**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Monday, March 27, 2006
Islam dan Radikalisme


Dari awal proklamasinya —saat turunnya ayat "Hari ini sudah Aku lengkapkan bagimu agamamu, dan aku sempurnakan atasmu nikmat dari-Ku, serta Aku restui bagimu Islam sebagai agamamu"— Islam selalu saja dihantui dengan berbagai macam tuduhan yang tidak mengenakkan. Tuduhan-tuduhan itu memang sengaja dilontarkan oleh orang-orang yang memang tidak suka dengan kehadiran Islam di muka bumi, dalam hal ini adalah Barat yang mayoritas penduduknya adalah Kristen. Dalam banyak kasus, Islam sering dituduh sebagai agama yang mengajarkan radikalisme. Bahkan Islam seringkali dituduh sebagai agama yang menjadi basis para teroris. Generalisasi stereotip Barat bahwa Islam disebarkan dengan pedang merupakan hal lain yang ikut andil dalam memberikan kontribusi keruwetan tersendiri dalam hubungan Islam dengan Barat.

Peristiwa hancurnya WTC dan Pentagon di Amerika Serikat, telah memunculkan berbagai analisis dan spekulasi, yang tidak saja berkaitan dengan sang pelaku, tetapi juga berkaitan dengan dampak dari peristiwa tersebut, antara lain terhadap Islam, yang hampir semuanya bermuara pada tuduhan sentral: Islam sebagai agresi, penuh teror, ekstrem dan radikal.
Munculnya kembali stereotip seperti ini, terutama sekali di Barat, tidaklah mengejutkan. Mengingat hal itu sudah menjadi "lagu lama" yang senantiasa dilantunkan begitu Islam tampil di panggung sejarah kehidupan sebagai realitas agama pasca Yahudi dan Kristen.

Sejak masa perang Salib, Islam selalu dipandang tidak bermoral, musuh bebuyutan Kristen. Walaupun sebagian kita menolak bahwa perang Salib bukanlah perang dengan motif agama, melainkan motif politik. Tapi itulah kenyataannya, Islam saat ini dipandang anarkis dan monolitik serta dinilai sebagai ancaman terbesar bagi Barat, sehingga ancaman komunis yang selama ini menduduki tingkat pertama tak ada artinya lagi.

Kita perlu berkaca dan bertanya kapada diri sendiri, kenapa hal itu harus ditimpakan kepada Islam. Bukankah Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam? Dan bukankah tindakan kekerasan itu justru merupakan distorsi terhadap ajaran Islam?

Di samping itu, kita juga harus mengakui dengan jujur dan terbuka bahwa persepsi negatif Barat terhadap Islam tidak semuanya dibangun secara sepihak tanpa bukti nyata. Kita juga terkena beban tanggung jawab atas apa-apa yang telah terjadi selama ini, sehingga kemudian melahirkan stigma bahwa umat Islam adalah umat yang radikal.

Sebuah contoh yang mungkin bisa diidentifikasi sebagai "radikal" Islam adalah seruan vonis mati yang ditetapkan oleh Ayatullah Khomeini atas seorang novelis Inggris yaitu Salman Rushdie pada tahun 1989. Novel kontroversialnya yang berjudul "The Satanic Verses" dianggap sebagai tindakan yang terlalu "melecehkan" Islam. Karena itu, novelis yang sebenarnya beragama Islam itu menjadi sasaran kemarahan yang hampir merata akan adanya persepsi penghinaan atas Nabi Muhammad Saw. di kalangan umat Islam dari beragam latar belakang dan pendapat politik. Bahkan The Muslim Word sebuah newsletter mingguan terbitan Muktamar al-Alam al-Islami yang berpusat di Karachi mendorong para pembacanya untuk melancarkan protes melawan rencana yang telah dirancang pemerintah Australia guna memberikan Hadiah Sastra Eropa bagi novel karya Salman Rushdie tersebut.

Di Indonesia, sering kali kita temukan tindakan radikal yang dilakukan sekelompok orang yang menamakan dirinya FPI (Frond Pembela Islam). Seperti pengerebekan terhadap para WTS dengan alasan jihad, sebagai resistensi terhadap kemaksiatan. Namun yang bisa mereka lakukan hanyalah pengerebekan semata tanpa bisa memberikan solusi dan egres terbaik bagi kelangsungan hidup para WTS tersebut. Akhirnya apa yang terjadi? para WTS itu terlantar. Tindakan tersebut hanya menambah populasi barisan pengangguran. Belum lagi aksi-aksi pengeboman gereja yang dilakukan kelompok-kelompok tertentu sebagai jalan 'pintas' untuk memusnahkan kristenisasi dan bom bunuh diri (bom syahid) serta aksi-aksi takfîr yang prosesnya mengarah pada penghalalan darah seseorang yang dianggap murtad dan keluar dari Islam.

Tindakan radikal yang sering kali dimanifestasikan lewat jihad itulah yang sebenarnya telah membentuk image negatif terhadap Islam. Jihad saat ini sudah berubah menjadi kata kotor, yang selalu menunjukkan ancaman. Walaupun, citra negatif itu hanya menimpa kelompok tertentu dalam Islam, akan tetapi hal itu telah mengundang arus dan gelombang kesalahpahaman secara global. Ironisnya, banyak orang yang tidak begitu adil dan bijak untuk membedakan antara apa yang dilakukan sekelompok kecil umat Islam dengan apa yang dilakukan mayoritas umat Islam. Sebagai akibatnya, dosa yang dilakukan sekelompok kecil itu harus dipikul bersama oleh seluruh umat Islam. Ofensi Barat terhadap ekstremis Muslim —yaitu kaum radikalis— dengan mudah berubah menjadi ofensi terhadap seluruh umat Islam. Sampai di sini kita bisa melihat bahwa Islam adalah faktor utama yang mengikat kelompok kecil tersebut. Memang mudah sekali melihat Islam dari kulit luarnya saja, dan menilai negatif tindakan radikal yang timbul, daripada berusaha untuk melihat sisi-sisi yang lebih positif dari Islam.

Pada umumnya, orang-orang Barat berkeyakinan bahwa tindakan radikal itu tidak bisa diterima di dunia manapun dan kapanpun. Mereka mengklaim Islam sebagai agama radikal, tanpa terlebih dahulu melihat tindakan-tindakan radikal yang mereka lakukan sendiri. Maka, inilah salah satu wilayah di mana stereotipe Barat selalu mencegah lahirnya penilaian simpatik atas sebuah institusi yang bersifat praktis dan realistik. Padahal, kalau mereka mau mengkaji ulang ajaran Islam dengan teliti dan cermat, akan sangat jelas, bahwa dalam Islam tidak ada etika dan moral satupun yang bisa dijadikan justifikasi atas suatu aksi radikal, terlebih lagi teror. Karenanya, kalau ada tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Islam tertentu, sudah barang tentu motifnya bukan karena ajaran etik-moral Islam, melainkan karena ada 'udang' yang bersembunyi di balik batu tindakan tersebut.

Nampaknya kita perlu dengan berat hati berempati kepada kaum radikalis. Sebab —mengutip perkataan KH. Hasyim Muzadi— bagai manapun mereka adalah bagian dari kita juga, mereka adalah kelompok yang selama ini mungkin terabaikan. Dalam artian, kita tidak pernah melibatkan mereka di dalam sebuah dialog. Bahkan suara mereka pun tidak pernah kita pedulikan.

Nah, karena merasa telah terabaikan dan sudah tidak ada lagi ruang untuk berdialog atau memang sudah tidak ada lagi orang yang mau diajak berdialog, mereka kemudian memisahkan diri dari mainstream. Mereka memilih untuk membentuk kelompok kecil yang terpisah dari masyarakat pada umumnya. Maka lahirlah apa yang disebut dengan –meminjam istilah Ahmad Kamal Abul Majid— kecendrungan komunalistik, yaitu membentuk sebuah kelompok yang aktivitasnya tertutup dan sangat dirahasiakan. Aktivitas mereka tidak terbaca oleh banyak orang, karakternya eksklusif dan konservatif. Dan bahasa yang sering kali mereka kumandangkan adalah bahasa kekerasan. (Zuhairi Misrawi, "Islam, Terorisme, dan Civil Society" Republika 2002)

Kaum radikalis tersebut ingin mengimplementasikan tatanan Islam melalui perjuangan bersenjata atau konfrontasi. Biasanya mereka terdorong oleh kebencian dan sikap sinis pada apa yang mereka sebut "Barat". Mereka membangkitkan kemarahan dan kebencian di kalangan Muslim terhadap Barat. Retorika yang mereka pakai mengandung banyak populisme dan dorongan untuk berbuat anarki. Mereka memandang rendah kaum modernis, dan, lalu oleh kaum modernis mereka dicap fundamentalis. Sebagian besar sarjana Barat, termasuk sarjana dari generasi muda dan yang lebih simpatik, ditolak oleh kaum radikalis karena dianggap telah tercemari orientalisme, tak terkecuali orang Muslim yang mempunyai pandangan modern. (Akbar S. Ahmed, "Posmodernisme Antara Bahaya dan Harapan Bagi Islam" 1992)

Mereka agaknya sudah mulai sadar dengan perasaan global, sehingga sebagai individu dan kelompok mereka memiliki keinginan yang keras untuk membentuk masyarakat dunia dan menggunakan kesadaran tersebut untuk mendulang suara dan kekuatan. Ada saat di mana sebagian dari kaum muslim lebih memilih jalan kekerasan untuk mencapai tujuan, seperti ditunjukkan dalam penyerangan Masjidil Haram di Makkah bulan november 1979 dan pembunuhan presiden Mesir Anwar Sadat tahun 1981. Kelompok-kelompok seperti di Mesir dan Aljazair, khususnya, terus mengancam para pejabat negara, intelektual, jurnalis dan orang asing dengan penculikan dan pembunuhan dalam rangka menekan pemerintah agar memberikan konsesi strategis.

Mereka selalu beranggapan bahwa dengan tindakan radikal akan membuat orang memperhatikan persoalan mereka. Mungkin dalam suasana kekerasan dan kebencian yang membabi buta, mereka merasa tindakan mereka ada logisnya. Paling tidak, akan didengar oleh khalayak ramai, walaupun kekerasan bukanlah semangat Al-Qur'an, tidak juga ditemukan dalam kehidupan Nabi dan tidak pula dalam kehidupan para wali.

Namun walau bagaimanapun, kita harus optimis bahwa mereka —kawan-kawan yang radikal itu— suatu saat nanti akan mengalami suatu pencerahan kembali, andaikan secara moral kita mau mengajak mereka untuk berdialog, yang sebisa mungkin dapat membangun sebuah kesepakatan untuk menampilkan wajah baru Islam yang sejuk dan ramah di muka bumi ini. Sehingga prasangka-prasangka buruk yang menodai citra Islam secara otomatis dapat hilang dengan sendirinya.

Sebagai penutup, penulis hanya akan menyampaikan pesan moral yang pernah diucapkan oleh Pak Masdar F. Mas'udi, bahwa tidak seharusnya kita terpancing dengan adanya image-image negatif tersebut. Sebab kalau sampai terpancing, kita tidak akan pernah bisa untuk menetralisir dan menjernihkan pikiran. Justru kitalah yang akan menjadi ekstrem nantinya, sekalipun dengan cara yang mungkin berbeda dengan kaum radikalis. Sehingga langkah yang kita tempuh cenderung kaku dan tidak mengedepankan akal sehat.
 
posted by Roland Gunawan at 4:24 AM | Permalink |


0 Comments:





"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"