Judul Buku : al-Islâm, Aurûbâ, al-Gharb
Pengarang : Muhammed Arkoun
Penerbit : Dâr al-Sâqî
Cetakan : 2002
Pengarang : Muhammed Arkoun
Penerbit : Dâr al-Sâqî
Cetakan : 2002
Muhammed Arkoun adalah seorang yang kerap dikenal sebagai historikus-pemikir, bukan sebagai historikus-pemikiran. Tentunya pemberian “label” seperti ini bukan tidak signifikatif. Kalau dilihat, perbedaan keduanya memang sangat kentara. Dengan “label” historikus-pemikiran, Arkoun hanya akan bertugas menggali asal-usul dan perkembangan pemikiran (historikus murni), sementara dengan “label” historikus-pemikir, ia tidak hanya bertugas mengumpulkan data-data obyektif, lebih jauh ia bisa juga mengolah data tersebut dengan memakai analisis filosofis. Dengan kata lain, seorang historikus-pemikir bukan hanya berbicara tentang sejarah pemikiran secara pasif, melainkan juga secara aktif bertutur dalam sejarah. Inilah sebenarnya letak keistimewaan Arkoun dalam pergulatan pemikiran Islam.
Buku "al-Islâm, Aurûbâ, al-Gharb", paling tidak bisa menggambarkan peran Arkoun sebagai seorang historikus-pemikir. Sebenarnya buku ini merupakan hasil dialog antara Islam dan Eropa – Barat melalui “simbol pemikiran progresif dalam pemikiran Islam kontemporer”, yaitu Muhammed Arkoun, dan “simbol partai liberal Belanda”, Frits Bolkestein. Buku ini menggambarkan perdebatan hangat antara pos-pos pemikiran tradisi Islam, dan antara nilai-nilai Eropa – Barat yang lebih modern dan matang: seperti sekularisasi, liberalisme, demokrasi, pluralitas agama dan politik, nalar kritis, hak-hak asazi manusia dll. Tak ayal lagi, dialog ini akan mengundang perhatian kita di masa-masa yang akan datang, atau barang kali akan mengalami perubahan karakter, dari yang asalnya sangat politis dan meliteris, menjadi karakter intelektual dan kompetitif. Sebab, seperti sudah dimaklumi, sekarang kita hidup dalam “tikungan sejarah” yang tengah membuka lembaran baru dalam hal hubungan kita dengan Eropa atau Barat.
Dalam buku ini, Frits Bolkestein sebagai “simbol partai liberal Belanda”, mengajukan banyak pertanyaan, misalnya, mungkinkah memasukkan sekularisasi ke dalam wilayah Islam melalui interaksi internal-aktif dengan pengalaman intelektual-historis agama Islam? Dengan makna lain: mungkinkah “mengislamkan” sekularisasi atau “mensekulerkan” Islam? Bagaimana kita bisa membangun harmonisasi antara nilai-nilai spiritual dan intelektual agama Islam, dan antara nilai-nilai modernitas? Apakah benar, secara mendasar, Islam sangat bertentangan dengan sekularisasi atau liberalisme sebagaimana anggapan orang-orang Eropa – Barat dan kaum Muslimin fundamentalis?
Kalau dicermati, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Frits Bolkestein di atas memiliki keistimewaan ganda: pertama karena pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul dari seorang negarawan dengan intelektualitas dan pengalaman keilmuannya yang cukup menyakinkan. Hal itu tentu saja, secara bersamaan, berbalik dengan berbagai asumsi, penafsiran dan ketidakpengertian opini publik Eropa maupun Barat terhadap “Islam” sebagai topik sangat kontroversial, sebuah topik yang sudah menjadi sesuatu amat sensitif yang sewaktu-waktu dapat merangsang timbulnya emosi.
Paling tidak, pertanyaan-pertanyaan tersebut telah memberikan kesempatan yang cocok bagi Arkoun untuk menyajikan berbagai informasi yang benar kepada masyarakat Eropa – Barat mengenai Islam dan kaum Muslimin, juga sebagai kesempatan untuk menentukan metodologi-metodologi penelitian, serta mematangkan masalah-masalah historis, sosial, antropologis yang berkenaan dengan topik tersebut. Di samping itu, pertanyaan-pertanyaan tersebut juga telah memberikan kesempatan untuk melepaskan tutup teologis dari realita-realita ideologis yang pada umumnya dianut oleh kaum Muslimin kontemporer, dan sekaligus untuk menyingkap historitas realita-realita tersebut, di samping itu juga untuk mengganti posisi pandangan-pandangan statis yang dipaksakan oleh para tokoh “orientalis” terhadap masyarakat Eropa – Barat sejak abad kesembilan belas dengan pandangan-pandangan dinamis.
Selain itu, ada hal lain yang tidak bisa diabaikan, yang mana di sela-sela berbagai jawaban yang dilontarkan Arkoun, kita lihat ada semacam kritik terhadap kaum orientalis yang secara khusus memang menggarap bidang-bidang keislaman, dan kaum Muslimin fundamentalis yang terpenjara di dalam “pagar dogmatik eksklusif”. Kritik ini sengaja dilontarkan mengingat, walaupun secara sepintas nampak berbeda, kedua belah pihak saling mendukung. Katakan misalnya dalam hal liberalisme Islam. Dalam pandangan Arkoun, sedikit sekali kaum orientalis Eropa – Barat yang turun tangan membicarakan eksistensi aliran liberalis dalam Islam kontemporer. Sehingga buku-buku paling laris di Eropa atau Barat dari segi bisnis, bukanlah buku-buku yang membahas tentang liberalisme atau modernisasi dalam Islam, akan tetapi buku-buku yang mengulas tentang radikalisme “Islam”, atau ekstremisme “Islam”. Arkoun melihat kenyataan bahwa aliran liberalis itu ada, walaupun mungkin tidak semarak atau sebesar aliran lain. Sebuah aliran yang menyeru untuk membangun liberalisme integral dalam Islam guna mempersiapkan masa yang telah lama ditunggu-tunggu: yaitu masa yang di dalamnya terjadi lompatan kualitas pemikiran dan kesadaran dalam Islam. Nampak bahwa saat ini ilmu sosial dan politik telah “memaksakan” standar-standarnya kepada seluruh kaum orientalis. Dalam semua keadaan, yang dominan adalah standar representatif, sebuah standar yang menekankan pada komunitas paling banyak, atau paling besar atau paling marak. Jadi, aliran liberalis sebagai komunitas amat kecil dalam masyarakat Islam, tidak ada seorang pun memperhatikan eksistensinya! Bahkan kaum orientalis acapkali mengikuti strategi yang berupaya meniadakan atau menghapus setiap pemikiran, aktualisasi dan institusi-institusi yang mendukung perkembangan aliran liberalis dalam Islam.
Sementara kaum fundamentalis Islam sendiri, malah bersikap anti terhadap liberalisme. Mereka menganggap bahwa liberalisme hanya akan merusak kemurnian ajaran Islam, atau hanya akan membuat Islam menjadi tidak “suci”. Bahkan para pemikir yang menyeru pada liberalisme, seringkali dikucilkan dan dimarjinalkan.
Di sinilah peran Arkoun dalam laju perkembangan pemikiran Islam, sehingga buku ini menjadi sangat penting dibaca guna menumbuhkan kesadaran dalam menampilkan Islam secara lebih progresif dan terbuka.
Buku "al-Islâm, Aurûbâ, al-Gharb", paling tidak bisa menggambarkan peran Arkoun sebagai seorang historikus-pemikir. Sebenarnya buku ini merupakan hasil dialog antara Islam dan Eropa – Barat melalui “simbol pemikiran progresif dalam pemikiran Islam kontemporer”, yaitu Muhammed Arkoun, dan “simbol partai liberal Belanda”, Frits Bolkestein. Buku ini menggambarkan perdebatan hangat antara pos-pos pemikiran tradisi Islam, dan antara nilai-nilai Eropa – Barat yang lebih modern dan matang: seperti sekularisasi, liberalisme, demokrasi, pluralitas agama dan politik, nalar kritis, hak-hak asazi manusia dll. Tak ayal lagi, dialog ini akan mengundang perhatian kita di masa-masa yang akan datang, atau barang kali akan mengalami perubahan karakter, dari yang asalnya sangat politis dan meliteris, menjadi karakter intelektual dan kompetitif. Sebab, seperti sudah dimaklumi, sekarang kita hidup dalam “tikungan sejarah” yang tengah membuka lembaran baru dalam hal hubungan kita dengan Eropa atau Barat.
Dalam buku ini, Frits Bolkestein sebagai “simbol partai liberal Belanda”, mengajukan banyak pertanyaan, misalnya, mungkinkah memasukkan sekularisasi ke dalam wilayah Islam melalui interaksi internal-aktif dengan pengalaman intelektual-historis agama Islam? Dengan makna lain: mungkinkah “mengislamkan” sekularisasi atau “mensekulerkan” Islam? Bagaimana kita bisa membangun harmonisasi antara nilai-nilai spiritual dan intelektual agama Islam, dan antara nilai-nilai modernitas? Apakah benar, secara mendasar, Islam sangat bertentangan dengan sekularisasi atau liberalisme sebagaimana anggapan orang-orang Eropa – Barat dan kaum Muslimin fundamentalis?
Kalau dicermati, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Frits Bolkestein di atas memiliki keistimewaan ganda: pertama karena pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul dari seorang negarawan dengan intelektualitas dan pengalaman keilmuannya yang cukup menyakinkan. Hal itu tentu saja, secara bersamaan, berbalik dengan berbagai asumsi, penafsiran dan ketidakpengertian opini publik Eropa maupun Barat terhadap “Islam” sebagai topik sangat kontroversial, sebuah topik yang sudah menjadi sesuatu amat sensitif yang sewaktu-waktu dapat merangsang timbulnya emosi.
Paling tidak, pertanyaan-pertanyaan tersebut telah memberikan kesempatan yang cocok bagi Arkoun untuk menyajikan berbagai informasi yang benar kepada masyarakat Eropa – Barat mengenai Islam dan kaum Muslimin, juga sebagai kesempatan untuk menentukan metodologi-metodologi penelitian, serta mematangkan masalah-masalah historis, sosial, antropologis yang berkenaan dengan topik tersebut. Di samping itu, pertanyaan-pertanyaan tersebut juga telah memberikan kesempatan untuk melepaskan tutup teologis dari realita-realita ideologis yang pada umumnya dianut oleh kaum Muslimin kontemporer, dan sekaligus untuk menyingkap historitas realita-realita tersebut, di samping itu juga untuk mengganti posisi pandangan-pandangan statis yang dipaksakan oleh para tokoh “orientalis” terhadap masyarakat Eropa – Barat sejak abad kesembilan belas dengan pandangan-pandangan dinamis.
Selain itu, ada hal lain yang tidak bisa diabaikan, yang mana di sela-sela berbagai jawaban yang dilontarkan Arkoun, kita lihat ada semacam kritik terhadap kaum orientalis yang secara khusus memang menggarap bidang-bidang keislaman, dan kaum Muslimin fundamentalis yang terpenjara di dalam “pagar dogmatik eksklusif”. Kritik ini sengaja dilontarkan mengingat, walaupun secara sepintas nampak berbeda, kedua belah pihak saling mendukung. Katakan misalnya dalam hal liberalisme Islam. Dalam pandangan Arkoun, sedikit sekali kaum orientalis Eropa – Barat yang turun tangan membicarakan eksistensi aliran liberalis dalam Islam kontemporer. Sehingga buku-buku paling laris di Eropa atau Barat dari segi bisnis, bukanlah buku-buku yang membahas tentang liberalisme atau modernisasi dalam Islam, akan tetapi buku-buku yang mengulas tentang radikalisme “Islam”, atau ekstremisme “Islam”. Arkoun melihat kenyataan bahwa aliran liberalis itu ada, walaupun mungkin tidak semarak atau sebesar aliran lain. Sebuah aliran yang menyeru untuk membangun liberalisme integral dalam Islam guna mempersiapkan masa yang telah lama ditunggu-tunggu: yaitu masa yang di dalamnya terjadi lompatan kualitas pemikiran dan kesadaran dalam Islam. Nampak bahwa saat ini ilmu sosial dan politik telah “memaksakan” standar-standarnya kepada seluruh kaum orientalis. Dalam semua keadaan, yang dominan adalah standar representatif, sebuah standar yang menekankan pada komunitas paling banyak, atau paling besar atau paling marak. Jadi, aliran liberalis sebagai komunitas amat kecil dalam masyarakat Islam, tidak ada seorang pun memperhatikan eksistensinya! Bahkan kaum orientalis acapkali mengikuti strategi yang berupaya meniadakan atau menghapus setiap pemikiran, aktualisasi dan institusi-institusi yang mendukung perkembangan aliran liberalis dalam Islam.
Sementara kaum fundamentalis Islam sendiri, malah bersikap anti terhadap liberalisme. Mereka menganggap bahwa liberalisme hanya akan merusak kemurnian ajaran Islam, atau hanya akan membuat Islam menjadi tidak “suci”. Bahkan para pemikir yang menyeru pada liberalisme, seringkali dikucilkan dan dimarjinalkan.
Di sinilah peran Arkoun dalam laju perkembangan pemikiran Islam, sehingga buku ini menjadi sangat penting dibaca guna menumbuhkan kesadaran dalam menampilkan Islam secara lebih progresif dan terbuka.