laki-laki.
Dalam sejarah terdapat kisah terkenal tentang niqab. Di masa Rasulullah Saw., kaum perempuan ikut berperan bersama kaum laki-laki dalam masalah-masalah kehidupan dan masyarakat. Di antara mereka ada yang jadi dokter seperti Rafidah, ada ahli perang seperti Ummu Haram yang kemudian mati syahid dalam perang Qabrash. Mereka hadir di Majlis Rasulullah Saw. dengan wajah terbuka (sâfirah al-wajh), mereka [dibolehkan] menyampaikan pendapat dalam masalah politik, peperangan dan perdamaian, contohnya seperti Ummu Salamah. Pernah suatu ketika Rasulullah memujinya dengan berkata: “Alangkah bagusnya pendapatmu, hai, Ummu Salamah, denganmu Allah telah menyelamatkan kaum Muslimin dari azab yang besar.”
Di masa-masa keemasan Islam, baik pada masa dinasti Umawiyah atau Abbasiyah, perempuan mempunyai peranan penting dalam masalah-masalah kehidupan, khususnya dalam masalah agama, fikih dan dakwah. Siti Aisyah bahkan menjadi guru agama bagi para tokoh agamawan dan ulama.
Namun, di masa dinasti Mamalik berkuasa, Islam dilanda krisis; Islam menjadi terbelakang. Para pasukan yang seharusnya menjaga rakyat, ketika melihat perempuan cantik di jalan, mereka langsung menculiknya dan memperkosanya. Ini banyak terjadi di jalan-jalan Baghdad, Cairo dan Damaskus. Hal ini tentu saja membuat para perempuan kuatir dan ketakutan, sehingga terpaksa mereka menutupi wajah dengan niqab. Niqab menjadi ‘tempat’ pelarian dan persembunyian, bukan sebagai perintah atau kewajiban agama. Kondisi seperti ini terus berlangsung hingga masa dinasti Utsmaniyah dan imperialisme Inggris dan Prancis. Tetapi fenomena kemudian meredup bersamaan dengan munculnya para tokoh reformer dan pejuang di Mesir, termasuk di antara pelopornya adalah Qasim Amien, Huda Sya`rawi, dan para agamawan tercerahkan seperti Muhammad Abduh dan Syaikh Muhammad al-Ghazali. Sehingga pemerintahan Mesir dan partai nasional dituntut untuk membentuk undang-undang yang melarang niqab, dimulai dari sekolah-sekolah serta pelayanan-pelayanan umum.
Munculnya niqab di London, Paris juga Amerika disebabkan oleh Wahabisme yang merupakan aliran ekstrem dan menyimpang dari ajaran Islam. Para tokoh agamanya adalah orang-orang bodoh. Kurangnya orang-orang terpelajar telah membuat mereka tidak bisa melampaui fase al-Kitab (artinya mereka masih terjebak pada penafsiran terhadap al-Qur’an secara literal). Akan tetapi nasib buruk nampaknya menjadi takdir bagi Islam, orang-orang Wahabi memiliki kekayaan yang tak terhitung, terutama kekayaan minyak. Alih-alih menggunakan harta itu untuk kebaikan dan proyek-proyek yang bermanfaat, mereka malah menggunakannya sebagai ‘propaganda’, mereka membagi-bagikan hartanya hanya kepada orang yang mau mengikuti aliran mereka; menjadi Wahabi!!
Propaganda ini tidak hanya terbatas di dunia Arab – Islam, bahkan sudah sampai pada para imigram Muslim di Eropa dan Amerika yang jumlahnya mencapai 37 juta jiwa. Untuk memenuhi hak aliran ini, saya telah memberikan penjelasan cukup gamblang yang tak butuh penjelasan lain dalam buku, “Mafâhîm Khâthi’ah Tu’akhkhir al-Muslimîn” terbitan Madbouli.
Serangan terhadap Islam di Eropa tak lain hanyalah konsekuesi logis dari apa yang selama ini mereka lihat sebagai tindakan-tindakan dan prilaku-prilaku sebagian kaum Muslimin yang tereprentasikan dalam Wahabisme.
Serangan terhadap Islam diawali dengan dimuatnya karikatur yang merupakan penghinaan terhadap Rasulullah Saw. di salah satu koran Denmark. Dan baru-baru ini Paus Patikan mengatakan bahwa Islam adalah agama pedang, teroris. Setelah itu beberapa partai kanan di Eropa membuat film lucu (komedi) tentang Rasulullah. Dalam film tersebut Rasulullah digambarkan sebagai laki-laki yang memakai sorban besar dengan pedang di pinggang, di dadanya terdapat bom-bom, sementara di belakangnya berjalan empat orang istrinya yang berniqab.
Kita berharap setelah peristiwa niqab, tidak akan terjadi lagi serangan terhadap Islam di Inggris. Kalau itupun terjadi, maka sebab sebenarnya ada dalam diri kita, dan kita tidak bisa menyalahkan atau mencela kecuali diri kita sendiri selama orang-orang Wahabi yang ekstrem itu berbicara atas nama kita; Islam.
Belakangan ini Islam telah menjadi agama yang paling cepat menyebar dan dihormati di seluruh dunia. Sesuatu yang perlu dicermati, bahwa orang-orang yang memeluk Islam adalah para ilmuan, peneliti dan sejarahwan yang telah melakukan studi dan penelian selama bertahun-tahun untuk menggapai kebenaran.
Kalau saat ini banyak orang yang terlihat anti terhadap Islam, itu disebabkan oleh apa yang mereka lihat dari tindakan dan prilaku orang-orang Wahabi. Pemanfaatan kekayaan minyak serta pemahaman-pemahaman bodoh mereka telah membuat Islam tak ubahnya seperti tempat yang gelap dan menyeramkan. Makanya reformasi Islam tidak harus dilakukan dengan memutus hubungan dengan Barat, demonstrasi-demonstrasi dan membakar gedung-gedung kedutaan. Reformasi harus dilakukan dari dalam dengan melarang Wahabisme dan menghapusnya.
Saya berharap Mesir menjadi pelopor dalam pembaharuan dan kemajuan di dunia Islam seluruhnya, menjadi teladan dan contoh ideal dalam merumuskan undang-undang pelarangan niqab, sehingga tidak hanya Islam yang terselamatkan, kaum perempuan Muslimah juga akan terselamatkan. Langkah pertama yang perlu segera dilakukan adalah melarang niqab di sekolah-sekolah dan pelayanan-pelayanan umum.
Dan yang lebih penting lagi, al-Azhar harus mempunyai keberanian untuk mengeluarkan penjelasan yang tegas bahwa Islam tidak pernah, dan tidak akan pernah memerintahkan niqab, bahkan melarangnya dalam haji dan umrah. Perempuan berniqab hajinya tidak diterima Tuhan, bahkan dianggap batal.
* Diterjemahkan dari Majalah Rosa El Yossef, Edisi 4088, 14 Oktober 2006
** Peneliti dan Pemikir Islam Mesir