**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Monday, March 27, 2006
Feminisme Gagal (?)

Suatu ketika, atas izin Tuhan yang Maha Esa, saya berkesempatan menonton sebuah film Indonesia, yang kebetulan judulnya adalah Eiffel...Iam In Love (Yakin dech, teman-teman, baik cowok ataupun cewek, udah pada nonton semua, iya kan?). Ada adegan menarik yang menurut saya sangat cocok dengan bahasan dalam tulisan ini. Adegan tersebut tak lain adalah pada saat Tita merasa kecewa atas perbuatan Ergi (pacar Tita) yang telah mengkhianatinya dengan berbuat serong (selingkuh) bersama orang lain (Intan). Dalam kesesakan hati yang dipenuhi oleh perasaan sedih, kesal, sesal, benci, cemburu dan segala bentuk kekecewaan lainnya, Tita berkata pada teman di sampingnya (Adit) “Dit, boleh nggak Tita minjem bahu lho? Adit menjawab “Jangankan bahu, dada juga boleh”. Dengan izin tersebut, akhirnya Tita bersandar pada dada Adit.

Adegan semacam itu saya kira tidak hanya terjadi pada Eiffel...Iam In Love, tapi juga terjadi pada setiap film percintaan lainnya. Eiffel...Iam In Love hanya sebagian kecil saja dari film Indonesia yang memuat adegan semacam itu, bahkan film-film percintaan di Barat pun tidak luput dari hangat sentuhannya. Di mana seorang perempuan tatkala dirundung perasaan sedih, ketika sedang dilanda suatu musibah, maka sandaran yang paling enak, empuk, lembut dan paling nyaman adalah pacarnya, cowoknya, suaminya, si Do’i kata bahasa gaulnya, atau apalah namanya, yang penting berjenis kelamin laki-laki (bagi yang tidak lesbi).

Dalam masalah feminisme, saya lebih suka melihatnya secara sosial yang lebih nyata dan dapat dirasakan, dari pada melihatnya secara tekstual yang hanya terpaku pada teks-teks suci. Kalau kita melihat dari kaca mata sosial, itu akan lebih mudah. Soalnya, baik di Timur atau Barat hampir memiliki kesamaan. Sementara, kalau ditinjau melalui perspektif teks-teks suci keagamaan, kita akan banyak menemukan kesulitan. Masalahnya setiap agama memiliki kitab masing-masing, yang sudah tentu berbeda antar satu sama lain, bahasa maupun isinya. Sehingga, kita akan terjebak pada perdebatan yang tidak ada habis-habisnya.

Feminisme gagal, benarkah? Untuk menjawab “iya” atau “tidak” kita perlu memperhatikan hal-hal berikut. Pertama, budaya dan tradisi klasik yang hingga saat ini masih mengakar cukup dalam, dan posisinya diperkuat oleh hegemoni mitos yang mengatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Hal inilah yang kemudian menjadikan kaum perempuan sebagai makhluk kedua setelah laki-laki. Sehingga bagaimanapun gengsinya seorang perempuan, tapi pada akhirnya ia harus tunduk di bawah keangkuhan budaya dan tradisi klasik tersebut. Kedua, sikap dan mental sebagian besar kaum perempuan sendiri yang kurang mendukung dengan adanya feminisme. Banyak dari mereka yang berfikir bahwa feminisme tidak akan merubah nasib mereka menjadi lebih baik. Buktinya sampai sekarang pelecehan dan diskriminasi terhadap perempuan, mulai dari pemerkosaan, kawin paksa, dan segala bentuk kriminalitas lainnya semakin menjamur. Kebebasan yang ditawarkan justru membuat sebagian kaum perempuan lebih leluasa “menjual diri” dalam bentuk prostitusi dan eksploitasi seksual di berbagai media, elektronik maupun cetak. Belum lagi masalah TKW yang hingga detik ini belum tuntas. Inikah feminisme itu? Bahkan ada gejala, mereka sudah merasa enak dengan budaya masa lalu. Ini bisa dilihat kalau ada seorang perempuan ditanya, “Kenapa kamu kok tidak kerja? Dengan manja dia akan menjawab, “Buat apa saya capek-capek kerja, kan ada laki-laki.” Ketiga, kurangnya sosialisasi. Sebab tekanan sosial sangat sedikit memberikan peluang.

Maka atas dasar hal-hal di atas, saya katakan bahwa feminisme itu memang gagal. Tapi tolong jangan panas dulu, gagal dari segi apa? Kalau dilihat dari segi wacana, saya katakan memang cukup berhasil. Berbagai diskusi, kajian, seminar yang mengangkat wacana feminisme sudah banyak digelar. Bahkan ribuan buku pun sudah diterbitkan guna memberikan dukungan. Namun dari segi kultur sosial, seperti yang saya jelaskan di atas, feminisme itu gagal. Saya mohon maaf, mungkin kata ‘gagal’ akan membuat sebagian orang kebakaran hati (bagi yang cowok, kebakaran jenggot), tapi inilah kenyataannya. Terus terang, saya mengatakan feminisme gagal, bukan berarti karena saya laki-laki atau karena ogah dengan yang namanya feminisme, emansipasi dan segala bentuk gerakan pembebasan kaum perempuan, sama sekali tidak. Justru, setiap kali mengikuti diskusi tentang gender dan feminisme, tak lupa saya memberikan dukungan melalui argumen-argumen yang saya gagas. Kalau kaum perempuan menuntut emansipasi, saya sebagai laki-laki mempersilahkan, saya mendukung sekali. Saya akan katakan “Silahkan tuntut hak-hak anda sebagai perempuan, sebab anda juga manusia seperti kami kaum laki-laki yang sama-sama memiliki perasaan, dan mari kita bersaing.”

 
posted by Roland Gunawan at 4:47 AM | Permalink |


0 Comments:





"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"